
Definition of ambrosia
1a : the food of the Greek and Roman gods
b : the ointment or perfume of the gods
2 : something extremely pleasing to taste or smell
Lima mangkuk ramen telah tandas dan semua masih bertahan di meja. Terkadang mereka—lebih tepatnya lagi Simon dan Tante Tika—bertukar cerita dengan serunya sampai-sampai seisi restoran ini hanya terisi suara mereka.
Simon bercerita tentang urban legend hantu perempuan cantik yang suka nangkring di atas genteng rumah sambil menggendong kucing hitam.
"Kalau kalian denger suara kucing meong-meong jam dua belas teng, malem Jumat pula, mending buruan ngumpet ke balik selimut deh. Jangan ngintip ke jendela, tau-tau ntar diliatin si Nona Belanda dan kucing hitamnya. Katanya, Akasia Residence itu dulunya kuburan Belanda dan si Nona itu mati ditembak sambil meluk kucing kesayangannya."
"Kenapa semua setan nona-nona itu harus dari Belanda, sih?" celetuk Tante Tika.
"Karena waktu itu belum perdagangan bebas dan produk Cina belum masuk, Tan," Simon mengangkat tangan pada Om Hendro yang mulai ingin bertanya. Ia melanjutkan cerita mistisnya. "Terus, katanya si Nona Belanda ini mati perawan. Jadi dia suka gentayangan ngincer penghuni Akasia yang laki-laki. Untunglah, eike aman."
"Haduh, gimana nih, Pak?" Tante Tika menatap cemas pada Om Hendro. "Bapak 'kan laki-laki."
"Ya elah, Tanteeee~ setan juga milih-milih, keleessss~"
Tante Tika ganti menoleh pada Saka. "Berarti kamu, Saka. Diliat-liat, fengshui rumah kamu memang agak suram. Coba deh, piara tanaman ijo-ijo buat nyerap energi negatif."
Om Hendro menunjuk Samara. "Dek Samara yang punya Hijauku, kan? Coba Dek Saka tanya-tanya soal tanaman ke dia."
Seorang pramusaji berpakaian kimono menghampiri meja mereka dengan lima piring free dessert kue manju. Bu Tika mengucapkan terima kasih dengan senyum berseri-seri, sementara Simon mengeluh bahwa ia tidak seharusnya makan makanan manis lagi jika tidak ingin menjadi gajah bunting.
Lalu, blueberry pie itu diungkit-ungkit lagi.
"Kalau pie-nya Samara, gue rela deh makan sampe gembrot."
"Ya ampun, Mon, kamu jangan bilang-bilang lagi dong, saya jadi kepingin!"
"Saya juga."
Saka tidak tahan lagi. Maka ketika ketiga manusia itu sibuk mengobrol sesuatu yang seru, Saka menyingkirkan kue manju-nya dan menoleh pada Samara.
"Boleh gue tanya sesuatu?"
Samara bertopang dagu dengan senyum. "Boleh."
"Kenapa semua orang dapet blueberry pie tapi gue enggak?" Saka merendahkan volume suaranya agar Simon dan Bu Tika tidak dapat mendengar. "Gue juga mau."
"Saya kira Pak Saka nggak suka pie." Samara pasti ingat dengan apple pie pemberiannya yang tidak disentuh sama sekali.
"Emang nggak suka." Saka mengutuk lidahnya yang terlampau jujur. "Tapi ... pasti gue makanin kok."
Senyuman Samara berubah jadi tawa kecil.
"Gue bayar," tambah Saka cepat-cepat. "Berapa harganya?"
"Saya nggak terima bayaran."
"Kalau gitu apa? Gold medal yang gue dapet di PON kemarin, mau? Kaos tanda tangan gue? Air Jordan yang gue pake waktu pertama kali masuk timnas?"
Mendengar semua itu, tawa Samara makin menderai. "Saya pikirkan nanti."
"Janji?"
"Janji."
"Kuenya ... gue boleh request less sweet?"
Samara menahan senyumnya dan mengangguk. "Boleh."
"Loyangnya jangan terlalu besar, karena gue bakal makan sendiri."
"Sebenarnya kalau nggak suka, Pak Saka nggak perlu maksa—"
"Gue mau."
Samara mengatup bibir dengan kerjapan mata menahan senyum.
"Pikirkan aja gimana cara gue membayar lo," bisik Saka beberapa detik sebelum Simon tertawa kencang seperti setan kesurupan, gara-gara mendengar cerita Tante Tika tentang tetangga mereka si Bu Erni yang terpeleset kotoran anjingnya sendiri.
Setelah kue manju-nya habis, Tante Tika mengatakan malam masih pagi dan mereka sebaiknya lanjut ke sesi karaoke. Simon setuju. Katanya, di dekat sini ada tempat karaoke yang sering ia kunjungi setiap kali pulang mabuk sampai teler. Ruangannya besar dan kedap suara, privacy terjamin aman, karena terbukti setiap kali ia membawa pacarnya yang aktor beken itu, tidak pernah ada yang tahu.
Mereka baru saja hendak beranjak dan Saka sedang membayar bill, lalu datanglah Odi.
Kampret.
Odi Adiyatama hadir tiba-tiba dengan jas kerjanya yang rapi dan senyuman karismatiknya yang sangat khas anak baik-baik. Kehadirannya tentu saja langsung disambut meriah oleh Simon dan pasangan Tante Tika-Om Hendro. Tampaknya, semua orang menyukai Odi. Mungkin aksi hari pertama perkenalannya sambil membawa apple pie itu sukses besar, atau mungkin pria itu memang sosok yang pandai mengambil hati orang.
"Hei, Simon," Odi bertukar jabat tangan dengan Simon yang sudah sumringah. "Sori banget nggak bisa dateng ke pameran lo, gue udah coba tapi kerjaan di kantor nggak habis-habis. Denger-denger, pamerannya sukses luar biasa?"
Simon mengatakan 'akh, kamu bisa aja' sambil terkekeh malu.
"Baru pulang dari kantor, Di? Ayo, makan dulu. Mau pesen apa? Kami temenin kamu makan." Bahkan Om Hendro terlihat seperti menyayangi anak sendiri.
"Saya udah makan, Om. Saya sengaja mampir ke sini abis diajak Samara.“
”Ooowww~ rupanya begicyu, pantes dari tadi Samara sibuk mulu sama hapenya. Manjiahh banget sih kalian?”
”Ngomong-ngomong, gimana makanannya? Kalian suka? Restoran ini restoran langganan saya dan Samara. Banyak kenangannya."
Saat Odi mengatakan 'banyak kenangannya', nada suaranya seakan ingin semua orang bertanya.
Tentu saja mereka bertanya.
"Ini tempat kencannya saya dan Samara waktu kami pertama kali jadian."
"AAAAAWWWWWW~~" Simon melengking nyaring.
"Saya masih inget banget, saya keringet dingin duduk di sini—meja yang sama persis dengan ini—dan gugup nggak bisa bicara. Saya cuma nunduk liatin makanan saya karena saya tahu kalau saya natap mata Samara, saya nggak bakal bisa noleh ke tempat lain lagi. Gitu amat ya, rasanya jatuh cinta?"
"Emang boleh setega ini bikin gue iri?!" protes Simon.
Tante Tika mendecak-decak gemas dan Om Hendro mengangguk dengan tatapan kagum.
Saka? Ia ikut tersenyum haru dan segera bangkit berdiri untuk mempersilakan Odi mengambil tempat duduknya di samping Samara.
Tapi bohong.
Saka menekan enam nomor PIN kartu kreditnya, membayar bill dengan ekspresi datar seperti biasa.
Samara lah yang pertama berdiri karena sadar sang suami kebingungan mencari tempat duduk, lalu Tante Tika ikut berdiri dan pindah ke samping Saka, untuk mempersilakan Samara dan Odi duduk di sana.
Tapi Samara mengucapkan terima kasih dan mengatakan mereka akan pulang sekarang. Simon meneriakkan 'cieeeee~ mau asoy geboy, cieeeeeee~' dan ekspresi khas anak baik-baik Odi berubah sumringah seperti malu-malu babi.
"Kalau mau teriak, teriak aja ya cyiiiiiin~ mumpung eike belom pulang, nggak ada yang denger di balik tembok~" Simon mengikik mengiringi kepergian pasangan suami istri itu meninggalkan resto.
"Ckckck," tatapan Tante Tika berbinar-binar. "Mereka pasangan sempurna ya? Saya sejujurnya agak nggak tega sama Samara waktu dia bilang nggak bisa punya anak, tapi setelah melihat suaminya secinta itu sama dia, saya jadi tenang."
"Hidup memang adil, Bu," ujar Om Hendro. "Seperti yang tadi Ibu bilang : anak baik-baik akan berjodoh dengan anak baik-baik juga."
"Makanya jalang binal seperti eike nggak ketemu cowok baik-baik ya, Om. Ughhhh~ syebal!"
Saka tidak akan berbohong, suasana menjadi sedikit berbeda sepeninggal Samara meski perempuan itu tidak banyak bicara sepanjang malam ini.
Barangkali merasakan hal yang sama, Tante Tika mengatakan malam sudah larut dan selera berkaraoke-nya sudah lenyap. Lagi pula, Om Hendro harus pulang untuk berendam kaki dengan air ramuan sinshe.
Saka mengantar mereka kembali ke Galeri karena semua mobil masih berada di sana. Setelah itu Saka menyetir seorang diri menuju rumah.
Hanya beberapa saat setelah campuran aroma Simon-Tante Tika-Pak Hendro menguap pergi dari mobilnya, ia sadar ada bebauan campuran jasmine dan aroma tubuh Samara yang terhidu di sana. Saka segera menoleh ke kursi belakang dan melihat blazer hitam Samara yang tertinggal.
Ia berbalik menatap jalan raya sepi di depan perhentian lampu merahnya. Melamun lama. Memandangi deretan toko yang mulai mematikan lampu mereka karena sudah malam. Kemudian tatapannya tertuju pada sebuah apotik yang terhimpit antara toko fotokopi dan kedai es krim Xuemi.
Begitu lampu merah berganti hijau, Saka melajukan mobilnya menuju apotik. Ia memarkirkan mobil, masuk ke dalam, dan langsung berjalan menuju area plester luka.
Dipandanginya satu per satu kotak plester di rak dengan teliti, menimbang-nimbang mana ukurannya yang besar dan pas untuk luka cakaran Pak Jaya di lengan Samara. Tapi secepat rasa antusiasnya menguap, secepat itu pula semuanya berbuih lalu hilang.
Bahu Saka merosot. Untuk apa ia melakukan ini? Memangnya pantas? Bukankah tugas merawat Samara adalah tugas suaminya sendiri? Bukankah perbuatan tidak pentingnya ini nantinya akan jadi berbahaya dan berpotensi menimbulkan kesalahpahaman?
Saka mendengus lemah. Lalu dengan langkah menahan diri, ia berbalik meninggalkan rak.
Ia melewati meja kasir di mana seorang apoteker muda terlihat hampir tertidur menahan kantuk. Lalu berhenti di sana begitu matanya menangkap pemandangan sebatang pena di atas meja. Ia berjalan ke sana dan mengetuk meja kasir dua kali.
Sang apoteker meloncat kaget. "Selamat malam! Ada yang sakit? Maksud saya, ada yang bisa saya bantu?!"
"Saya mau beli ini." Saka menunjuk pena bekas di atas meja itu sembari mengeluarkan dompet. "Berapa?"
Ia ingat bahwa ia masih berhutang sebuah tanda tangan.
"P—pen? Pen ini?" Apoteker mengangkat pena bekasnya, yang sudah usang dengan ujungnya yang hampir rusak akibat digigit terus-terusan.
"Iya. Berapa?"
***
Saka memarkir mobil di carport dan mematikan mesin, mengamati carport rumah depan yang sudah terisi full oleh Lexus dan Ioniq 6. Keduanya sudah sampai di rumah.
Ia membuka pintu mobil dan mengambil blazer itu, berjalan ragu menuju rumah 14B di depan. Sesampainya di pintu, ia berhenti dan merenung cukup lama. Keraguannya semakin membesar.
Sebenarnya, ada pertanyaan besar yang sejak tadi bercokol di benaknya dan tidak mampu ia abaikan. Pertanyaan bahwa mengapa Odi muncul di restoran ramen itu dengan aroma parfum citrus khas dirinya, serta campuran aroma kopi dan parfum perempuan. Parfum yang ia tahu jelas-jelas bukan Rose des Vents milik Samara. Dan kecuali Odi memiliki kecenderungan unik seperti Simon, tidak mungkin pria itu menyemprot sendiri parfum wanita ke tubuhnya.
Bagaimana kalau nanti Odi yang membuka pintu dan ia tidak bisa menahan diri untuk tidak mengajaknya ribut? Bagaimana kalau prinsip Tidak Peduli Urusan Orang Lain itu sirna begitu ia melihat wajah sok alim itu?
Saka menunduk memandangi blazer di tangannya, lalu memutuskan untuk tidak menyerahkan pakaian itu malam ini. Ia bisa menundanya agar tidak perlu bertemu Odi.
Tapi semesta seakan membaca niatnya. Pintu tahu-tahu terbuka dan Odi muncul di sana dengan sekantung besar plastik sampah.
Pria itu mengernyit kaget melihat kehadirannya. "Hai?!"
Saka mengangkat blazer Samara ke depan. "Ketinggalan di mobil gue." Lebih baik ia cepat menyerahkannya dan pergi. Tidak perlu berkonfrontasi, tidak perlu teringat Raja Barata lalu menjadi murka sendiri.
"Oh ya? Wah, jadi repotin," Odi meletakkan kantung sampahnya untuk mengambil blazer itu. "Eh, ngomong-ngomong, tawaran gue masih berlaku soal berburu itu. Besok gue berangkat sama paman gue ke Cikidang, lima hari di sana. Ikut yuk?"
Melihat ekspresi datar Saka yang sama sekali tidak bersahabat, Odi menarik kembali senyuman ramahnya.
"Sori, gue lupa elo ada semifinal IBL."
"Iya. Lagi pula, daripada bunuh binatang yang nggak berdosa, kenapa bukan manusianya aja yang diburu. Ya 'kan?" Lihat? Belum apa-apa ia sudah tidak bisa menahan diri.
Saka mengamati kemeja kerja Odi. Si Bangsat ini beruntung Samara tidak memiliki indra penciuman yang tajam seperti dirinya.
"Minimal ganti baju lah ...." gumam Saka.
Odi mengerut kening tidak bisa mendengar suara Saka. "Sori, bro?"
Saka menggeleng menahan diri. Ia berbalik meninggalkan pintu itu dengan setengah kesal. Tapi baru tiga langkah, ia berhenti, lalu berputar menoleh pada Odi.
"Lo tau? Semua orang memuja lo dan bilang elo beruntung—"
Mata Odi bergerak-gerak bingung.
"—saran gue : jaga baik-baik keberuntungan lo itu, jangan lo sia-siakan. Bro."
Saka berbalik meninggalkan pintu. Kali ini tidak lagi menoleh.
***
TENG!
TENG!!
TENG!!!
Saka masih terlonjak kaget dengan suara lonceng biadab milik Om Hendro-Tante Tika, tapi tidak lagi terlalu kesal. Tadi dalam perjalanan pulang menuju galeri, Tante Tika sempat bercerita bahwa jam lonceng itu adalah hadiah anniversary pernikahan mereka dari Morgan—anak sulung mereka.
Tante Tika berterus terang bahwa mereka juga merasa sangat terganggu oleh suara dentangnya yang kencang, tapi sama sekali tidak berniat memanggil orang untuk menyetel ulang. Sengaja, kata Tante Tika, agar si putra sulung datang ke rumah mereka dan menyetel ulang.
Sudah tiga tahun lamanya pasangan suami istri tua itu menunggu. Morgan tak kunjung datang.
Saka sadar bahwa setiap dentang yang bergema dari jam lonceng itu, barangkali juga menjadi pengantar kerinduan yang menyakitkan bagi mereka.
TENG!
TENG!
Saka melempar handuk bekas mandinya ke lorong di luar kamar, lalu mengambil ponsel seraya berjalan menuju jendela. Diketiknya pesan buat Ibu untuk mengabarkan bahwa ia baru saja pulang makan-makan dengan tetangga.
Tetangga.
Inge Barata pasti akan shock berat membaca pesannya besok pagi.
Jangankan dengan tetangga atau orang asing, dengan saudara dekat saja Saka enggan bergaul. Natal, Tahun Baru, Paskah, Saka selalu enggan mengikuti acara keluarga apa pun.
Saka menyibak sedikit gorden jendelanya untuk mengintip ke carport rumah sebelah. Mercy Om Hendro sudah terparkir di sana. Aman. Mungkin ada baiknya Saka meminta Petra untuk mulai mencarikan sopir buat Om Hendro. Tidak bagus bapak-bapak tua seperti Om Hendro menyetir sendiri malam-malam begini.
Kemudian pandangan Saka beralih pada carport 13B milik si bawel Simon. Mini Cooper pink noraknya tidak ada di sana. Simon memang sempat bilang ia akan melipir dulu ke bar untuk mencari inspirasi patung-patung berikutnya.
Pandangan mata Saka kini beralih ke jendela kamar tidur rumah depan. Masih saja belum dipasang gorden, Saka melihat keadaan kamar tidur Samara sudah gelap.
Kemudian alih-alih segera meninggalkan jendela karena tidak ada yang bisa dilihatnya, Saka justru berdiri lama memandangi kamar gelap itu.
Ia memikirkan Samara. Memikirkan bahwa di balik wajah lembut serta pembawaan tenang itu, ada kemalangan demi kemalangan yang barangkali tidak diduga orang. Ibunya yang telah tiada sejak ia masih berusia terlalu muda, ayahnya yang meninggal saat ia masih bersekolah, kesempatan berdukanya yang tak pernah ada karena ia harus kuat demi adik perempuannya, ketidakmampuannya mengandung anak dari rahimnya sendiri, dan sekarang, suaminya yang pulang dengan bau parfum wanita lain?
Saka tidak menyukai debaran kencang yang tiba-tiba menyergapnya ini, ia tidak bisa membacanya ... apakah ini rasa iba karena Samara mengingatkannya pada Ibu, rasa Ingin Sok Jadi Pahlawan di mana ia sebenarnya hanya ingin melampiaskan kekesalannya pada Odi karena pria itu mengingatkannya pada Raja Barata, atau campuran rasa-rasa lainnya di mana ia menjadi terlalu khawatir pada sosok yang sebetulnya tidak membutuhkan dirinya.
Yang pasti, semua kekalutan ini sungguh tidak menyenangkan. Membayangkan Samara Lee yang duduk di dekatnya di kedai ramen tadi, kebersamaan mereka, tawa Samara, aroma tubuh Samara, semuanya. Semuanya yang begitu berbahaya.
Saka menelan ludah seraya menutup gorden dan mundur dari jendela. Ia membaringkan diri dengan rasa sakit menusuk-nusuk kepalanya, kedua matanya terpejam, satu tangannya terulur mematikan lampu di nakas.
Kotak rokok Samara masih di sana, kali ini ditemani sebatang pena bekas.
***
Saka gemesin ya….
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
