
Definition of ambrosia
1a : the food of the Greek and Roman gods
b : the ointment or perfume of the gods
2 : something extremely pleasing to taste or smell
Saka berdeham dan memaksa matanya untuk berhenti menatap si Istri Sah. Sekalipun Odi membawa Scarlett Johansson atau Margot Robbie sebagai istrinya, semua itu bukan urusan Saka.
Tatapannya kini berpindah pada keranjang rotan yang ditenteng Odi. Ada harum pastry di sana, dan harum sesuatu yang lain ... entah apa.
"Homemade apple pie bikinan istri gue," ungkap Odi. "Kita bagi-bagi ini buat perkenalan ke tetangga baru."
Odi membuka tutup keranjang dan mengeluarkan satu piring bulat berisi bungkusan aluminum foil yang padat. Di dalam keranjang itu masih terdapat banyak bungkusan-bungkusan lainnya, rupanya mereka ingin berkunjung ke banyak rumah.
"Semoga lo suka," Odi tersenyum saat Saka mengambil pemberiannya. "Eh, ngomong-ngomong, ini kartu nama gue."
Saka menerima kartu nama itu dan membacanya.
Odi Francis Adiyatama
SunText
Chief Operating Officer
Saka tidak kuper-kuper amat, untuk tahu bahwa SunText adalah nama salah satu perusahaan elektronik lokal terbesar, yang setahun belakangan ini menjadi pemain baru dalam bisnis smartphone.
Jika dilihat dari nama belakangnya, serta jabatannya, Saka langsung tahu hubungan Odi dengan Krisna Adiyatama sang pendiri perusahaan.
"Salam kenal," lanjut Odi. "Kehormatan banget, bisa bertemu Saka Barata dan tinggal sedekat ini. Big fan." Walau dari senyum canggung si Suami yang Selalu Memakai Jas Rapi itu, orang buta juga tahu dirinya tidak ngefans-fans amat dengan Saka ataupun dengan olahraga basket. "Kasih tau kami kalau lo butuh bantuan. Apa aja. Oh ya, kalau perkarangan lo butuh gardener atau bantuan bikin landscape, kebetulan Samara yang punya Hijauku, dia tau soal tanaman-tanaman hias yang cocok buat rumah lo."
Saka mengangguk kecil dan membawa masuk apple pie pemberian mereka, tanpa basa-basi apalagi mengucapkan terima kasih, ia berbalik ke dalam dan menutup pintu.
Setelah hening, Saka berkacak pinggang di balik pintunya. Yang barusan itu terlalu aneh. Ia tidak bisa menatap langsung mata si Istri Sah tanpa membayangkan apa yang ditontonnya kemarin, dan sialnya, apa yang ditontonnya kemarin membuatnya teringat kembali pada ... ayahnya, Raja Barata.
Mungkin seperti itulah perselingkuhan yang dilakukan Raja di belakang Inge.
Rahang Saka mengeras. Ia harus segera menghapus bayang-bayang pemandangan semalam sebelum pikirannya kacau. Ia tidak sedang ingin melampiaskan kemarahannya pada apa pun dan siapa pun, setiap kali bayangan sang ayah menyelinap masuk ke dalam pikirannya. Bayangan yang masih sangat nyata di ingatan Saka saat Ayah membawa perempuan lain ke rumah ketika Ibu tidak ada, saat suara-suara cekikikan akrab dan hangat tertangkap telinga Saka ketika ia seharusnya tidak berada di rumah karena bolos sekolah, dan tentu saja, saat Ayah marah besar lalu melemparinya asbak kaca.
Tapi yang teramat sakit dari semua itu, adalah sikap lemah Ibu yang menerima semuanya. Inge Barata yang lebih memilih pura-pura tolol lalu menyalahkan dirinya sendiri karena tidak sanggup membahagiakan suami. Inge Barata yang membujuk Saka untuk memaafkan Raja, mengabaikan rasa sakit yang diderita sang putra semata wayang.
Lihat? Mengingat semua itu membuat emosi Saka membumbung tinggi.
Dengan kesal dilemparnya apple pie ke meja ruang tamu, lalu melangkah cepat meninggalkan ruangan.
***
Dua jam setelah bersiap, suara klakson mobil Petra sudah terdengar dari luar.
Saka menyambar tas olahraganya menuju pintu. Tentu saja ia sendiri memiliki mobil dan bisa menyetir, tapi setiap kali selesai latihan, ia akan menjadi sangat lelah dan malas mengemudi mobilnya sendiri.
"Cepetan, woi!" Petra menekan klaksonnya sekali lagi saat Saka baru saja mengunci pintu.
Saka melihat kerumunan orang di rumah depannya. Ada tujuh orang berpakaian biru mengelilingi dua tangga yang menempel pada tiang listrik.
Si Istri Sah berdiri di pinggir kerumunan, mendongak dengan satu tangan di dalam saku celana pendek, dan satu tangan lagi memegang selembar kertas, kedua matanya sibuk mengawasi prosesi pemasangan CCTV di dinding atas pintu depan, di atas carport, dan di dinding sebelah jendela kamar tidur.
Mungkin si Istri Sah sudah mengendus perselingkuhan suaminya.
Di sebelah kiri si Istri, berdiri Tante Tika yang sedang mengoceh sesuatu. Tante Tika adalah penghuni rumah sebelah Saka yang juga pemilik jam lonceng keparat itu.
Samar-samar Saka mendengar suara Tante Tika. "—ada di Violet 1, pokoknya pas di depan bunderan air mancur, nah, Clubhouse kita di sana. Kamu bisa berenang, tempatnya bersih, ada juga ruang gym, yoga, sama taman bermain anak-anak, yaaaa~ siapa tau sebentar lagi kamu mau nimang anak, kan? Dateng ya."
Sementara di sebelah kanan si Istri, berdiri Entah Siapa Namanya, yaitu penghuni rumah 13B di sebelah rumah Istri Sah. Pria lajang yang masih muda, tampan, dan gemar berdandan. Saka tidak pernah mengobrol, tapi pria beranting dua di masing-masing telinga itu beberapa kali mencoba akrab dengannya. Si Esentrik yang gemar berpakaian warna-warni itu sepertinya seniman. Halaman rumahnya dipenuhi patung granit beraneka bentuk.
"WOI! CEPETAN, NJING!" Klakson Petra berbunyi kencang.
Yang tidak diinginkan Saka pun terjadi. Semua orang berhenti beraktivitas dan menoleh.
Termasuk si Istri Sah. Perempuan itu menoleh pada Saka yang masih berdiri di depan pintu rumah.
Tante Tika berhenti bicara pada si Istri dan melambai akrab kepada Saka. Si Esentrik yang hari ini memakai kemeja kuning cerah yang tidak dikancing itu pun ikut melambai sambil tersenyum genit kepadanya.
"Hai, Tetangga yang Tidak Pernah Menampakkan Diri~"
"Mau berangkat basket ya, Saka Ganteng? Ikut dwoooong~"
Saka tidak merespon, hanya menuruni undakan tangga untuk menghampiri mobil Petra. Tanpa melirik, ia bisa merasakan gerakan Istri Sah yang meninggalkan tempatnya dan mulai berjalan menuju mobil Petra.
"Mbak Samara jangan lupa ya!" teriak Tante Tika. "Saya tunggu kehadirannya di Clubhouse! Setiap Sabtu sore ada BBQ gratis!"
Sama seperti dentang jam loncengnya yang kencang, suara Tante Tika juga kencang seperti geledek.
"Pak Saka." Istri Sah memanggilnya.
Saka mendongak malas sebelum membuka pintu mobil Petra.
Lalu tertegun. Aneh, sesuatu menguar menggelitik indra penciumannya. Aroma samar yang terhirup olehnya saat pasangan suami istri itu membawakannya apple pie. Kini aroma samar itu kian menguat saat Istri Sah mendatanginya.
"Pak Saka, bisa tolong dilihat dulu?" Selembar kertas yang sejak tadi dipegang Istri Sah, diserahkannya kepada Saka. "Saya mau pasang CCTV, dan Pak RT bilang saya harus nulis surat persetujuan yang ditandatangani tetangga."
Saka melirik kertas itu. Sudah dua pemilik rumah yang membubuhkan tanda tangan.
"Pak Sa—"
"Jangan panggil 'pak'," Saka berdecak sambil merogoh kantung celana olahraganya untuk mencari pena. "Sepertinya kita seumuran." Ck! Mendecak lagi. Baru ingat, mana mungkin ia membawa pena ke tempat olahraga?
Saka menoleh tak sabaran ke Istri Sah. "Bisa ditunda sampai nanti malam?"
Lupakan. Saka berubah pikiran.
"Atau cari manajer saya aja," Saka menunjuk Petra yang ternganga di dalam mobil. "Dia yang atur semuanya. Minta tanda tangan dia aja. Saya sibuk."
Saka membuka pintu dan masuk ke dalam mobil, meraih bungkusan roti lapis yang sudah terhidangkan di atas dashboard seraya memerintahkan Petra untuk keluar menyelesaikan urusannya dengan tetangga baru.
Ia sadar, aroma samar itu ikut menghilang begitu ia memasuki mobil.
Petra meninggalkan mobil dan berputar ke depan untuk menghampiri si Istri Sah, bercakap-cakap sebentar sambil sesekali mengeluarkan tawa akrab yang sangat bukan Petra, lalu ujung-ujungnya Saka mendengar Petra berkilah bahwa ia juga tidak membawa pena.
Setelah basa-basi yang kesekian, Petra akhirnya masuk kembali ke mobil dengan senyuman panik.
Baru setelah mobil sudah agak jauh meninggalkan rumah, manajer psikopat itu buka suara.
"Itu Samara Lee, kan?"
Saka mengunyah rotinya dalam bingung. "Hm?"
"Samara Lee. Tetangga baru lo."
"Gue nggak tau siapa."
"Samara Lee, the living goddess yang legend itu? Yang dulu sempet bikin geger karena Nicholas Jauhari ngejer dia kayak orang gila, sampe jungkir balik beliin cincin - bawain Mercy S Class ke sekolah waktu Samara masih kelas 12? Yang terkenal cantik banget di sekolahnya? Lo tau Vincent Gonzaly si penyanyi itu? Yang lagunya sering diputer anak-anak senja itu? Dia ngaku sendiri kalau patah hati terbesarnya itu waktu dia ditolak sama cewek di kampus NUS-nya dulu, first love yang bikin dia cinta mati sampe susah move on sampe sekarang. Itu Samara Lee, Ka!"
Mobil melaju lamban dan cerita Petra melantun cepat bagai kereta magnet.
"Gue inget dia sering jadi bahan thread di forum Sosialita, dia itu misterius, nggak suka kumpul-kumpul sama ciwi-ciwi sosialita, nggak main circle-circle-an, nggak main sosmed—atau mungkin main, tapi private account. Nah, bokapnya si Samara itu kalau nggak salah meninggal waktu dia masih sekolah. Ibunya udah enggak ada duluan. Gosipnya, dia sama adik perempuannya pindah ke Singapur tinggal sama sodara, kuliah di NUS sambil berusaha low profile alih-alih jadi kembang kampus. Abis itu, yaaaa ... dia menghilang deh, kayak, bener-bener menghilang. Orang-orang kayak berhenti gitu aja ngomongin dia."
Saka tidak habis pikir Petra tahu begitu banyak tentang gosip sosialita.
"Eh, tapi dia udah nikah ya? Gue liat jarinya ada cincin kawin? Anjir, lama menghilang tau-tau muncul udah sepaket sama pawangnya. Tapi emang mustahil sih, cewek spek dewi kayak dia masih single. Tuh cewek bahaya damage-nya kalau masih single, nggak kebayang berapa banyak cowok di Akasia ini yang bakal kesurupan ngejer dia! Asli, man, gue kaget banget dia tinggal di depan rumah lo. Mana cakep banget, lagi! Akh, gileee~ gue sampe gagap ngomong depan dia. Auranya old money banget. OKL, cuy. Orang Kaya Lama. Anggun ya, khas cewek kelas atas. Emang nggak salah nih Akasia Residences isinya orang-orang mengerikan," Petra meninju lengan Saka. "Tapi Tembok Cina kayak lo mana peduli. Cecilia Darwin pernah sekelas sama lo dan tinggal satu komplek sama lo aja, elo nggak cerita ke gue! Babi lo."
Pikiran Saka melayang kembali pada adegan pemasangan CCTV itu lagi. Kemudian, tentu saja, melayang pada adegan percumbuan mesra antara Suami dengan Perempuan Kedua yang ditontonnya kemarin malam.
Sialnya, juga membuatnya teringat pada Raja Barata dan Simpanannya.
Emosi Saka kembali menguar.
"Ngomong-ngomong, lo denger dia tadi manggil lo 'Pak Saka'? Gue bilang juga apa! Emang boros muka lo, Cong! Bodi 25 tahun, muka 45 tahun! PAK SAKAAAAAA~"
***
"KYAAAAAAA! SAKA MY LOVE!"
"SAKA LO GANTENG BANGET YA ALLAH!"
"MARRY ME SAKA!!!"
"SAKA AKU JUGA MAU DITEMBAK THREE POINTS!!!"
Teriakan histeris menyambut kedatangan Saka yang baru saja memasuki gelanggang basket. Entah bagaimana caranya para pendukung fanatik—yang semuanya perempuan—itu bisa memasuki area latihan yang jelas-jelas tertutup. Coach hingga sekuriti sudah berusaha mengusir mereka, tapi mereka datang lagi dan lagi.
"TEMBAK AKU SAKA!!! TEMBAK!!!!"
"YA TUHAAAAAN~ BUATLAH SAKA KERINGETAN BIAR AKU YANG LAP!"
"BUKA BAJUNYA SAKAAAAAAAA~ BIARKAN KAMI MELIHAT PAPAN CUCIANMUUUUU~"
Mengabaikan teriakan histeris yang sudah kerap menemaninya sejak bangku sekolah, Saka berlari tenang menuju barisan timnya. Coach meminta semuanya melakukan pemanasan ringan sebelum latihan finishing drills dan lay up drills. Cone kerucut telah disusun zig zag untuk keperluan latihan.
Coach memanggil Saka saat rekan-rekan lain mulai mempraktikkan lay up drills.
"Semifinal tiga hari lagi," seru Coach Charles. "Nggak ada Batu Kerikil, kan?"
Saka paham dengan istilah Batu Kerikil itu.
"Titans butuh lo untuk fokus dua match ke depan. Empat tahun kita nggak pernah gagal jadi champion, gue mau elo bikin rekor jadi lima kali champion. Fokus, fokus, fokus, gue cuma mau elo fokus ke Titans. Ngerti, Ka?"
"Emangnya sejak kapan gue nggak fokus?"
Air muka Coach berubah. "Dengan kondisi kesehatan Bu Inge—" lalu mendesah begitu Saka memberinya pelototan marah. "Sori, tapi gue harus jujur sama lo, elo nggak bisa terus-terusan mangkir latian karena galau mikirin nyokap lo. Elo harus profesional. Gue nggak mau tubuh dan pikiran lo terbagi di dua tempat berbeda."
Seandainya orang ini bukan pelatihnya, Saka sudah meninju wajahnya hingga babak belur.
"Ka, lo denger kan? Ka? Saka!"
Saka berlari ringan mengikuti barisan pemain Titans yang sedang berlatih lay up. Sepertinya semua pemain mendengar obrolan mereka tadi, karena terbukti saat Ian—kapten tim—tahu-tahu melempar bola ke arahnya dengan kencang.
Saka menangkap bola itu tepat di depan dada. Melotot kesal pada sang kapten.
Jika dilihat dari kemampuan, seluruh dunia juga tahu Saka Barata jauh lebih pantas menjadi kapten ketimbang Ian si Ayam Sayur ini. Tapi sayangnya seluruh dunia juga tahu, menjadi kapten tidak cukup hanya bermodal jago shooting dan berkecepatan kilat. Menjadi kapten berarti harus berbaur dengan rekan-rekan tim, humble, akrab, pandai bersosialisasi. Semua yang tidak dimiliki Saka.
"Udah siap latihan, Ka?" Ian menyengir kepadanya. "Inget kata Coach, harus fokus."
Saka tidak menggubrisnya. Bola digiring tenang melewati cone demi cone, lalu tubuh dengan bobot lumayan besar itu melayang ringan menuju ring dan bola pun mencelos mulus.
"Lo semua pada tau, kan?" Ian menghimbau rekan-rekan timnya dengan suara kencang. "Seburuk apa pun keadaan kita, kita harus bisa bedain antara urusan pribadi sama profesional. Tim harus didahulukan. Harus fokus, seperti yang Coach bilang. Nggak peduli sekalipun elo The Little Prince, model Adidas, putra Mendagri, atau anak yang ibunya lagi sekarat."
"Ian!" Coach menyela kaget.
Saka membanting bola dan berjalan cepat menuju tempat Ian. "Lo bilang apa?"
"Woi, woi, stop, Ka."
"Udah, udah, jangan ribut."
"Ian, lo juga keterlaluan sih."
"Ka? Lepasin, Ka."
"Udah! Jangan, Ka."
"GUE TANYA SEKALI LAGI, ELO BILANG APA TADI!"
***
Saka.
Sakaaaa ...
Sakaaaaa ....
Saka terhenyak bangun dari tidur lelapnya. Dengan sipitan mata ngantuk yang terasa perih, ia menatap Inge Barata yang tengah tersenyum padanya.
Jari-jari kurus sang ibu menyingkirkan helaian anak rambut di depan mata Saka. "Ketiduran, kamu."
Saka menegakkan tubuh dari tepi tempat tidur, lalu mengintip jam dinding. Ia sudah tertidur lima jam.
"Kok siang-siang udah dateng?" tanya Inge. "Biasanya sore - malem."
Akibat insiden perkelahian di tempat latihan tadi, Saka meninggalkan gelanggang lebih awal dan mampir ke rumah untuk menjenguk Inge. "Latihannya udah beres."
"Kamu udah makan, Ka?"
"Udah."
"Atlet kayak kamu jangan ngasal makan. Mi instan dan roti jangan dimakan tiap hari. Mahal-mahal kamu install kitchen set canggih di rumah, ujung-ujungnya cuma buat nyeduh Pop Mie," Inge meninju pelan lengan Saka. "Untung masih berotot."
"Kadang-kadang aku bisa bikin roti tawar meses."
Inge mengulum senyumnya. "Saka."
"Hmm?"
"Ibu baru saja bicara sama Tante Diana, Ibu bilang ke dia kalau ... Ibu kepingin bikin acara. Semacam acara perpisahan terakhir—"
Saka bereaksi spontan dengan mendesah panjang dan melepaskan tautan jemari Inge, tapi Inge menahannya.
"Dengarkan Ibu—"
"Bu!"
"Ibu mau berkumpul lagi sama orang-orang terdekat, makan bareng, ketawa dan ngobrol bareng. Lalu kalau memungkinkan, mungkin mendengar pidato perpisahan mereka satu per satu—"
Saka semakin menghindar dan Inge semakin mempererat genggaman tangannya.
"Ini ide konyol bagi kamu, tapi ini perpisahan terlayak yang Ibu inginkan."
"Perpisahan apa sih, Bu!"
"Kita sama-sama tahu, hal termahal yang Ibu miliki sekarang adalah waktu. Ibu nggak tahu kapan waktu Ibu selesai. Lebih baik Ibu mendapat perpisahan terbaik saat Ibu masih ada, mendengar mereka dan memeluk mereka satu per satu, daripada berpisah saat Ibu sudah terbaring di peti—nggak bisa lagi mendengar atau melihat mereka."
Saka memejam mata dengan sangat perih.
"Acara keluarga biasa," bujuk Inge. Ibu jarinya mengusap kepalan tangan Saka dengan lembut. "Izinkan Ibu memiliki perpisahan yang layak."
"Ibu kira mereka bakal sanggup? Mereka bakal mau?" Saka menarik paksa tangannya dari genggaman Inge. "Aku nggak ngerti kenapa Ibu lebih milih jalan ini. Berhenti berobat selagi masih punya harapan, dan malah memilih nyerah sambil nyusun acara perpisahan konyol!"
"Saka ...."
"Kenapa Ibu nggak milih berjuang? Buat Ibu sendiri dan buat aku?!"
"Karena Ibu kesakitan."
Saka terbungkam gemetar.
Senyuman tipis terangkai di bibir Inge yang pucat. Tatapan matanya berkaca-kaca. "Karena Ibu kesakitan."
Kedua bahu Saka melunglai dan tubuh itu kembali duduk di kursi sebelah tempat tidur Ibu.
"Kadang," bisik Inge. "Nggak semua orang kuat berjuang. Dan percaya atau tidak, nggak semua perjuangan bisa dimenangkan. Ada kalanya kita harus melepaskan perjuangan itu untuk bisa merasakan damai."
Saka menunduk dan meletakkan keningnya di atas telapak tangan Inge. Ia tidak menangis, tapi hatinya hancur lebur. Sebenarnya sejak dulu ia sudah sadar, bahwa dirinya sangat egois dengan memaksa Ibu tetap hidup dalam kesakitan demi menemaninya semata.
Bagaimana mungkin kita memaksa seseorang mengabaikan penderitaan mereka hanya demi menemani kita?
Inge mengeluarkan tawa pelan untuk mencairkan suasana. "Cuma acara makan malam biasa. Kalau kamu takut bosan karena acaranya bakal diisi orang-orang tua, kamu boleh ajak teman kamu. Dan waktu Ibu bilang 'teman', yang Ibu maksud bukan Petra manajer kamu, atau cewek-cewek penggemar kamu yang kamu dekati cuma buat dijadikan teman tidur."
"Bu." Saka sedang tidak dalam mood untuk bercanda.
Inge tertawa lagi seraya mengusap rambut tebal sang putra semata wayang. "Jangan bersedih. Nanti di acara itu pun, Ibu nggak mau lihat kamu bersedih. Gimana Ibu bisa tenang, melihat Saka Barata yang dulunya bayi kecil, sampai sekarang pun masih jadi bayi kecil yang nggak mau ditinggal ibunya?"
Saka baru saja hendak meminta Inge berhenti berkata-kata aneh, sebelum pintu kamar terbuka dan dokter Tanoto beserta dua perawatnya memasuki kamar tidur. Mereka menyapa ramah, seakan kunjungan rutin ini hanya kunjungan bertamu biasa.
Dokter Tanoto menanyakan kabar Inge, lalu Inge menjawab dengan senyum cerah bahwa ia sudah merasa lebih sehat, lalu sang dokter keluarga mengatakan puji Tuhan sambil tak lupa memberi kata-kata pemompa semangat bahwa Inge pasti sembuh.
"Banyak-banyak keluar, hirup udara segar, berkebun. Pokoknya hati yang ceria adalah obat." Dokter tanoto tersenyum begitu cerah sebelum menyuntikkan obat ke selang infus Inge.
Saka, yang tak lagi sanggup mengumbar senyum berhati ceria, memohon pamit pada sang ibu dan memutuskan pergi.
Kebetulan sekali Petra muncul tepat di depan pintu kamar Inge. Sang manajer langsung menghentikan larinya begitu melihat Saka, ditahannya kedua lengan Saka untuk memeriksa.
"Wah anjrit lo, Ka, pake acara berantem sama Ian segala di tempat training. Untung muka lo aman! Elo kalo mau main gebuk-gebukan, mau main kungfu sama siapa pun, inget dulu kalau besok ada pemotretan Adidas! Tuh muka jangan sampe lecet, Njing!"
Saka tidak ingin Inge mendengar apa pun di dalam sana. "Anter gue pulang."
Petra berceloteh di sepanjang perjalanan mereka menuju rumah.
Tentang pentingnya menjaga emosi. "Berapa kali harus gue bilang ke elo? Elo bukan cuma atlet basket, tapi juga anak Menteri. Elo nggak bisa sembarangan luapin emosi lo pake tangan! Jaga nama baik bapak lo, Ka!"
Tentang pentingnya menjaga aset fisik. "Selain 'muka' bapak lo, elo juga harus jaga muka lo sendiri. Jangan sampe lecet karena elo model brand-brand besar. Jangan lo pikir muka lo itu bakal selamanya maha ganteng. Untung Ian nggak jago berantem!"
Tentang pentingnya mengurus diri sendiri. "Tuh! Gue mampir supermarket dulu sebelum jemput lo. Gue beli ayam, salmon, sayur, buah. Elo masak lah, Kaaaaaaaa~"
Saka tidak merasa perlu untuk memasak. Toh, di gedung Titans sudah tersedia makanan untuk semua pemain yang pilihan menunya dikontrol langsung oleh ahli gizi.
"Gue tau dari Senin sampe Jumat lo bisa makan di kantin Titans," seru Petra seakan membaca pikirannya. "Tapi malemnya? Weekend-nya? Lo pikir gue nggak punya kehidupan pribadi sampe harus sediain makanan mulu buat lo?! Si Lauren sampe marah-marah karena gue sibuk ngurusin lo sampe nggak sempet nyentuh dia!"
Lauren adalah nama kucing Petra.
"Belajar masak sup atau apa kek gitu, tinggal cemplung-cemplung doang kok. Jangan sampe bodi lo ngembang kayak gue, harus dijaga!"
Saka tidak terlalu khawatir. Salah satu hal yang patut disyukuri Saka selain tubuh tinggi dan wajah tampannya—sombong sedikit—adalah metabolismenya yang baik. Sejak dulu ia tidak mudah gemuk.
"Usia lo udah 25. Usia emasnya atlet basket, karir juga lagi di puncak-puncaknya. Ya dijaga dong, Ka! Jangan sampe hal-hal kecil merusak semua yang udah lo bangun. Sekarang elo cerita, kenapa lo ribut sama si Ian."
Saka tidak menjawab. Memangnya sejak kapan ia gemar bercerita? Petra juga paling tahu tentang itu.
"Sumpah demi arwah nenek gue yang mati penasaran di Perang Lebanon, elo harus belajar berbagi perasaan lo ke orang lain, Ka. Apalagi gue manajer lo, temen terdekat—karena elo nggak punya temen juga, sih—yang setiap hari kerja bareng lo dan empat belas jam sehari nempel sama lo. Kalau sama gue aja elo nggak mau open, terus mau sama siapa lagi? Depresi lo, lama-lama!"
Hingga mobil Petra sampai di depan rumah 14A Akasia Residence pun, Saka tidak bercerita.
Ia mengambil kantung belanjaan pemberian Petra, turun dari mobil dan langsung masuk ke dalam rumah. Hari sudah malam, dan tidak ada yang lebih diinginkannya selain mandi lalu tidur.
***
Seperti biasa sehabis mandi, handuk basah yang melilit tubuhnya dilemparkan begitu saja ke lorong luar kamar. Saka terlalu malas membeli keranjang laundry dan jelas tidak sudi menempatkan handuk basah di dalam tempat tidur karena bakal bau apak.
Saka mendatangi lemari pakaian dan menyambar kaos apa pun yang ada di sana. Semua kaos sama saja, sama-sama kusut, hanya beda warna dan bahan saja. Bujang seperti Saka tidak tahu cara menyetrika. Tidak perlu juga, 'kan? Orang-orang jika sudah bertemu dengannya tidak akan peduli pada lipatan lecek di pakaiannya, mereka hanya akan sibuk mengagumi ketampanan serta proporsi tubuh sempurnanya. Sombong lagi.
Sebenarnya Saka tidak jorok. Ia membayar jasa bersih-bersih, kok. Ada pekerja cleaning service yang datang membersihkan rumahnya setiap weekday. Saka hanya enggan mengurusi hal-hal sepele yang baginya tidak akan mengganggu kelangsungan hidup.
Apakah itu salah satu tabiat buruk? Bisa jadi. Bisa jadi pula, itu salah satu dari sekian banyak tabiat buruk yang membuat hubungan percintaannya selalu gagal.
Karena selain malas mengurusi hal-hal sepele dalam hidupnya, Saka juga ogah mengurusi hal-hal sepele dalam hidup orang lain. Tanya saja mantan-mantannya.
Nola, mantan pacarnya terbarunya, mengatakan Saka selalu cuek pada hal-hal kecil. Tidak peka. Padahal perempuan suka jika pacar mereka memperhatikan hal-hal kecil. Hal-hal kecil itu jadi terasa besar dan romantis jika dilakukan pria yang mereka cintai, kata Nola.
Demi Tuhan, mana Saka tahu bahwa ia harus menelepon Nola setiap malam sebelum tidur? Menjawab 'tidak sibuk' saat ditanya apakah sibuk dan ia MEMANG sedang sibuk? Mengecup keningnya setiap kali mengantarnya pulang rumah? Atau langsung datang setiap kali si cewek bilang 'seru nih, malem-malem makan ramen sambil Netflix-an'?
Tanya juga pada Queeny, mantan pertamanya, yang menangis di hari ulang tahunnya karena Saka salah membelikan bunga. For fuck's sake, memangnya ia harus tahu bahwa bunga anyelir itu bunga pembawa sial?!
Aurel, mantannya yang paling cuek sekaligus yang paling bertahan lama—delapan bulan adalah rekor—pernah bilang, bahwa satu-satunya hal menarik dari Saka Barata hanyalah wajah tampan serta bodi yahud, selebihnya, tidak ada.
"Eh lupa, seks-nya juga sih," celetuk Aurel sambil mengikik seksi, beberapa jam sebelum memutusinya lewat telepon karena ia tidak hadir saat kucing Munchkin-nya meninggal dunia.
"I don't want just a great sex, you motherfucker. I want you! The whole you!" menjadi ucapan terakhir Aurel kepadanya.
Saka tidak menangisi setiap hubungan cintanya yang gagal. Karena terus terang saja, tanpa bermaksud menambah daftar kebangsatannya, sejujurnya ... Saka juga tidak jatuh cinta-jatuh cinta amat pada mereka.
Kehadiran perempuan-perempuan itu memang menyenangkan. Hidupnya menjadi (sedikit) lebih berwarna. Tapi mereka bukan segalanya, keberadaan mereka tidak membuat hidupnya jungkir balik mabuk asmara, dan juga, baginya tetap tidak ada yang lebih menggairahkan selain menembak bola memasuki ring serta menjadi pencetak poin tertinggi di saat semua rekan-rekan tim-mu loyo dan pecundang.
Dengan ponsel di tangan, Saka berjalan mendekati jendela kamar sambil memeriksa pesan yang masuk.
Petra baru saja memberondongnya dengan pesan pengingat, bahwa besok jam tujuh pagi ia akan datang menjemput untuk pemotretan Adidas. Lalu jam sepuluh ada pemotretan serta interview kecil-kecilan dengan majalah olahraga—
Saka mendongak. Seperti ada sesuatu yang mengundang perhatiannya di sana.
Disibaknya gorden jendela itu untuk menerawang ke depan, memeriksa halaman rumah 14B yang asri dan terang. Sebenarnya ada berapa banyak tanaman hias di sana? Semuanya cantik-cantik, tapi yang ia kenal cuma Lidah Buaya.
Lalu ada sedan Ioniq 6 hitam terparkir di depan. Seingatnya, Odi mengendarai Lexus. Berarti mobil itu milik istri Odi.
Tak lupa Saka mulai memeriksa kamera CCTV yang sudah terpasang. Ia mulai berhitung. Satu di carport, satu di depan pintu utama, satu di atas jendela ruang keluarga lantai dua, satu lagi di—
Saka tertegun.
—jendela kamar tidur, tempat Istri Sah sedang berdiri di sana memandanginya.
Shit.
Saka menurunkan gorden, perlahan-lahan mundur sambil mengusap leher belakangnya yang tidak gatal.
Tunggu dulu. Sudah berapa lama Istri Sah berdiri di sana? Siapa gerangan yang duluan memantau—bahasa sopan dari mengintip? Dirinya? Atau Istri Sah? Apakah ekspresi keponya terpampang jelas di jendela yang terang-terangan saling berhadapan itu?
Mengapa ini menjadi semacam adegan film horor?
Saka masih mengerjap-ngerjap sambil mengusap leher, hanya satu menit sebelum suara bel pintu berdering, dan entah mengapa ia tidak terlalu kaget.
Saka meninggalkan kamar dan menuruni tangga menuju pintu rumah. Ia bisa saja mengabaikannya dan pura-pura tidur, tapi semua itu akan memberinya kesan pengecut, seakan ia sungguhan ketakutan setelah tertangkap basah sebagai tukang intip.
Ia bukan pengecut. Dan jelas bukan tukang intip.
Pintu dibuka dan Istri Sah sudah berdiri di sana. Dengan senyuman tipis di bibir serta selembar kertas di tangan. Malam ini Istri Sah mengenakan kaos putih polos, celana linen abu di bawah lutut, serta sendal rumah Christian Dior.
"Pak Saka."
Saka mengernyit.
"Maaf mengganggu malam-malam." Kertas itu diserahkan kepadanya.
Angin berhembus sangat kencang dan Saka kembali menangkap aromanya. Aroma unik yang sulit ia deskripsikan. Saka bingung menentukan apakah ini perpaduan bau linen segar yang baru diangkat dari mesin cuci, bau bayi yang baru bangun tidur—ia tahu karena Coach Charles pernah membawa bayinya ke arena training, aroma apel yang menguar saat baru dikupas, atau bau-bauan menyegarkan saat kamu memasuki toko bunga.
Saka berdeham mengusap hidungnya, lalu menunduk membaca kertas itu. "CCTV-nya udah dipasang, masih mau tanda tangan gue?"
"Buat formalitas."
"Ngomong-ngomong, ngapain pasang CCTV sebanyak itu? Akasia Residence cuma punya empat puluh unit rumah dan satu gerbang keluar-masuk, town house yang terkenal paling aman. Gue aja nggak pernah ngunci pintu."
Saka tidak bohong. Ia tidak pernah mengunci pintu, bahkan tidak tahu kuncinya di mana.
"Suami saya yang pasang."
Oh? Saka sedikit terkejut. Jadi ... bukan si Istri Sah yang memasangnya karena tahu si Suami berselingkuh?
Dan kalau memang si Suami yang memasang semua CCTV ini, apakah itu berarti si Suami sudah bertobat dan tidak akan membawa perempuan lain lagi ke rumah?
"Gue ambil pen dulu." Saka berbalik masuk ke dalam rumah.
Ia tidak perlu menoleh untuk tahu, bahwa Istri Sah ikut masuk ke dalam dan menunggu di ruang duduk depan. Barangkali perempuan itu sudah melihat apple pie pemberiannya yang masih terbungkus rapat dan teronggok begitu saja di atas meja.
Saka menuju meja makan, lalu dapur, mengobrak-abrik beberapa tempat penyimpanan untuk mencari pena sebelum ia sadar bahwa ia tidak memiliki sebatang pena pun di rumah ini.
Ia hanya manusia goa yang menghabiskan waktu di rumahnya untuk makan-mandi-tidur, bukan menulis puisi atau tanda tangan surat CCTV dengan pena.
Saka menoleh dan tatapannya bertemu dengan Istri Sah—atau barangkali agar tidak ribet, panggil saja ia dengan nama aslinya.
Samara Lee tersenyum tenang kepada Saka. "Saya punya pen di rumah. Saya ambil dulu."
Saka baru saja hendak mengucap 'oke', saat sesosok lain tahu-tahu muncul di ambang pintunya. Seakan malam Saka belum cukup terganggu, kini Pak Jaya hadir dan memberinya teriakan rutin itu. Teriakan rutin setiap malam.
"BAYU!"
Saka mendesah panjang. Jesus Christ.
Inilah kali pertama sosok bapak tua itu menapakkan kakinya masuk ke dalam rumah Saka. Kantung kresek yang selalu dibawanya itu, diayunkannya dengan penuh kebahagiaan.
"Kamu sudah pulang, Bayu? Capek ya? Udah, udah, nih, Bapak beliin sate ayam kesukaan kamu."
Pak Jaya melintas melewati Samara Lee yang masih berdiri tanpa reaksi, kemudian tahu-tahu berhenti dan menoleh. Senyuman di bibir tua Pak Jaya mengembang semakin lebar. Matanya berbinar-binar memandangi perempuan itu.
Ditariknya satu tangan Samara. "Ayo, ayo, kita makan bareng. Kamu pasti juga lapar kan, Anna?"
Siapa pula itu Anna?!
Saka mendecak pasrah sembari menghampiri Pak Jaya. "Pak, untuk kesekian kalinya ya, Pak : saya, bukan, Bayu."
Samara memandangi mereka bergantian. Dalam ekspresi wajahnya yang sepertinya selalu tenang itu, Saka tahu perempuan itu tengah kebingungan.
"Na," Pak Jaya menoleh pada Samara. "Bilangin suami kamu, jangan kerja sampai lupa waktu, jangan lupa sholat, terus jangan suka sok tua apa-apa nggak mau diurusin."
"Pak Jaya, dia bukan Anna dan saya bukan Bayu."
Pak Jaya malah tertawa menuding wajah Saka. "Dia masih pemarah kayak anak kecil? Iya, Anna?"
Habis sudah kesabaran Saka. Diambilnya satu lengan Pak Jaya, ditariknya sesopan dan selembut mungkin agar bapak tua itu keluar dari rumah.
Tentu saja Pak Jaya meronta marah. "Heh! Kamu tarik-tarik orang tua tuh mau ngapain, sih? Sakit, Yu! Bapak mau tinggal di sini sebentar! Mau liat cucu!"
"Pak, harus berapa kali saya bilang? Saya bukan Bay—"
"Anna, panggil si Kecil keluar. Bapak mau main dulu sama si Kecil."
Saka mendecak tak sabaran dan kembali berusaha menarik Pak Jaya, tapi sang bapak tua meronta lagi, menolak pengusiran Saka, dan malah menarik lengan Samara untuk berpegangan.
"Pak! Saya Saka dan dia—"
"PAK! BAPAK?! YA AMPUN, PAAAAKK~" seorang pemuda berlari tergopoh-gopoh memasuki perkarangan depan Saka, lalu menarik tubuh Pak Jaya dengan panik. "PAK! PULANG, PAK! Ini bukan rumah Bayu!"
Pemuda itu, putra Pak Jaya, menarik tubuh sang ayah dengan begitu kuat sampai-sampai tarikan Pak Jaya di tangan Samara menguat, mengencang, lalu terpental dengan kuku-kukunya menyakar panjang.
Tubuh Pak Jaya terpelanting jatuh menubruk lantai teras. Bapak tua itu menangis meraung-raung dan Saka berlutut spontan untuk membantunya. Dua orang asing lagi yang tidak Saka kenal, berlari mendatangi teras rumah untuk beramai-ramai membopong tubuh Pak Jaya.
"Enggak!" teriak Pak Jaya. "Saya mau di situ sama Bayu! Lepas!"
Saka menyaksikan semuanya dalam nafas tersengal.
"Lepaskan saya! Bayu! Ini Bapak, Yu!" Tapi mereka terus membopong tubuh tuanya meninggalkan perkarangan rumah Saka.
Setelah tangisan dan jeritan panjang yang memilukan, tubuh Pak Jaya akhirnya tidak bisa lagi melawan untuk dibawa pergi.
Putra Pak Jaya berdiri menunduk di teras rumah Saka. Pemuda dengan kemeja kerja yang kusut itu membungkuk pedih memegangi kedua lututnya, memohon maaf pada Saka dengan suara gemetar.
"Hei," Saka mengerjap kebingungan. "Pastiin aja Pak Jaya nggak pa-pa, tadi dia jatuh—"
"Saya benar-benar minta maaf ...."
Saka tercenung diam. Putra Pak Jaya kini berlutut, mencengkeram celana dan membungkuk kian dalam. Lalu mulai menangis kencang.
Sial, rutuk Saka.
Jendela rumah sekitar mulai tersibak dan lampu-lampu rumah lain mulai menyala. Keributan ini mulai membuat rumah Saka jadi tontonan.
Putra Pak Jaya masih memohon maaf sambil meraung, dan Saka terpaksa menariknya masuk.
***
"Mau minum apa?" Saka bertanya basa-basi.
Suasana rumahnya tak lagi seheboh beberapa menit lalu. Andri, nama putra Pak Jaya, sudah berhenti menangis dan kini duduk gemetar di salah satu sofa ruang tamu depan.
"Teh anget ada?" tanya Andri.
"Nggak ada," jawab Saka.
"Kalau gitu, kopi?"
"Nggak ada juga."
"Adanya apa?"
"Air putih."
"Tadi nawarin mau minum apa ...," gumam Andri dengan kerjapan bingung.
Saka mengabaikannya dan masuk ke dapur. Diambilnya gelas kosong dan diisinya dengan air mineral dari dispenser. Lalu kembali ke ruang depan dan meletakkan gelas itu di meja depan Andri yang sedang sibuk mengusap ingus.
Tak lupa usai mengelap ingus, tangan Andri mengusap kain sofa Saka.
Saka hendak duduk di sofa sebelah Andri, tapi mengurung niatnya karena ia tahu jika ia duduk di sana, akan memberinya kesan sebagai tuan rumah yang ramah dan welcome, dan Andri akan semakin betah berlama-lama di rumahnya.
Saka tidak suka orang asing berlama-lama di rumahnya.
Maka ia berdiri menempelkan punggung di dinding dekat partisi.
Samara Lee, yang sudah Saka sadari masih berada di rumahnya sejak tadi, berdiri tak jauh darinya. Dan Saka tidak sanggup menahan diri untuk menunduk, mengusap hidungnya, begitu aroma itu menyapa indra sensitifnya dengan sangat jelas.
Pupil mata Saka membesar dan ia menahan napas beberapa saat.
Astaga.
Manusia satu ini ...
... wangi sekali.
Dan ketika kepala itu masih menunduk, Saka melihat Samara menggerakkan kakinya, perlahan tubuhnya menyingkir ke samping untuk menjauhi Saka dua langkah.
"Pak Saka," Andri sesengukan usai meneguk air. "Saya berutang maaf dan penjelasan sama Pak Saka."
"Saka aja," potong Saka. Mengapa semua orang menganggapnya tua?!
"Jadi, Bang Saka—"
Demi bulu ketiak LeBron James ....
"—seperti yang sudah Abang duga, bapak saya ... mengalami sedikit gangguan," ujar laki-laki berkumis dan bertampang empat puluhan yang jelas-jelas lebih tua dari Saka itu. "Bayu itu nama kakak saya. Dan Anna nama kakak ipar saya, istri Bang Bayu."
Tatapan Saka tertuju pada lengan kiri Samara, yang meski ditutupi oleh telapak tangan, tetap terlihat jelas beberapa luka baret panjang akibat cakaran Pak Jaya. Ia menjadi khawatir. Pastinya sangat sakit.
Dan semua ini hanya untuk sebuah tanda tangan pemasangan CCTV.
"Bang Bayu dan istrinya meninggal dunia tiga tahun lalu, kecelakaan mobil. Ikut meninggal juga Alisa, anak mereka yang masih satu tahun."
Saka mendesah samar sembari mengusap leher belakangnya. Ini bukan kisah yang ingin didengarnya.
"Sampai saat ini Bapak nggak bisa terima kepergian mereka. Satu hari waktu saya mengantar Bapak jalan pagi di komplek, Bapak melihat Bang Saka dan salah mengartikan Bang Saka sebagai kakak saya."
"Kami mirip?" tanya Saka.
Andri tersenyum lirih. "Sebenarnya, enggak. Saya juga bingung kenapa Bapak salah mengenal Bang Saka. Apalagi sampai datang setiap malam, menunggu Bang Saka di depan rumah sambil bawain sate ayam kesukaan Bang Bayu."
Sorot mata Andri menerawang hampa pada kantung kresek isi sate ayam di atas meja.
Saka sadar Samara memandangi tempat yang sama. Tapi entah apa yang dipandanginya, apakah kantung kresek Pak Jaya, atau bungkusan apple pie pemberiannya yang masih utuh.
"Pasti Bang Saka dan—maaf, nama pacarnya siapa, Bang?" Andri tersenyum malu pada Samara.
"Oh, saya Samara. Saya tinggal di rumah depan."
"Ya Tuhan, maaf, saya kira pacarnya Bang Saka!" Andri tertawa kencang. "Jadi, hmm ... ya, begitulah, pasti Bang Saka dan Dek Samara bertanya-tanya kenapa saya nggak bawa Bapak ke rumah sakit. Sebetulnya, pihak keluarga sudah banyak yang menyarankan. Ada bagusnya Bapak dibawa ke RSJ, kata mereka. Bapakmu itu sakit, Dri, daripada repotin orang, lebih baik dirawat. Begitu. Tapi saya nggak tega. Gimana pun juga, itu Bapak. Bapak cuma punya saya sekarang."
Diam-diam Saka melirik jarum jam dinding. Tanpa bermaksud tidak sopan, tapi ... apakah sesi curhat ini masih lama?
"Jadi ... saya mohon maaf banget, sama Bang Saka, sama Dek Samara, kalau bapak saya sudah membuat keributan sebesar ini," Andri tersenyum lirih. "Tolong beri sedikit maklum untuk Bapak, saya janji akan berusaha semampu saya mencegah Bapak menganggu kalian lagi. Saya juga janji, kalau hal seperti ini terjadi lagi, saya ... akan bawa Bapak ke dokter."
Andri mengambil gelas minumnya dengan tangan gemetar, lalu tahu-tahu terdiam dan meletakkan kembali gelas minumnya. Bibirnya bergetar dan setitik air matanya menetes. Tidak butuh waktu lama hingga tangisannya benar-benar pecah.
Astaga, Saka menarik napas panjang.
Tangisan perih Andri kian kencang dan kian keras, menjadi lengkingan putus asa yang merobek-robek keheningan malam. Saka masih berdiri di tempatnya, tidak tahu harus berbuat apa.
Demi Tuhan, ia sungguhan tidak peduli dengan masalah hidup orang lain. Tidak bisakah ia melewati malam ini dengan tidur? Ia tidak minta banyak. Ia cuma mau tidur!
"Maaf, Bang Sakaaaaa~ Maafin bapak saya, Baaaaaang~ MAAAAAFFF!!!!”
“Holy shit.” Saka panik dan segera memberi isyarat dengan dua tangannya agar Andri berhenti menangis.
Malam ini bakal jadi panjang.
***
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
