
Definition of ambrosia
1a : the food of the Greek and Roman gods
b : the ointment or perfume of the gods
2 : something extremely pleasing to taste or smell
Langit pagi ini gelap luar biasa.
Saka berkeringat sangat banyak di atas mesin treadmill-nya. AirPods menempel di kedua telinga dan pandangan fokus pada pertandingan basket yang ditontonnya di layar treadmill. Malam ini malam semifinal, dan meski Coach telah memanggilnya untuk datang latihan tanpa perlu menulis surat permintaan maaf, tetap saja Saka tidak datang dan malah memilih menganalisis kemampuan tim lawannya lewat Youtube.
Bola matanya bergerak-gerak serius mengamati pergerakan pemain nomor 7 yang nanti akan menjadi lawannya. Cukup tricky, sangat lincah, tapi tidak memiliki kemampuan tangan kanan dan kiri yang seimbang. Tembakan tangan kirinya terlalu lemah.
Meski kedua telinga Saka telah tersumbat AirPods, samar-samar ia masih bisa mendengar suara percakapan dua om-om di sebelahnya. Tentang pemadaman listrik yang akan dimulai nanti malam tanpa pemberitahuan jam berapa, tentang malam BBQ di Clubhouse—Saka sudah tahu dari Tante Tika yang mengajaknya tadi pagi—dan tentang Samara Lee.
"Itu yang namanya Samara Lee, kan? Yang baru pindah itu?"
"Yang lagi berenang itu?"
Saka memindahkan pandangannya dari layar Youtube menuju dinding kaca di depannya. Kebetulan tempat gym berada di lantai dua, dan dari kaca depan deretan mesin treadmill ini, semua orang bisa melihat kolam renang di bawah sana.
Tidak banyak yang berenang di Clubhouse pada pukul tujuh pagi begini. Apalagi dalam cuaca mendung begini. Hanya ada seorang ibu berparas bule dengan anak balitanya, dan Samara Lee.
Perempuan itu menepi dengan dua lengan berpegangan di pinggir kolam, mengobrol dengan si ibu yang tengah menggendong balitanya. Tatapan mata Samara masih selembut saat Saka melihatnya menyentuh bayi temannya di pesta ulang tahun itu.
"Dia baru pindah ke mana?" lanjut om-om di sebelah Saka.
"Blok B kayaknya ya? Bekas rumahnya si Welly udah kosong lama 'kan, tuh?"
"Masih muda ya. Gila, cakep kali tuh cewek!"
"Denger-denger dari bini gue, dia kawin sama anaknya si Krisna Suntext."
"Pinter juga dia cari laki."
"Ya daripada jadi piaraan, kan? Masih muda, cakep, seksi, mending cari anak pengusaha."
"Padahal gue mau-mau aja piara dia."
"Cakepan dia daripada bini lo ye?"
"Bini gue mah, mau suntik berapa kali juga tetep peyot."
Saka mematikan layar Youtube beserta mesin treadmill-nya. Menyambar botol minuman dan handuk.
"Yang ini mah nggak usah suntik-suntik juga nggak peyot. Sekel, kayak tomat seger."
"Tinggal kita 'suntik-suntik' di tempat tidur."
"Denger-denger, belom punya anak tuh."
"Belom 'maen' sama gue sih, sekali gue suntik juga—HEH BABI, ANJING, SONTOLOYO!"
Om Botak terhuyung ke sebelah menimpa Om Tahi Lalat. Keduanya terjatuh tanpa ampun dari mesin treadmill.
"Sori," Saka mengangkat tangan. Ia bilang, lengannya tidak sengaja menyenggol Om Botak waktu lewat tadi.
"NYENGGOL APA NUBRUK, LUH?! Badan you dari pantat truk, hah?!" Om Botak membanting handuknya. "You mau baku hantam sama I?!"
Om Tahi Lalat, yang jelas tahu siapa Saka Barata, langsung menarik tangan Om Botak untuk mencegahnya berkonfrontasi.
"Anak Mendagri," bisik si Tahi Lalat di Mulut. "Anak pejabat."
Si Botak yang masih terengah-engah emosi, memandang kawannya dan Saka bergantian, lalu perlahan mulai terlihat bingung dan ragu.
Saka tersenyum simpul pada kedua om-om itu, lalu berbalik pergi tanpa mengatakan apa-apa. Sayup-sayup sebelum pintu ruang gym menutup, ia mendengar Om Botak merutuk marah.
"Anak nggak tau diri! Berani kurang ajarnya sama orang tua!"
Dasar bau tanah campur tai kucing, gumam Saka dalam hati.
***
Saka menyampirkan tas olahraganya ke pundak, lalu mengenakan topi Yankees warna marun gelapnya sambil terus berlari menuruni tangga.
Ia tidak berniat menemui Samara Lee, percayalah.
Setelah malam kemarin di mana otaknya terus dipaksa bekerja keras memikirkan perempuan itu hingga sulit tidur, Saka tahu lebih baik ia menghindar. Bukannya kenapa-napa, tapi ia harus fokus, bukan? Pertandingan semifinal tinggal beberapa jam lagi. Pikirannya hanya boleh tertuju pada pemain nomor 7 Varel-Varel Entah Siapa Nama Belakangnya itu; tentang kebiasaan back pass-nya, tentang bagaimana cara melumpuhkan gerakannya, minimal memaksa tangan kanannya tidak bisa menembak dan ia tidak punya pilihan selain menggunakan tangan kiri—
"Pak Saka."
Holy crap mother of Batman.
Demi jenggot Steph Curry ....
Saka berhenti di anak tangga paling bawah, terpaku di depan lorong lebar yang menghubungkan tangga gym dengan ruang kamar ganti Clubhouse.
Samara menatapnya sambil memeluk botol air dan menenteng tas berisi baju ganti. Rambutnya basah kuyup dan baju renangnya ditutupi swim robe putih yang diikat ketat.
"Baru selesai gym?" tanyanya basa-basi.
"Iya," jawab Saka basa-basi pula. "Abis ini mau cuci baju ganti muka."
"...."
"Maksud gue, cuci muka ganti baju."
Perempuan itu melengkungkan senyum tipis seakan berusaha menghargai informasi maha penting itu.
Kemudian keduanya saling terdiam dan Saka bingung harus mengatakan apa.
"Ngomong-ngomong," kata Saka. "Sekarang gue udah punya pen."
Mata Samara mengerjap menahan bingung.
"Buat tanda tangan surat perjanjian."
Bibir Samara membentuk o kecil.
"Gue bawa," Saka merogoh saku celana training-nya, tapi rupanya tertinggal di celana satu lagi. Ia segera menurunkan tas olahraganya dan menarik ritsleting, menunduk dan mengorek-ngorek isi di dalamnya yang super berantakan hingga salah satu barangnya terjatuh ke kaki Samara. "Tunggu, kayaknya gue masukin ke celana rumah—"
Samara membungkuk memungut kain yang terjatuh itu dan menyerahkannya kembali pada Saka. Boxer kotak-kotak.
Bang sat .......
Monyet Kurap, gue bilang mending lo kabur sekarang juga.
Saka membatu, lalu menyambar boxer itu dan segera menyimpannya kembali ke dalam tas.
Samara tersenyum kalem. "Pak Saka nggak mengira saya bawa surat itu ke mana-mana saya pergi, kan?"
Tentu saja. Saka menghela napas. Untuk apa Samara Lee menenteng surat pemasangan CCTV ke tempat berenang?!
"Mungkin nanti sore?" lanjut Samara.
"Oke." Saka menyampirkan kembali tas olahraganya sambil berharap wibawanya tidak luntur setelah insiden boxer memalukan itu.
Samara masih menunggu dalam senyum bingung. Mungkin ingin masuk ke kamar ganti untuk mandi, tapi tidak enak hati karena Saka masih di sana.
"Bau kaporit ya?" tanya Samara.
"Hmm?"
"Badan saya. Bau kaporit. Salah satu bau yang Pak Saka nggak suka."
Dia ingat. Saka menggeleng. Saat ini ia sedang tidak ingin fokus menghidu aroma apa pun yang lewat, ia hanya ingin fokus menenangkan dirinya dari efek yang dibawa Samara. "Gue pulang dulu. Nggak bisa lama-lama di sini."
"Oke."
Setelah beberapa detik yang canggung, Saka melewati Samara tanpa menatapnya. "Bye."
Kedua kaki Saka melintasi tempat itu dengan tergesa, ia melewati lobi dan meja resepsionis dengan pikiran bercampur aduk. Kembali diliriknya awan gelap yang sudah menggulung-gulung di atas sana.
Saka berhenti melangkah untuk mengeluarkan ponselnya. Dibukanya aplikasi Weather. Lalu terpaku singkat memeriksa prediksi cuaca di layar itu.
Kemudian, tak butuh waktu lama baginya untuk berbalik masuk kembali ke Clubhouse. Kaki itu berlari tergesa menuju ruang kamar ganti perempuan, dan bersyukur menemukan Samara masih berdiri di sana membetulkan tutup botol airnya.
"Hei," panggil Saka.
Samara menoleh kaget.
Saka melepaskan topi Yankees dari kepalanya dan mengenakannya ke atas kepala Samara. "Bakal hujan. Hati-hati ke mobil."
Samara belum sempat bereaksi dan Saka sudah membungkuk untuk membetulkan letak topinya di kepala Samara, dibetulkannya satu dua kali hingga pas, lalu diperiksanya sekilas wajah Samara, digoyangkan sedikit ke kanan kiri topi itu, kemudian terdiam lama menatap kedua mata indah itu. Astaga. Mata itu. Wajah itu. Ia ingin menyentuhnya. Lalu seakan sadar apa yang dipikirkannya, Saka segera tersentak, dan berdiri tegap memandangi Samara dalam diam. Lebih baik ia pergi sekarang juga. Saka mengangguk, lalu berbalik meninggalkan Samara tanpa berkata apa-apa.
Kaki itu berjalan cepat meninggalkan Clubhouse menuju pelataran depan tempat X5-nya diparkir, di saat yang tepat, rintik hujan turun sebutir demi sebutir ke atas bahunya.
***
SAKA!
SAKA!
SAKA!
DEFENSE!
DEFENSE!
DEFENSE!
Suara decit sepatu tenggelam oleh gemuruh teriakan penonton yang membahana di setiap sudut arena.
Saka merentangkan dua lengannya. Pemain nomor 12, Varel, mendribble bola dengan lirikan mata tajam mengawasi.
DEFENSE!
DEFENSE!
DEFENSE!
Pendukung Titans terus berteriak.
Peluh membasahi wajah hingga seluruh tubuh Saka. Dengan tersengal, tatapan mata itu begitu fokus mengamati pergerakan bola. Man to man defense yang cukup alot antara Saka Barata dan Varel Entah Siapa Nama Belakangnya yang sama-sama menjadi tulang punggung tim malam ini.
Oper, Tolol ... oper. Saka menanti.
Varel bergerak tiba-tiba ke sisi kiri dan mengangkat tangan seakan hendak mengoper bola, tapi rupanya gerakan tipuan, pemain itu meliuk dan bola dilemparnya dari belakang punggung untuk mengelabui Saka.
Tidak semudah itu, Alex Ferguso. Saka menangkap bola operan dengan cepat. Tidak ada gerakan mengelabui yang bisa menipunya.
Seisi arena bergemuruh hebat saat Saka berlari secepat kilat menuju area lawan. Andrew, pemain forward Titans berlari tanpa pengawalan dan mengangkat tangan meminta bola dari Saka. Dari kacamata mana pun, semua orang tahu bahwa lebih baik mengoper pada Andrew yang kosong, daripada Saka memaksa diri menembak dengan kemungkinan 90% gagal karena dikawal dua pemain lawan.
Sepatu Saka berdecit tepat di depan garis three point, lututnya menekuk dengan gerakan tubuh siap menembak. Dua pemain lawan bertubuh besar siap memblokir tembakannya, tapi terkecoh karena mereka melompat lebih dulu dari Saka dan Saka tidak kunjung melompat, tangan itu baru melayangkan bolanya dengan sangat cepat, dalam posisi terjepit dan ruang sempit, menuju ring.
Dan masuk.
Arena ini seakan ambruk oleh sorak sorai.
Wasit meniupkan peluit untuk kedua tim.
Coach memanggil seluruh pemain untuk berkumpul, dan Saka didampratnya habis-habisan.
"Lo jangan egois, Ka! Andrew lagi kosong! Lo buta atau apa sih?! Oper ke Andrew dong!"
"Yeah? Untuk apa? Dua poin? Gue barusan bikin three points."
"Elo nggak bisa main individualis gini, Ka! Main tim!"
"Mau-mau aja, kalau udah ada yang jago di tim gue."
Seluruh rekan tim Saka terbelalak dan Ian—sang kapten tim yang hari ini bermain buruk dengan hanya mencetak enam poin—tampak siap meninju Saka. Rekan-rekannya langsung menghalangi.
Saka melipir dan meneguk air minumannya dengan santai. Dipandanginya papan skor yang menandakan Titans unggul banyak dengan sisa waktu dua menit lagi. Tepuk tangan dan gemuruh sorak sorai Little Prince yang digaungkan pendukung Titans terus bergema mengisi seluruh arena.
Wasit kembali meniupkan peluit dan Saka melempar botol minumnya, dengan sisa tenaga terakhir dan tubuh kelelahan banjir keringat, ia berlari penuh semangat memasuki lapangan.
SAKA!
SAKA!
SAKA!
LITTLE PRINCE!
LITTLE PRINCE!
LITTLE PRINCE!
Pertandingan ini seakan hanya miliknya.
***
Di atas tempat tidur, Inge Barata menatap Saka dengan tatapan kagum campur tatapan penuh tanda tanya, bibir pucatnya merangkai senyum tak percaya, saat Saka—alih-alih menceritakan kemenangan telak Titans malam ini—justru menceritakan tentang tetangga-tetangganya.
Dengan kerjapan lemah tapi bibir tersenyum, Inge menghentikan laju bicara Saka yang seperti kereta api. "Jadi, teman baru kamu sekarang pasangan suami istri tua tanpa anak yang punya jam lonceng, seorang seniman esentrik yang hobi bikin lukisan telanjang, dan perempuan muda yang baru pindah?"
"Om Hendro sama Tante Tika punya anak. Dua. Morgan dan Rafa, cuma dua-duanya jarang berkunjung. Dan Simon bukan pelukis. Dia bikin patung-patung telanjang."
Kerutan di kening Inge jadi tambah dalam.
Saka tertawa kecil seraya mengambil satu tangan Inge untuk digenggamnya lembut. "Lupakan. Ngomong-ngomong, Ibu keliatan ngantuk."
Inge menggeleng. "Ibu belum mau tidur. Ini pertama kalinya seumur hidup, Ibu nggak denger kamu cerita soal basket—padahal kamu abis menang semifinal—dan malah cerita tentang teman-teman baru kamu. Bagus. Monyet Besar Ibu sudah keluar goa."
Saka mengulum senyum. Ia senang melihat respon Ibu, tapi tidak bisa berbohong bahwa ia khawatir ... Ibu tampak lebih lemah malam ini. Bahkan sejak kedatangan Saka hingga sekarang, Ibu sama sekali tidak beranjak dari posisi tidurnya. Biasanya, Ibu suka mondar-mandir belagak kuat.
Wajah Ibu juga tampak sangat mengurus, padahal Saka baru satu hari tidak berkunjung. Rambut tipisnya nyaris habis. Kulitnya begitu keriput hingga tulang pipinya tampak menonjol.
Saka mengecup lembut kening Inge. Hanya itu yang bisa ia lakukan.
"Saka," bisik Inge dengan mata menutup dan bibir tersenyum. "Berapa hari lagi sebelum malam Final?"
"Seminggu."
"Menangkan tropi itu untuk Ibu."
"Cuma itu request-nya? Terlalu gampang buat aku."
Inge tertawa sangat lemah. Begitu lemah. Kanker paru-paru stadium akhir telah merenggut tawa riang Inge yang sangat dirindukan Saka.
"Saka. Anak meteornya Ibu."
Saka mendekatkan wajahnya di depan bibir Inge. "Hmm?"
"Jangan datang ke sini setiap hari, kamu masih punya hidup yang harus kamu jalani. Berhentilah menjenguk Ibu setiap malam."
"Aku nggak mau."
"Besok jangan datang. Bersenang-senanglah dengan teman baru kamu."
"Mereka juga punya acara sendiri."
"Ibu sekarang tenang. Setelah Ibu pergi nanti, kamu sudah punya orang-orang yang bisa menjaga kamu."
Saka menghapus senyuman di bibirnya. Ditatapnya wajah tirus itu dengan sorot ketakutan. Matanya yang tertutup lemah dan deru napasnya yang nyaris tidak terdengar, Saka buru-buru meremas genggaman tangannya.
"Ibu ngantuk sekali ...."
Saka menelan ludah, entah harus senang karena Inge masih bersuara atau nyaris menangis karena ia sadar entah kapan ia akan mengalami ketakutan itu lagi—mungkin lain saat, ketakutannya akan memiliki akhir beda, mungkin Inge tidak akan mengatakan ia ngantuk lagi.
"Bu?"
Inge menggumam pelan masih dengan mata tertutup. "Ya."
Saka menelan ludah lebih keras lagi. Ingatannya kembali pada Pak Jaya yang tak pernah memiliki kesempatan mengucapkan selamat tinggal, tapi Saka masih berusaha meyakinkan dirinya sendiri bahwa waktu yang ia miliki dengan Inge masih bisa lebih lama.
Ia terus menyangkal dan terus menyangkal.
Hingga saat deru napas Ibu kembali nyaris tidak terdengar, Saka lagi-lagi disergap rasa takut.
"Aku cuma mau bilang," Saka meremas tangan kurus itu kuat-kuat. "... terima kasih, sudah berjuang sampai sejauh ini. Aku tahu ... Ibu pasti kesakitan, tapi tetap berjuang demi aku."
Bibir Inge merangkai senyum lemah. "Saka."
"Ya?"
Inge terlihat berusaha keras membuka kedua matanya untuk memandangi Saka, tangan itu dilepasnya dari genggaman Saka, lalu dengan susah payah diangkatnya untuk mengusap pipi sang putra semata wayang.
"Pangeran Kecil," bisik Inge pelan. "Siapa pun ... yang mengubah kamu seperti ini ... berpeganganlah terus pada dia."
***
Saka menutup pintu dengan hati-hati, lalu berbalik meninggalkan kamar tidur Inge dengan perasaan tidak menentu. Inge bersikukuh melarangnya menginap malam ini dan meyakinkannya bahwa ia masih kuat sampai Pesta Perpisahan yang akan digelar untuknya minggu depan.
Minggu depan.
Ia ingin waktu yang dimilikinya dengan Inge melebihi minggu depan.
Saka masih melamun sambil berjalan, sebelum terusik oleh suara tawa riang yang didengarnya dari ruang bawah.
Saat ia sampai di sana, ia melihat Raja Barata beserta Aruna—sekretaris merangkap teman tidurnya selama tiga belas tahun ini—tengah bercengkerama di ruang tengah. Tampak akrab dan hangat, sama sekali tidak terganggu oleh kehadiran pengawal pemerintah yang berjaga di sekeliling mereka.
Para pengawal itu mengangguk sopan melihat kehadiran Saka, dan Raja Barata berhenti tertawa melihat kedatangan sang putra.
Saka melesat marah menuju dua manusia itu.
Aruna mundur ketakutan, dan Saka berdiri tepat di depan wajah Raja Barata.
"Ibu masih di kamar atas. Hidup. Bernapas," tuturnya dengan pelototan marah. "Wanita yang udah dampingi Ayah dua puluh enam tahun sialan. Dan Ayah di sini bertingkah seperti bajingan."
"Jaga bicara kamu." Raja menatapnya sengit.
"Atau apa?" Saka mengangkat dagu. "Mau lemparin aku pake asbak lagi?"
Raja masih menatapnya sengit tanpa suara, dan Saka tersenyum kesal. Betapa ia membenci julukan Little Prince yang dialamatkan publik untuk dirinya, karena mereka menganggapnya sebagai Pangeran Kecil untuk raja Raja Barata.
Kemudian pandangannya beralih ke Aruna. Selama tiga belas tahun, Saka tidak pernah berkata ataupun bersikap kurang ajar kepada perempuan itu. Sama sekali. Ia berusaha keras menghormatinya karena Aruna adalah perempuan seperti Inge, kaum yang harus dihargainya karena ia menghargai dan menyayangi Inge.
"Aku selalu berusaha sopan sama perempuan, tapi kalau dia di sini di saat Ibu masih ada," Saka menunjuk Aruna, lalu menatap Raja. "Ayah silakan pergi atau aku akan bersikap kasar."
"Ini rumah Ayah dan Ayah minta kamu menghormati Ayah, beserta semua pilihan yang Ayah buat."
Ponsel di kantung celana Saka berbunyi saat ia baru saja hendak merenggut kerah kemeja Raja dan mencaci makinya. Saka menahan deru napasnya dengan susah payah.
"Gimana kalau kamu yang pergi aja?" tantang Raja. "Anak nggak tau sopan santun."
Pengawal Raja berdatangan. Meski masih berusaha bersikap sopan pada Saka, mereka memberi gestur tangan mempersilakan Saka untuk pergi.
Saka melangkah mundur dengan tatapan marah sekaligus perasaan terluka. Lagi pula, memangnya apa yang bisa ia lakukan? Menghajar ayahnya sendiri dan membuat Ibu di kamar atas sana semakin sakit karena khawatir?
"Pergi." Raja menatapnya tegas.
Saka berbalik. Kakinya melangkah sangat marah meninggalkan pemandangan memuakkan itu. Ia mengeluarkan ponsel sambil terus berjalan menuju mobilnya.
Ada beberapa pesan masuk di sana.
Tante Tika
Saka jadi dateng ke bbq kan? Awas ya kalau sombong! Anak muda harus lebih sering berbaur sama kaum tua!
Monica
Cyiiin, lagi di mana cyiin? Gue butuh bantuan panggang memanggang nich! 😘😘😘😛
Om Hendro
Saka masih tandifng? Kalau sudh bers, dtg sinj ya. Om sudah sisain daging buat saka
***
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
