

Untuk experience lebih baik (dengan musik) bisa kunjungi https://docs.google.com/document/d/1LBSNUeM5TvwirslM3E60o2NjqG9Sbsdp/
"Pada mulanya dia hanyalah sebuah firman…”
“Hidup matinya seorang anak ada di tangan ketiga orang ini… Apa yang sedang mereka perbincangkan?”
Pada tahun 20XX, sekumpulan ilmuwan telah menemukan sebuah unsur kimia baru dalam jumlah besar di Laut Pasifik Utara yang dinamakan Vorpalnium. Vorpalnium merupakan logam yang memiliki kekuatan lebih keras daripada baja, tetapi logam itu mengeluarkan radiasi tinggi. Untuk mengolah Vorpalnium menjadi material yang bisa membawa manusia ke dalam era energi bersih, sebuah perusahaan yang bernama GenTech telah bekerja sama dengan berbagai negara untuk membuat sebuah pulau buatan di wilayah tersebut yang dinamai Natales.
Setelah Natales telah selesai dibuat, warga-warga dari negara-negara Pasifik berpindah ke pulau Natales untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik di sana. Sayangnya, pembentukan pasukan militer pribadi milik Natales mengusik negara-negara lain, terutama dengan Amerika Serikat, dan perang tidak terhindari. Setelah konflik antara GenTech dan Amerika Serikat berakhir, Natales akhirnya menjadi negara merdeka. Natales pun akhirnya menjadi satu-satunya negara yang dapat mengolah Vorpalnium.
Bertahun-tahun pun berlalu sampai pada dua puluh tahun yang lalu. Natales dan GenTech yang saat itu sedang gencarnya mengadakan riset di kabupaten Amilalt untuk mengolah Vorpalnium lebih lanjut, tiba-tiba diserang oleh sekelompok teroris yang ingin menguasai Vorpalnium untuk kepentingan mereka. Bahan-bahan kimia yang ada di gudang itu pun meledak dikarenakan bom yang terpasang di tubuh salah satu teroris meledak. Ledakan dahsyat itu menghancurkan sebagian besar bangunan Natales, menewaskan ribuan orang dan korban luka yang jumlahnya melebihi dua puluh ribu jiwa. Huru-hara terjadi di seluruh penjuru negara, orang-orang kehilangan rumah, harta benda, dan pekerjaan mereka. Investigasi yang dilakukan kepolisian dan tentara nasional Natales menetapkan dua kepala pengawas GenTech, pasangan suami-istri, sebagai otak di balik serangan itu. Pengadilan diadakan, dan mereka berdua divonis hukuman mati setahun kemudian. Peristiwa ini tercatat sebagai Insiden Amilalt dalam sejarah Natales.
Seiring dengan Natales yang dibangun ulang, bersamaan dengan munculnya seseorang yang mengaku sebagai utusan matahari, yang membantu meredakan huru-hara para penduduk, Natales terus berkembang dan suasana mulai kembali damai. Tetap kedamaian di Natales terusik oleh hadirnya monster-monster misterius yang disebut oleh GenTech sebagai Radically Mutated Organism (RMO), hewan-hewan yang termutasi oleh radiasi Vorpalnium dalam Insiden Amilalt. Untuk melindungi warga dari ancaman-ancaman yang disebabkan oleh kehadiran RMO, GenTech menciptakan sebuah sistem yang dinamakan Evolution Squad Genoforce, pahlawan-pahlawan berwarna-warni dengan kekuatan DNA dari hewan-hewan purba, yang dilengkapi teknologi-teknologi muktahir untuk menumpaskan para RMO. Sampai saat ini, pertempuran RMO dan Genoforce masih berlanjut. Bahkan pada malam sebelumnya, seekor RMO telah dikalahkan oleh Genoforce di pelabuhan Natales Utara.
******
Kerumunan warga pada pagi ini telah berkumpul di garis-garis polisi yang telah terpasang. Mobil-mobil baja sudah terparkir di dalam area bekas pertempuran Genoforce. Anggota kepolisian, tentara, dan tim ilmuwan dari GenTech Inc. bekerja sama untuk mengumpulkan sisa-sisa dari tubuh RMO yang telah dikalahkan Genoforce tersebut. Awak media yang berada di lokasi melaporkan secara langsung dari tempat kejadian.
“Lagi-lagi, Natales Diserang Oleh Makhluk Asing.”
Kata-kata yang diucapkan sang reporter menjadi berita utama hari itu di seluruh media. Sebuah videotron di pusat kota Natales turut memberitakan kabar tersebut, yang membuat mata seluruh orang yang lewat terpaku pada layar besar tersebut.
“Sulit ya, tinggal di Natales. Ada saja serangan dari monster-monster aneh,” begitu komentar salah seorang warga yang lewat.
“Aku harap ini segera berakhir, sudah bosan aku dengan teror ini," timpal suara yang lain.
“Tenang saja, kan ada Genoforce. Mereka sudah dilatih secara khusus,” jawab seorang wanita.
"Betul, betul. Selama ada Genoforce, kita bisa bernafas lega," seorang pria menyahut.
"Omong kosong! Beberapa pertempuran mereka dengan monster telah menghancurkan banyak gedung! Apa gunanya membunuh monster kalau tempat tinggal kita dihancurkan mereka?!" seorang pria tua membalas dengan kesal.
"Betul! Rumah saudaraku hancur diinjak oleh robot mereka!" seorang wanita muda ikut berargumen.
Dari seberang jalan, percakapan itu ternyata sampai ke telinga seorang gadis berambut coklat gelap yang dikuncir kuda. Dia berkemeja merah muda berlengan panjang, yang ditutupi oleh sebuah jaket baseball. Dia juga mengenakan rok jeans pendek yang tidak menutupi lututnya. Sama seperti orang-orang yang berkomentar soal berita itu, wajah cantiknya tidak lepas dari layar videotron yang juga menampilkan berita itu. Dia tahu, tidak, dia ingat semua hal terjadi semalam di pelabuhan itu.
******
Pelabuhan Natales Utara pada malam itu terdengar sunyi, sesekali terganggu oleh derik kayu kapal yang terguncang ombak. Lampu-lampu yang dimatikan, ditambah rembulan yang diselimuti awan coklat tebal menyulitkan mataku untuk melihat di pelabuhan itu.
Aku mengambil posisi di atas tumpukan kotak kayu, di samping sebuah gudang sesuai dengan instruksi pimpinanku. Aku menunggu, hanya boleh menembak target saat aba-aba diberikan olehnya.
Beberapa orang mungkin akan kesal ketika mengetahui aku menurut saja ketika disuruh oleh seseorang sebagai seorang wanita. Tapi aku tidak peduli sejak dia berkali-kali menyelamatkan diriku dalam pertempuran melawan RMO. Inilah tugasku, kewajibanku, untuk melaksanakan perintah Tyrannorot, sang Genoforce merah. Aku tak akan mengecewakannya sebagai Plesiorosa, sang Genoforce merah muda.
Dari balik sebuah bangunan beton, tiga ratus meter di sampingku, sesosok binatang besar dengan kaki sepuluh dan berekor tajam berjalan tertatih-tatih sambil mengerang, luka menganga di kakinya mengeluarkan cairan merah gelap. Makhluk itu bersandar melawan tumpukan kontainer baja, nafasnya kalut seakan setiap tarikan dan hembusan nafas saling berlomba tak mau mengalah.
RMO Brontoscorpio, monster kalajengking yang terpapar oleh radiasi Vorpalnium. Ketiga rekanku sudah berhasil menggiring monster itu ke pelabuhan yang sepi ini.
Awan-awan di langit akhirnya bergerak, tertiup angin malam musim semi, pada akhirnya mengizinkan cahaya bulan untuk bertemu dengan bumi. Sosok binatang itu bermandikan cahaya bulan, wujudnya yang menyerupai kalajengking raksasa akhirnya terlihat dengan jelas olehku.
Aku lalu melihat pemimpinku, Tyrannorot, berjalan menghampiri Brontoscorpio. Dengan gagah dia berdiri di sana. Aku yakin di balik topengnya, dia tersenyum lebar.
Dari belakangnya, Triceraschwarz, sang Genoforce hitam bertanduk keemasan, dengan cepat menerjang Brontoscorpio. Mutan itu menahan serangan Triceraschwarz yang mengincar kepalanya. Triceraschwarz tidak habis akal, dia lalu menyundul kepala Brontoscorpio dengan helmnya yang bertanduk tiga.
Tidak seperti Tyrannorot yang baik dan ramah, Triceraschwarz memang orang yang berandal dan keras kepala, terkadang dia bisa jadi menyebalkan sekali. Tapi dalam pertarungan, dia yang sangat bisa diandalkan.
Brontoscorpio balas menyerang. Suara capit yang berkali-kali ditahan oleh perisai hitam keras berat di tangan kanan Triceraschwarz seperti baja saling beradu, disertai dengan erangan keras tak beraturan binatang itu menjadi musik bagi telingaku, yang sedang menunggu aba-aba dari pemimpinku.
Serangan Brontoscorpio mengarah ke wajah Triceraschwarz, dia hanya sempat menggeser capit itu agar tidak mengenai wajahnya.
“Tyrannorot!” seru Triceraschwarz.
Triceraschwarz merunduk, Tyrannorot maju dan menyerang Brontoscorpio. Tyrannorot mengayunkan pedangnya dan membuka luka baru di capit binatang itu.
Triceraschwarz maju lagi tanpa memberi waktu kepada Brontoscorpio untuk mengatur nafasnya. Tyrannorot pun menyerukan sesuatu yang sudah lama kutunggu.
“Tembak!” seru Tyrannorot.
Aku pun menarik pelatuk senapanku.
Peluru ini untukmu, Ignis.
******
Suara smartphone milik wanita berambut coklat itu tiba-tiba berdering, membangkitkan wanita itu dari ingatannya tentang kejadian semalam. Notifikasi aplikasi Lein itu berasal dari grup pribadi miliknya.
Wanita itu tersenyum kecut karena kesalahannya diungkit kembali, dia pun membalas pesan dari Triceraschwarz itu.
Sementara itu, beberapa kilometer dari pusat kota, seorang pemuda berambut cepak hitam sedang menatap layar smartphone yang dipegang di tangan kirinya, sedangkan tangan kanannya sibuk memasukkan keripik kentang ke dalam mulutnya, sambil berbaring di atas sebuah sofa panjang. Kaos oblong putih tanpa lengannya ternodai oleh bercak-bercak kotor karena oli mesin, dan bercelana jeans hitamnya terlihat lecek tak teratur, dan sepatu hitamnya masih dia kenakan. Satu-satunya pakaiannya yang rapi hanyalah jaket kulit hitam yang digantung di pojok ruangan, yang sedang dia tidak kenakan. Sebuah kalung dengan pahatan sebuah kanji yang bergantung di lehernya berkilau di bawah cahaya lampu.
Pesan dari Winnie, sang Genoforce merah muda, akhirnya masuk. Mendengus melihat pesan tersebut, Alvin, sang Genoforce hitam, mengetik sebuah balasan singkat.
Dia sama sekali tidak tulus, tapi toh untuk Winnie, sekadar maaf harusnya sudah cukup, selama Alvin tidak mengungkit umur Winnie. Melihat pesan Winnie barusan, dia sendiri pun mengingat kejadian tersebut, dan sampai sekarang pun dia masih kesal dibuatnya.
******
DOR!
Suara ledakan keras senapan memecahkan keheningan malam.
Tetapi sebelum suara itu mencapai telingaku, sebuah peluru menyerempet tangan kiriku.
Lentingan keras terdengar ketika tanganku yang sekeras baja membuat peluru itu terpantul. Peluru itu terus melaju.
Sepersekian detik kemudian, darah merah segar membasahi diriku diiringi oleh erangan keras Brontoscorpio. Peluru itu telah menembus ekor bersengat Brontoscorpio dan berhenti ketika menghantam dinding bata sebuah gudang.
Kuambil kesempatan ini bukan untuk melakukan serangan lanjutan, tetapi untuk mengatur nafasku.
Kalau aku boleh jujur, aku sedang panik saat itu. Bukan karena serangan Brontoscorpio yang bertubi-tubi, bukan karena capitnya yang hampir menghancurkan kepalaku atau memutus leherku.
Tapi karena peluru dari temanku sendiri.
Kalau peluru yang Winnie tembakkan dengan kekuatan penuh itu mengenai tanganku di saat yang tidak tepat, tanganku akan hancur seketika. Aku tidak peduli kalau karirku di Genoforce berakhir, tapi aku tak akan bisa hidup tanpa tanganku.
Sialan, padahal aku sudah percaya dengannya.
Mungkin memang benar kalau aku tidak bisa… tidak boleh mempercayai siapapun.
******
“Mukamu serius sekali, sedang baca apa?”
Suara familiar itu memecahkan lamunan Alvin. Dia memutar kepalanya dan melihat seorang pria tinggi berotot, dengan kulit yang terbakar matahari sedang tersenyum kepadanya. Rambut coklatnya yang dikuncir cepol dan jenggot tipisnya memberikan kesan dewasa yang keren dan stylish, ditambah sorot mata coklat gelapnya yang memancarkan kehangatan bagaikan sebuah nyala api unggun, membuat semua orang yang berada di dekatnya merasa tentram. Dia lepaskan sepatu putih-merah miliknya sebelum berbaring di sofa panjang kedua yang berhadapan dengan Alvin, terpisahkan oleh sebuah meja kaca persegi. Ignis Vargil, sang Genoforce merah, pemimpin mereka, telah menyelesaikan latihan hariannya.
“Kamu belum menjawab pertanyaan tadi loh Vin,” kata Ignis sambil menyengir.
“Ikut campur lu Nis,” balas Alvin dengan acuh.
“Pasti masalah yang kemarin ya, setelah kita mengalahkan Brontoscorpio,” tebak Ignis.
Alvin tertegun sejenak sebelum memasang kembali ekspresi tidak peduli.
“Kalo iye, emang kenapa?” balas Alvin yang sekarang membuka halaman web komik digital.
“Kupikir kamu sudah memaafkan dia.”
“Emang kalo gw maafin, gw masih ga boleh kesel?”
******
Setelah kami berempat mengalahkan Brontoscorpio, aku berdiri di samping sebuah dermaga, jauh dari mayat Brontoscorpio yang sudah dimusnahkan. Aku memikirkan masa lalu, bertanya-tanya apakah aku sudah melakukan yang terbaik menurut dirinya ketika Velocigleb menghampiriku. Rambut hitam panjangnya berayun tertiup angin-angin sepoi laut malam.
“Kita beruntung, hari ini monster itu tidak menjadi raksasa,” kata wanita itu.
“Betul, hari ini kita bisa tidur lebih cepat,” balasku, “Atau ada hal lain yang ingin kau lakukan, Grace?”
“Ada buku yang ingin aku selesaikan hari ini,” jawab Grace. “Tapi sebelum itu… Ada yang harus kamu selesaikan.”
Dia melihat ke arah di samping kiriku, dan aku pun melihatnya, Winnie dan Alvin sedang saling berjalan, kelihatannya mereka sedang bertengkar. Suara Alvin yang pertama kudengar.
"Enak ya lu cuma maaf, maaf, lu hampir namatin karir gue di Genoforce! Jangan mentang-mentang usia lu yang paling tua disini, lu bisa dengan enaknya ngegoblok dan minta orang lain maklumin kalo lu ngelakuin kesalahan!”
Oh tidak, dia baru saja mengungkit usia Winnie di depannya, dan jika kamu sudah lama di Genoforce, kamu harusnya tahu untuk tidak mengungkit usia Winnie di depannya.
Mendengar balasan Alvin yang menghujam hatinya bagai rintik hujan deras, aku melihat raut wajah Winnie yang tadinya hanya tersenyum canggung, seketika berubah menjadi merenggut dan dengan cepat ia menurunkan tangannya dari kepalanya. Kata-kata Alvin berhasil mengguncang hatinya bagaikan sambaran petir.
“AKU SUDAH MINTA MAAF, ITU BELUM CUKUP UNTUKMU?!” balas Winnie, suaranya tidak mau kalah dengan intensitas yang sama dengan ombak yang menghantam dermaga tersebut.
“KENAPA LU YANG MARAH, KAN ELU YANG SALAH!”
Aku menghela nafas. Sudah lama mereka tidak bertengkar seperti ini. Aku rasa ini berhubungan dengan peluru Winnie yang sempat mengenai Alvin.
“Hei, Ignis, cepat selesaikan ini, atau kita akan di sini sampai pagi besok,” kata Grace, “Atau seorang pemimpin Genoforce tidak bisa menyelesaikan masalah internal para anggotanya dan berharap mereka akan berdamai ketika mereka sudah lelah?”
Aku tertawa kecil. Grace terkadang bisa menjadi sangat menyebalkan dengan sarkasme miliknya. Aku akhirnya menaruh diriku di antara Alvin dan Winnie.
"Sudahlah," kataku, berharap nada yang kukeluarkan terdengar tenang dan biasa. "Vin, aku mengerti kenapa kamu marah, tapi bagaimanapun juga, kak Winnie tidak sengaja mengenaimu karena tempat ini minim pencahayaannya malam ini. Kak Winnie, lain kali aku ingin kamu lebih berhati-hati. Tembakanmu kan memang kuat, kalau tadi seranganmu mengenai orang selain Alvin, mereka bisa luka parah."
Winnie sepertinya bisa menerima perkataanku, dia hanya terdiam dan tertunduk. Sedangkan aku yakin Alvin masih kesal, tapi aku tahu walaupun Alvin sangat keras kepala, dia bisa menerima perkataanku selama ada sedikit logika di dalam perkataanku. Dia pun akhirnya hanya menghela nafas dan berkata, "Serah lu dah Nis."
******
“Tapi serius deh,” kata Alvin, “Kok lu tetep bisa sabar ama dia Nis? Bukan sekali atau dua kali loh kejadiannya. Yah, ini yang paling parah sih buat gua.”
Ignis pun mengambil posisi duduk, “Yah, mau bagaimanapun juga, Kak Winnie yang pengalamannya paling tinggi di antara kita sebagai Genoforce. Dan sesuai kontrak, menjadi Genoforce berlaku seumur hidup, kecuali mereka memutuskan untuk mengundurkan diri.”
Alvin pun ikut duduk dan bertanya, “Ngomongin soal kontrak, lu tau ga kenapa Winn-”
Pintu ruangan yang dibuka membuat Alvin menghentikan pertanyaannya. Alvin dan Ignis menoleh ke arah pintu, seorang wanita pendek dengan rambut hitam panjang memasuki ruangan itu. Bando kuning yang melekat di kepalanya memberikan kesan imut untuknya, yang berlawanan dengan pakaiannya yang berupa baju kuning tua, rok coklat muda, jaket coklat muda yang terlalu besar untuk tubuhnya, stocking hitam panjang, dan sepatu abu-abu, yang dipadu dengan wajahnya membuat orang-orang yang pertama kali bertemu dengannya seperti anak kecil yang bersifat dewasa. Mata coklatnya yang sayu membuatnya seakan dia menatap Alvin dan Ignis dengan rasa malas.
“Ada apa, Grace?” tanya Ignis.
“Ada pesanan takeaway 20 paket Cheese Hamburg Deluxe ke SMA Natales 1. Alvin, tolong antarkan,” jawab Grace.
“20 paket… lu yakin bukan pesenan fiktif kan?” tanya Alvin dengan curiga, “Lagi tenar tuh di QTube belakangan ini.”
“Santai, sudah dibayarkan kok,” kata Grace yang sedang menatap smartphone miliknya, “Nanti di pintu gerbang akan diambil oleh orang ini, akan kukirimkan ke grup Lein.”
“Bagus deh, tapi duit bensin gua tetep diganti ya.”
******
Bel pulang sekolah SMA Natales 1 telah berbunyi, menandakan selesainya kegiatan belajar-mengajar di sekolah dengan sistem yang diambil dari sistem sekolah Jepang dan Amerika Serikat itu. Alvin yang telah sampai di depan gerbang sekolah mencuri dengar percakapan murid-murid yang ternyata juga mengetahui tentang pertarungan antara Genoforce dan Brontoscorpio.
“Aku takut suatu hari monster akan menyerang sekolah ini,” kata seorang siswa yang baru saja keluar gerbang sekolah.
“Tapi jadi seorang anggota Genoforce keren yah. Mereka kayak superhero beneran, keren ngelawan supervillain dengan kostum yang keren banget!” timpal kawannya.
“Menjadi seorang anggota pasukan begitu pasti gajinya gede deh. Kapan ya gue, bisa jadi kayak mereka?” timpal yang satunya lagi.
Alvin mendengus, bocah-bocah itu tidak akan bertahan lama di Genoforce dengan pikiran dan sikap seperti itu. Dia lalu membuka helm miliknya. Para murid wanita mencuri pandangan ke arah wajahnya, sesuatu yang membuatnya sedikit risih.
“Uhmmm… Maaf, apakah kakak dari Herzen Cafe?” tanya seorang murid laki-laki.
Alvin menoleh ke arah murid tersebut. Murid itu mungkin sekitar tiga tahun lebih muda darinya, dengan perawakan biasa saja. Hal yang membuatnya unik adalah warna rambut dan matanya yang berwarna merah muda. Di balik jaket merah berlengan putih yang dia kenakan, seragam SMA Natales yang berwarna putih terlihat agak lecek.
“Eric Hendrickson?” tanya Alvin.
“Betul, kak,” jawab Erik, murid tersebut.
“20 paket Cheese Hamburg Deluxe,” kata Alvin, “Selamat menikmati.”
Murid itu mengambil empat kantung tersebut, sebelum tiba-tiba memberikan sepuluh dollar Amerika kepada Alvin.
“Hah?” ceplos Alvin yang sedikit kaget.
“Untuk tip kakak,” kata Eric dengan senyum canggung.
“Maaf, gw ga ngambil tip,” balas Alvin.
“Tidak apa-apa, kak, ambil saja,” Eric berkata sambil agak memaksa.
“Ya udah, makasih ya dek,” balas Alvin.
Alvin menyempatkan dirinya melihat Eric, yang kesulitan membawa empat kantung penuh makanan dan minuman sendirian. Dia lalu memakai helmnya dan membawa motornya melaju, untuk kembali ke Herzen Cafe, sedikit termenung karena nyatanya, masih ada orang baik di dunia ini.
******
“Apa? GenTech mau jadi sponsor acara pentas ulang tahun sekolah kita?” tanya salah satu dari dua puluh anggota OSIS yang duduk mengitari meja persegi panjang besar di ruangan itu.
Hampir mereka semua tertambat oleh tangan yang telapaknya menapak di meja kayu itu, di depan mereka masing-masing terletak sebuah sandwich dan kopi susu dingin, dengan logo Herzen Cafe di gelas plastik tersebut. Kedua kursi yang tidak diduduki adalah milik Mike, sang ketua OSIS yang berambut pirang dan bermata biru, yang sedang menulis “GenTech” di sebuah papan tulis kapur, dan Khawla, wakil ketua OSIS yang sedang berdiri di samping Mike sambil menenteng sebuah dokumen.
Mike terdiam sejenak dengan tersenyum, tetapi dalam benaknya masih ada rasa ketidakpercayaan, apakah ini realita, ataukah hanya imajinasinya.
“Benar, perusahaan ini bersedia mendanai acara pentas seni kita,” kata Mike yang gagal menyembunyikan rasa senangnya, “Aku juga tidak menyangka GenTech ingin berkontribusi terhadap acara sekolah ini. Katanya, mereka akan mengadakan seminar untuk kampus yang baru saja mereka dirikan, GenTech Institute.”
“Gak cuma itu, kabarnya lulusan-lulusan dari kampus mereka ini akan banyak dipekerjakan di GenTech, dan sekarang mereka menarik anak-anak di Natales buat bergabung,” kata Khawla.
Semua anggota OSIS berpandangan satu sama lain mendengar kabar itu.
“Jadi kita bakal bisa ngerasain di megacorp multinasional nih?”
“Ah keren, aku bakal bisa mengikuti jejak ayahku nih.”
“Bagus deh, jadi gak perlu susah-susah cari pendidikan ke luar negeri.”
“Di kampus-kampus di kota ini gak ada jurusan yang aku mau sih, semoga aja di GenTech Institute ada jurusannya.”
“Kalau dipikir-pikir salah satu alasan kenapa orang-orang Natales bisa begitu beragam ya… karena GenTech juga gak sih?” tanya Abdul, sang kepala divisi olahraga bertubuh tinggi besar dan berkulit gelap.
“Kenapa kamu mikir begitu?” timpal Satoru, pemuda berkulit putih dan berkacamata yang menjadi kepala divisi kesenian.
“Abdul benar,” kata Tasha, sang kepala divisi Humas, sambil mengangkat mePhone di tangan kanannya dan menunjukkannya pada dua anggota OSIS yang tengah berdiskusi itu.
“Itu, mePhone terbaru?” tanya Satoru menunjuk pada mePhone milik Tasha.
“Barang mahal kah itu bukannya?” timpal Abdul.
Tasha menutup matanya dan tersenyum bangga. Wanita berambut pirang yang dikuncir ponytail itu lalu berkata kepada kedua anggota OSIS di seberangnya, “GenTech memberikan penghasilan dan kehidupan yang jauh lebih layak dibanding perusahaan-perusahaan lain di dunia ini. Semua orang di dunia pasti ingin mendapatkan kesempatan untuk bergabung dengan mereka.”
“Lu anaknya petinggi GenTech kan Tas?”, tanya Leo, pemuda bertampang berandal dengan baju dikeluarkan dan rambut pirang yang berantakan, yang menjadi wakil Abdul di divisi olahraga. Ia bertanya kepada perempuan cantik berambut pirang di seberangnya itu dengan tersenyum nyengir usil.
Tasha hanya tersenyum angkuh menjawab pertanyaan Leo sambil membuang mukanya, “Hahaha, kalau sudah punya hubungan dengan GenTech, hidup tinggal goyang kaki!”
“Sombong sekali!”
“Tukang pamer!”
Suasana ruangan OSIS seketika menjadi ribut, sampai-sampai Mike yang dari tadi memandangi mereka berkomentar soal GenTech University, mengernyitkan dahi dan menundukkan kepalanya. Keringat mulai menetes dari dahi Mike dan ia memejamkan matanya sambil menatap ke bawah. Dengan itu semua, bahu dan kedua tangannya bergetar hebat. Khawla, yang dari tadi berdiri di sebelahnya hanya menatap ke arah sang ketua OSIS dibalik kacamata berframe hitamnya.
“CUKUP! Bisakah kalian semua diam dulu sebentar?!”
Suara lantang dan gebrakan meja yang datang dari Mike mengejutkan seluruh anggota OSIS yang ada disana. Seluruh anggota OSIS langsung terdiam dan mengarahkan pandangannya ke arah Mike dan Khawla yang berdiri di hadapan mereka.
Mike mengangkat kepalanya, dan melalui lensa mata birunya ia menyaksikan delapan belas orang yang berdiri di hadapannya menatapnya dengan tatapan terkejut. Merasa tidak nyaman dipandangi dengan tatapan seperti itu, Mike segera menegakkan tubuhnya kembali dan berdeham untuk membalikkan situasi yang canggung itu.
“Terima kasih. Kita akan mulai rapatnya sekarang,” kata Mike, “Eric, kau bisa mulai mencatat.”
Eric, sang sekretaris, mengacungkan jempolnya ke arah Mike.
******
“Sekian untuk rapat hari ini,” kata Mike, “Eric, untuk MoM rapat ini, bisakah dikirimkan malam ini?”
“Tentu saja, Mike, akan kupastikan selesai sebelum malam ini,” jawab Eric.
“Terima kasih, Baiklah, rapat dibubarkan. Sampai jumpa di rapat selanjutnya.”
Semua pengurus OSIS sudah terlebih dahulu meninggalkan ruangan OSIS kecuali untuk sang sekretaris, Eric. Remaja itu rela berada sendirian di ruangan itu untuk waktu yang cukup lama demi menyelesaikan MoM hari itu. Wajahnya terlihat sangat serius berhadapan dengan layar laptop sementara jari jemarinya mengetikkan kata demi kata, sebelum beralih ke layar layanan email untuk mengirimkan MoM tersebut ke para pengurus OSIS lainnya.
"Akhirnya selesai juga," kata Eric lega.
Dia mengecek smartphone miliknya, empat puluh menit lamanya ia berada di ruangan itu sendirian. Tepat saat itu layar smartphone itu berdering, menampakkan nomor ibunya yang memanggilnya. Eric mengusap jarinya ke atas layar perangkat itu dan menerima panggilan dari ibunya.
“Halo, mama. Iya, rapat baru saja selesai. Baik, aku akan segera ke sana.”
Begitu panggilan itu berakhir, Eric dengan tergesa-gesa membereskan mejanya dan berjalan menuju ke pintu ruangan OSIS. Dia harus pergi dengan segera.
"Kak Eric!" suara yang ia kenal tiba-tiba memanggilnya, ketika persis ia baru beberapa langkah keluar dari pintu ruang OSIS.
Eric sontak terkejut dan mendapati seorang murid perempuan berambut keriting sebahu yang juga sesama pengurus OSIS sebagai ketua divisi kedisiplinan, Monica, berdiri menghadangnya.
"Kak Eric gimana sih?! Bukannya kemaren kita udah janjian buat pulang bareng?" Monica merengek untuk mendapatkan perhatian kakak kelasnya itu.
“Maaf ya Mon, tapi aku harus pergi,” kata Eric tersenyum.
“Eh, pergi ke mana?”
“Ke RS Natales City.”
Monica pun mengerti, Eric pasti ingin menjenguk ibunya yang sudah menjalani opname selama beberapa bulan lalu di rumah sakit tersebut. Penyakitnya tidak diketahui, bahkan oleh tenaga medis dari GenTech yang memiliki teknologi paling modern dalam mengobati berbagai penyakit. Ibu Eric adalah keluarganya satu-satunya, karena ayahnya sudah meninggal ketika dia masih kecil, dan dia tidak memiliki paman ataupun bibi.
“Kalau begitu, aku duluan ya kak Eric,” kata Monica sambil berbalik.
“Kalau kamu mau ikut, silakan,” kata Eric sebelum dia tahu apa yang dia katakan.
Monica menengok ke arah Eric, “Yakin, kak Eric? Aku takut mengganggu waktu kalian…”
Eric merenung. Monica sudah kenal lama dengannya, dan Monica pun sudah tahu kondisi ibu Eric sekarang. Dari kata-katanya yang dia ucapkan secara tidak sadar, apakah dirinya menginginkan seseorang untuk menemaninya melewati masa sulit ini? Selama ini, dia memilih untuk tidak melibatkan orang lain dengan hal-hal yang menyangkut ibunya, karena dia tidak ingin merepotkan mereka.
Eric merasakan sesuatu menusuk dadanya, “Tidak apa-apa, kamu ikut saja.”
Mereka menaiki kereta menuju ke rumah sakit, dan sepanjang perjalanan, tidak seperti yang diharapkan, Monica hanya bisa terdiam mendengarkan cerita Eric mengenai keadaan ibunya. Perjalanan kali ini jauh dari kesan bahagia, yang ada hanya keheningan dan rasa sakit.
Mereka tiba di rumah sakit yang sepi pada sore itu, tidak ada yang berada di lobi selain mereka dan para petugas yang bekerja.
“Kak Eric, aku menunggu di sini saja ya,” kata Monica.
“Eh? Kamu tidak mau masuk?” balas Eric.
Monica menatap Eric. Eric mengerti bila Monica memberikan waktu untuknya berdua dengan ibunya, dan dia bergegas menuju ke ruang rawat inap tempat ibunya berada. Sore itu menjadi sore yang sangat panjang bagi Monica, karena dia hanya bisa terduduk diam di bangku ruang tunggu yang sepi, menunggu Eric.
******
Ruangan rawat inap ibu Eric terlihat bersih dan rapi, semerbak harum bunga mawar mewarnai ruangan tersebut dengan aromanya yang indah. Ibu Eric sedang terbaring di kasur putih bersih, selang-selang infus terpasang ke tubuhnya yang hanya tersisa kulit dan tulang. Eric duduk di sebelah kasur ibunya, tangannya menyentuh tangan ibunya, yang dulu telah membesarkan dirinya, tangan yang dulunya anggun itu sekarang kurus kering dan lemas.
“Mama,” panggil Eric.
“Eric,” panggil ibunya.
“Ma, maafkan anakmu yang tidak berguna ini…”
Eric menggenggam lembut tangan ibunya, air matanya tumpah. Apa yang bisa dia lakukan untuk ibunya, ketika bahkan dokter paling hebat di Natales sekalipun tidak bisa melakukan apapun? Dia mengutuk dirinya sendiri, kepalanya terus bertanya mengapa dia tidak bisa membantu ibunya sembuh dari penyakit misterius ini?
“Tidak apa-apa, Eric,” kata ibunya, yang tidak lebih dari sebuah bisikan, “Ini adalah takdir ibu dari Tuhan.”
“Mengapa… mengapa Tuhan membuat ibu menderita seperti ini?” tanya Eric dalam isaknya.
“Ibu pun tidak tahu… Ibu semalam bermimpi, ibu bertemu ayahmu, kakekmu, dan ibu bertemu seseorang yang ibu tidak kenal mengajak ibu ke sebuah taman yang indah,” tangis pun menetes dari mata ibu Eric, “Ibu harus pergi sekarang.”
“Tidak, tidak! Mama belum boleh pergi!” jerit Eric.
“Ibu tidak ada penyesalan lagi, selain tidak bisa melihatmu menikah,” wanita itu seakan-akan tidak menghiraukan Eric, “Eric, ingatlah baik-baik. Jadilah seseorang yang bisa berguna untuk banyak orang, itulah kunci kebahagiaan.”
“Mama… baik, mama. Eric janji… akan menjadi orang yang berguna,” kata Eric sambil mengusap air matanya.
Ibu Eric tersenyum sambil menutup matanya, “Ibu bersyukur… memiliki anak seperti kamu.”
“Tapi mama, bagaimana aku… bisa menjadi orang yang… berguna?”
Tidak ada jawaban dari ibunya.
“Mama?” tanya Eric.
Jantungnya serasa terjatuh bebas dari tempat tinggi menuju jurang yang gelap dan dalam, dalam. Segala detail kecil di ruangan rawat inap itu, mulai dari wajah ibunya, vas bunga di sampingnya, bahkan kancing bajunya, segalanya mengabur dalam satu warna putih.
******
Tiga hari sudah berlalu semenjak ibu Eric meninggal. Sampai sekarang pun ucapan belasungkawa berdatangan dari teman-temannya, para guru, tetangga sekitar, dan juga teman-teman ibunya. Dokumen-dokumen rumah sakit dan pemakaman masih berserakan di atas meja, berikut dengan amplop-amplop berisi uang duka. Eric belum membukanya; seseorang telah membayarkan pemakaman ibunya tanpa meninggalkan nama. Tetapi, pihak petugas pemakaman memberitahu Eric bahwa orang itu adalah bagian dari GenTech, walaupun mereka sendiri juga tidak yakin apakah itu benar.
Eric pun kembali ke sekolah pada hari Jumat. Teman-temannya yang tidak sempat hadir di pemakaman menyampaikan ucapan duka cita mereka secara langsung, mereka baru pergi dari Eric Ketika bel pelajaran pertama berbunyi.
Seorang guru masuk ke dalam kelas sambil membawa seorang anak laki-laki yang berjalan dengan canggung di belakangnya. Rambut merah gondrongnya sama kusutnya dengan baju seragamnya yang basah oleh keringat, ditambah dengan celana dan sepatu yang berlepotan dengan lumpur yang sudah kering. Entah apa yang terjadi dengannya, Eric berpikir mungkin anak ini baru saja lari dikejar oleh sesuatu.
“Anak-anak, kali ini kita kedatangan murid baru,” kata pak guru, sebelum dia duduk dan berpaling kepada anak itu, "Oke, perkenalkan dirimu sekarang.”
Seluruh mata di kelas itu tertuju pada anak tersebut, yang mukanya sekarang sama merahnya dengan rambut gondrongnya. Sesekali dia membuka mulutnya tanpa mengeluarkan sebuah suara, sebelum akhirnya dia sanggup untuk berkata.
“Na… Namaku… Uhmmmmm, namaku Anka,” kata anak itu.
“Anka baru saja pindah dari Amerika, mohon bantuannya ya,” sambung pak guru, “Sudah, duduklah sekarang.”
Anka hanya bisa berjalan lunglai tertunduk lemas ke meja kosong yang ada di sebelah Eric. Jelas saja, sekelompok anak-anak di deretan bangku belakang kelas itu tersenyum usil, dua orang mulai berbisik-bisik sambil sesekali tertawa kecil. Eric yang menyaksikan Anka menarik bangkunya dan duduk di sana menjulurkan tangannya sambil memberikan senyuman hangat.
“Hai Anka, salam kenal. Aku Eric Hendrickson,” katanya.
Anka hanya terdiam dengan ekspresi yang sulit ditebak. Setelah beberapa lama melihat Eric yang menjulurkan tangannya, anak itu membalas jabat tangan perkenalan dari Eric tanpa suara. Jabat tangan itu berasa canggung, seakan-akan Anka enggan untuk berkenalan dengannya. Mungkin dia belum terbiasa dengan suasana baru, pikir Eric yang tidak ingin berprasangka buruk.
Pelajaran berlangsung seperti biasa hari itu, sampai jam istirahat tiba. Beberapa anak mengelilingi meja Anka, menanyai asal-usulnya, hobinya, dan beberapa hal tentang dirinya sebelum masuk ke SMA Natales I. Anka sepertinya tidak dapat menjawab pertanyaan yang ditujukan padanya dengan lancar, dan memutuskan untuk pergi ke kantin sebelum dia menjawab semua pertanyaannya dengan jelas.
“Alesan buat kabur ya dia?” tanya seorang siswi berambut pirang ketika Anka sudah keluar dari ruang kelas.
“Yah, tidak apa-apa. Dia akan terbiasa lama-lama,” jawab Jimmy, seorang siswa yang berperawakan tinggi.
“Tapi aku rasa kita agak terlalu pushy dengan pertanyaan tadi,” sambung seorang siswi lainnya yang berambut hitam panjang bernama Rachel, “Bagaimana kalau kita makan dulu? Rik, mau ikut tidak?”
“Eh.”
Eric hampir saja menolak ajakan tersebut, tapi dia baru ingat ibunya yang sudah meninggal tidak membuatkan bekal untuknya.
“Kamu gapapa Rik?” tanya siswi berambut pirang.
“Iya, tidak apa-apa kok, Sonoko,” balas Eric dengan agak lesu, “Semoga nasi gorengnya belum habis terjual.”
“Nasi, pagi-pagi begini?” celetuk Jimmy.
Mereka pun berbincang-bincang soal bahaya nasi putih untuk sarapan, ketika Eric melihat sekelebat rambut merah berantakan menghilang ke balik gedung belakang sekolah. Anka terlihat seperti diseret oleh seseorang ke sana.
“Kalian pergi dahulu ya, aku ingin ke toilet sebentar,” kata Eric sambil berlari menjauh dari ketiga teman kelasnya.
Eric pun mengintip dari balik sudut dinding. Beberapa anak mengerubungi Anka, yang sedang ditahan oleh Fernando, siswa paling nakal di SMA Natales I.
“Masih boong kalo lu gak punya duit?!” hardik Fernando yang menaikkan tinjunya yang dikepal.
Anka hanya bisa melihat dengan memelas tanpa bisa membalas. Mulutnya terbuka hanya mengeluarkan suara terbata-bata yang tidak jelas, sembari air mata mulai keluar dari matanya yang bengkak.
“Lu laki bukan?! Diginiin aja kok nangis?!”
“Banci lu!”
Fernando pun melepaskan tinjunya ke arah Anka. Pukulan itu mengenai tepat di pipi Eric, yang melompat di antara Anka dan Fernando. Pukulan itu membuatnya terlempar ke dinding sekolah.
“Eh buset!” seru seorang berandal.
Fernando hanya melihat Eric yang terkapar, tertegun dengan aksi Eric tadi. Sementara Eric, yang tidak terbiasa dipukul, tubuhnya gemetar karena hantaman tersebut, matanya berkunang-kunang.
“Lanjut Do, jangan takut ama OSIS doang!”
Fernando meludah dan membuang mukanya, “Udah ga asik, digangguin.”
Dia lalu pergi begitu saja meninggalkan rekan-rekannya.
“Eh, Do, tunggu!”
Eric, yang akhirnya bisa membangkitkan dirinya untuk duduk, melihat mereka pergi meninggalkan dia dan Anka. Dia mencoba untuk bangkit berdiri sambil menyeka darah dari hidungnya. Anka membantunya berdiri, wajahnya yang babak belur terlihat keheranan dengan Eric.
“Kamu waras?” tanya Anka.
Eric yang melihat muka Anka hanya bisa tersenyum dan tidak memedulikan pertanyaan Anka.
“Kamu tidak apa-apa? Ayo, ikut aku sekarang,” kata Eric.
Eric menuntun Anka ke ruang UKS di sebelah perpustakaan. Hanya ada seorang murid yang sedang tidur di ranjang UKS, tidak terlihat adanya guru maupun petugas UKS di situ. Eric pun meminta Anka untuk duduk sementara dia mengobati luka-luka Anka dengan obat kompres dan alkohol. Anka mengiris kesakitan ketika lukanya yang berdarah digosok Eric dengan alkohol. Sepuluh menit lebih Eric mengobati luka Anka, sebelum dia selesai dan beralih untuk mengobati dirinya sendiri.
“Kamu masih waras?” tanya Anka.
“Kamu seharusnya melawan balik ketika diperlakukan seperti itu. Fernando tidak akan mengganggu orang yang sudah melawan balik,” Eric balas bertanya sambil mengompres pipinya dengan obat, sekali lagi tidak memedulikan pertanyaan Anka yang aneh tersebut.
Anka terdiam, dia lalu bertanya sekali lagi, “Kamu masih waras kan?”
“Kenapa kamu bertanya seperti itu?”
“Orang waras mana yang mau menerima pukulan untuk melindungi orang yang baru saja dia kenal beberapa jam yang lalu?”
Eric mendengus, dia lalu menempelkan sebuah koyo di pipinya, “Kenapa tidak? Kita kan teman.”
Anka hanya bisa terdiam mendengar jawaban Eric. Dia merogoh sakunya, di tangannya terdapat dua buah benda. Salah satunya adalah sebuah benda seperti smartphone berwarna kuning emas, dan yang kedua adalah benda kecil seperti pisau lipat berwarna ungu.
“Teman ya?” tanya Anka sambil berdiri.
“Teman,” balas Eric.
“Kalau begitu, aku mau kamu memiliki ini,” kata Anka sambil menyerahkan kedua benda tersebut kepada Eric.
Eric melihat dua benda aneh itu dan bertanya dengan keheranan, “Benda-benda apa ini?”
Anka hanya menjawab, “Itu benda buatanku sendiri. Benda ini bisa melindungi kamu dari banyak hal.”
Anka lalu mengambil tangan Eric dan menaruh dua benda itu di tangannya dengan paksa dan pergi begitu saja. Eric terdiam dengan tatapan kosong dan mulut tercengang, pandangannya terpaku dengan dua benda di tangannya. Sebuah smartphone yang terlihat mahal, dan sebuah pisau lipat berwarna ungu? Apa maksud Anka dengan benda-benda yang ada di tanganya bisa melindunginya dari banyak hal? Pisau lipat, tentu saja sebuah senjata bela diri, tapi sebuah smartphone? Kenapa Anka tidak memakai ini ketika Fernando menghajarnya? Anka bilang ini buatannya sendiri, jadi tidak mungkin dia tidak tahu cara menggunakannya. Kenapa dia tidak menggunakannya sendiri?
Dia lalu memasukkan kedua benda itu ke dalam saku celananya, dan kembali ke ruang kelas.
“Ric, kamu dari mana?” tanya Sonoko, “Loh, pipimu kenapa?!”
“Bukan masalah besar. Kalian melihat Anka?” tanya Eric.
“Tidak, dia belum kembali ke dalam kelas. Ada apa?” Jimmy balik bertanya.
Eric tidak menjawab. Dia melihat ke meja Anka yang kosong, hanya ada tasnya di sana. Anka tidak muncul sampai jam sekolah usai. Dia lihat lagi kedua barang yang diberikan oleh Anka kepadanya, dan dia masukkan kedua benda itu ke dalam tasnya. Begitu bel pulang berbunyi, Eric yang baru keluar dari ruang kelas sudah disergap oleh Monica.
“Kak Eric!” begitu sahutnya yang mengejutkan Eric seketika.
Eric hanya tersenyum melihat kelakuan juniornya ini, “Pasti ingin pulang bersama lagi, iya kan?”
“Bingo!” jawab Monica senang.
“Baiklah, ayo,” balas Eric sambil tersenyum.
Mata Monica berbinar-binar, senyum mengembang di wajahnya yang bulat, langkah kaki wanita berambut hitam ikal itu bersahutan gembira mengikuti Eric dari samping. Tidak seperti beberapa hari yang lalu, kini suasananya jauh lebih cair, di mana Eric dan Monica mulai banyak berbincang satu sama lain lagi dengan latar langit sore yang mulai berubah menjadi jingga.
“Ngomong-ngomong, pipi kak Eric kenapa?” tanya Monica.
“Tadi ada anak baru di kelasku, tampaknya dia punya masalah bersosial. Aku sampai kasihan sama dia, ditambah tadi jam istirahat, dia dikeroyok sama gangnya Fernando,” kata Eric.
“Wah, terus gimana tuh kak Eric?” balas Monica.
“Aku melompat untuk pasang badan. Tapi setelah pukulannya kena pipiku, Fernando pergi begitu saja.”
“Huh, berandal itu memang gila, mentang-mentang dia anak orang kaya!”
“Sudah, jangan begitu,” hardik Eric, “Setelah itu aku bawa dia ke ruang UKS. Tapi setelah itu, dia tidak muncul ke pelajaran berikutnya sampai jam pulang.”
Monica hanya tertawa masam mendengar itu, “Kak Eric, bukannya besok ulangan matematika? Kak Eric mending urus itu dahulu sebelum mengurus orang lain!”
Eric hanya terkekeh mendengarnya, “Iya, iya, nanti aku belajar deh.”
******
Pertanyaan itu terpampang di layar laptop Eric, yang langsung menuju ke kamarnya setelah kembali ke rumahnya untuk mengerjakan PR.
“Sebentar, 9, 11, 10, 10… Sekarang tinggal inversinya…”
Tangan kanannya mencoret-coret hitungan di sebuah kertas bekas. Cuma butuh sekitar dua menit untuk menyelesaikan soal itu.
Nomor dua, mudah. Nomor tiga, tidak butuh waktu lama. Nomor empat, lima, enam…
Notifikasi Lein dari smartphone milik Eric berbunyi, memecahkan konsentrasinya.
Satu setengah jam pun berlalu, Eric telah mengerjakan PR itu sampai pada akhirnya dia sampai di pertanyaan nomor dua puluh.
“Loh, matriks kan tidak bisa dibagi?” celetuk Eric.
Eric baru saja berniat menjawab pertanyaan tersebut ketika perutnya berbunyi. Rasa lapar yang sudah dari tadi Eric tahan tidak bisa dibendung lagi. Dia akhirnya bangkit sambil menghela nafas untuk memasak dirinya sesuatu di dapur. Eric sudah terbiasa memasak sendiri sejak almarhum ibunya diopname. Dia membuka kulkasnya, tidak ada telur, daging, atau pun makanan beku. Jika buah-buahan yang ada di bawah kulkas tidak dianggap sebagai makanan, hanya ada sebonggol bawang putih dan peterseli, sayuran sisanya sudah layu dan berbau. Tetapi ketika dia mengambil botol minyak di atas lemari, isinya sudah habis. Terpaksa dia harus belanja sekarang.
Eric kembali ke kamarnya, laptopnya masih menyala dan PR matematikanya masih terpampang di layar terang itu. Eric mengambil hoodie merahnya, yang dia kenakan sebelum memasukkan dompet, smartphone, dan kunci rumahnya ke dalam kantong. Dia kosongkan isi tasnya untuk dia gunakan sebagai kantong belanja. Ketika dia mengeluarkan bukunya, dua benda di dalam tasnya menarik perhatiannya. Sebuah smartphone dan sebuah pisau lipat yang diberikan oleh Anka tadi pagi kepadanya. Sekarang rasa penasarannya kembali muncul, pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada dirinya sendiri di ruang UKS terngiang-ngiang kembali di dalam kepalanya. Pada akhirnya dia masukkan kembali kedua benda itu di dalam tas.
"Besok akan aku kembalikan benda ini kepadanya. Lebih baik aku simpan di tas daripada tertinggal besok," batin Eric.
Eric lalu pergi ke arah supermarket yang tidak begitu jauh dari rumahnya. Ketika dia berada di sebuah perempatan, dia melihat sebuah restoran yang familiar baginya. Dia memutuskan di situ juga bahwa pada saat ini, dia tidak dalam semangat untuk memasak sesuatu dan berjalan menuju restoran tersebut. Wangi bumbu kare restoran tersebut sudah tercium begitu Eric sudah dekat dengan restoran itu.
"Selamat datang!" sambut Monica, "Wah, kak Eric!"
"Halo Monika," balas Eric dengan senyum, "Bibi, seperti biasa ya, dua piring katsu curry rice!"
Ibu Monika yang berada di belakang kasir pun membalas, "Baiklah Eric, silakan ditunggu."
******
Baru saja Eric menghabiskan piring kedua pesanannya, televisi yang sedari tadi menayangkan sebuah acara kartun tiba-tiba berubah menayangkan sebuah berita kilat
“Selamat malam pemirsa. Pemirsa, seekor RMO dikabarkan telah muncul di persimpangan antara Jalan 211 dan Orchard Boulevard. Kepala Polisi Metropolitan Richard Andersen menghimbau kepada para warga untuk mengunci diri di dalam bangunan dan tidak melakukan kontak dengan RMO tersebut. Kepala Polisi Metropolitan juga meminta warga untuk menyerahkan sepenuhnya pembasmian RMO tersebut kepada anggota Genoforce. Sekali lagi, kami menghimbau…”
“Persimpangan Jalan 211 dan Orchard Boulevard... Itu cuma tiga blok dari sini!” kata seorang pelanggan wanita.
Restoran yang penuh orang itu seketika menjadi gaduh.
“Cepat, kita harus kabur!” sambung seorang pria.
“Tapi mereka bilang sebaiknya kita diam di dalam!” sambung seorang wanita paruh baya, yang tidak didengar oleh pelanggan pria tersebut.
“Hei, bayar dulu sebelum kabur!” hardik Monika.
“Ini masalah hidup dan mati, mba, kamu masih pikirin duit?!” balas pria tersebut.
“Ya kalau kamu mati waktu kabur, kamu mau mati masih bawa hutang?!”
Sebuah raungan terdengar, disusul oleh jeritan-jeritan yang tinggi. Pelanggan pria itu sekarang lari ke bawah meja untuk bersembunyi. Semua pelanggan, termasuk Eric, juga sekarang bersembunyi di bawah meja masing-masing. Monica dan keluarga bersembunyi di balik meja kasir, tidak berani menatap keluar. Eric memberanikan diri untuk mengintip keluar jendela.
Sesosok serangga besar berwarna putih sedang berjalan di trotoar. Binatang itu mengingatkan Eric kepada seekor kelabang, dengan tujuh pasang kaki dan tujuh pasang duri yang sejajar dengan kakinya. Satu-satunya petunjuk di mana wajah tanpa mata binatang tersebut adalah sepasang kakinya yang tidak menyentuh tanah, seakan-akan binatang itu menggunakan kaki depannya sebagai tangan. Binatang itu tiba-tiba menerjang, kaki-kakinya menusuk seekor kucing liar yang dia makan dengan lahap.
Eric bisa merasakan darah di wajahnya terkuras. Ini pertama kalinya dia menghadapi seekor RMO secara langsung. Binatang itu tidak bergerak setelah selesai memangsa kucing itu, RMO itu sekarang hanya duduk dan menengok kanan-kiri. Beberapa pikiran terbesit di benak Eric. Apakah dia sebaiknya diam saja dan menunggu RMO itu pergi? Tidak, bagaimana kalau RMO itu memutuskan untuk masuk dan memangsa orang-orang di dalam restoran tersebut? Dia melihat sekelilingnya, matanya bertemu dengan mata Monica. Di kala itu langsung terlintas kata-kata terakhir ibunya.
"Jadilah seseorang yang bisa berguna untuk banyak orang, itulah kunci kebahagiaan."
Dia tidak sempat menanyakan kepada ibunya bagaimana cara menjadi orang yang berguna, tapi yang dia yakin saat itu adalah, orang yang berguna tidak akan membiarkan orang-orang mati tanpa melakukan apapun. Tangannya gemetar, tapi dia memberanikan dirinya untuk berjalan menuju pintu.
"Kak Eric, jangan keluar!" kata Monica setengah berbisik.
"Monica, maaf ya," balas Eric, "Tapi aku tidak mau diam saja."
Eric melangkah keluar dari pintu restoran itu. RMO yang berada di depannya hanya menegadahkan kepalanya ke arah Eric, badannya tidak bergeming sama sekali. Apakah dia sudah kenyang dengan kucing itu? Eric dengan perlahan menggeser dirinya ke meja terdekat sambil tetap menatap monster itu dalam-dalam. Dengan secepat kilat dia mengambil sebuah asbak dan melemparnya ke kepala RMO tersebut.
Asbak itu dengan tepat mengenai kepala RMO itu.
Sesaat, tidak ada reaksi berarti dari RMO itu. Tetapi monster itu tiba-tiba meraung kencang dan bangkit.
Eric dengan cepat berlari menjauh sekuat tenaga, RMO itu tepat di belakangnya. Eric kabur menuju ke sebuah gang sempit dan gelap. RMO itu harus memaksakan dirinya melesak ke dalam gang tersebut. Eric menyempatkan dirinya untuk melempar berbagai objek yang bisa dia raih ke arah RMO tersebut, sekadar untuk memancing RMO itu untuk terus mengejarnya. Di dalam kepala Eric hanya ada satu tujuan; buat RMO itu menjauh dari keramaian.
Kaki Eric akhirnya menyerah ketika dia tiba di sebuah pabrik yang sudah terbengkalai. Dia yakin dia berada di selatan kota, sekitar dua ratus meter dari pesisir pantai. Dia baru saja mengambil nafas sejenak ketika RMO yang sedari tadi mengejarnya secara tiba-tiba melompat dan menyerangnya. Eric menghindar dari serangan tersebut, tetapi kaki depan RMO itu mengenai punggungnya. Eric merasakan punggungnya seakan-akan dicambuk, tas yang dibawa di punggungnya robek dan isinya tumpah ke lantai aspal yang kumuh.
RMO itu terbatuk-batuk, seakan-akan dia tertawa ketika serangannya mengenai Eric.
Eric melihat benda-benda miliknya yang berserakan di lantai, dan dia melihat kedua benda yang diberikan Anka kepadanya tadi pagi.
"Benda ini bisa melindungiku," kata Eric.
Eric bangkit seraya dia mengambil smartphone kuning emas dan pisau lipat ungu tersebut. Smartphone itu tiba-tiba menyala dan layarnya menampilkan sebuah animasi; menekan angka romawi di pisau lipat itu untuk mengeluarkan pisaunya. Eric memperagakan apa yang ditampilkan di smartphone tersebut dengan tangan kanannya.
"PARALILA!" pisau itu mengeluarkan suara ketika Eric menekan pisau tersebut.
Animasi baru muncul di layar smartphone tersebut, bersamaan dengan RMO yang dilawan Eric menerjang pemuda tersebut.
Eric melakukan persis animasi tersebut; menancapkan bilah pisau itu ke lubang besar di bagian bawah smartphone yang dia genggam.
Dan sesuatu terjadi. Gerakan RMO tersebut, suara angin yang mendesir, dan gerakan awan di langit, segalanya menjadi sangat lambat bagaikan video yang diperlambat ratusan kali lipat. Kilasan berbagai memori yang Eric tidak pernah lihat muncul di dalam kepalanya. Dia melihat sebuah kapak berwarna ungu, berbagai gerakan prajurit-prajurit Genoforce dengan berbagai warna kostum mereka, sesosok dinosaurus besar yang sedang melihat sebuah meteor jatuh dari langit...
Eric memperagakan gerakan seorang prajurit Genoforce yang dia lihat. Dia memasang kuda-kuda, membenarkan pusat gravitasi tubuhnya, sudut dari telapak kakinya, dan posisi dari tinjunya.
Serang.
RMO itu terpental dengan suara kencang seperti ledakan bom. Monster itu menabrak dinding pabrik yang seketika hancur karena benturan itu.
Eric terkejut dengan kekuatan yang dia keluarkan seraya dengan persepsinya yang kembali normal. Dia melihat tangannya yang sudah terbalut sarung tangan putih ketat. Dia meraba tubuhnya, yang sekarang mengenakan kostum Genoforce berwarna ungu. Dia meraba mukanya, yang tertutup oleh helm keras dengan sebuah jengger di atas kepalanya.
"Apa ini? Apakah aku... seorang Genoforce?!" tanya Eric.
Keterkejutan Eric terpecah ketika dia mendengar suara raungan RMO yang dia lawan. Satu dari duri yang dia miliki sudah patah dan mengeluarkan darah. Eric teringat dengan apa yang dia lihat sewaktu dia berubah. Dia mengambil smartphone kuning emas tersebut dan memencet tombol senjata di layar smartphone tersebut.
"PARASHAKTI!"
Sebuah kapak dengan gagang ungu muncul di tangan kanan Eric bersamaan dengan suara tersebut. Tak perlu menunggu waktu lama sampai RMO tersebut melesat menerjang Eric degan kaki-kakinya.
Kiri, kanan, kanan, kanan, kiri. Monster itu mencambukkan kaki-kaki panjangnya yang semuanya berhasil dihindari oleh Eric. RMO itu terus menyerang, semakin lama gerakannya semakin cepat.
Satu serangan hendak mengenai kaki kanan Eric. Dengan refleks Eric berguling ke arah kiri. Perasaan takut dan semangat bercampur di dalam raga Eric. Kapak di tangannya berayun balas menyerang. Bersamaan dengan pekikan kencang, salah satu kaki RMO itu terjatuh.
RMO itu kehilangan keseimbangan, tetapi tetap saja monster itu mencoba terus menyerang Eric dengan kedua kaki depannya.
Eric menunduk, dengan memaksa otot-ototnya untuk bekerja cepat dia menebas semua kaki kanan RMO tersebut. RMO itu terjerembab ke tanah, darah merah segar mengalir dengan deras dari kaki-kakinya yang terpotong.
"Maaf, tapi aku tak bisa membiarkanmu melukai siapa pun!" seru Eric.
Bilah tajam Parashakti di tangan Eric memisahkan kepala monster itu dari tubuhnya. Darah merah memancar dari pangkal leher sang monster itu, membasahi kapak ungu itu, bersamaan dengan kostum ungu milik Eric, melukiskan keduanya dengan warna merah.
Tubuh RMO itu berkedut-kedut, kemudian menjadi lemas bersamaan dengan berhentinya aliran darah dari luka-lukanya. Perasaan lega memenuhi tubuh Eric, dia mengayunkan kapaknya dengan gaya seperti seorang pahlawan dalam film laga aksi.
Tetapi setelah adrenalinnya berkurang, dia mulai merasakan rasa kebas di seluruh tubuhnya. Lututnya lemas, Eric tidak kuat lagi berdiri. Nafasnya mulai tersengal-sengal. Dia teringat pahlawan dalam film yang dia baru saja peragakan, yang bertarung tanpa henti dan bisa berjalan seperti biasa di akhir film walaupun dia terluka hebat.
“Tidak seperti di film-film, ya?” Eric bertanya kepada dirinya sendiri.
Dia baru saja berniat untuk berjalan menjauh ketika dia menyadari sesuatu.
Tubuh RMO itu mengeluarkan asap, semakin lama semakin pekat. Eric merasakan ada sesuatu yang tidak beres, dia merasakan bahwa dia harus pergi dari situ ketika tubuh RMO itu meledak!
Eric terpental. Asap menutupi pandangan Eric.
Ketika asap itu sudah membuyar, Eric tidak percaya dengan apa yang dia lihat.
Kaki-kaki duri yang menjuntal tinggi, lebih tinggi daripada bangunan usang pabrik di sebelahnya.
Eric melihat ke atas; RMO itu telah hidup kembali setelah dipenggal. RMO itu sekarang panjangnya bahkan melebihi kereta listrik dengan dua belas gerbong.
"Wah, sialan! Bajingan! Bedebah!" umpat Eric yang beranjak kabur dengan segera.
RMO itu melihat Eric, lalu berjalan menuju ke arahnya. Eric menjadi panik melihat keadaan yang semakin tak terkendali ini. Mulutnya hanya bisa mengucapkan kalimat-kalimat umpatan saking kesulitannya memproses apa yang disaksikan oleh matanya sekarang. Dia berlari menjauh dari RMO itu, tetapi dirinya tersandung oleh aspal yang tidak rata. Kaki RMO itu akan menginjak Eric, yang hanya menutup matanya dan pasrah akan keadaan.
Sekelebat bayangan kuning berlari menyeret Eric dari tempatnya, tepat sebelum kaki RMO itu berhasil melumat Eric. Eric membuka matanya, dua sosok Genoforce, berwarna kuning dan merah muda berdiri di hadapannya. Velocigleb berhasil datang tepat waktu untuk menyelamatkan Eric.
"Bangun," perintah Velocigleb.
Pasir pantai di kaki Eric membuatnya agak kesulitan, tetapi dia berhasil bangkit.
"Terima kasih sudah menyelamatkanku!" kata Eric, yang menunduk memberi hormat.
"Kamu Genoforce baru?" tanya Plesiorosa, sang Genoforce merah muda.
"Uhm.... bisa dibilang begitu kak," jawab Eric, yang lalu tersentak kaget karena raungan RMO raksasa yang hampir membunuhnya. "Bagaimana dengan RMO itu?! Bagaimana cara kita melawannya?!"
"Hallu-Beta? Kita serahkan kepada mereka saja," kata Velocigleb.
"Mereka? Siapa yang..."
Suara auman keras menjawab pertanyaan Eric. Dari kegelapan malam muncul sosok besar berwarna kemerahan dengan kepala besar dan ekor yang panjang. Tiga cakar di kedua kakinya mengguncang tanah dan memecah ombak di setiap langkahnya. Dua tangan kecil yang bercakar seakan-akan membuat gigi-giginya yang bertaring terlihat lebih berbahaya. Sosok merah itu adalah Stahlsaurer Tyrannosaurus Rex, robot dinosaurus raksasa milik Tyrannorot. Raungannya terdengar sangat kencang di telinga Eric.
Raungan kedua yang lebih rendah menyusul raungan tadi. Dari belakang robot merah itu muncul sebuah robot hitam berkaki empat. Ketiga tanduk anggun berwarna emas milik Stahlsaurer Triceratops itu sudah tidak sabar untuk menusuk ke tubuh RMO Hallu-Beta.
Eric terkesima. Robot hitam itu menyeruduk ke arah Hallu-Beta dengan tanduknya. Hallu-Beta menahan, Stahlsaurer Triceratops menekan.
Mereka saling mendorong satu sama lain, tetapi RMO itu terpukul mundur.
Stahlsaurer Triceratops dan Hallu-Beta terus saling mendorong sampai mereka tiba di pesisir pantai. Kedua tanduk emas panjang robot dinosaurus hitam itu pada akhirnya dengan mudah menancap di perut Hallu-Beta bagaikan dua paku baja yang dihantam ke dinding kayu. Darah merah segar mengalir ke pesisir pantai di bawah kaki Hallu-Beta, membuat air laut biru gelap dan pasir putih kekuningan bercampur dengan merah pekat.
Hallu-Beta meraung kesakitan. Kakinya menendang robot hitam itu menjauh. Triceraschwarz merasakan guncangan hebat dari dalam ruang kendalinya ketika dia terpukul mundur.
Darah yang menempel di kaki Stahlsaurer Triceratops membuat jejak-jejak darah seraya dia menahan dorongan dari serangan Hallu-Beta…
"Brengsek lu!" seru Tricerschwarz dari dalam ruang kendalinya.
Serangan ke arah Hallu-Beta tidak berhenti. Robot Triceratops itu terus menerjangnya. Hallu-Beta yang terlalu sibuk mencoba melindungi dirinya dari serangan itu tidak menyadari Stahlsaurer Tyrannosaurus Rex yang melaju ke arahnya dari samping dengan kecepatan tinggi.
"Matilah kau, monster!" seru Tyrannorot dari dalam ruang kendali robot dinosaurus merah itu.
Hallu-Beta menoleh ke arah Stahlsaurer Tyrannosaurus Rex. Dia hanya sempat melihat mulut dengan gigi-gigi taring yang tajam terngangga dan menggigit lehernya. Gigi-gigi itu mengoyak leher dan kepala Hallu-Beta yang tewas seketika.
"BAGUS!" teriak Eric yang melihat hal itu.
Lautan merah darah dan raungan Stahlsaurer Tyrannosaurus Rex menjadi tanda berakhirnya teror dari monster itu.
******
Suara sirine polisi dan baling-baling helikopter terdengar dengan sayup-sayup dari sebuah minimarket di ujung tenggara Natales Timur, jauh dari sisa-sisa pertempuran Genoforce melawan Hallu-Beta yang terkalahkan. Di luar minimarket tersebut, Eric, yang sudah diajarkan cara untuk membatalkan transformasinya oleh Grace (Velocigleb) dan Winnie (Plesiorosa), bersama Grace menunggu Winnie yang sedang membeli beberapa cemilan di sana. Eric sedang membalas pesan Monica, memintanya untuk tidak perlu khawatir dan kalau dia baik-baik saja. Waktu di smartphone miliknya menunjukkan pukul sepuluh lewat tiga menit.
"Terima kasih sudah menyelamatkanku tadi," kata Eric kepada Grace, "Namaku Eric, Eric Hendrickson."
"Grace," jawab wanita itu dengan nada datar, "Kamu anggota Genoforce baru? Resmi dari GenTech?"
"Uhmmm, mungkin?" jawab Eric ragu.
Dia tidak yakin dia bisa menyebut dirinya sebagai seorang Genoforce, tapi dia yakin kalau kekuatan yang dia dapatkan dari seorang anak SMA yang sifatnya canggung tidak akan dianggap sebagai cara resmi untuk mendapatkan kekuatan dari GenTech. Celaka, pikir Eric. Apa yang akan Genoforce lakukan kepadanya kalau dia salah menjawab? Apakah dia akan dipenjara, kalau hukum yang berlaku dalam Genoforce sama dengan anggota kepolisian, di mana mereka yang memalsukan diri mereka sebagai polisi akan ditahan?
"Kalau tidak resmi, bagaimana caranya kamu mendapatkan Saurierphone dan DNA Key?" tanya Grace lagi.
Eric tertegun, dan bukan hanya karena suara lembut wanita itu. Saurierphone dan DNA Key? Apakah yang Grace maksud adalah smartphone emas dan pisau lipat yang Anka berikan kepadanya? Apakah aman untuk menceritakan ini kepada Grace?
"Ceritakan saja, aku tidak akan berkomentar apa pun, setidaknya sampai pemimpin kami datang."
Eric yang awalnya ragu akhirnya menceritakan bagaimana caranya dia mendapatkan Saurierphone dan DNA Key dari Anka, kenapa dia bisa bertemu dengan RMO Hallu-Beta dan memutuskan untuk menggiring monster itu menjauh dari restoran Monica, dan apa yang terjadi selanjutnya ketika RMO itu berhasil menyerang dirinya dan tasnya robek dan kedua benda itu terlempar dari tasnya, dan menggunakannya untuk berubah menjadi seorang Genoforce…
“Lalu setelah aku berubah, aku bisa mengalahkan monster itu. Tetapi monster itu berubah menjadi raksasa dan kakak datang menyelamatkanku.”
Tidak ada sedikitpun reaksi dari wajah Grace, mulutnya juga tertutup rapat. Suasana menjadi sangat canggung dan kaku. Hanya terdengar suara baling-baling helikopter dari kejauhan.
"Terima kasih ya mba!" kata Winnie kepada kasir sembari keluar dari minimarket.
Eric yang menengok melihat Winnie membawa dua tas jinjing penuh dengan aneka ragam camilan, roti, kue, permen, dan minuman-minuman dingin. Winnie menaruh kedua tas itu di lantai dan mengambil sebungkus roti dan sekotak susu dingin.
"Kamu pasti lapar kan? Nih, ambil," kata Winnie sambil menawarkan dua benda itu.
Eric tiba-tiba menyadari perutnya merasa kosong. Dia lalu mengambil dua barang itu sambil mengucapkan "Terima kasih" dengan cepat dan langsung melahap roti tersebut.
“Wajar kamu lapar, kamu tidak terbiasa bertarung kan?” kata Winnie, “Kalau mau ambil rotinya lagi, ambil saja.”
Eric mengangguk, “Terima kasih, kak Winnie!”
"Grace, kamu mau sesuatu gak?" tanya Winnie, yang juga membuka sebuah roti dan melahapnya.
"Teh saja," jawab Grace.
Beberapa menit kemudian, setelah Eric melahap roti ketiganya, sebuah mobil jip hitam gelap berhenti di depan minimarket tersebut. Mobil itu membunyikan klaksonnya sebanyak dua kali.
"Tumpangan kita," kata Grace, "Eric, ayo ikut kami."
"Aku di depan!" kata Winnie yang langsung berlari ke pintu penumpang depan.
Eric melihat ke arah mobil hitam tersebut. Mobil itu tergolong mahal, dan biasanya hanya dimiliki oleh para penjabat Natales yang melakukan korupsi atau petinggi papan atas GenTech. Perasaan Eric menjadi tidak enak, apakah dia sedang diculik?
"Apakah aku harus ikut, kak Grace?" tanya Eric.
"Kalau kamu ingin tahu lebih lanjut soal Genoforce, kamu tidak punya pilihan lain," kata Grace ketika dia masuk ke belakang jip tersebut, “Dan tolong, jangan memanggilku kakak”
Eric yang penasaran akhirnya memutuskan untuk ikut masuk ke dalam mobil tersebut. Di dalam mobil jip hitam tersebut sudah terdapat dua orang; seorang pemuda tinggi berjaket merah yang duduk di kursi tengah, dan sang pengemudi berambut undercut yang terasa tidak asing...
"Loh, kakak bukannya kurir dari Herzen Cafe?"
Pengemudi itu berpaling ke belakang, "Loh, lu anak di SMA Natales 1, si... Ernest bukan, Eren bukan... Eric ya?"
"Iya, betul kak. Kok kakak..."
"Ntar aja dulu, jangan di mari," kata sang pengemudi, setengah berbisik. "Nama gw Alvin, be te we."
Eric terdiam, terlihat agak bingung.
“Cepetan naek,” kata Alvin dengan suara yang agak keras.
Eric pun naik, mobil jip itu langsung melaju menuju bagian pusat Natales Timur dengan lalu lintas yang terlihat sepi. Radio yang menyala mengumumkan bahwa jam malam telah diberlakukan setelah RMO Hallu-Beta dipastikan tewas, semua penduduk dilarang untuk keluar setelah jam 11 malam.
"Eric ya?" Tanya pemuda berjaket merah yang duduk di samping Eric, "Namaku Ignis, Tyrannorot dan pemimpin Genoforce."
"Aku Eric Hendrickson," balas Eric.
"Kalau kamu tidak keberatan, Eric, bisakah kamu ceritakan bagaimana kamu bisa mendapatkan Saurierphone dan DNA Key?" Ignis bertanya lagi.
"Gw saranin lu jangan boong sih Ric," sambar Alvin sambil mematikan radio mobil itu, "Gw yakin lu udah nyerocos ke Grace atau Winnie. Kalo boong, awas ya."
“Sudahlah Vin, fokus nyetir aja,” kata Winnie di sebelahnya, yang sedang memakan sebuah es loli.
"Gw udah berapa kali bilang jangan makan di mobil sih Win?” kata Alvin dengan ketegasan yang sekeras baja, “Itu kuping bukan cantolan doang kan, dipake lah goblog.”
"Hehe, maaf Vin, lagi pengen," balas Winnie.
“Serah lu lah. Udah ya, jangan makan lagi abis itu es kelar.”
"Jadi, bagaimana Eric?" tanya Ignis.
"Oh iya, kak Ignis,” kata Eric yang sedikit tertegun dengan kata-kata kasar yang keluar dari mulut Alvin, “Kejadiannya itu tadi pagi kak, ada seorang anak baru di kelas, namanya Anka. Dia yang memberikan Saurierphone dan DNA Key ini padaku."
"Anka? Kenapa dia memberikan benda itu kepadamu?" tanya Ignis.
"Tadi saat jam istirahat, dia diganggu oleh murid-murid nakal di sekolahku. Aku melompat di antara mereka, tapi malah kena pukul."
"Wah, gila sih otak lu Ric. Mau aja ngelindungin orang yang kenal lu aja belom," sahut Alvin, "Terus gimana?"
"Aku bawa dia ke ruang UKS, dia lalu memberikan benda ini begitu saja. Dia bilang, karena aku sudah melindungi dia sebagai teman, dia juga mau melakukan hal yang sama. Benda-benda ini bisa melindungiku, katanya"
"Terus, kok kamu bisa ketemu ama Hallu-Beta?" tanya Winnie
"Aku sedang makan di restoran temanku, GM Curry House, di dekat tempat RMO itu muncul. RMO itu tidak mau bergerak dari luar pintu, jadi aku putuskan untuk menggiring monster itu menjauh dari temanku. Dia mengejarku sampai di bekas pabrik kertas tadi."
Satu mobil itu terdiam, Eric pun melanjutkan, "Lalu RMO itu berhasil menyerangku, dan merobek tasku. Saurierphone dan DNA Key yang ada di tasku pun terlempar keluar. Aku teringat perkataan Anka, dan kuambil benda itu, toh tak ada salahnya mencoba benda ini kar-"
Perkataan Eric terpotong karena Alvin tiba-tiba menginjak rem mendadak. Sebuah mobil putih menerobos lampu merah dari arah kiri.
"Anjing! Bangsat! Monyet! Kelempiau!" teriak Alvin ke pengemudi tersebut sembari menginjak gas, "Otak dipake goblog! Jangan disimpen di gudang!"
"Vin, sabar, sabar," Winnie di sampingnya mencoba menenangkan Alvin.
"Susah sih kalo ngambil SIM di binatu emang!" kata Alvin sambil lanjut mengemudikan jeep tersebut.
"Iya, Vin, tarik nafas, pelan-pelan..."
"Gw udah ga marah Win, cuma kesel aja. Tuh orang ga mikir apa gimana coba, bisa mati orang..." Alvin menghembuskan nafas dengan kencang, "Lanjutannya gimana Ric?"
"Oh, iya," kata Eric, tersentak dari paniknya. "Jadi aku gunakan alat itu dan berubah menjadi Genoforce."
"Saat kamu berubah, kamu merasakan sesuatu tidak?" tanya Ignis.
"Iya, kak Ignis. Aku merasakan sensasi yang aneh sekali. Semua melambat, aku lalu melihat banyak Genoforce berbagai warna, dan entah kenapa aku merasa aku bisa melakukan gerakan-gerakan yang mereka lakukan."
"Perubahan pertama kalinya memang seperti itu. Itu... bagaimana ya bilangnya, seperti ibaratnya kamu dikasih ilmu instan."
"Kayak pake meth sih gw bilangnya, nge-fly gitu."
"Eh Vin, kok gitu ngomongnya?!"
"Canda ya Win, gw ga pernah pake gituan."
“Memang tidak, tapi rokok sebungkus habis sehari,” sambar Grace dari belakang.
“Bacot Grace,” kata Alvin dengan keras.
"Jadi, badan kamu sekarang itu ingat seakan-akan kamu sudah latihan intensif,” kata Ignis, seakan-akan percakapan di antara ketiga Genoforce tadi adalah hal yang biasa terjadi, “Tetapi, kekuatan kamu secara fisik tidak terpengaruh. Kamu beruntung yang kamu lawan itu masih Beta, kalau mereka itu level Alpha, perubahan pertama yang memastikan kamu menang sebanyak 70% saja belum tentu membuatmu menang."
"RMO ada tingkatannya?" tanya Eric heran.
"Tentu saja ada. Dan dari reaksimu, kamu tidak tahu RMO bisa menjadi raksasa."
"Aku tidak tahu soal itu, Kak Ignis, di berita tidak disebutkan hal itu. Mereka bilang, RMO ada yang memang berukuran raksasa, yang muncul dari bawah tanah.”
“Ada banyak hal yang memang tidak diberitakan agar tidak terjadi panik massal, begitulah kenyataannya.”
“Bagaimana caranya RMO bisa menjadi raksasa, kak Ignis?"
“Hmm, agak sulit dijelaskan, tapi singkatnya energi cadangan mereka akhirnya keluar dan itu membentuk kembali sel-sel mereka yang mati, dimulai dari jantung. Kalau mau penjelasan lebih lanjut, kita harus tanyakan kepada Petra.”
“Petra?” tanya Eric, “Siapa dia?”
“Dia itu-“
“Bentar nih Nis, lu yakin mau kasih info orang dalem ke dia?” tanya Alvin, “Kalo dia ternyata mata-mata gimana?”
Apa, mata-mata? Bagaimana mungkin ada orang yang ingin memata-matai Genoforce? Kalau musuh tidak mungkin, karena musuh Genoforce adalah monster-monster RMO. Bagaimana caranya monster memiliki kepintaran untuk mengirimkan mata-mata ke dalam Genoforce?
“Itu bisa kita putuskan nanti,” jawab Ignis, “Untuk sekarang, kita beritahukan saja yang dia perlu tahu. Petra adalah orang yang bertanggung jawab sebagai ahli strategi Genoforce.”
“Cih, jangan nyesel ya ntar kalo gw bener.”
"Ada yang mau memata-matai Genoforce? Kenapa?" tanya Eric.
Semua yang di mobil itu terdiam sebelum tertawa lepas.
"Aduhhhhh... Polos banget nih anak," keluh Alvin.
Ini bukanlah reaksi yang Eric duga, tetapi Eric tidak meneruskan pertanyaannya.
Setelah dua menit, Alvin akhirnya memberhentikan mobilnya. Mereka telah tiba di sebuah tempat yang familiar bagi Eric, Herzen Café, tempat di mana dia sering memesan makanan secara daring, dan tempat yang biasa dia lewati sepulang sekolah. Apakah betul tempat sekecil ini markas Genoforce?
“Ini…”
“Markas Genoforce, betul,” kata Ignis pelan.
Mereka masuk ke dalam kafe tersebut. Hal pertama yang Eric cium adalah aroma kayu pinus yang elegan dan samar. Nuansa hutan ugahari terasa kental di dalam toko tersebut; meja barista yang terbuat dari satu papan kayu pinus utuh, divernis dengan lilin lebah, dihiasi oleh lilin tak berasap dan ornamen-ornamen hewan purba yang terbuat dari berbagai macam bahan mulai dari kayu jati, kayu sonokeling, batu pualam, logam kuningan, dan logam berwarna hitam yang Eric tidak ketahui.
Eric tidak sempat melihat lebih jauh karena Alvin mendorongnya untuk masuk ke ruangan dapur. Dapur itu terlihat seperti dapur normal yang bersih, kecuali ada kehadiran sebuah lemari buku yang agak janggal. Grace mengambil sebuah buku di lemari itu; The Lost World karya Sir Arthur Conan Doyle. Dari halaman buku tersebut dia mengambil sebuah kartu dan menempelkannya ke kulkas.
“Akses diterima,” sebuah suara keluar dari kulkas itu, yang bergeser dan memperlihatkan sebuah lorong.
Setelah mereka berlima masuk ke lorong tersebut, tampaklah di depan mata Eric sebuah ruangan yang cukup luas. Ruangan itu berlantai kayu dan memiliki dinding putih bersih, dengan TV di tengah dan sebuah meja besar. Tampak juga di depannya beberapa pintu yang sepertinya menjadi kamar untuk setiap anggota Genoforce. Sederhana, tetapi sangat nyaman.
“Selamat datang di markas Genoforce,” kata seorang pemuda dengan nada nyanyian.
Seorang pemuda berambut pendek berwarna kuning berjalan menuruni tangga. Jaket birunya, ditambah dengan celana pendek dan sandalnya memberikan kesan kasual yang berlebihan. Dia mengapit sebuah laptop di tangannya, di lehernya bertengger sebuah earphone nirkabel. Pemuda itu berhenti di depan Eric, sebelum mendekatkan wajahnya ke wajah Eric.
“Wah, masih muda sekali ya. Siapa namamu?”
“Eric Hendrickson,” jawab Eric.
“Hmmm, nama yang agak pasaran ya,” balas pemuda itu, “Ada seratus dua belas orang dengan nama depan Eric di Natales, tapi aku yakin kamu pelajar di SMA Natales 1, kelas 2-A, nomor absen tiga belas?”
“Iya, betul.”
“Tidak ada riwayat penyakit, dengan fisik manusia normal pada umumnya… Yah, setidaknya kamu bakal tumbuh jadi dewasa dengan baik, tidak seperti aku.”
Pemuda itu melepaskan tawa nyaring. Eric merasa tidak nyaman berdekatan dengan pemuda itu, dan kata-katanya yang terakhir memastikan kesan pertama Eric terhadap orang itu, pemuda ini orang aneh.
“Petra, bisa kita mulai sekarang?” tanya Ignis.
Petra? Inikah orang yang Ignis maksud sebagai?
“Sebelum itu,” Petra lalu berputar ke arah Winnie, “Win, titipan aku mana?”
“Nih,” balas Winnie sambil memberikan satu tas jinjing kepada Petra.
“Wah, wah, makasih ya Win,” kata Petra yang langsung mengambil satu bungkus permen, “Nah, kalian semua silakan duduk. Eric, coba lakukan transformasimu untuk menjadi Genoforce.”
Petra merogoh kantongnya dan mengeluarkan sebuah benda seperti kamera. Dia nyalakan benda itu, dan sekarang benda itu melayang di atas kepalanya. Laptopnya dia letakan di tangan kirinya, dia lalu menekan serangkaian angka yang terlihat acak. Ignis, Alvin, Grace, dan Winnie, menuruti perintahnya, mereka duduk di sofa-sofa yang menghadap ke arah Eric. Eric mengeluarkan Saurierphone dan DNA Key miliknya.
“Uhmmmm,” Eric menggumam.
“Kenapa Ric?” tanya Petra, yang kemudian menangkap ke mana mata Eric mengarah, “Oh, kamu malu ya diliatin?”
“Ya… agak malu sih, kak Petra.”
“Hadeuh, bodo lah,” kata Alvin.
“Anggap aja mereka ga ada Ric,” lanjut Petra yang mengutak-atik laptop miliknya, “Nanti kalau kamu harus bekerja sebagai tim, masa malu-malu di depan mereka?”
“Baiklah, kak Petra,” Eric membalas, lalu menekan tombol di DNA Key tersebut.
“PARALILA!” sebuah pisau melipat keluar dari DNA Key ungu yang ditekan Eric.
Dia lalu menusuk DNA Key tersebut ke sebuah lubang di bawah smartphone tersebut.
Tidak ada sensasi yang dia rasakan seperti ketika dia pertama kali berubah. Yang dia rasakan kali ini adalah kaget; dalam satu kedipan, tubuhnya sudah terbalut kostum, dan wajahnya sudah tertutup oleh sebuah helm.
“Ok, tidak ada anomali dalam transformasi,” gumam Petra, “Energi eksesif diserap kembali ke dalam Saurierphone… Semua indikasi merujuk ke arah normal. Baiklah Eric, batalkan transformasimu.”
Eric kemudian membatalkan transformasinya seperti yang sudah diajarkan oleh Grace dan Winnie kepadanya, dengan menekan tombol merah di kanan bawah layer Saurierphonenya.
“Tidak ada yang aneh… Silakan duduk, Eric,” kata Petra.
Eric menurut. Dia duduk di sebuah sofa yang berada di sebelah kanan Ignis. Petra duduk di sofa di depan keempat anggota Genoforce, dia letakkan laptopnya di atas meja.
“Aku tidak mendapatkan perkataan apapun dari sponsor kita soal anggota Genoforce baru, tetapi dari pola gelombang energi elektromagnetik dan cahaya yang muncul dari transformasi Eric, aku bisa pastikan bahwa Saurierphone dan DNA Key milik Eric merupakan kreasi milik GenTech,” dia lalu menengok ke arah Eric, “Tapi, bagaimana caramu mendapatkan DNA Key dan Saurierphone itu?”
Eric lalu sekali lagi menceritakan bagaimana caranya dia mendapatkan kedua benda itu dari Anka. Keempat anggota Genoforce lainnya tidak berkomentar apa pun, tetapi mereka mendengarkan Eric dan Petra dengan seksama. Winnie mengambil sebungkus keripik kentang dan mulai memakannya sendirian di tengah cerita Eric.
“Hmmm,” gumam Petra sambil mengetik sesuatu di laptopnya begitu cerita Eric selesai, “Aku mencari nama Anka di database kependudukan dan tidak menemukan apa pun, tapi aku menemukan Anka di daftar yayasan SMA Natales. Aneh, tapi mungkin Departemen Imigrasi tidak bekerja cepat hari ini.“
“Sekarang kita ga usah pikirin deh si Anka ato siapa lah nama itu bocah aneh, yang perlu kita pikirin nih si Eric gimana kelanjutannya?” tanya Alvin, “Gw pribadi sih yakin dia orang baek, tapi gw masih curiga dia dapet DNA Key ama Saurierphone dengan gampangnya, ditambah dia juga ga punya basis bertarung apa-apa, kalo pun dia ngotot buat gabung ke kita, entar nambah beban, dan maaf ya Ric, gw bilang sih mending ga nambah daripada dapet beban doang.”
Mulut Eric menekuk ketika dia mendengar kata-kata Alvin.
“Ada yang lo pengen omongin Ric?” tanya Alvin yang kesal dengan raut wajah Eric.
“Tidak apa-apa, kak Alvin, bukan sesuatu yang penting,” kata Eric dengan agak takut melihat ekspresi Alvin.
Alvin mendengus, dia merosot di tempat duduknya.
“Kita juga tidak bisa melepaskan Eric begitu saja,” kata Grace, “Saurierphone mengikat dirinya dengan DNA penggunanya. Walau kita mengusir Eric, Saurierphonenya tidak bisa dipakai orang lain.”
“Dan DNA Key milik dia adalah Level 2, tidak bisa kalian gunakan sebagai senjata. Dan aku tidak melihat skenario di mana kalian harus turun level untuk mengalahkan RMO,” sambung Petra.
“Kalau dia tidak mau bergabung, kita bisa serahkan Saurierphone itu kepada GenTech untuk menghapus registrasi DNA Eric, seperti mereka yang sudah pensiun,” kata Ignis.
“Jadi, antara Eric gabung ama kita tapi harus kita latih, atau kita lepas dia, tapi kekuatan DNA Key yang dia punya tak bisa kita gunakan?” tanya Winnie.
Semua anggota Genoforce setuju dengan maksud pertanyaan Winnie. Pintu markas terbuka dan semua orang yang disana tersentak kaget. Seorang pria tua berjalan masuk ke dalam ruangan itu. Pria itu berkumis tebal, berkacamata, dan memakai jaket wol tanpa lengan berwarna coklat yang menutupi kemeja putih bersih di bawahnya. Celana bahan hitam miliknya terlihat bersih, kontras dengan sepatu hitam kulit usang yang dia kenakan.
“Maafkan keterlambatanku, muridku sedang kesulitan mengerjakan tugasnya,” kata pria tersebut.
“Sir Owen,” panggil Petra, “Ini adalah orang yang aku sebutkan di pesanku tadi.”
Pria itu duduk di depan Eric dan menatap wajahnya. Eric merasa mata pria tua itu seakan-akan menatap bukan hanya wajah, namun juga pikiran dan jiwanya, ketika mata mereka bertemu. Perasaan tidak nyaman muncul dari dalam hati Eric. Cepat-cepat dia menggerakkan matanya, tidak mau menemui mata pria tua itu, yang dipanggil Sir Owen oleh Petra.
“Ya, aku tahu beberapa dari mereka merasa tidak nyaman dengan kehadiran anak baru yang tidak punya pengalaman bertarung sama sekali,” kata Sir Owen sambil melirik ke arah Alvin, “Tapi, keputusan untuk kamu bergabung ke dalam Genoforce itu adalah keputusanmu sendiri. Kalau kamu memutuskan untuk tidak mau bergabung, kamu cukup menyerahkan DNA Key dan Saurierphone milikmu kepadaku, dan akan kuserahkan kepada GenTech agar mereka menghapuskan registrasi DNA milikmu di Saurierphone tersebut. Sekarang, kau bisa tentukan.”
Eric terdiam. Menjadi Genoforce tentu bukan hal yang bisa dikerjakan olehnya dengan mudah. Bagaimana jika RMO muncul ketika dia tengah menjalankan aktivitasnya sebagai pelajar? Tentu saja dia tidak bisa berhenti sekolah begitu saja. Apakah relasi dirinya dengan temannya bisa bertahan kalau dia sibuk dengan pekerjaannya sebagai Genoforce? Tetapi dia teringat pesan terakhir ibunya. Ini bisa menjadi kesempatan dirinya untuk mewujudkan harapan ibunya! Tapi, apakah ibunya akan membiarkan dirinya terjun ke medan perang melawan monster? Mungkin maksud ibunya menjadi seseorang yang berguna adalah menjadi seorang dokter yang menyembuhkan banyak penyakit, atau seorang pemadam kebakaran yang berani menerjang api demi menyelamatkan seseorang dari lalapan api?
“Aku akan bergabung,” kata Eric, “Aku mungkin tidak punya kemampuan bertarung, aku bahkan tidak tahu banyak soal Genoforce dan RMO. Tetapi aku telah mendapatkan kekuatan ini, dan aku yakin aku mendapatkan kemampuan ini karena sebuah alasan… Aku ingin menjadi seorang yang berguna bagi orang lain, dan aku tidak ingin RMO menghancurkan kedamaian Natales, terlebih teman-temanku,” Eric lalu berdiri dan membungkuk. “Karena itu, tolong bantuannya!”
“Itu adalah semangat yang bagus!” kata Sir Owen, “Kalau begitu, selamat bergabung!”
“Terima kasih, Sir Owen!”
“Cih,” bisik Alvin, “Nis, lu musti latih anak ingusin loh, lu yakin bisa?”
“Aku yakin aku bisa Vin,” kata Ignis sambil tersenyum menatap Eric.
“Teringat sesuatu, Ignis?” tanya Grace.
“Mungkin,” Ignis lalu berdiri, “Sudah terlalu malam. Eric, menginaplah disini malam ini, besok akan aku antarkan kamu pulang.”
“Baiklah, kak Ignis.”
*******
OMAKE:
Eric: Tunggu dulu… aku karakter utamanya yah? Tumben nih, karena biasanya yang jadi main character itu yang merahnya…..
Ignis: Kalau begitu mau tukeran peran? Gapapa aku yang ungunya, kamu yang merahnya deh biar lebih legit gitu hahahaha. Tapi sebenernya buatku pribadi jadi jagoan warna merah itu udah berasa mimpi masa kecil yang jadi kenyataan sih…
Alvin: Halah. Jangan kesenengan dulu jadi jagoan warna merah padahal bukan karakter utamanya. Jangan-jangan penulisnya punya niat lain nulis peran lu kayak begitu. Oh ya, btw ini si penulis bilang gue suka ngerokok… Gimana kalo kedepannya gue beneran disuruh ngerokok oi? Gue gatahan asap rokok soalnya…
Grace: Susah juga yah punya peran yang ngomong datar terus-terusan. Padahal asli ngeliat tingkahnya kak Petra sama Kak Winnie di cerita bikin aku pengen ketawa melulu. Apalagi inget dibalik layar mereka kayak apa….
Petra: Waduh…. Parah nih penulisnya. Udah gak jadi jagoan biru kayak yang dijanjikan di kontrak, aku dibikin sakit-sakitan lagi. Ini penulisnya serius gasih? Yah, gapapa lah yang penting aku dibayar, dan bisa “cuci mata” ehehehehe.
Eh, ngomong-ngomong, parah kamu Win, makan mulu padahal mah di tempat syuting gaboleh makan…. Siap-siap potong gaji karena melanggar aturan yah hehehe….
Winnie: Waduh begitu yah? Aduh… gimana nih? Padahal kan di scriptnya ditulis adegan aku lagi makan?! Jangan bikin takut ah Pet!
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
