
Ikarus tidak pernah memberi diri dan hatinya untuk siapa pun, sampai ketika seorang perempuan misterius datang tiba-tiba dalam hidupnya. Sosok itu terlarang baginya, tapi Ikarus jatuh hati dan justru terbang mendekati sang Matahari, tanpa menyadari bahwa sepasang sayapnya akan segera hangus terbakar.
Pak Dharmawan duduk di balik meja kerjanya dengan wajah berkeringat. Elisa berdiri di seberang meja, menunggu sambil mengukir senyuman canggung. Di samping kanan meja Pak Dharmawan berdiri tiang bendera merah putih dan lemari berisi piala-piala kejuaraan yang jumlahnya tak terhitung. Lalu di atas meja kerjanya, Elisa melihat lima frame photo yang semuanya berisi foto Pak Dharmawan bersama istri, anak-anak, serta ayam peliharaan mereka.
"Mari, Bu, silakan duduk."
Elisa menggeser kursi siap untuk duduk.
"Heh bocah!"
Lalu batal duduk.
Pak Dharmawan mengibas tangannya dengan gerakan mengusir pada orang di belakang Elisa. "Giliran kamu nanti, Bocah! Keluar sana!" Lalu kembali terkekeh menatap Elisa. "Ibu, sampai di mana kita, Bu? Silakan duduk, Bu."
Elisa menggeser kursinya siap duduk—
"Jadi begini!"
—kemudian batal lagi. Sudahlah. Mungkin ada baiknya ia tetap berdiri saja
Pak Dharmawan melanjutkan. “Saya kageeeeeeet sekali, waktu Bu Helena mengabari saya tentang kecelakaannya. Syukurlah beliau nggak pa-pa. Dan lebih bersyukur lagi saat beliau mengatakan adiknya bisa menggantikan pekerjaannya di sini. Kata Bu Helena, Anda juga guru?"
Elisa mematung. "Ehm .... Sebenarnya saya editor."
"Ah, siapa pun rekomendasi dari Bu Helena, saya percaya. Daripada saya cari guru baru lagi,” Pak Dharmawan menyeka keringatnya. "Tapi Ibu hanya akan mengajar di sini untuk sementara?"
"Iya, sampai kakak saya sembuh. Katanya Pak Dharmawan nggak masalah dia mengajar dengan tongkat."
"Memang,” jawab Pak Dharmawan. “Sama sekali nggak masalah, yang penting Bu Helena-nya sudah siap dan sehat. Saya sudah bertahun-tahun jadi kepala sekolah, saya tahu Bu Helena salah satu guru saya yang paling berdedikasi."
Elisa tersenyum tipis, teringat pada lembar-lembar kertas ujian dan buku PR yang berserakan di atas meja makan, yang semuanya dititipkan Helena pada Elisa untuk 'dibantu koreksi', saat Helena sang pahlawan tanpa tanda jasa yang konon super berdedikasi itu lebih memilih duduk manis menonton drama Korea.
"Iya," gumam Elisa. "Begitulah."
"Jadi nanti nanti Bu Dira yang akan menjelaskan pada Ibu soal jadwal mengajar di setiap kelas, dan Ibu nggak usah khawatir karena tahun ini Bu Helena tidak jadi wali kelas mana pun. Anak-anak di sekolah ini juga baek-baek kok, Bu, mereka akan sangat welcome terhadap Ibu. Mereka semua sopaaaaan dan manis, anak-anak baik penerus generasi bangsa—HEH! Siapa yang suruh kamu masuk?! Saya udah bilang belom giliran kamu!"
Suara di belakangnya terkekeh. "Kelamaan, Pak."
Bola mata Pak Dharmawan memelotot, lalu mengembus napas kesal dan berpaling pada Elisa. "Ya sudah, Bu, sampai di sini saja. Selamat mengajar dan sampaikan salam saya untuk Bu Helena."
"Terima kasih, Pak."
Saat Elisa berputar untuk meninggalkan ruangan, ia tidak kaget melihat murid bernama Ikarus itu sudah berdiri di depan pintu. Masih saja sambil tersenyum aneh dan memberi Elisa tatapan seakan ada tanduk rusa yang muncul di kepalanya. Semakin Elisa mendekati pintu dan semakin tipis jarak di antara mereka, ia merasakan tatapan murid itu semakin intens.
Elisa bermaksud mengambil kenop pintu, namun gerakannya tertahan karena tangan murid itu masih menempel di sana. Sang murid tersenyum (lagi) kepadanya, berdeham kecil, tapi sama sekali tidak bergerak membukakan pintu.
"EHEM!" deham Pak Dharmawan.
"Oh,” Ikarus mendorong pintu dan memberikan jalan bagi Elisa. "Silakan, Bu Guru. Sampai ketemu lagi."
Elisa berjalan keluar tanpa menoleh. Ia jadi bertanya-tanya, berapa banyak murid aneh yang harus ia hadapi di sekolah ini?
"Bu? Bu Elisa ya?" Seorang guru perempuan dengan kacamata minus dan rambut disanggul rapi, datang menyapanya di luar kantor. "Kenalan dulu dong, Bu, nama saya Dira. Saya guru Matematika di sini. Ibu adiknya Bu Helena ya? Waduh, cantik kayak kakaknya!"
"Cantik, memang," seorang guru pria dengan kaos tenis dan celana olahraga, tiba-tiba muncul. "Tapi tenang, Bu Dir, cuma kamu yang tercantik di hati saya."
Bu Dira segera menggandeng lengan Elisa dan menyeretnya. "Abaikan."
"Jangan gitu dong, Bu Dir, hati saya sakit loh, ditolak terus dari tahun ajaran 1988 sampe 2056. Kapan sih, Bu Dir mau terima cinta saya?"
"Sampai kamu juara Wimbledon juga saya nggak mau!" teriak Bu Dir dengan logat medok saat mengucapkan Wimbledon. Guru Matematika itu terus menyeret Elisa menuju kantor guru sampai ke kubikel peninggalan Helena. "Yang tadi itu namanya Budi, guru olahraga kita. Genit orangnya."
"Tapi suka, 'kaaaaan?" teriak Pak Budi sambil membuat gerakan mengayun raket. Seisi ruangan guru ini pecah oleh tawa kencang.
Meski Bu Dir terlihat senewen dan terang-terangan memberi gerakan menahan muntah, tapi Elisa menangkap gurat-gurat merah yang bersemu di pipinya.
"Abaikan saja, Bu Elisa. Emang gitu orangnya, norak." Bu Dir mempersilakan Elisa untuk duduk. "Nah, ini meja kerja Bu Helena, sekarang jadi punya Bu Elisa. Terus, ini jadwal ajaran kita." Diserahkannya selembar kertas untuk Elisa, khusus jadwal jam pelajaran Sejarah telah ditandainya dengan stabilo pink. "Guru-guru boleh istirahat kalau lagi nggak ngajar, misalnya menyusun materi, makan siang, atau mungkin tidur-tiduran nonton Youtube kayak si pemalas itu."
"Suaranya kekencengan, Bu Dir, kedengeran sampe sini!" teriak Pak Budi.
Bu Dir mengabaikannya. "Larangannya nggak boleh merokok ya, Bu, baik di dalam gedung maupun di luar. Nggak boleh nyabu juga ngeganja, kalau yang itu sudah pasti. Apalagi jualan kokain dan mariyuana, pokoknya say no to drragg. Nggak boleh tindik-tindikan juga, Bu. Di idung, bibir, ya kalau di tubuh yang tertutup terserah, seperti saya waktu muda dulu. Terus nggak boleh terima les dari murid sekolah ya, Bu, misalnya kalau ada yang minta Ibu lesin Fisika ke rumah mereka, nggak boleh, Bu."
Elisa mengernyit. Mungkin Bu Dira lupa bahwa ia guru Sejarah dan tidak pernah ada anak yang minta les Sejarah.
"Terus di jam istirahat, biasanya kita rolling guru-guru untuk ngawas di kantin. Itu aja sih, Bu. Gampang kok sebenarnya jadi guru. Yang penting kita bisa kuasai dua hal : materi, dan murid. Kita harus takluki keduanya."
"Bu Dir lupa peraturan yang satunya lagi : nggak boleh pacaran," celetuk guru kurus tepat di meja depan Elisa. Tentu saja ucapan itu ditujukan untuk Pak Budi dan Bu Dira. "Biar bisa fokus saat mengajar."
Bu Dir melotot. “Siapa juga yang mau pacaran sama si Gendeng itu!”
Pak Budi lekas membalas. "Loh? Pacaran sesama guru tentu boleh, Pak Anwar. Malah bagus! Bisa membakar semangat! Yang nggak boleh itu pacaran sama anak murid. Malapetaka!"
Saat itu pula, dering bel bergema di setiap sudut ruangan. Derai tawa di sekitar Elisa serta merta menghilang berganti ekspresi wajah serius.
Bu Dir bahkan membusungkan dada sambil memasang raut galak. "Harus galak, Bu. Namanya juga guru Matematika. Kami harus lebih killer dari boneka Coki."
“Chucky, Bu.” Celetuk guru lain.
Elisa menunduk memandangi kertas jadwal dan tumpukan buku materi di atas mejanya, lalu menarik napas panjang sambil memejamkan mata. Tenang, tenang, kamu bisa lewatin yang satu ini. Helena bilang ini bakal menyenangkan. Tenang.
Bel berhenti berdering. Ia mengambil bukunya dan berdiri dengan penuh percaya diri.
Lagi pula, apa susahnya sih jadi guru?
***
"Siapa suruh kamu duduk? Berdiri!"
Ikarus berdiri malas-malasan dari kursi tamu Pak Dharmawan.
"Aduh, kamu tuh ya, telat di hari pertama. Baruuuu hari pertama, tapi kamu udah bikin ulah. Gimana nanti di hari kedua, ketiga atau ketiga puluh, hah? Tahun ini pokoknya Bapak nggak mau lagi dengar ada guru yang lapor soal kamu. Sudah cukup, Ikarus! Kamu sudah kelas tiga, tahun ini lulus, jangan bikin masalah yang menghancurkan masa depan kamu!"
Sepanjang pidato kenegaraan itu, Ikarus hanya memusingkan dua hal: aroma tak sedap yang menyeruak setiap kali Pak Dharmawan mengangkat tangan, dan di mana si guru baru itu mengajar saat ini.
"Kamu tuh udah senior di sini, mbok ya kasih contoh yang baik buat adik-adik kelas. Jadi panutan, gitu. Jangan suka bolos, jangan suka bikin keributan. Saya ngerti anak muda kayak kamu punya energi yang besar, ya salurkan dong, untuk hal-hal yang baik."
"Misalnya?"
"Misalnya kamu bisa ikut eskul sekolah. Kamu tinggi, kenapa nggak ambil basket?"
"Karena saya sudah terlalu jago."
"Kalau gitu ambil eskul lain. Seni, misalnya!"
"Saya sudah terlalu artistik."
Pak Dharmawan mengabaikannya. "Selama empat tahun di SMA, kamu nggak pernah ambil eskul atau pun terlibat dalam organisasi murid, BOLOS melulu! Tahun ini saya mau kamu paling enggak ambil eskul, apa aja, daripada petantang-petenteng nggak jelas di luar jam sekolah!"
"Boleh saya usul dibikin eskul sejarah? Jalan-jalan di museum, misalnya."
Lagi-lagi Pak Dharmawan mengabaikannya. "Dan satu hal lagi yang Bapak minta dari kamu." Wajahnya berubah serius. "Jangan pacaran sama Iris."
Ikarus melenguh bosan.
"Ini permintaan dari orang tuanya."
"Biar saya tebak," lanjut Ikarus. "Karena saya bawa pengaruh buruk?"
"Karena mereka ingin Iris fokus di tahun terakhirnya," hidung bangir Pak Dharmawan kembang kempis. Berarti bohong.
Ikarus tahu betul nilai dirinya di mata orang tua Iris. Bagi mereka, Iris bisa saja jadi juara kelas kalau tidak berteman—kemudian berpacaran—dengan Ikarus yang dianggap membawa pengaruh buruk. Menurut mereka, berkat Ikarus-lah, Iris berubah menjadi pembangkang yang gemar bolos dan melawan orang tua.
"Bapak nggak peduli dengan kisah cinta kalian atau siapa pun di sekolah ini, tapi Bapak minta kamu pikirkan perasaan orang tua Iris. Satu tahun lagi, Ikarus, satu tahun lagi. Belajar lah yang benar, jadi anak baik, jangan bikin masalah, maka setelah itu kamu bisa lulus dari sekolah ini dengan dagu terangkat."
Ikarus tahu, berat bagi Pak Dharmawan untuk mengucapkan 'agar orang tua kamu bangga', karena sang kepala sekolah tahu betul, kemelut macam apa yang terjadi dalam keluarga Ikarus.
"Sungguh saya ingin kamu lulus tahun ini, Ikarus, setidaknya punya ijazah, meski bisa saja kamu bakal berakhir jadi preman terminal atau pengedar narkoba. Entahlah. Pokoknya lulus dulu. Yang lain urusan belakangan."
"Ya, Pak,” Ikarus tersenyum. Kepala sekolah yang satu ini kelihatannya saja cerewet, tapi sebenarnya dia baik hati dan penyayang. "Oh iya, Pak ...."
Pak Dharmawan mendongak. "Apa?"
"Guru baru yang tadi itu ... bakal gantiin Bu Helena?"
"Iya."
"Selamanya?"
"Cuma sampai Bu Helena sembuh. Kenapa?" Raut wajah Pak Dharmawan berubah curiga. "Eh eeeeh, jangan coba-coba bikin masalah ya. Jangan macem-macem kamu, walau pun Bu Elisa cuma guru cadangan, tapi jangan bully dia. Awas!"
Pak Dharmawan menggunakan dua jari untuk menunjuk bola matanya sendiri, lalu balik menunjuk kamera CCTV di atas sudut ruangannya, dan berakhir di tempat Ikarus.
"Bapak bakal awasin kamu. Nggak boleh macem-macem sama Bu El."
***
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
