Xoxo, I Hate You. Part 3 : “Princess?”

68
2
Deskripsi

"Hadeh, udah jam segini masih aja tidur aja! Cecil, bangun! Hayo bangun. Banguuunnnnn. Nggak bagus anak perawan bangun siang-siang."

 

Selimut lembut yang membungkus tubuh Cecilia ditarik dengan paksa. Cecilia mengerang protes.

 

"Astaga anak satu ini! Cepet bangun, mandi, ganti baju, ke gereja!"
 

"Ini hari Minggu?" 

 

"Dan bisa jadi hari kiamat juga. Ayo bangun!"

 

"Enggak mau. Hari Minggu-nya suruh mundur aja."

 

"Harinya Tuhan loh ini."

 

"Bukannya Tuhan nyiptain tujuh hari? Kenapa appoinment-nya mesti hari Minggu, sih?"
 

"Heh, sinting kamu. Ayo bangun!"

 

Dengan mata mengantuk dan mulut mengerang, Cecilia beranjak juga dari ranjang nyamannya. Ia menyibak rambutnya ke belakang sambil meraih ponsel di nakas. Satu pipinya merona merah sehabis menindih bantal.

 

Bik Mirjah menarik bantal Cecilia untuk merapikannya. Tak lupa wanita paruh baya itu meninjau pakaian tidur Cecilia sambil mendecak gemas. "Heran Bibik, tidur kok pake baju tipis-tipis gitu sih? Enggak sekalian pake tisu aja?! Masuk angin baru tau rasa kamu!"

 

"Ini namanya lingerie, Bik."

 

"Dan buat siapa kamu pake seksi-seksi gitu?!"

 

"Sejak kapan aku nggak boleh seksi buat diri sendiri? Kita harus menghargai pemberian Tuhan, kan?" Tak lupa Cecilia menengadah sambil melipat dua tangan seolah berdoa.

 

"Kalau Bibik jadi Tuhan, udah tak jewer kuping kamu."

 

Cecilia tersenyum masa-bodo dan mulai mengambil ponsel di atas nakas. Kemudian ia menyambar buku self motivation yang baru dibelinya kemarin—yang satu halaman pun tidak ia baca, karena toh, untuk apa ia butuh motivasi hidup? Justru dirinyalah yang jadi motivasi hidup banyak orang. Lalu Cecilia melakukan selca sembari berpose seperti seolah-olah Bangun Tidur Kuterus Baca Buku.
 

Ia memeriksa hasil foto dan tersenyum. Cantik sekali titisan Dewi Aphrodite ini. Lalu mengunggah foto itu ke akun Instagramnya dengan caption take a good book to bed with you.

 

Setelah itu, ia memeriksa postingannya kemarin malam. Moodnya langsung melonjak bahagia manakala melihat jumlah likes dan comment di postingan kemarin.


Ada 154.398 likes dan 612 comments untuk fotonya saat party di Artwo kemarin—tanpa tanda-tanda kehadiran Bryon, tentu saja. Hanya Cecilia dengan empat sahabat karibnya yang sama-sama memajukan bibir dan berpose imut dengan latar belakang keramaian Artwo.

 

154.398 likes

Cecildarwin In normal life, I'm just kind of chill #goodvibesonly #mygurls #girlsjustwannahavefun #cecilsdiamond

 

BudakCecil Have fun kak! 💓💓 see u di jakarta fashion weeks next month

 

HourlyCecil Selalu suka sama circle diamondsnya kak cecil 😍❤️‍🔥 awet2 ya persahabatan kalian

— view 2 more replies
 

LordCepmek Solusi mata minus cek ig aku


EsKrimMuxue Masih adakah tempat kosong di hati mbak cecil? Mimin ingin menempatinya

— view 12 more replies

 

PacarnyaJaemin Cecil pernah makan malem indomie telor kornet lanjut martabak cokelat keju terus minumnya pop ice moccacino gak sih? Iri bat sama pinggangnya 😭

 

MemancingKeributan Cewek bekas 🤮🤮🤮

- view 51 more replies

 

ReihanBaik Slay sekali istri saya. Bun, pulang, bun, papa gak bisa masak nasi

— view 10 replies

 

AirIsianBotolShampo Halahh model ginian mah di PIK jg byk

— view 22 replies

 

NetizenSelaluBenar Hiiiissssh, bangga banget jdi cewek murahan 🤮

 

Kurang ajar.

Rusak sudah mood Cecilia.


 

Campur aduk mood itu diperparah saat mata sayunya menangkap bayangan perempuan dedemit melintas di depan pintu kamar, berjalan di lorong kamar tidurnya dengan langkah anggun seakan dirinya pemilik rumah ini.

 

"Masih hidup aja si kunti ...." geram Cecilia.

 

Bik Mirjah langsung terhenyak. "Hus! Awas disamperin beneran. Lagian kamu tuh kapan sih, mau coba berdamai sama Non Ratu?"

 

"Jangan sekali-kali Bibik manggil dia Non. Cuma ada satu non di rumah ini."

 

"Ck! Hidup satu atap loh kalian. Apalagi yang di perut Non Ratu itu bakal jadi adik kamu."

 

"Which is worse."

 

"Was wes wos apa lagi tuh? Bibik nggak bisa Inggris. Lagi pula ya, Cil, Bapak sekarang terlihat lebih bahagia. Kamu nggak bisa, ikut bahagia buat orang lain?"

 

"Enggak, selama aku belum bahagia."

 

"Anak gendeng!"

 

Mood Cecilia yang sudah anjlok, bertambah hancur lebur hingga titik ternista, saat lorong kamar itu dengan lancangnya mengantarkan suara-suara cekikikan mesra antara Daddy dengan si Kunti dari ruang makan.

 

Terkutuklah hari Minggu ini.


 

***


 

"Morning, Daddy's Little Princess." Hugo Darwin tersenyum menyambut Cecilia dari meja makan. Kemeja licin serta dasi sudah melekat di tubuhnya yang masih terlihat bugar di usia 56 tahun ini. Katanya, kiat sehat adalah tidak stres dan tidak merokok. Ironis, mengingat semua harta kekayaannya justru berasal dari pabrik rokok miliknya. Padahal dia sendiri tidak pernah sudi merokok.

 

Hugo Darwin selalu rapi, baik dari rambut peraknya yang tersemir maupun dari kulit wajahnya yang bersih terawat. Hugo juga masih sangat tampan, meski kerutan-kerutan usia sudah terlukis di sudut matanya, manakala ia tersenyum lebar seperti saat ini. 

 

Aroma butter croissant serta kopi pahit yang selalu menjadi langganan sarapan Daddy sudah hampir tandas saat Cecilia membungkuk untuk mengecup pipinya.
 

"Hai, Dad." Cecilia mengambil kursi di samping Hugo.


Ia memandangi dua tangkup roti panggang yang diletakkan bersusunan di atas piring makan. Warnanya yang kecokelatan terlihat berkilau setelah diolesi mentega. Dua telur setengah matang yang sudah dipecahkan Bik Mirjah dan dituangkan ke mangkuk cantik, tampak menggiurkan dengan tambahan tetesan kecap asin dan taburan lada putih. Aroma kopi susu panas mengepul dari cangkir di sebelahnya. Sempurna.
 

Cecilia hanya makan dua kali dalam sehari. Sarapan, lalu makan siang salad, dan malam harinya menenggak jus buah. Well, salad rasanya tidak enak, dan jus buah sama sekali tidak mengenyangkan. Maka tak heran, menu sarapanlah yang ditunggu-tunggunya setiap hari. Ia cinta sarapan.
 

Avocado toast, waffle hangat empuk yang disiram mapple syrup, brasille panas berisi selai apel yang ditemani secangkir oatmilk, atau kalau ia sedang benar-benar lapar setelah seminggu berpuasa untuk mempertahankan tubuh indahnya; oeufs cocotte yang creamy, lezat, dengan tambahan keju dan bacon

 

Tapi terus terang, nasi kuning dengan telur balado, soto mie dengan emping dan risol garing, bubur ayam gerobak dengan taburan bawang goreng serta kerupuk merah yang banyak, itu juga boleh.
 

Sarapan adalah zen moment-nya, sesuatu yang Cecilia percaya akan mempengaruhi keseluruhan suasana hatinya di sisa hari. Tidak peduli ia bangun jam berapa, mood seamburadul apa, sarapan adalah keharusan.

 

"Astaga, siang banget bangunnya, Cil?"

 

Bangsat

 

Belum cukup amburadul, sekarang mood Cecilia luluh lantak rontok seperti ketombe Tarjo si sekuriti rumah pacarnya Bik Mirjah. 

 

Bukan hanya di hari ini saja sebenarnya, tapi sudah beberapa minggu belakangan ini semuanya kacau balau gara-gara seorang dedemit kampret bernama Ratu.


Ratu Kunti. Ratu Siluman. Ratu Liang Kubur. Ratu Badak—karena rasa tidak tahu malunya sudah setebal kulit badak. Atau Ratu Ketek Hitam. You name it.

 

Cecilia lebih suka Ratu Kunti.

 

Mendengar suara cempreng Ratu saat tertawa, napsu makan Cecilia langsung karam ke Segitiga Bermuda.

 

Ratu, istri baru Daddy setelah bercerai dengan Mommy enam tahun lalu, sudah mengintai dari belakang punggung Daddy. Tangannya yang sedang bergelanyut manja di bahu Daddy tampak berhenti meremas-remas genit. 

 

"Siang banget bangunnya, Cil?" ulang Ratu dengan senyum palsu. "Ini udah sarapan kedua Daddy-mu loh. Dan kita udah lewatin kebaktian jam pertama, gara-gara nungguin kamu."
 

Cecilia menoleh ke tempat Ratu. "Betul. Padahal gue harus cepet ke gereja, untuk cari pendeta buat dateng ke rumah ngusir setan."

 

Ratu meninggalkan punggung Hugo untuk berkacak pinggang kesal. Dipelototinya sang suami agar sudi membantunya dengan memberi pelajaran pada putri manja sialannya itu. 

 

Tak lupa Ratu mengusap perut buncitnya yang sudah sangat besar, seakan bayi delapan bulannya bisa menjadi senjata andalan untuk membujuk suami.

 

"Cil—"

 

Cecilia memotong sebelum Daddy Hugo bicara. Telunjuknya mengarah pada Ratu. "Dan itu apa? Ngapain elo niru-niru style gue, hmm? Lain kali kalau elo pinter, minta duit lebih banyak dari Daddy biar seenggaknya baju yang elo pakai untuk setengah mati meniru gaya gue itu, nggak asal comot dari ITC Mangga Dua. Duit kaget lo itu nggak bisa beli vibe, tau. Vibe lo tetep cewek cupu dari kos Tanjung Duren."

 

Ratu terkesiap. 

 

Pagi itu, dan pagi-pagi sebelumnya selama delapan bulan belakangan ini, Ratu memang kerap mengenakan kimono sutera tipis sebagai outer gaun tidur satin selutut—yang sebenarnya tidak masalah, sangat tidak masalah, kecuali kalau kebetulan semua itu adalah template seragam tidur Cecil setiap hari.

 

Bahkan dalam kesehariannya di rumah maupun di luar, Ratu juga kerap meniru gaya busana Cecilia. Perempuan itu mulai mendandani dirinya dengan Chanel—palsu—menganti tas rakyat jelatanya menjadi Louis Vuitton—KW satu—serta sendal ratusan ribunya dengan Louboutin. Bahkan parfum beraroma kemiskinannya kini lengser berganti Jean Patou—yang kebetulan, selalu nangkring di meja rias kamar tidur Cecil. Sungguh 'kreatif' sekali inspirasi Ratu.

 

"Daddy lupa kasih lo duit jajan?"
 

"Cecil, cukup." Hugo memberi tatapan penuh peringatan.

 

Tak lupa, kini Ratu juga blow permanent rambutnya yang lurus merakyat ala gadis dusun polos nan baik hati itu, agar menjadi sama persis seperti gaya rambut Cecilia.

 

Kemarahan Cecilia sudah di ubun-ubun. "Elo mau jadi bini Hugo Darwin, atau jadi muntahan cetakan pabrik gue sih? Kenapa selama delapan bulan ini gue ngeliat ada copycat gue—versi murahan dan ndeso—berseliweran di rumah ini!"
 

"Cecil, enough." Kali ini nada Hugo menegas.


"Say, kamu belain aku dong, Say, anak kamu itu udah keterlaluan—"

 

Hugo memejam mata. "Jangan sekarang, Ratu, tolong."

 

Ratu membelalak marah campur malu. Satu kaki dihentakkannya dengan kasar, lalu bagai anak kecil tantrum karena tidak dibelikan Kinderjoy, Ratu melipat tangan marah dan memonyongkan bibir meninggalkan ruang makan.
 

Hugo tidak banyak buang waktu setelah sang istri pergi. Diberinya Cecilia tatapan tegas. "Pertama, apa salahnya kalau Ratu berdandan seperti kamu?"

 

Cecilia membuka mulut tapi telunjuk Daddy Hugo lebih cepat.

 

"Kedua, kamu harus mulai bersikap dewasa dan berhenti membuat suasana Perang Soviet di rumah ini setiap detik, setiap harinya."

 

"Daddy," Cecilia mendengus pura-pura kaget. "Aku dan Mbak Kunti saling mencintai. In fact, dia dedemit favorit aku."

 

"Daddy serius, Cecil." Sorot mata Hugo menyorot penuh intimidasi. "Daddy ngerti semua ini masih sulit diterima buat kamu; suasana baru, anggota keluarga baru, ibu baru, adik—"

 

"Dia nggak akan pernah jadi ibu aku." Bukan pula berarti Mommy Julia adalah ibu terbaik. 

 

"Daddy nggak pernah maksa kamu untuk langsung nerima Ratu, apalagi manggil dia dengan mama atau ibu, tapi seenggaknya kamu bisa bertingkah lebih dewasa dari ini, Cil. Princess sebentar lagi akan lahir—"

 

"Princess?" Cecilia terbelalak ngeri. 


Hugo menelan ludah, tahu betul dirinya sudah salah bicara.

 

"Prin ... cess?" ulang Cecilia.

 

"Ya, kami ... akan menamakannya Princess. Ratu pikir—"


Bibir kecil Cecilia ternganga. "Dan Daddy sama sekali nggak merasa aneh, apalagi keberatan, waktu si Kunti itu mengusulkan sebuah nama yang jelas-jelas adalah panggilan kesayangan Daddy ke aku?!"

 

Air muka Hugo berubah. Seakan miliarder itu baru menyadari kebodohannya yang kelewat dungu. "Ratu pikir ... di rumah ini jadinya ada Ratu—Queen, dan tuan putri—Princess."
 

"Ya kalau gitu namain dia Puteri aja! Ngapain Princess?! Itu punya aku!"

 

"Itu cuma nama, Cil."

 

"Cuma nama. Jadi setelah Daddy mulai manggil-manggil orang lain dengan Princess, aku bakal dipanggil apa? Dayang?!"


"Cil, ini bukan perkara besar."
 

"Jelas bukan perkara besar. Pertama-tama dia menyabotase Daddy, lalu meniru semua gaya aku dari ujung kepala sampai jempol kaki, sekarang dia juga mau ngambil panggilan kesayangan Daddy buat aku!"
 

"Cecil, kamu udah berlebihan. Ayo dong, kamu harus bertingkah dewasa sesuai umur kamu."

 

"Sesuai umur," Cecilia menahan panas yang sudah terkumpul di pelupuk matanya. Sekujur tubuhnya mulai gemetar. "Kebetulan, aku dan Dedemit itu seumuran. Mungkin aku juga harus menggaet om-om di lapangan golf? Seperti yang dia lakukan?"

 

"Cecil!" Daddy memelotot marah. Lalu perlahan menarik dan melarikan pandangannya ke tempat lain, seperti hendak mengumpulkan kewarasannya agar pertengkaran ini bisa segera berakhir. "Daddy cuma minta supaya kamu bersikap baik pada calon adik kamu."

 

"Dengan cara merelakan nama kesayangan yang nilainya sentimental buat aku? Apa lagi berikutnya? Aku harus merelakan kamarku agar dia bisa nonton Cocomelon dengan pemandangan swimming pool?"

 

Hugo diam tapi kedua matanya masih saja berlarian ke arah lain, dan Cecilia merinding dibuatnya. Astaga ....

 

"Daddy serius?!"

 

"Cil," Hugo mengambil telapak tangan Cecilia dan meremasnya lembut. "Daddy ngerti semua ini berat buat kamu. Kehadiran Ratu, lalu Princess, jadi Daddy pikir mungkin ... mungkin kamu bakal merasa lebih nyaman kalau tinggal di luar. Daddy nggak akan melarang. SCBD Suites atau Langham, kamu bisa tinggal di sana, pilih saja, terserah mana yang nyaman buat kamu."

 

Semakin terguncang, Cecilia segera menarik paksa tangannya dari genggaman Hugo. Ketabahannya sedetik lagi menuju kepunahan.

 

Tidak perlu seorang jenius untuk tahu mengapa Daddy menawarinya apartemen-apartemen mahal untuk ditinggali. Bukan berarti Daddy begitu royal memberinya tempat mewah dan nyaman. Hugo hanya lelah dengan pertengkaran yang terjadi di bawah atap rumahnya, dan jika sang ayah harus memilih untuk menyingkirkan salah satu, sudah pasti dia tidak akan menyingkirkan istri barunya yang masih muda dan ranum, serta hamil delapan bulan hasil perbuatan nakal mereka di klub golf.

 

Yang harus disingkirkan Hugo, adalah putri (yang dulu masih) semata wayangnya yang manja, cerewet, serta selalu memencet tombol nuklir.

 

Alih-alih terus mengusahakan gencatan senjata, maka mengusir Cecilia—atau bahasa halusnya memindahkannya ke apartemen mewah—adalah solusi terbaik Hugo.

 

Ini bukan soal little Princess hasil adonan rahim Ratu yang bakal menempati kamar tidur Cecilia yang notabene kamar terbaik di rumah ini karena menghadap langsung ke kolam renang, ini soal menyingkirkan suara berisik di rumah agar Daddy dan keluarga barunya dapat hidup tenang.

 

Setelah keheningan yang menyakitkan itu berlangsung beberapa menit, Bik Mirjah datang menghampiri meja makan dengan langkah enteng. 

 

Setelah mengabdi selama dua puluh tahun di tempat ini, tak lagi membuatnya segan untuk mengatakan sesuatu. Lagi pula Bik Mirjah yakin ia satu-satunya orang waras di rumah ini.
 

"Nggak ada yang pindah-pindah. Semuanya bakal tetap tinggal seatap, sebagaimana layaknya sebuah keluarga," cetus Bik Mirjah. "Ini kok masih pada di meja sih? Hayo dong buruan. Kalian harus berangkat gereja sebelum jam kebaktian kedua dimulai."

 

Dengan kesal Cecilia mendorong piring makannya. "Lucifer hari ini cuti ke gereja." Lalu bangkit dari kursinya dan meninggalkan meja makan dengan marah.


Daddy bahkan tidak berusaha untuk memanggilnya.

 

Ketika Cecilia yakin Tuhan sudah cukup menghukum Anak Lucifer dan mengubah hari Minggunya yang berpelangi menjadi waspada tsunami, rupanya ia salah. Baru saja ia hendak menaiki anak tangga untuk kembali ke kamarnya, kebetulan sekali ibu barunya yang jalang ada di sana.

 

Keduanya bersitatap dalam tegang. Ratu di anak tangga teratas, dan Cecilia di anak tangga terbawah yang membuatnya mau tak mau harus merendahkan diri dengan mendongakkan kepala.

 

Cecilia mendengus dan mulai menaiki anak tangga dengan (mencoba) tidak peduli.
 

"Udah pilih apartemen yang cocok buat elo?" Ratu pura-pura merapikan tata letak bunga plastik di vas meja buffet. "Lo punya saran wallpaper yang harus gue pake untuk ngerombak kamar tidur lo nanti? Agak pinky-pinky kayaknya lucu, ya. Betewe makasih loh, elo benar-benar kakak yang peka karena merelakan kamar tidur lo untuk Princess."

 

"Nggak bakal ada yang pindah, Kunti."

 

"Lihat aja nanti. Sedih sih, sebenernya kita bisa aja hidup damai seatap dan Daddy nggak perlu repot-repot mengusir elo, seandainya elo mau sadar diri bahwa ... elo bukan satu-satunya pusat dunia Hugo Darwin."

 

"Jadi siapa pusat dunianya? Elo?" Cecilia menatapnya sengit. 

 

"Atau mungkin lo bisa mempertimbangkan cari job. You know, udah enam bulan elo lulus kuliah tapi masih aja petantang-petenteng numpang makan di rumah bapak lo, minta duit mulu, party sana-sini kayak anak manja. Daddy bosan, you know."
 

"Ide yang bagus. Mungkin gue bisa melamar jadi caddy girl setelah ini. You know," Cecilia meniru gaya bicara Ratu. "Petantang-petenteng di lapangan golf merayu om-om kaya untuk ditiduri meski tuh om-om lebih pantas jadi bapak gue dan udah punya satu anak yang seumuran sama gue, tapi ... yeah ... semuanya demi uang, kan? Demi biayain emak-bapak di kampung."

 

"Jaga mulut lo kalo ngomong."


"Seperti lo menjaga selangkangan lo?"
 

"Ngebacot elo emang jago, tapi pada akhirnya?" Ratu mengangkat jemari manisnya yang dihiasi cincin nikah. "Gue yang jadi Nyonya Darwin yang baru."

 

Kali ini Cecilia bungkam.


"Bukan salah gue kalau bokap lo napsu sama daun muda. Nasi udah jadi rengginang dan nggak ada yang bisa elo lakukan. Silakan lo pergi nangis di apartemen baru lo yang mewah itu, menangis kesepian karena itulah yang bakal terjadi sama lo: kesepian. Seorang diri, nggak dicintai."

 

"Sebuah quote yang sangat puitis. Lo yakin nggak maubanting setir jadi penulis Wattpad?"

 

Seakan selalu membaca keberadaan titik-titik ranjau di medan perang, lagi-lagi Bik Mirjah datang dan berseru lantang dari bawah. 
 

"Cecil!" Wanita gemuk itu berkacak pinggang. "Jam segini masih aja nongkrong di tangga. Sana mandi! Nggak bagus anak perawan males-malesan!"
 

Diam-diam Cecilia bersyukur pada kehadiran Bik Mirjah, karena pertahanan dirinya untuk tidak mendorong Ratu Kegelapan menggelinding ke tangga, sudah mencapai titik didih.

 

"Gih, mandi," Ratu tertawa sembari mengendikkan kepala ke lorong kamar. "Elo bau kekalahan."

 

***


Dengan tubuh berbaring terlentang dan napas terputus-putus, Cecilia meletakkan kedua telapak tangannya di atas perut, dadanya naik turun, matanya menatap lelah pada langit-langit di atasnya.


 

"Berdedikasi banget ya kita. Hari Minggu syantik, libur, cuaca lagi moody-moody manjalita, tapi kita malah mencurahkan diri bermandi keringat di studio yoga. Rajin loh kita." Tiffany berceloteh di sampingnya.


 

Cecilia tersenyum samar saat sang sahabat tahu-tahu datang dan menjepret dirinya dengan kamera ponsel. Setelah itu Anya dan Sydney datang bergabung ke tempatnya. Semuanya sama-sama bermandi keringat sesuai sesi private class di studio yoga ini. Cocok, untuk foto Abis Yoga Nih Gaes.


 

"Mantan model mah beda ya," celetuk Anya saat memeriksa hasil foto Tiffanny. "Liat deh, kita semua keliatan kuyu kayak kuli, elo mah tetep cantik badai, Cil."


 

Cecilia tersenyum bangga.


 

Sydney mengusap keringat dengan handuk. "Tapi kenapa sih, Cil, lo nggak nerusin aja jadi model? Sayang banget tau, udah dikontrak eksklusif jadi BA juga. Muka lo tuh udah sampe ada di Times Square segala."


 

"Ho oh. Tinggal nyabet oppa Korea aja yang belom." Tiffany, yang sangat terobsesi menikah dengan pria Korea tampan, mengikik.


 

"Princess kita ini mana bisa jadi bawahan, ye kan?" Anya mencibir. "Dia mah, tinggal minta duit dari Daddy Hugo dan bikin agency modeling sendiri juga bisa. Ngapain kerja sama orang? Ye kan?"


 

"OMG Daddy Hugo itu idaman banget nggak sih? Gue super iri deh, sama Cecil. Dalam doa-doa gue, gue selalu minta direinkarnasi ulang menjadi seorang Cecilia Kaori Darwin di next life. Gorjes setengah mampus, tajir jungkir balik, you're so perfect, Darling."


 

Cecilia mengangkat bahu pura-pura tidak peduli. Padahal senang. Tidak ada yang lebih menyenangkan selain dipuja-puji. Setelah semua kejadian buruk yang dialaminya di pagi mengerikan tadi, maka dihujani cinta adalah obat termujarab.


 

Tidak perlu munafik. Memangnya siapa di dunia ini yang tidak senang dipuji dan dihujani cinta?


 

Cecilia senang berada di circle ini, dengan empat sahabat karibnya sejak bangku high school, yang setiap hari selalu membuat perasaannya lebih baik dan ringan. Mereka yang selalu mengaguminya dan tahu apa yang dibutuhkannya. Dan yang terpenting, mereka ada mendampinginya, di titik terendah hidup Cecilia saat kedua orang tuanya bercerai.


 

Dan saat Daddy memutuskan untuk menikah lagi setelah menghamili seorang caddy girl yang hanya dua bulan lebih tua dari putrinya sendiri.


 

Setiap kali bersama mereka, Cecilia merasa hidupnya sempurna. Circle persahabatan ini diberi nama Diamonds oleh Cecilia. Bersinar penuh kemilau, mahal, high class, dan membuat iri banyak orang.


 

"Girllssss~" teriakan dari Grace, salah satu dari mereka yang hari ini telat datang, melengking panjang saat perempuan mungil itu berlari dari pintu masuk. "Good news! GUE ADA GOOD NEWS!"


 

"Elo dilamar Kenji?"

"Skrispi lo akhirnya kelar?"

"Tiket VVIP Paris Fashion Weeks?"

"Nyokap lo meninggal?"


 

"Gue negatif!" Grace berjingkrak-jingkrak kegirangan di lantai studio.


 

"Ooooooh." Semua orang tidak jadi antusias.


 

"Gue nggak jadi hamil, sisssss~" Grace mengeluarkan sebatang alat pipih dari tasnya, testpack, dan menunjukkan pada semua orang bahwa tidak ada dua garis di sana.


 

"Lagian si Kenji juga bego sih," sahut Anya. "Pake segala lupa bawa kondom. Dan elo juga, mau aja dicoblos polosan."


 

Tiffany, yang kecerdasan logikanya barangkali hanya sekecil biji wijen, tersenyum manis. "Gue sih kalau dicoblos dan dihamilin oppa-oppa ganteng, nggak akan nolak. Jeon gwaenchanayo."


 

"Tapi seriusan ya, Grace, kalau lo betulan hamil dan Kenji si Muka Suneo itu nggak mau tanggung jawab, gue tau klinik yang bagus." Sydney mengangguk.


 

"Betewe, elo yakin beneran negatif? Nggak mau coba tes lagi? Mana tau takdir berubah." Cecilia mengangkat bahu.


 

"Enggak dong, Cil. Ini udah percobaan kelima gue. Nih, liat nih gue beli testpack sampe selusin gini." Grace menuangkan isi tas olahraganya hingga sisa-sisa kotak testpack yang masih tersegel berhamburan keluar. Dua kotak dijejalkannya ke dalam tas Cecilia. "Buat lo. Mana tau elo butuh."


 

Cecilia menyengir malas saat Grace berkedip sebelah mata untuknya. Bersamaan dengan ponselnya yang tahu-tahu berbunyi. Sebuah pesan baru saja masuk dari nomor tak dikenal.


 

0817xxxxxxx : Batas waktunya hari ini. Lo gak lupa kan?


 

Ini siapa ya? 


 

Kemudian Cecilia meringis begitu sadar siapa pengirim pesan tersebut. Padahal sepanjang pagi hingga siang ini ia sudah berhasil melupakan perkara empat ratus juta rupiah itu. Si Suseno!


 

Sebenarnya tadi pagi ia bisa saja meminta uang pada Daddy saat mereka sarapan, apalagi Daddy pastinya merasa bersalah karena telah mengusirnya, tapi masalahnya ... ia tidak ingin si Ratu Kunti semakin merasa menang jika tahu uang empat ratus juta itu untuk menebus sebuah foto memalukan dirinya beradu bibir dengan suami orang.


 

Ralat, cowok random yang TERNYATA suami orang. Cecilia sungguhan tidak tahu Bryon telah menikah.


 

"Ngomong-ngomong soal Fashion Weeks, sis," imbuh Grace yang tahu-tahu berubah serius. "Bulan depan, kan? Lupakan soal Paris, yang di Jakarta ini kabarnya bakal rame banget loh. Kalian pada dateng semua dong?"


 

Sebuah pesan masuk lagi.


 

0817xxxxxxx : Hari ini, atau gue samperin


 

Si Bacot! Cecilia menghela frustrasi.


 

"Cil, elo chatting sama siapa sih?" selidik Sydney. "Bryon ya? Mmmmmm~ ah, ah, ahhhh~"


 

"Eh iya, cocok loh kalian berdua," sambung Anya. "Yang kemaren gimana tuh kelanjutannya? Kok elo nggak cerita-cerita sih?" 


 

"Orangnya udah gue buang ke kali." Jari-jari Cecilia mengetik pesan balasan dengan marah.


 

"Bosen ya, Cil? Diliat-liat lagi, Bryon emang bukan tipe lo juga sih. Elo kan demennya sama yang seksi-seksi nakal bad boy gitu. Bryon terlalu vibe anak baik-baik gitu nggak sih?"


 

"Ho oh. Baunya aja kayak minyak telon bayi."


 

Rasa mual melanda Cecilia. Minyak telon bayi.


 

"Who needs Bryon?" sela Tiffany. "Toh, Princess kita nggak pernah kekurangan cowok. Justru cowok-cowok yang baris kayak semut nunggu dikasih gula."


 

"Cil, elo bener-bener panutan gue."


 

Grace tersenyum antusias. "Daripada ngomongin cowok, mending kita brunch yuk di Monsieurs, sekalian merayakan Ketidakjadian Hamil gue."


 

"Ya ampun, sis, nggak bisa, gue lagi diet nih. Brama bilang gue udah gendut."


 

"Gendut dari mana sih, sis? Ya ampun, pinggang udah kayak sedotan gitu."


 

"Tau nih, Brama bilang belakangan ini dia berasa kayak pacaran sama gentong."


 

"Eh tapi bener loh, sis, kita harus jaga badan biar nggak ditinggalin cowok."


 

"Iye, nggak ada juga yang mau pacaran sama gajah."


 

"Setuju. Dan, sis, gue tau obat diet bagus. Aman pokoknya, sis, abis ini lo nggak bakalan laper dan tetep disayang Brama."


 

Cecilia yang sejak tadi diam, hanya bisa mengeluh dalam hati tentang betapa berisiknya teman-temannya. Terlalu banyak distraksi membuatnya tidak bisa konsen mengetik pesan. Baru beberapa huruf terketik, sebuah panggilan telepon tahu-tahu masuk dan untungnya bukan dari si Kalajengking.


 

Nama Mommy muncul di layar, dan seketika itu senyuman bahagia merebak di wajah cantik Cecilia.


 

Tubuh berkeringatnya yang terbalut pakaian olahraga two pieces langsung meninggalkan lantai studio, berlari riang menuju luar pintu untuk mengangkat panggilan telepon.


 

Mommy menanyakan alasan mengapa ia menelepon dua jam lalu, Cecilia menjawab bahwa sepertinya ide bagus jika mereka lunch bareng siang ini, dan juga tak lupa ia mengatakan kangen pada Mommy. 


 

"Lunch deket galeri aja ya, Mommy lagi sibuk banget."


 

"Oke, di resto waktu itu lagi ya, Mom. Ketemu di sana jam satu?"


 

"Atur aja, Kaori. Cup cup manja. Mommy balik kerja lagi ya."


 

"Bye, Mom. Love you."


 

Masih dengan sisa senyum menghias wajah cantik berkeringatnya, Cecil memutuskan telepon dan berjalan kembali ke studio.


 

Hanya untuk mendapati kumpulan sahabat intan berliannya sedang berbisik-bisik sesuatu. 


 

"Kasian sih gue sama dia, ngomong gede mau pindah ke apartment, padahal mah gue yakin doi diusir babe Hugo."


 

"Bisa lo bayangin nggak sih? Punya ibu tiri seumuran sama lo."


 

"Sumpeh ya, sis, belakangan ini matanya keliatan kuyu banget nggak sih? Ciri-ciri orang stres."


 

"Eh, gue mau curmek—curhat ngambek. Kemarin itu waktu gue bilang gue keterima kerja di law firm, reaksinya si Bitchy itu meh banget kayak ngeremehin gue. Iri bilang, siiisss~ secara dia cakep-cakep tolol."


 

"Yup. Either beauty or brain. You can't have both."


 

"Cewek nggak punya skill gitu, paling-paling minta dibikinin kafe kekinian sama Daddy."


 

"Terus elo ngelamar kerja jadi waitress dan rayu bokapnya."


 

"Jadi emak tiri keduanya si Bitchy dong."


 

Semuanya terkikik pelan di tempat.


 

"Eh, udah denger gosip panas dari Gery?"


 

"OMG Gery mantannya Cecil yang sekarang jadian sama Carol?"


 

"Kata Gery, Cecil itu ciumannya payah. Seksnya juga so-so. Kayak ikan mati terkapar gitu aja."


 

"My God. Cakep-cakep cupu."


 

Cecilia ternganga di tempat persembunyiannya. Si Bangke Gery, memangnya kapan mereka pernah tidur bareng?


 

"Padahal kalau bukan karena jual bodi sama tampang, mana mau cowok-cowok nyembah dia?"


 

"Udah liat Porsche barunya dia? Kasian. Princess disuapin mainan sama Daddy biar nggak sedih."


 

"Mulut gue sampe keseleo muji-muji dia mulu. Jijik gue."


 

"Gue benci banget waktu gue bilang minta dibantuin masuk ke agency modeling Mas Bebeb, dia malah enggak mau. Katanya nggak bakalan kuat gue di sana. Gile, ngeremehin gue banget."


 

"Sssttt, jangan kenceng-kenceng, ntar malem kita lanjut ngobrol di grup aja."


 

"Grup Swarovski Tanpa Cecilia." 


 

Cecilia merapatkan punggungnya di dinding, menunggu beberapa menit hingga pembicaraan para Diamonds benar-benar berganti topik. Ini benar-bener sebuah tamparan memalukan baginya. Okelah, selama ini ia memang tahu persahabatan mereka tidak suci dan tulus, lebih banyak perselisihan dan persaingan, tapi selayaknya persahabatan manusia-manusia lain pada umumnya, kadang ada kerikil-kerikil kecil yang bisa diatasi dengan—


 

SEBODOH AMAT!


 

Cecilia memutar balik badan siap memasuki studio untuk mendamprat mereka, lalu tiba-tiba saja kakinya berat untuk bergerak, napasnya menjadi tertahan dan remasan tangannya menguat.


 

Ia mengerjap lemah dan tersadar, sesungguhnya ... ia tidak punya banyak teman. Hanya manusia-manusia palsu ini yang ia punya. Dan jika ia kehilangan mereka ... ia akan terkucilkan. Tidak ada lagi yang mencintai Cecilia.


 

Cecilia berbalik lagi seraya menempelkan punggung pada dinding. Mungkin setelah ini, ia akan bersikap pura-pura tidak tahu dan menjalani semuanya seperti biasa. Tidak masalah, toh—


 

"Hhh!" Kemudian nyaris terkena serangan jantung, begitu Cecilia melihat seseorang tengah melambai tangan padanya di luar pintu masuk studio yoga. Ia bersumpah ia mengira baru saja melihat genderuwo.


 

Panik sekaligus takut teman-temannya akan tahu apa yang terjadi, lebih buruk lagi : curiga ia menjalin hubungan dengan gembel kumal ini, Cecilia segera berlari panik menuju pintu. Didorongnya pintu itu cepat-cepat, lalu menarik lengan Kala menjauh dari studio.


 

"Mau ngapain?!" bentaknya.


 

"Nagih duit." Senyum terulas di wajah Kala.


 

Mungkin efek pertama kali melihat Kala dengan cahaya terang, tapi Cecilia baru sadar rambut pria itu begitu lebat, sangat bergelombang, dan lumayan gondrong.


 

Seperti Aaron Taylor-Johnson.


 

Versi Tidak Layak Hidup.


 

"Gimana lo bisa tau gue ada di sini!" Kesabaran Cecilia benar-benar sudah setipis rambut Prince William.


 

Senyuman Kala justru mengembang semakin cerah. "Oleh karena itu, Nona, nggak semuanya harus lo update di Insta story."


 

Cecilia memejam mata dan mengerang. "Segera unfollow IG gue, dan, please, elo nggak boleh muncul tiba-tiba kayak gini, Urip! Terus emangnya elo pikir gue bakal bawa tas berisi empat ratus juta ke studio yoga?!"


 

"Lo bisa transfer, sekarang juga boleh."


 

"Dibilangin gue pasti bayar! Tapi nggak sekarang."


 

Kala melipat tangan depan dada. Cecilia sadar pria itu selalu mengenakan hoodie longgar, pasti tubuhnya penuh bisul akibat kutukan. 


 

"Kalau gitu kapan?" tanya Kala.


 

"Besok. Dan berhentilah mengganggu gue!"


 

"Besok jam enam pagi."


 

"Jam delapan!" Ia butuh tidur cantik minimal delapan jam. "Lagian elo mau ngapain dateng ke rumah gue pagi-pagi? Jualan bubur?!"


 

Cecilia berbalik ke studio yoga tapi Kala mengikutinya dari belakang. Ia berputar kesal dan langsung menahan dada Kala dengan satu telapak tangan.


 

"Elo nggak boleh masuk." Ditunjuknya stiker besar yang menempel di pintu kaca studio. No Pets Allowed. "Elo belom vaksin rabies."


 

Kala terdiam sejenak dengan senyum tipis yang masih saja menghiasi wajah menyebalkannya itu. Akhirnya tubuh itu beranjak mundur sedikit demi sedikit menjauhi Cecilia. "Besok ya. Ini kesempatan terakhir lo. Anggap gue masih berbaik hati."


 

"Tayi." Babi.


 

***


 

Lupakan Diamonds bermuka dua dan Urip Sarimin sialan itu, Cecilia ingin mencuci bersih semua permasalahan hidupnya dengan menghabiskan makan siang cantik bersama Mommy tercinta.


 

Senyum membingkai wajah cantik Cecilia ketika duduk di meja bundar sebuah kafe Perancis itu. Sebelum Mommy tiba, ia mengambil cermin lipat dari tasnya, lalu menunduk sedikit untuk memeriksa riasan wajahnya yang sempurna.


 

Dilihat dari segala sisi, Cecilia Darwin memang sempurna. Wajah mungil oval yang lembut, alis proposional yang rapi, hidung mancung tanpa operasi, mata bulat yang besar, serta bibir ranum yang merah merona. Satu-satunya hal yang tidak disukai Cecilia dari wajahnya adalah lipatan mata. Tapi tidak masalah, ia sudah memperbaikinya dengan sedikit operasi kecil.


 

Selebihnya, dari dulu sampai sekarang ia selalu tampil sempurna tanpa celah. Rambut panjang berkilau, tubuh tinggi langsing, kulit bersih bak porselen—


 

"Aduh!"


 

Cermin di tangan Cecilia terjatuh, dan ia memekik kaget saat seorang anak kecil yang sejak tadi berlarian di restoran baru saja menubruk pinggangnya ... juga menumpahkan es krim ke rok velvet jersey Chanel-nya.


 

Ada apa dengan hari Minggu ini? Punya dosa sebanyak apa Cecilia, sampai-sampai ia harus membayar karma segini banyaknya?


 

"KENZO!" Ibu sang anak segera berlari menarik anak pecicilan itu, lalu shock melihat pakaian mahal Cecilia yang kini seperti celemek guru TK. "Mommy udah bilang jangan run di restoran! Aduh, maaf, Ci, maaf. Kenzo, cepet minta maaf sama si Cici!"


 

Kenzo, si bocah rusuh, memandang sekilas pada Cici Cecilia dan hanya mengerjap polos. Lalu menjulurkan lidah mengejek. "Sukurin!"


 

"Kenzo!" bentak si ibu lagi.


 

"Nggak pa-pa kok, Tante," Cecilia tersenyum lembut sambil memandang Kenzo dengan tatapan bersahabat. "Dia nggak sengaja, Tante. Namanya juga anak-anak." You little piece of shit. 


 

"Nanti saya ganti bajunya ya, Ci! Beneran, Ci!"


 

"Nggak usah, Tante, beneran nggak pa-pa." Ini Chanel haute couture limited collection, Tanteeeee! Bukan ready to wear H&M collection!


 

Jangan stres. Jangan stres. Cecilia tidak mau cepat keriput.


 

Akhirnya ia tersenyum tak-mengapa pada wanita yang mengenakan blus sederhana dari Uniqlo itu.


 

"Eh, cici ... cici Cecilia Darwis ya?"


 

Darwis dari Hong Kong. Cecilia tersenyum. "Cecilia Darwin, Tante."


 

"Ya ampun, beneran ini Cecilia? Aduh, cantik banget! Saya tuh follow IG-nya kamu loh. Nggak nyangka bisa liat langsung! Boleh foto-foto nggak? Boleh ya, boleh ya?"


 

DALAM NAMA ALLAH BAPA, PUTRA DAN ROH KUDUS! Cecilia mengerang penuh khidmat. 


 

Lalu menyeringai terpaksa. "Boleh, Tante."


 

Mungkin alih-alih Kaori, kedua orang tuanya lebih cocok memberinya nama tengah Cecilia PenuhKepalsuan Darwin.


 

Akhirnya setelah sesi foto yang menyiksa dan harus dilakukan berulang kali sampai si ibu puas, tak lupa adegan di mana Cecilia terpaksa harus memangku Kenzo sambil tak lupa memasang senyum pura-pura innocent padahal sudah dongkol setengah mati, dua makhluk pengganggu itu pergi juga dari meja Cecilia. 


 

Terima kasih banyak. Setelah meminta tisu berpuluh-puluh lembar dari waitress dan mencoba menggosok noda es krim di rok mahalnya yang berujung sia-sia, Cecilia pun menyerah.


 

Mungkin lebih baik ia melipir ke kamar kecil untuk memeriksa seburuk apa penampilannya sekarang. 


 

Lima menit Cecilia berkaca di cermin kamar kecil kafe, mencibir, dan meringis melihat kondisi roknya yang amburadul.


 

Enggak masalah, Cecilia menarik dan mengembus napas menenangkan diri, ia bisa membuang rok ini dan membeli yang baru sama per—


 

"Huwaaaaaaa~"


 

Lamunan Cecilia terusik oleh tangis anak perempuan di depan pintu masuk. Tanpa curiga sedikit pun karena memang ia sudah selesai berkaca, Cecilia berbalik melangkah menuju pintu.


 

Hanya untuk menemukan Kenzo berada tepat di depan pintu keluar. 


 

Bocah Kematian itu tidak sendiri, ada seorang anak perempuan kecil berpakaian cantik yang tengah menangis di hadapannya.


 

Cecilia reflek melirik gaun pastel cantik yang dikenakan si anak perempuan. Tidak ada masalah. Tapi begitu menaikkan lirikannya, ia baru sadar, salah satu dari dua kunciran rambut anak itu terlepas. Kini rambutnya compang-camping seperti suasana hati Cecilia.


 

"Kamu kenapa jambak aku!" jerit si anak perempuan.


 

Kenzo menjawabnya dengan menjulurkan lidah dan meledek we-we-wek sambil tak lupa memberinya sedikit tarian sinting seperti badut kesurupan, lalu si anak perempuan yang malang itu langsung berlari pergi tersedu-sedu.


 

Cecilia memeriksa sekeliling dan sadar suasana kafe sedang sangat ramai. Tidak ada yang melihat kejadian ini.


 

Bagus. Disambarnya rambut Kenzo hingga anak itu memekik kaget, lalu dipojokkannya sang Bocah Neraka ke dinding.


 

Cecilia membungkuk dengan senyuman dingin. "Kenzo, honey, yang elo lakukan itu nggak baik. Elo punya semacam dendam kesumat sama perempuan cantik atau gimana sih, hmm?"


 

"Cewek kan lemah, boleh diapa-apain." Sampai di sini, wajah Kenzo masih sedatar air comberan.


 

"Well," Cecilia membungkuk semakin mendekatinya. "Dengar baik-baik, Kenzo darling, sekali lagi lo berani ganggu cewek seenak jidat lo, maka cewek-cewek lemah ini akan memeriahkan hidup lo dengan bonus buy one get two."


 

"Bai wan get—"


 

"Artinya, satu kesalahan yang lo buat ke mereka, gue akan membalas dua kali lipat. Gue akan menelepon guru-guru di sekolah lo untuk memastikan setiap jam dua belas teng lo dijemur di lapangan, orang-orang kantin akan gue suruh memasukkan kelabang ke bekal makan siang lo, dan setiap hari lo harus sikat semua jamban wc sekolah sampai bersih mengkilap dengan jari-jari lo."


 

Kenzo mengerjap shock. "T—tapi... aku home schooling, Kak."


 

Oh. Cecilia balas mengerjap. Sial ....


 

Namun kebingungannya hanya berlaku sesaat, tak lama kemudian Cecilia sudah kembali mengukir senyum dingin tak tergoyahkan. "Nggak masalah. Gue tau alamat rumah lo. Setiap kali lo gangguin anak perempuan lagi, gue akan datang ke rumah lo dan jambak rambut lo sampai lo botak seumur hidup, dan gue akan iket tangan lo ke truk sampah biar elo diseret keliling komplek. Setiap hari, hidup lo akan gue bikin kayak neraka."


 

Wajah Kenzo benar-benar pucat sekarang.


 

"Ngerti?!"


 

Kepala kecil mengangguk-angguk panik.


 

"Bagus," Cecilia mengangkat dagu sombong. "Beginilah 'cewek-cewek lemah' kalau lagi marah, makanya elo jangan main-main. Tapi kalau lo tobat dan jadi baik ke anak perempuan, gue akan mengampuni elo."


 

"... baik." Kenzo mencicit ketakutan.


 

"Kenzo!"


 

Cecilia menegakkan punggung saat ibu Kenzo datang tergopoh-gopoh menghampiri mereka dengan raut panik. Wanita itu segera menghardik putranya karena berbuat entah apa lagi.


 

Cecilia menggeleng dengan senyuman lebar. Wajah iblisnya berubah maniiiis sekali. Satu telapak tangannya bahkan merangkul bahu Kenzo dengan akrab. "Enggak kok, Tante, Kenzo habis dari kamar kecil dan dia nyapa saya di sini."


 

"Dia nggak buat nakal lagi kan, Cik Cecil?"


 

"Enggak, Tante, Kenzo anak baik."


 

Sang ibu mengucapkan syukur kepada Tuhan, lalu menggandeng tangan Kenzo—yang bahkan tidak berani lagi menatap Cecilia—untuk kembali ke meja mereka.


 

Merepotkan, dengus Cecilia sembari ikut kembali ke mejanya.


 

Syukurlah suasana hatinya jadi membaik karena Julia Ishida, Mommy, tiba di kafe ini dua menit kemudian.


 

"Mommy's little Barbie." Julia memeluk erat tubuh Cecilia sebelum duduk di tempat mereka.


 

Cecilia mencermati penampilan sang ibu, lalu tersenyum kagum. Ia lupa kapan Julia Ishida pernah terlihat jelek seumur hidupnya. Bahkan 22 tahun lalu saat bersimbah keringat melahirkan dirinya ke dunia, Julia masih sempat-sempatnya mengenakan full make up agar terlihat cantik di foto. 


 

Cecilia belajar banyak dari sang panutan. Jangan pernah keluar rumah tanpa tiga hal; riasan wajah, outfit cantik, dan rambut berkilau. No gembel-gembel club.


 

Wajah Julia masih sangat terawat di usia 51-nya. Garis wajah Jepangnya yang bening dan lembut diwariskan pada Cecilia, sementara rambut hitam legam yang lebat dari Hugo. Tubuh rampingnya terbalut blazer formal warna abu yang dipadu padankan dengan heels hitam tinggi. 


 

Julia memiliki galeri seni yang sangat populer di Jakarta, kesehariannya lebih banyak dihabiskan di tempat kerja, mengurusi pameran demi pameran karya seni yang keseluruhannya terlihat aneh dan tidak dipahami Cecilia.


 

Saat Cecilia masih kecil, Julia pernah terobsesi menggali bakat seni dari sang putri. Julia percaya buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Cecilia pun dikirimnya kursus melukis, memahat, sampai membuat tembikar. Pernah suatu malam, Julia memboyong Cecilia ke pameran lukisan milik Renee Kubis. Ada sebuah lukisan yang menjadi sorotan utama, dan Julia meminta pendapat Cecilia karena ia begitu yakin sang tuan putri memiliki jiwa seni tinggi.


 

Lalu agar tidak mengecewakan sang panutan hidup, dengan polosnya Cecilia mengatakan lukisan ikan cupang di depannya itu sangat indah.


 

Julia langsung terkesiap horor. Bahunya merosot dan pancaran matanya terlihat menahan malu. Renee Kubis sang maestro pemilik lukisan pun murka, lukisan sayap kupu-kupu simbol perjuangan kesetaraan gender-nya dikatai buntut ikan cupang.


 

Padahal ikan cupang sudah sangat sopan, tadinya Cecilia menduganya sebagai gambar sayur mayur.


 

Sisi positifnya, Julia tak lagi memaksakan diri untuk mengorek bakat seni Cecilia—yang ternyata nol besar.


 

Bukan hanya gagal memahami lukisan, potensi Cecilia dalam membuat tembikar dan memahat patung-patungan juga gagal total. Sang anak memang tidak mewarisi darah seninya.


 

"Mungkin kamu cukup jadi anak manis yang cantik aja, Princess. Jadi Barbie," cetus Julia saat itu. 


 

Kalimat yang tanpa sadar diresapi baik-baik oleh Cecilia.


 

"Jadi, kenapa kamu tiba-tiba ngajak Mommy brunch?" Julia menurunkan kacamata untuk bisa membaca daftar menu dengan lebih jelas.


 

"Aku cuma kangen Mommy. Mommy sibuk banget ya?"


 

"Setiap weekend dalam sebulan ini nonstop pameran. Belum lagi lukisan dari Lucas Daan baru aja masuk galeri. Gila, kamu tahu nggak? Staf-staf baru Mommy tuh bener-bener nyusahin, nggak ada yang becus, Mommy harus ada di sana buat ngerjain semuanya. Buang waktu."


 

Cecilia memasang senyum simpati, walau sejujurnya ia berharap mereka tidak akan menghabiskan waktu berharga ini dengan membahas seni. "Hari ini aku lagi bad mood, Mi, butuh penghiburan dari Mommy."


 

"Anak manja," Julia tertawa mencolek hidung Cecilia. "Tapi serius, Kaori, ada apa kamu mendadak ngajak ketemuan?"


 

Julia selalu memanggilnya Kaori alih-alih Cecilia. Beliau begitu ngotot Cecilia tidak boleh melupakan akar leluhurnya yang berasal dari Jepang.


 

"Aku serius kangen Mommy. Terakhir kali kita ketemu udah lima bulan lalu." Itu pun karena ia yang mengalah dengan mendatangi galeri.


 

Julia tertawa semakin kencang. Atau sinis. Buku menu ditutupnya, lalu ia memanggil seorang pramusaji untuk memesan Egg Benedict on English Muffin. Setelah sang pramusaji pergi, wanita cantik dengan wajah oriental lembut itu kembali memandangi Cecilia dengan seksama. Senyuman di wajahnya terlihat bosan. "Oke, Kaori, sekarang katakan, Daddy kamu bikin ulah apa lagi?"


 

"Hmm?"


 

"Semua lunch cantik ini karena kamu mau ngadu soal Daddy kamu, kan? Mommy tahu kamu, Kaori."


 

"Hari ini aku cuma mau ketemu Mommy."


 

"Harusnya kamu tahu Mommy sibuk, nggak ada waktu buat dengerin keluh kesah kamu tentang si Tua Bangka itu."


 

"Tapi memang bukan itu tujuan aku."


 

"Kaori, I know you. Beneran deh, kalau si Tua Bangka sialan itu bikin ulah lagi, Mommy nggak mau ikut campur. Mommy udah putus hubungan sama dia. Hiiiih najis."


 

Cecilia menelan ludah yang terasa pahit di tenggorokannya. Kalau Julia memang benar-benar tahu tentang putri semata wayangnya, seharusnya dia bisa membaca bahwa Cecilia sedang tidak menginginkan apa-apa selain sebuah rasa nyaman bersama ibunya. Mungkin sebuah pelukan, atau gelak tawa yang sudah lama hilang.


 

Cecilia sama sekali tidak menyangka bahwa hari ini akan tercatat sebagai hari di mana ia mencapai titik terendahnya. Bukan hanya sakit hati, tapi juga rasa malu. 


 

Sudahlah. Telan saja ia ke perut bumi.


 

Julia menggeleng jemu. "Astaga, hanya dengan membayangkan ulah si Bau Tanah itu aja, Mommy udah merasa lambung Mommy bergejolak mau muntah. Kamu bisa bayangkan bahwa sampai detik ini, dan barangkali sampai seumur hidup, Mommy harus menanggung malu gara-gara pemberitaan tentang si mantan suami yang menghamili caddy girl yang seumuran dengan putrinya. Orang gila!"


 

Cecilia kembali mengumbar senyum plastiknya yang semakin lama semakin terlihat palsu. Tangannya bergerak susah payah mengambil garpu untuk menusuk potongan daun dari mangkuk salad di hadapannya.


 

"Ngomong-ngomong, kamu sudah graduation, setelah ini kamu sudah tau mau ngapain?"


 

Cecilia tak lagi berselera membahas apa pun. Lagi pula, memangnya Mommy peduli?


 

"Apa pun itu, jangan pernah ragu minta sama daddy kamu. Minta yang banyak kalau perlu, banyak banget, sampai duitnya habis sekalian. Kalau dia bisa dengan entengnya membiayai hidup cewek kampung itu, dia juga harus royal sama anak perempuannya sendiri."


 

Tuh, kan?


 

Cecilia mendengus dan merapatkan bibirnya.


 

"Astaga, si Tua Bangka itu, Mommy masih nggak habis pikir sampai sekarang. Kalau dia memang kesepian dan haus kasih sayang, setidaknya dia bisa cari yang sepantaran dengannya, bukan dengan cewek murahan yang bikin mantan istri dan anaknya malu. Sialan. Laki-laki memang selalu begitu, urusan otak belakangan, urusan selangkangan duluan. Ini peringatan buat kamu juga, Kaori."


 

Cecilia mengerling malas.


 

"Jangan menikah terlalu cepat dan pintar-pintarlah pilih pasangan. Seandainya ada yang nasehatin Mommy waktu Mommy muda dulu, tentunya Mommy nggak akan melakukan kesalahan terbesar dalam hidup Mommy."


 

"Aku juga termasuk? Sebagai kesalahan terbesar Mommy?"


 

Kalau saja Julia peka, ia seharusnya segera menghibur Cecilia. Tapi tidak. Semuanya masih tentang dendam dan amarahnya terhadap sang mantan suami.


 

"Seharusnya Mommy lebih pinter ngambil keputusan," mata Julia melamun dan bibirnya memberengut. "Bisa-bisanya Mommy berhenti kerja setelah menikah, membuang cinta Mommy terhadap dunia seni demi mengurus laki-laki bajingan itu. Keputusan cerai memang yang terbaik. Ingat, Kaori, jadi perempuan itu harus pintar. Jangan sampai kamu salah gaul apalagi hamil sebelum nikah. Kasian kamu, si Bapak Mesum pasti jarang di rumah buat mendidik kamu. Kamu butuh sosok ibu—"


 

"Damn right," Cecilia asal mengangguk dan tak lagi bergairah melanjutkan makan siang ini. Mana Kenzo? Tumpahkan saja es krim segalon ke gaunnya agar ia punya alasan untuk pulang cepat.


 

"—tapi yang kamu dapat malah ibu tiri yang seumuran sama kamu. Problemnya itu di bapak kamu yang sinting itu—"


 

Julia masih terus mengoceh sementara Cecilia menusuk daun-daun saladnya dengan cuek. Jangankan sebuah pelukan atau gelak tawa, sekadar pertanyaan 'bagaimana harimu' saja tidak pernah ia dapatkan. Sekarang, yang ia inginkan hanyalah hari ini berakhir dengan cepat.


 

***


 


 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Xoxo, I Hate You. Part 4 : “Limited edition.”
69
1
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan