Xoxo, I Hate You. Part 5 : “Hilang sudah anak perawan saya.”

105
20
Deskripsi

"Anak perawan jangan bangun siang-siang. HAYO BANGUUUUUUNNN~" 
 

Bik Mirjah masuk ke kamar tidur dan menarik selimut yang membungkus tubuh Cecilia. Lalu menggeleng-geleng tak habis pikir melihat sang putri majikan masih saja betah tidur mengenakan baju kurang bahan yang bisa membuatnya masuk angin. Atau lebih parahnya lagi, mengundang setan.
 

"Bangun dong, Cil! Udah jam delapan lewat ini!" Kalau Cecilia anaknya, sudah tak jewer kupingnya sampai copot.
 

Cecilia menggumam panjang dengan mata terpejam.  "Teeeehhhhh~"

 

Sudah sangat hafal dengan kebiasaan aneh sang Tuan Putri, Bik Mirjah mengambil juga mug putih cantik di nakas sebelah tempat tidur. Ada alasannya, mengapa kemarin malam Cecilia meletakkan mug kosong itu ke nakas.

 

Begitu mug itu sampai ke tangannya, Cecilia meringsut bangun saat itu juga. Ia mengenakan kimono tipis untuk menutupi tubuhnya—yang menurut Bik Mirjah merupakan sebuah perbuatan sia-sia, lalu menyibak rambut bergelombangnya yang sedikit acak-acakan ke belakang. 
 

Ponsel pun beraksi. Cecilia duduk menyandar pada kepala ranjang dengan pose menyeruput sesuatu—yang sesungguhnya tak ada—dari gelas cantiknya. Matanya menatap sayu-sayu ala baru bangun tidur ke ponsel.
 

Bik Mirjah menggeleng jengah. "Kok bisa sih ...."
 

Cecilia tersenyum memeriksa hasil foto di ponselnya. Perfect. Tidak perlu sentuhan filter apa pun, karena Tuhan sudah menciptakan Cecilia terlalu sempurna apa adanya.
 

Foto itu pun diunggah ke Instagram dengan caption Happiness is a cup of tea in the morning.

 

Tak lupa ia memeriksa Google dulu untuk memastikan ejaan serta jumlah 'p' dan 's' di 'happiness'-nya tidak salah.

 

Sederetan komentar langsung masuk. Dasar, cewek populer ....

 

FansCecilGarisKeras Cantiknya kebangetan woy! 
 

KimJongUn Omo ... Ibu negara saya jinja kyeopta....

— view 11 replies

 

FajarSedboi Percuma cantik kalau Jogja (jodoh orang gue jaga) 🥺😢

— view 9 replies
 

SiPalingPaling Cecilia, masa depan kamu mau aku cerahkan nggak?


WaluhKukus Good morning Kak cecil, plis jgn pernah berhenti berkarya dan jadi inspirasi orang banyak

 

SaintLoreng Plastik aja bangga 🤮

— view 7 replies

 

BundaCorolla Yaowo yaowo yaowo cantik banget 

— view 2 replies

 

PemudaBerseragam Boleh kenalan, dek?


 

"Cepetan turun atuh, Cil, Bapak sebentar lagi mau ke airport," Bik Mirjah mengusik aktivitas pagi Cecilia. "Kamu turun dulu, sarapan bareng."

 

Begitulah. Mood Cecilia kelabu lagi. Kalau dipikir-pikir, mood paginya memang tidak pernah baik-baik lagi terhitung sejak dua belas tahun lalu saat kedua orang tuanya kerap senam-pagi-mulut alias bertengkar setiap pagi, yang kemudian berujung pada perceraian. Ya. Mood paginya hanya bisa terselamatkan oleh limpahan cinta dari geng Diamonds serta media sosial.
 

Tapi geng Diamonds-nya sudah mendekati kepunahan, dan ... memangnya sampai kapan netizen-netizen itu mencintainya?
 

"Kok malah bengong sih?" Bik Mirjah mendecak. "Sana, gosok gigi dan turun sarapan. Bapak bakalan dua minggu lamanya di Singapur, jangan sampai Bapak berangkat dalam keadaan kalian masih perang dingin. Kasian Bapak."


 

                  ***


 

Perang dingin gundulmu ...

Kasian my ass ....


Cecilia mendesis kesal karena saat ia menuruni tangga menuju ruang makan, yang ia dengar hanyalah tawa serta cekikikan manja dari Hugo dan Ratu Ilmu Hitam. 

 

Sama sekali tidak ada tanda-tanda bahwa hidup Daddy hancur setelah pertengkaran mereka kemarin.

 

Sama sekali tidak.

 

Dan, ya ampun, mereka tertawa dengan begitu lepas. Cecilia tidak tahan melihat orang lain lebih bahagia!

 

"Morning, Princess." Suara Daddy Hugo masih menyisakan tawa saat menyapanya di meja makan.

 

Sementara Ratu, yang tadi sedang merangkul punggung Hugo dari belakang, langsung mengubah air mukanya dari jalang-tidak-tau-malu menjadi haduh-elo-lagi-elo-lagi.
 

"Princess," panggil Hugo lagi.

 

Cecilia malas menjawab. Sekarang panggilan sayang itu tidak lagi berarti apa-apa. Ia hanya duduk diam di meja makan, meneguk susu putihnya dengan setengah hati.

 

Momen sarapan kesukaannya—hari ini Bik Mirjah sudah menyiapkan mushroom omelette dengan baked baby potato—tak lagi mengundang selera. Persetan dengan sarapan, ia butuh pil penghilang sakit hati.
 

Hugo Darwin sudah kelihatan rapi pagi ini, bersiap ke airport karena ada seminar yang harus dihadirinya selama dua minggu penuh di Singapura. Kabar buruknya, Hugo tidak membawa serta istri barunya yang munafik itu, jadi mau tidak mau Cecilia bakal terjebak di rumah bersama perempuan terkutuk itu selama dua minggu penuh.
 

Mungkin pindah ke apartemen memang ide yang bagus.

 

"Soal pindah ke apartemen—"

 

"Aku nggak mau pindah." Cecilia menjawab cepat. Dan marah. Kedua matanya bahkan menantang Hugo dengan berani.
 

Hugo berdeham. "Oke. Mungkin kamu masih belum tahu harus memilih yang mana. Si Wira sudah Daddy tugaskan untuk survey Lang—"

 

"Aku ngomong pake bahasa Indonesia loh, Dad, bukan Perancis apalagi Arab. Aku, nggak, mau, pindah. Ini rumah aku. Kalau Daddy nggak suka keributan, beliin aja istana baru buat Mbak Kunti—"
 

Hugo mengangkat satu telapak tangannya dengan mata terpejam, memberi isyarat pada Cecilia bahwa ia tidak perlu melanjutkan semua ini.

 

"Ngomong-ngomong soal keributan ...."

 

Cecilia menghunjam Ratu dengan sorot marah. Mau apa lagi si Kunti ini?!

 

"Aku sebenernya nggak mau mancing keributan," lanjut Ratu dengan mimik wajah aneh. "Apalagi kamu udah mau berangkat, Hugo, tapi ... aku rasa ini penting karena kamu ayahnya."

 

Hugo langsung beraksi panik menyentuh perut besar Ratu. "Kenapa?! Princess nggak kenapa-napa, kan?!"

 

Cecilia—Princess yang Terbuang—mau muntah.

 

"Bukan, ini tentang anak kamu yang satunya lagi." Ratu memandang ke tempat duduk Cecilia.

 

Cecilia mengernyit. Hugo ikut melirik ke tempatnya dengan bingung.

 

Ratu kini memasang ekspresi kalut yang mengingatkan Cecilia pada kemampuan akting pemain sinetron, lalu termangu diam saat ibu barunya—hiii amit-amit—mengeluarkan sesuatu yang sejak tadi disimpannya di kantong jins.
 

"Inilah sebabnya dari pagi tadi aku udah sedih banget, Hugo," bisik Ratu.
 

"Sedih?" Cecilia tertawa. "Dari tadi elo ngikik kayak nenek lampir sampe kuping gue berdar—" kemudian termangu diam.

 

Ratu baru saja menyerahkan sebuah kotak berwarna putih kepada Hugo. Kotak alat tes kehamilan.

 

"Tolong jangan salah paham atau mengira aku kurang ajar. Sumpah demi Tuhan, aku nggak sengaja lewat kamar tidur Cecilia. Terus kamu tau, kan, Hugo, kalau pintu kamar anak kamu itu selalu terbuka? Tas Cecilia tergeletak gitu aja di lantai dan isinya berceceran ke mana-mana. Wajar sih, mengingat kemarin malam dia pulang dalam keadaan tipsy berat—"
 

"ELO MASUK KAMAR DAN GELEDAH ISI TAS GUE?!"
 

"Udah aku bilang, Cil, isi tas kamu yang berhamburan keluar dan aku nggak sengaja liat ini di lantai," Ratu tak lagi malu-malu mengacungkan kotak testpack itu. "Buat apa elo beli testpack? Elo hamil, Cil?"
 

Cecilia baru ingat Grace memasukkan kotak testpack itu ke dalam tasnya kemarin siang di studio yoga.

 

"Princess ...," Hugo menatapnya takut. Matanya memelotot besar-besar. Ekspresi wajahnya seperti menahan sembelit tujuh hari tujuh malam. "... Princess?"

 

"Elo hamil, Cil?" ulang Ratu. "Astaga, inilah yang sebenernya aku takutin dari dulu, Hugo, bahwa pergaulan sesat dia—"

 

"CECILIA CEPAT JAWAB!" Hugo memukul meja kencang-kencang hingga semua orang di ruangan itu tersentak.
 

Cecilia menganga tak percaya, suasana menjadi semakin riuh saat Bik Mirjah berhamburan menuju tempat mereka untuk memeriksa kegaduhan yang terjadi. Hugo membentak-bentak dan menudingkan jari menuntut penjelasan, Ratu terseok memegang ujung meja dengan gaya akting yang sangat piawai, serta Cecilia yang masih terpaku diam. Otaknya seperti kram.  
 

"Apa-apaan kamu, Cil! Jelasin ke Daddy!"

 

"Kamu kenapa terjerumus begini, Ciiiil~" Ratu meraung. "Padahal Daddy udah capek-capek mendidik kamu ...."

 

"Kenapa kamu diam? Diam berarti iya? Hah?! Gitu, Cecil?! Jawab Daddy sekarang juga! Daddy nggak mau kamu kenapa-napa!"

 

... ini ... sebuah kemajuan.
 

Sebenarnya Cecilia sangat marah dan ingin mencabik-cabik Ratu lalu melempar tubuhnya ke kawanan piranha. Namun, sesuatu terjadi.

 

Ia sadar bahwa untuk pertama kalinya, Daddy mencurahkan seluruh perhatian kepadanya. Bukan pada Ratu, bukan pada bayi Cocomelon di perut Ratu, juga bukan pada apartemen, tapi dirinya. Daddy marah. Dan itu bagus. Daddy membentak-bentaknya, itu juga bagus. Daddy tak lagi memikirkan dirinya sendiri, dendam pribadinya pada Mommy, ataupun Princess kecilnya bersama si Ratu Kunti. Cecilia kini menjadi pusat perhatian serta kekalutan Daddy.

 

Dirinya kembali menjadi satu-satunya yang paling Daddy khawatirkan. Princess berharganya.
 

"JAWAB!"

 

Cecilia tersentak dari lamunan. Ia menjilat bibir dan mengerjap bingung berkali-kali. 
 

"CECIL!" Daddy seperti sesak napas.

 

Sayup-sayup di belakang sana, Cecilia mendengar Bik Mirjah berulang kali mengucapkan astagfirullah. "Hilang sudah anak perawan saya."


 Otak Cecilia yang tadi kram tiba-tiba mendapat pencerahan. Demi apa pun, ia ingin semua ini berlanjut karena seburuk apa pun alasannya, yang terpenting adalah Daddy kembali menempatkan dirinya di prioritas utama.

 

Daddy memegang tepi meja untuk berusaha tenang. "Bilang ke Daddy kalau semua ini cuma becanda dan testpack itu cuma kebetulan ada di tas kamu. For God's sake, Cecil, kamu baru lulus kuliah!"

 

"Khilaf ...." Cecilia menggigit bibir. 

 

"... hah? Apa kamu bilang?"

 

"Khilaf. Aku khilaf." Game on.

 

Hugo terduduk shock di kursinya.

 

"Baru sekali berbuat," Cecilia menggedikkan bahu. "Nggak taunya beneran jadi."

 

Hugo ternganga. Bik Mirjah terkesiap.

 

"Daddy ajarin kamu apa selama ini?" Hugo menuding Cecilia. "Apa Daddy pernah—"

 

"Pernah bilang bahwa berzina itu dosa? Ya," Cecilia mengangguk. "Tapi ... Daddy juga melakukannya."

 

Daddy gemetar hebat dan Ratu memekik pura-pura terluka. Bik Mirjah sepertinya sudah siap pingsan.

 

"Sejak kapan ...." Daddy masih tak kuasa menerima kenyataan.

 

Bagus. Lanjutkan. "Udah empat minggu," Cecilia mengerjap. "Akhir-akhir ini, kalau aja Daddy nggak sibuk sama diri sendiri dan sama si Kunti, semua ini nggak akan terjadi."
 

"Jadi sekarang semua ini salah Daddy?!"
 

"Aku mencari kasih sayang dari cowok brengsek—"

 

"Sinting kamu, Cil! Kenapa kamu nggak cerita ke Daddy?!"

 

"Ya karena Daddy sibuk ngurusin perempuan binal ini."
 

Ratu makin meraung—entah untuk apa.

 

"Aku tersesat dan sampai harus mencari kasih sayang dari orang lain karena Daddy sibuk sama Kunti. Lalu sekarang aku hamil, ya udah, kita semua salah, kan?"

 

"Empat minggu dan kamu nggak bilang apa-apa ke Daddy?! Bisa-bisanya kamu sembunyiin semua ini, Cil!" Daddy bahkan menepis sentuhan Kunti yang berusaha menenangkannya.

 

Bagus. Cecilia tersenyum dalam hati.

 

Lalu entah kebetulan belaka atau memang kehebohan pagi ini terdengar sampai ke depan rumah, Tarjo—kepala keamanan rumah—tahu-tahu datang bergabung ke ruangan ini. 

 

Bik Mirjah mendecak mengusirnya, tapi Tarjo tetap di sana. Pria berkumis tebal itu memandangi suasana mencekam ini dengan tatapan bingung.

 

"Anu ... maaf mengganggu, tapi di depan gerbang ada tamu datang, katanya tamu Non Cecilia. Saya sudah tanya namanya, tapi dia bilang nggak usah, katanya Non Cecil pasti udah tahu karena Non Cecil sudah janji ketemuan jam delapan pagi."
 

Cecilia reflek melirik jarum jam dinding. Astaga, jam delapan lewat empat puluh menit. Ia mengerang frustrasi. Ia betul-betul lupa dan SIALAN BANGET SI SUTRISNO KENAPA HARUS DATANG SEKARANG DAN MERUSAK SEMUANYA?!

 

Uang empat ratus juta itu ... holy crap, ia bahkan belum sempat minta Daddy—dan kemarin malam waktu memeriksa rekeningnya, saldo yang tersisa hanya tinggal dua ratus juta something, terlalu sedikit, bahkan tidak cukup untuk membeli Hermes Black Epsom. 
 

"Siapa yang datang, Cil?" Hugo berkacak pinggang dengan sangat marah. "Temen yang mana, hmm? Temen yang hamilin kamu? Hah?! Pacar brengsek kamu yang bikin kamu hamil?!"
 

Tunggu ....
 

Cecilia memandangi Daddy yang terlihat seperti gorilla kerasukan yang siap mengamuk dan meremukkan siapa pun laki-laki yang harus bertanggung jawab—
 

Lalu membeku sesaat.

 

Ide liar itu muncul seperti hembusan setan.
 

Ia butuh laki-laki yang bertanggung jawab menghamilinya, bukan? 

 

"Tolong jangan bilang ...." Bola mata Daddy mencuat ngeri. "Bener, yang datang itu cowok yang hamilin kamu?"

 

"Iya," Cecilia mengangguk pura-pura bingung. Padahal dalam hati bersorak penuh kemenangan. "Dia yang hamilin aku. Pacar brengsek yang meniduri aku satu kali dan ternyata aku sekarang mengandung anaknya." Wow. Cecilia tidak tahu ternyata ia berbakat.

 

Hugo kini benar-benar bernapas dengan susah payah. Untungnya saat medical check up bulan lalu di Singapura, jantung Daddy dinyatakan sehat sempurna.

 

"Aku sengaja ngajak dia ke sini jam delapan sebelum Daddy ke airport. Tadinya dia nggak mau melanjutkan ini karena ... ya, karena aborsi sepertinya pilihan terbaik, tapi aku bilang semua ini harus diomongin baik-baik dulu sama Daddy."
 

"MY GOD, CECILIA! ABORSI?"

 

"Pacar aku itu nggak punya uang dan pekerjaan tetap, basically dia cuma kuli serabutan yang nggak bakalan bisa menjamin masa depan aku, jadi—"
 

"WHAT THE HELL, CECILIA! KULI SERABUTAN?!  KULI, SERABUTAN?!"

 

"Kadang-kadang dia juga jadi calo tiket, tapi I swear to God, Daddy, aku cuma terjerumus—"

 

"Setidaknya beri Daddy nama, Daddy nggak sabar bawa kasus ini ke kantor polisi."
 

Gawat. Saatnya improvisasi? "Dad, kalau Daddy bawa ke polisi, paling-paling mereka suruh tempuh jalur damai kayak yang selama ini terjadi di rakyat jelata. Lagi pula, pihak cewek yang selalu nanggung malu."

 

"Nama. Daddy tetap butuh NAMA."

 

Cecilia memikirkan beberapa calon nama palsu, tapi sulit, lalu ia mulai membayangkan tempat fotokopi Sukides yang dekil dan kumal, maka hal pertama yang terlintas di pikirannya adalah, "Kumal ... lasari."
 

Hugo mengerjap-ngerjap bingung. "Biar Daddy luruskan sekali lagi dari awal; kamu berpacaran dengan pria ini—terjerumus, bahasa kamu—lalu berzina dan hamil, kemudian dia ingin kamu aborsi karena dia pria melarat yang bekerja sebagai kuli serabutan serta calo tiket dan namanya ... adalah Kumalasari?"
 

Hugo memegang dadanya yang kini terasa sakit. Amsyiong. Dua puluh dua tahun membesarkan Cecilia dan kini masa depan sang putri terancam suram oleh kuli bangunan bernama seperti perempuan.
 

"Oke," Cecilia mengangkat tangan menyerah. "Aku jemput dulu pacar brengsek aku, biar Daddy bisa ngobrol sama dia."

 

Cecilia tahu Hugo mengikutinya dengan langkah gusar. Begitu pun Ratu Dedemit dan Bik Mirjah. Mereka semua membuntuti langkahnya keluar dari rumah menuju pagar gerbang untuk menyongsong kuli serabutan slash pacar brengsek yang telah menghamilinya dengan semena-mena.
 

Maka begitu sosok Sugiono terlihat jelas di ambang gerbang, Cecilia mempercepat langkahnya sembari memasang senyum terlebar yang membuat kedua alis Kala bertautan bingung.

 

Semakin berkurang jarak mereka dan semakin manis senyuman Cecilia, semakin Kala terpaku bingung di tempat. Belum lagi di belakang Cecilia ada tiga orang yang mengekor seperti truk gandeng. Tiga orang yang terlihat sangat gusar seperti siap membunuhnya.

 

Akhirnya, setelah jarak mereka hanya tersisa empat langkah, Cecilia merentangkan kedua lengannya. Wajah cantiknya berseri-seri. Namun, suaranya berbisik-bisik. Bisikan yang hanya bisa didengar oleh Kala.

 

"Ikutin semuanya kalau elo mau empat ratus juta itu."

 

Sedetik kemudian, Cecilia sudah berjinjit dan memeluk leher Kala, tadinya ia hendak mencium bibir, tapi kemudian bibirnya memutuskan untuk putar haluan ke pipi. Diciumnya pipi Kala. 


 

***

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Xoxo, I Hate You. Part 6 : “Pasti perempuan.”
279
94
Mari kita liat aksi Cecilia menindas Kumalasari.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan