
Ikarus tidak pernah memberi diri dan hatinya untuk siapa pun, sampai ketika seorang perempuan misterius datang tiba-tiba dalam hidupnya. Sosok itu terlarang baginya, tapi Ikarus jatuh hati dan justru terbang mendekati sang Matahari, tanpa menyadari bahwa sepasang sayapnya akan segera hangus terbakar.
Mila baru saja menyalakan batang rokok pertamanya, saat Elisa masuk melalui pintu cafe dan berjalan menuju tempatnya. Wajah sang editor andalan sekaligus sahabatnya itu kelihatan masam, tapi Mila yakin penyebabnya bukan karena ia tiba-tiba memaksanya bertemu di pukul sepuluh malam begini.
"Abis ngunjungin kakak lo yang toxic itu?" Mila menjentikkan rokok ke asbak. "Kalau gue jadi lo, gue udah nyoret diri gue sendiri di daftar Kartu Keluarga. Kenapa juga sih,dia harus patah tulang kaki segala? Bukannya koma aja, biar nggak repotin."
Seperti biasa, Elisa tidak menunjukkan reaksi apa pun. Perempuan es ini hanya sibuk menyapu sisa-sisa kulit kacang bekas makanannya di atas meja. "Mau apa? Ngajak ketemu malam-malam begini?"
"Astaga. Jam sepuluh gini dibilang 'malam'. El, El ... jem sepuluh gini justru jam biologis gue," nyengir Mila sambil menjentikkan kepala ke sebelah kiri, pada meja di sebelah sana yang ditempati cowok-cowok tampan dengan kemeja setengah rapi setelah jam pulang kantor. "Yang biru lucu ya. Mukanya minta diacak-acak pake bibir."
Seperti biasa, si Gunung Es hanya menatapnya lurus. Melirik ke meja sebelah pun dia tidak sudi.
"Ckckck, liat muka lo, El. Gini nih, muka cewek yang 23 tahun nggak pernah dapet orgasme."
"Langsung aja, Mil, ada apa suruh gue ke sini."
"Dasar Bima. Tampang doang cakep, anak borju, profesi dokter, tapi nggak bisa bikin temen gue klimaks. El, elo tau apa definisi 'laki-laki hebat'?" Mila mencondongkan tubuhnya mendekati Elisa, lalu berbisik parau. "Kalau dia bisa bikin celana dalam lo basah hanya dengan dua jari—"
Elisa mendesah malas. "Mana naskahnya, Mil?"
"Apa perlu Bima gue latih dulu? Setelah dia jadi ahli di ranjang, baru gue balikin ke elo. Win win solution, mumpung Segitiga Bermuda gue juga udah kering kerontang. Boleh, 'kan, gue minjem Bima? Gue janji akan bersikap baik dan lembut sama di—"
"Mil, naskah."
Mila mendecak kesal. Perempuan lain akan cemburu dan marah jika ia mengancam menggoda pacar mereka, tapi Elisa memang Elisa. Lebih mungkin melihat Tembok Cina runtuh, daripada melihat jelmaan robot ini mencak-mencak.
Mila membungkuk sedikit untuk meraih salinan hard copy dari dalam tasnya. "Di era digital gini, gue heran masih ada aja yang ngirim segepok hard copy." Diserahkannya naskah baru itu ke depan Elisa. "Nih."
Elisa mengamati sampul dengan kertas buffalo pink yang ditulisi judul 32 Days itu.
"Nama penulisnya Zara. Belum pernah ngirim naskah ke mana pun. Kita yang pertama. Ada staf bego yang salah kirim paket ke meja bapak gue, alhasil naskah ini dibaca bapak gue a.k.a pemimpin redaksi kita yang tercinta itu dan ... ta-raaaa~ beliau suka. Not bad, memang. Gue sendiri udah baca. Lega juga karena di tengah maraknya cerita teenlit, fanfiction KPop, romance bos billionaire alpha male yang jadi CEO di usia 17, ada bocah bernama seperti toko retail baju yang tau-tau datang mengirim naskah horor tentang 32 hari terjebak di neraka saat tubuhnya koma di rumah sakit. Yoi, meskipun sampulnya warna pink dan judulnya unyu-unyu, tapi ini genre horor."
Elisa membuka lembaran pertama dan mulai membaca.
"Penulisannya udah bagus, tinggal elo rapiin dikit aja. Eh tapi elo jangan hubungin dia dulu. Nggak ada satu pun dari tim redaksi kita yang boleh hubungin dia. Sengaja, biar nggak terkesan kita mupeng. Buat penulis baru kayak dia, royaltinya cukup 5%."
Elisa masih asyik membaca.
"Ck! Sialnya, bapak gue malah udah kepo ngirim naskah ini ke PH film. Gue bilang kalau misalnya naskah ini beneran gol jadi film, kasih aja lima juta, nggak usah banyak-banyak. Penulis baru biasanya masih bego, yang penting bukunya diterbitin aja udah seneng. Ya, nggak?"
Masih membaca.
Dasar nenek-nenek. Mila mematikan rokoknya ke atas asbak dan ganti mengamati Elisa. Sebenarnya ia ingin bertanya tentang hari pertama Elisa mengajar sebagai guru, tapi rasanya malas, menggoda cowok lucu berkemeja biru di meja sana sepertinya lebih seru.
"Gue cabut dulu ya, El. Gue serius waktu bilang segitiga bermuda gue udah kering kerontang. I need sex. Desperately. Lo nggak pa-pa 'kan, gue tinggal? Ada ongkos balik?"
Elisa hanya bergumam kecil sambil tetap menunduk menekuni naskah. "Jangan asal pulang sama sembarangan cowok."
"Baik, Bunda," Mila mengambil tasnya sambil memutar bola mata. Mudah bagi Elisa untuk berkata seperti itu, dia 'kan perempuan es yang tidak butuh kehangatan laki-laki. Beda dengan dirinya. Seminggu saja rebahan seorang diri di apartemen tanpa sentuhan laki-laki, ia bisa gila.
"Elo juga jangan pulang malem-malem, kasian guling sama selimut lo kesepian," cetus Mila, sebelum meninggalkan Elisa untuk bergabung dengan meja pria yang sudah diincarnya sejak tadi.
***
Sejak jumpa kita pertama
Kulangsung jatuh cinta
Walau kutahu kau ada pemiliknya
Tapi ku tak dapat membohongi hati nurani
Ku tak dapat menghindari gejolak cinta ini
Maka ijinkanlah aku mencintaimu
Atau bolehkah ku sekedar sayang padamu
Sudah pukul sebelas malam, tapi Bejo masih saja berbaring di kamarnya sambil menyanyikan tembang lawas dari Chrisye. Orang-orang akan menertawakan selera musiknya yang jadul, tapi bodoh amat, karena salah satu syarat menjadi penyiar radio adalah memiliki pengetahuan seluas-luasnya tentang musik.
Masih sambil berbaring dan menyanyikan bait demi bait, Bejo mengangkat foto cantik Isyana Sarasvati dengan satu tangannya. Senyuman lebar langsung terbit di wajahnya. "Gue harap Isyana nggak akan pernah nikah. Tunggu gue jadi penyiar radio, Mbak Isyana, gue akan ngajak elo kenalan dan bikin lo jatuh cinta sama gue."
"Kenapa harus penyiar radio?" sahut Ikarus, yang malam itu berbaring di lantai sebelah tempat tidur Bejo.
"Karena tampang gue kayak krupuk kulit tapi suara gue kayak Nick Jonas," Bejo berputar untuk menengok ke bawah. Dilihatnya Ikarus tengah sibuk bertukar pesan dengan ponsel. "Lo lagi chatting siapa sih?"
"Nggak usah kepo."
"Maunya sih gitu. Tapi ini kamar gue, rumah gue, dan gue berhak kepo kapan pun gue mau. Elo lagi chatting sama Iris 'kan? Lagi send virtual hug? Kirim ucapan 'good night I miss you so much, babe'?"
"Cuma ngobrol biasa. Iris ceweknya Rio."
"Yeah right," Bejo memutar bola mata. "Dan Bu Dir simpenannya Cristiano Ronaldo. Semua orang juga tau kalau Iris belum move on dari elo. Rio itu cuma pelarian."
Ikarus terdiam di bawah sana.
Maka Bejo melanjutkan. "Nggak bisa kayak gini terus, bro. Lama-lama persahabatan kita bisa hancur. Iris udah punya Rio, elo jangan terlalu perhatian lagi sama dia."
"Dia lagi butuh gue. Orang tuanya ... ya elo tau lah."
"Kalau dia lagi susah, Rus, mestinya dia cari Rio, bukan elo. Nggak usah sok-sok perhatian gitu lah, nanti bisa-bisa Iris nangkepnya beda. Takutnya dia kira elo ngasih harapan."
"Nggak usah khawatir. Elo sama Iris sama-sama tau; gue bukan tipe cowok yang bakal balik sama mantan."
"Belagu. Berapa banyak sih mantan lo?!"
"Nggak pernah ngitung."
"Cih!" Tapi Bejo tahu Ikarus punya hak untuk menyombong. Bocah gendeng itu memang laris manis di kalangan cewek, mantannya banyak dan Bejo sampai malas menghafal. Adik kelas, teman sekelas, cewek dari sekolah lain, cewek seru dari tempat nongkrong, kenalan dari teman, banyak! Ada yang maha cantik, ada yang imut, ada yang seksi bohay, ada yang gemes, ada juga yang agresif.
Bejo pernah bertanya pada Ikarus, mengapa semua cewek yang pernah dipacarinya adalah tipe agresif. Ikarus dengan santai menjawab; karena dia malas mengejar. Benar juga. Semua gadis cantik yang dipacari Ikarus adalah yang mengejar Ikarus duluan, bukan kebalikannya.
"Bro, gue mau nanya. Dari semua semua cewek yang pernah elo pacarin, siapa yang paling elo sayang?"
Ikarus tidak menjawab.
"Oke, gue jijik banget sama pertanyaan gue. Gue ganti; dari semua cewek yang pernah elo pacarin, siapa yang paling bikin lo gagal move on? Ck, masih jijik. Dari semua—"
"Nggak ada."
“Sombong bener!" Bejo melempar bantalnya, Ikarus tidak menepis dan kembali tertawa pelan—membuat Bejo jadi ragu, apakah tadi jawabannya serius atau Ikarus hanya asal menjawab untuk mengalihkan topik. "Bro ... gimana rasanya pacaran?"
Terdengar suara gesekan rambut tanda frustrasi. "Bisa nggak, ngomongin yang lain?"
"Sebenernya gue pengen nanya gimana rasanya ciuman, tapi ...," Bejo mengangkat lagi foto Isyana Sarasvati di tangannya. "Gue udah janji sama Mbak Isyana untuk jadi cowok lurus yang dewasa, baik hati, dan selalu berpikiran polos. Ihik, jadi malu."
Bejo mengikik sendiri sementara Ikarus mengabaikannya dan mulai mengatur posisi tidur.
Mau tidak mau Bejo teringat akan sesuatu. Setelah sekian lama kamarnya hanya terisi suara hembusan AC, Bejo akhirnya memberanikan diri untuk kembali menengok ke bawah melihat Ikarus. Sang sahabat telah memejamkan mata, tapi Bejo tahu dia belum tertidur.
"Rus, elo mau sampe kapan tidur di rumah gue?"
"Napa? Nggak boleh? Mau minta uang sewa?"
"Ribet, Rus. Elo tau gimana tergila-gilanya adek gue sama lo. Kalau lo nginep di sini, pusing gue ladenin dia. Terus belom lagi ...." Bejo tidak sanggup melanjutkan. Kasihan Ikarus.
"Iye gue tahu, besok gue bakal keluar dari jendela biar bokap lo nggak lihat."
"Sori ya, bro."
Ikarus tersenyum simpul sambil mengatakan tidak apa-apa, lalu kembali tidur memunggungi Bejo.
Bejo menghela napas panjang. Bukannya ia tega pada Ikarus, tapi semua situasi ini membuatnya serba salah. Orang tua Bejo sama dengan orang tua Iris, mereka tidak senang Bejo berteman dengan Ikarus apalagi kalau sampai akrab. Bagi mereka, Ikarus membawa pengaruh buruk. Sangat buruk—anak pengedar yang bisa-bisa membuat Bejo jadi ikut-ikutan ngobat.
Padahal semua anggapan itu salah. Bejo sangat menyukai Ikarus. Terlepas dari perangainya yang kadang keras dan semaunya, tapi anak itu berhati emas. Ikaruslah yang menolongnya dari tukang bully di sekolah yang menindasnya karena cupu—pendek, berambut keriting, berwajah jerawatan—dan menjadikannya sahabat sampai sekarang. Padahal dengan status Ikarus yang populer, cowok itu bisa saja berteman dengan murid lain yang lebih keren.
"Rus ... sekali lagi sori. Gue nggak tau harus bilang apa."
"Udahlah, pret, nggak usah dibahas."
"Tapi kalau lo nggak di sini ... lo mau tidur di mana, bro?" bisik Bejo lagi.
Ikarus jelas punya rumah, tapi anak itu lebih suka lari sejauh mungkin demi menghindari ayah tirinya. Ibu kandungnya tidak pernah peduli apalagi repot-repot memanggilnya pulang, Bejo bahkan yakin jika mayat Ikarus ditemukan mengambang di atas kali sekali pun, wanita itu tidak akan menangis.
Sudah tidak terhitung berapa kali Ikarus menumpang tidur di rumah Iris, rumah Bejo, sampai mini market tempat Bejo bekerja. Dulu semuanya terlihat mudah. Tapi sekarang tak lagi sama.
"Nggak usah dipikirin," akhirnya Ikarus menjawab masih dengan punggung membelakangi Bejo. "Gue bisa cari cara. Selama gue masih punya kaki, gue bisa pergi ke mana pun gue mau. Tidur di pasar juga nggak masalah."
***
Sesuai janjinya, pagi itu Ikarus menyelinap keluar dari rumah Bejo melalui jendela kamar. Tidak ada yang memergokinya selain Jessie—adik Bejo. Tapi tidak masalah, toh sudah sejak lama anak SD kelas 6 itu naksir berat dengan Ikarus.
"Aku nggak bakal kasih tahu Papa, asal Kak Ikarus mau jadi cowok aku," ancam si anak bau kencur yang baru mulai belajar dandan itu.
Ikarus menyibak rambut sembari tersenyum. "Gue udah punya cewek."
"Bohong! Kak Iris 'kan udah putus sama Kak Ikarus."
"Ada yang lain."
"Huh!" Jessie mengentakkan kaki. "Kalau gitu aku kasih tau Papa biar Kak Ikarus ditangkap!"
Lima detik kemudian Jessie sudah menjerit kencang memanggil ayahnya, Ikarus tertawa sambil melompati tembok rumah dan kabur.
Ada apa dengan perempuan? Beberapa dari mereka tidak bisa menerima kenyataan saat perasaannya tidak terbalas. Cinta terkadang membuat nalar mereka tidak bisa berfungsi dengan baik. Bukan hanya Jessie dan barisan pacar-pacar Ikarus sebelumnya, tapi juga Iris.
Entah sudah berapa banyak panggilan tak terjawab yang masuk ke ponsel Ikarus sejak subuh tadi. Belum lagi pesan singkat yang terhitung jumlahnya. Iris sangat marah karena Ikarus tidak mau memperbaiki hubungan mereka.
Elo tau kan gue sama rio gak serius?
Kenapa sih lo ngebiarin papa gue jahatin lo?
Kenapa sih lo pengecut banget?
Papa nggak mengenal diri lo yang sebenarnya, tapi lo udah mundur duluan!
Pengecut!
Elo nggak pernah sayang gue!
Ikarus menyimpan ponselnya ke dalam saku dan terus berjalan menuju sekolah. Boleh-boleh saja Iris menyebutnya pengecut. Terserah. Tapi salah besar jika gadis itu menilai dirinya tidak pernah disayangi. Ikarus tidak setuju. Ia selalu menyayangi Iris. Hanya saja rasa sayang yang ia miliki terhadap Iris, tidak sama besarnya dengan yang gadis itu berikan untuknya.
Lagi pula, ia melakukan semua ini untuk kebaikan Iris sendiri. Ia memutuskan hubungan mereka agar Iris bisa kembali berdamai dengan kedua orang tuanya. Tahun ini tahun terakhir sekolah, Iris harus fokus dan—
"Woi anak setan!"
Langkah Ikarus terhenti. Bulu kuduknya meremang dan kedua tangannya sontak mengepal. Kemarahannya langsung mendidih saat ia tahu Abi—si ayah tiri sialan itu—tahu-tahu sudah ada di belakangnya. Sudah sejak kapan manusia keparat ini mengikutinya?
"Elo pinter kabur sekarang," Abi berjalan menghadapnya lalu menyeringai. "Gue udah nungguin lo dari tadi, dasar anak tengik. Gue punya kerjaan buat elo."
"Gue bukan 'tangan' lo."
"Oh, elo harus jadi 'tangan' gue, Rus. Ada daerah yang nggak bisa gue jangkau, elo tahu lah kenapa ... banyak 'anjing' di sana. Nah, gue mau elo yang ke sana, anterin barang pesanan pelanggan gue."
Ikarus tertawa mencemooh. "Orang lo kurang banyak?"
"Banyak," Abi melepaskan cengkeramannya. "Banyak kok. Tapi gue nggak mau mereka mati masuk wilayah musuh. Kalo elo yang mati, gue nggak masalah, sebagai gantinya gue bakal beliin lo kantong mayat yang bagus."
"Silakan lo cari orang lain—"
Abi sudah mencengkeram kerah seragam sekolahnya sebelum Ikarus menyelesaikan kalimat. "Kalau elo berani nolak, berikutnya bukan cuma wajah cantik lo yang jadi korban. Ibu lo juga bakal ngerasain akibatnya. Ngerti? Gue butuh duit ini, dan elo butuh selamat. Anggap kita saling menguntungkan."
"Elo tau apa yang menguntungkan bagi gue? Liat elo mati."
Abi menampar wajah Ikarus dan menudingkan telunjuk ke depan hidungnya. "Jangan coba-coba nantang gue." Lalu tangannya bersiap menampar wajah Ikarus sekali lagi.
Namun, kali ini Ikarus melawan.
***
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
