
Galeri seni Mrs. Bells tak ubahnya pelengkap berita kota tentang gadis yang hilang. Kabarnya gadis-gadis yang ada dalam lukisan-lukisannya sudah tiada, sampai akhirnya Catherine membuktikannya sendiri.
•••
Ini adalah fanfiksi yang ditulis dari novel Truth Or Dare karya Winna Efendi dan Yoana Dianika. Pernah diikutsertakan dalam Winnadict Fanfiction Battle dan mendapatkan peringkat kedua.
(Cr pic: Girl with a Pearl Earring (1665) karya Jan Vermeer)
Semua berawal di dinding itu. Dinding galeri seni Mrs. Bells. Moira Bells. Pelukis yang selalu melukis seorang gadis dengan latar yang tak bisa dijelaskan dengan sebaik-baiknya. Terlanjur absurd, dibiarkan begitu saja. Dengan campuran warna cat yang sangat baik paduannya. Semua fokus lukisannya memang pada wajah. Dan lukisannya kebanyakan—bahkan hampir seluruhnya hanya setengah badan.
Aku sempat membaca artikel tentang wanita itu di koran lokal bulan lalu. Seorang pelukis tak terlalu terkenal tiba-tiba jadi perbincangan di beberapa media. Hal yang menarikku datang ke galerinya hari ini karena penasaran dengan kabar yang beredar.
Galeri ini dibuka setiap minggu. Dan kabarnya setiap itu juga akan ada satu karya yang melengkapi ruang kosong di galerinya. Atau tidak sama sekali sampai berbulan-bulan. Mungkin tahun berikutnya. Begitu yang kudengar dari kebanyakan orang. Galeri ini tak ubahnya pelengkap berita kota tentang gadis yang hilang.
Pacarku, Julian, pernah berkata padaku, bahwa lukisan-lukisan di galeri ini terkesan angker. Bagaimana ia bisa berkata seperti itu bahkan ia belum pernah masuk ke dalam. Ia hanya berdiri di luar gedung sambil menggenggam es krim vanilla yang kutinggalkan begitu saja. Mungkin sudah habis dilahapnya. Biar kutebak ia pasti sudah bosan menunggu. Ah, biar saja!
Kakiku terus melangkah ke lorong selanjutnya. Setiap lukisan di galeri ini selalu ditempatkan jarak, kurang lebih dalam satu lorong ada tiga sampai empat karya. Mungkin Mrs. Bells ingin menyampaikan hal lain. Sisi-sisinya dibiarkan kosong sampai jarak itu semakin membuatku berpikir untuk apa Mrs. Bells membuat galeri yang sepi pengunjung seperti ini. Setelah kuhitung-hitung karyanya tak lebih dari dua puluh.
Kabarnya gadis-gadis yang ada dalam lukisan-lukisan itu sudah tiada. Benar. Ada beberapa yang sering kulihat fotonya di teve atau surat kabar. Mungkin itu juga alasan Julian tak turut masuk. Mengerikan menemukan mereka ada di sini.
Heather Mills.
Meninggalkan Belfast saat malam natal.
Bibirku mengatup rapat-rapat usai membaca itu di papan keterangan.
Dan aku tidak peduli. Yang terpenting aku bisa menikmati sebuah karya dengan caraku sendiri. Setiap lukisan yang ada di galeri ini selalu memberi kesimpulan tersendiri untuk penikmatnya. Dan saat aku melihat tatapan Heather, sepertinya dia berkedip dua kali padaku lalu bibirnya seakan-akan bergerak, berbisik padaku untuk segera meninggalkannya.
Aku mundur—mengalihkan pandangan. Dan membalikkan tubuhku ke arah ruangan lain. Tubuhku merasa ada hawa yang bersemayam di sana. Lekas-lekas aku menjauh.
Lagi-lagi pikiranku bermain, mungkin Mrs. Bells hendak mengabadikan mereka dalam karyanya. Maka dari itu nama galeri seni ini “Yours”. Menurut artikel yang kubaca kebanyakan pengunjungnya adalah wartawan, ibu yang kehilangan anak gadisnya atau kekasih mereka untuk sekedar mengenang dan memberikan sedikit pengharapan bagi mereka yang belum kembali. Namun, sore ini amat sangat sepi. Dan mungkin hanya aku yang berkeliaran di galeri ini sendirian.
Perlu diketahui jasad mereka—gadis-gadis yang ada dalam lukisan Mrs. Bells—memang tak pernah ditemukan. Benar-benar hilang seiring waktu tak lagi membicarakan pencarian mereka. Beberapa keluarga terlanjur atau mungkin sudah merelakan.
Dari sekian banyak lukisan gadis hilang yang ada, aku mulai benar-benar tertarik dengan galeri ini kala menjumpai satu lukisan di tengah ruang. Mungkin ini adalah inti dari semua lukisan yang ada. Menurut keterangan yang tertulis, lukisan itu adalah satu karya terbaik Moira Bells. Karena aku bukanlah pengamat seni, aku tak tahu apa yang dinilai dari lukisan itu. Mungkin karena gadis yang ada dalam lukisan itu begitu cantik. Cantik dalam arti ia menarik—menurutku. Cantik itu relatif. Bahkan Julian menyebutku weird dengan rambut pendek yang kupotong tiga minggu lalu. Dan mungkin ia akan sama menyebut gadis dalam lukisan ini… cantik. Ia suka rambut panjang. Aku tersenyum, seakan mengucapkan “hello” pada gadis dalam lukisan itu.
Mataku mulai bergerak mengamati warna background-nya yang tak sama dengan lukisan lainnya. Perpaduan putih susu dengan kelopak-kelopak mawar merah yang bertebaran. Gadis itu duduk di sebuah kursi kayu. Tangannya merapat di pangkuan. Gaunnya berwarna hitam dengan kerah berenda berwarna putih.
Wajah dan kulitnya pucat. Rambutnya panjang terurai, berwarna pirang terang, bahkan cenderung berwarna putih. Matanya yang hijau emerald seperti memantulkan kebahagiaan. Bibir kecilnya sedikit terbuka, seakan-akan hendak mengucapkan sesuatu yang tertunda. Namun aku tahu ia tengah tersenyum.
Aku mengamati kedua manik emerald-nya sekali lagi. Mata itu tampak bergerak melihatku. Seperti terhipnotis, agaknya gadis dalam lukisan itu hidup dan bicara padaku. Dan aku mencium aroma vanilla yang kental di sekelilingku.
“Hai, Cat!”
“Cathy!!”
Jantungku hampir melompat. Julian tiba-tiba sudah ada di sampingku. Aku tidak mungkin salah dengar. Seseorang yang pertama memanggilku adalah….
“Hei, Jul. Barusan kau memanggilku apa?” mataku memincing, merasa aneh dengan panggilan itu. Dia tidak pernah memanggilku … Cat.
“Cathy, ayolah, kita kembali! Aku bosan, semua lukisannya seorang gadis. Seperti tidak ada yang menarik dari lukisannya. Kurasa Mrs. Bells adalah seorang maniak.”
“Jul, aku rasa … aku harus menemui Mrs. Bells,” cetusku tiba-tiba. Entah apa yang membuatku berkata demikian.
“What?! You’re crazy! Kau tahu kan dia itu panic attacks. Bisa-bisa sesak napas bertemu gadis berambut pendek bergaya boyish seperti kau.”
“Jul—“
“—Cathy, kita pulang, oke?” potongnya, tegas.
Aku bertanya sekali lagi, “Kau nggak penasaran?” Julian mendengus. Sebelah tangannya menarik lenganku.
“Nggak.”
Namun langkahnya tiba-tiba terhenti, ia lantas berbalik memandang lukisan itu. “Tunggu! Ada yang aneh. Aku nggak pernah lihat dia di berita manapun.”
Julian mendekat dan nampak tertarik membaca baris keterangan yang ada.
“Alice Bells.” Julian lantas menatapku. Telunjuknya mengarah pada tulisan di papan keterangan yang berdiri di bawah lukisan itu.
Perlahan aku mengangguk. “Dia adalah anak Moira Bells.”
***
Ini adalah pekan kedua aku mengunjungi galeri Mrs. Bells tanpa Julian. Aku bilang padanya kalau aku akan ke Irving, salah satu kakak tiriku mengundangku dalam pestanya. Mungkin aku akan pulang keesokkan hari atau lusa. Kalau tidak begitu, mungkin Julian akan ikut ke sini dan rencanaku gagal.
Aku ingin bertemu Mrs. Bells. Ini adalah galeri pribadinya namun ia tak pernah muncul saat aku berkeliling hampir empat kali di antara lukisan-lukisannya. Tidak ada yang tahu keberadaannya di galeri. Apa kabar ia mengidap agoraphobia itu benar? Jika iya, mungkinkah ia hanya mengurung diri sambil menyelesaikan lukisannya?
Langkahku tiba di sebuah tangga kayu di ujung ruangan. Deritnya tampak membuatku merasa bersalah sudah menginjaknya. Sampai di anak tangga terakhir aku melihatnya. Seorang wanita berambut pirang yang duduk memunggungiku. Dihadapannya berdiri sebuah kanvas yang dimiringkan. Dalam kesendirian menyelesaikan sebuah lukisan. Ya, tak salah lagi wanita itu adalah Moira Bells.
Saat aku ingin melihat dengan jelas lukisan itu, ia menoleh. Dan nampak terkejut dengan kehadiranku.
Aku tampak kikuk. Dan terhenti begitu saja, lantas melambaikan sebelah tangan, “Hello, I’m Cat.” Wanita itu terdiam.
Er, rasanya perkenalan ini begitu kaku.
“Ada yang bisa kubantu?” Ia meletakkan kuasnya. Meninggalkan lukisan yang berbeda dari yang kulihat di lantai bawah. Ia melukis sebuah rumah. Aku melangkah ke arahnya. Mendekati lukisan itu. Rumah kecil dengan arsitektur sederhana. Bercat warna kayu, dengan beberapa pot tanaman gantung dan berlatar di sebuah perkebunan. Tampak sepi, namun hangat dengan cahaya lampu gantung di beranda.
“Ini adalah rumahku terdahulu. Aku melukisnya dengan ingatanku yang samar-samar,” katanya.
Aku menatap wanita itu takjub. Rasanya aku benar-benar tertarik pada orang sepertinya. Seorang ibu yang kehilangan anaknya lantas bersembunyi dalam lukisan-lukisan penuh misteri itu. Lukisan-lukisan gadis hilang yang tak kunjung kembali. Agaknya arti kesepian itu baginya seperti berharap jiwa yang pergi bisa kembali menemaninya.
Lantas… apa saat ini ia merindukan rumah lamanya?
“Mrs. Bells, bisakah aku belajar darimu?”
“Kau suka melukis?” Aku merogoh isi tasku. Menunjukkan beberapa karyaku yang kebanyakan graviti yang kaku dan tajam. Ia tersenyum memandanginya.
“Namamu?”
“Cat. Catherine Collins.”
Entah sejak kapan aku jadi senang menyebut panggilanku, Cat.
“Aku mengagumi beberapa karyamu. Menakjubkan dan membuat orang-orang yang datang seakan ingin menghargai hidupnya. Mereka cantik, tapi begitu pahit hidupnya.”
Lagi-lagi ia tersenyum. Namun kali ini tatapannya tampak berkaca-kaca. Matanya yang haus akan kerinduan itu bicara padaku. “Aku membuat galeri ini karena anakku.” Tangannya yang keriput mengelus salah satu lukisannya yang tertutup kain putih. Ia menariknya dan memperlihatkan padaku mengenai lukisan itu.
Alice Bells. Tawanya hangat di samping seorang wanita tua.
“Itu Gran, neneknya. Ia sudah lama meninggal. Dan Al, dia putriku satu-satunya. Nasibnya malang. Ia tak punya seorang teman. Satu pun. Bertahun-tahun ia hidup denganku yang seorang agoraphobia tanpa pernah kuajak keluar rumah. Aku selalu mengurungnya. Aku takut ia akan pergi meninggalkanku yang tampak aneh di matanya. Sampai suatu ketika aku membiarkannya keluar rumah dan tiba-tiba sebuah truk datang … menabrak tubuhnya. Ia meninggal saat itu juga.”
Ia melirikku dengan mimik yang ganjil. Mungkin itu hanya perasaanku.
“Aku turut sedih mendengarnya.” Ia tersenyum sekilas lantas memperlihatkanku beberapa karya lain yang tak pernah ia tunjukkan di galerinya. Beberapa lukisannya tampak absurd. Aku begidik saat melihat lukisan kepala manusia dengan kupu-kupu berdarah. Ia tak pernah keluar rumah, itulah alasan dari kebanyakan lukisannya bukan kota Belfast, pantai, downtown, atau burung-burung di langit biru Belfast.
“Aku pindah dan mendirikan galeri ini usai menyelesaikan lukisan anakku.”
“Dengan kata lain kau membangun galeri ini biar ada yang menemani lukisan putrimu?” Wanita itu tertawa hambar. Setidaknya aku sudah mengerti kenapa lukisan-lukisan gadis hilang yang terpajang di galerinya. Agaknya ia turut merasakan kehilangan seperti orang-orang terdekat gadis-gadis yang hilang itu.
“Kau sering menerima murid?”
“Bisa dikatakan kau murid pertama setelah putriku.” Ia tersenyum, “Mungkin mereka takut dengan suasana galeri ini.”
Aku melihatnya tampak begitu kesepian. Mungkin itu juga alasannya membangun galeri ini, untuk menemaninya dalam kesepian. Tapi, itu agak aneh. Mungkin aku tidak akan belajar melukis gadis-gadis hilang sepertinya.
“Tapi kurasa tidak semenakutkan yang kukira. Pekan lalu aku merasa harus berkunjung lagi. Dan hari ini aku mendapat kesempatan untuk bertemu denganmu.” Ia sudah duduk lagi di kursinya. Mengganti kanvasnya dengan yang baru.
“Kau mau mulai sekarang?” aku mengangguk. Ia menunjuk kanvas lain dan beberapa kuas di mejanya. Aku memilih yang menurutku pas. Jenis-jenis kuas itu membuatku pusing. Ia membiarkanku melukis apa yang pertama kubayangkan. Berekpresilah dengan pikiranmu. Apa yang kau rasakan. Wanita itu hanya diam di depan kanvasnya saat aku melukis dengan cat berwarna hitam.
Luna Blu. Aku melukis kucing hitamku.
“Cat.” Wanita itu tiba-tiba berseru, memanggilku dengan panggilan yang sempat berbisik di depan lukisan putrinya. Aku lantas memandangnya dengan mimik bertanya.
“Bolehkah aku melukismu?” Tubuhku menegang. Napasku terasa tercekat. Enggan menolak, namun juga ragu mengangguk.
Wanita itu tersenyum. Kali ini senyum yang ganjil. Sebelah tangannya lantas menuntun kuasnya untuk menyentuh permukaan kanvas. Rasanya tubuhku tak bisa lagi digerakkan. Kuas yang kugenggam terjatuh ke lantai. Bahkan manik mataku mulai kaku untuk melirik ke sana.
Wajah itu. Hanya wajah wanita itu yang kulihat hampir tertawa mengurung jiwaku dalam lukisannya. Dan tampak berangsur-angsur puas usai menit-menit yang sunyi menyakitkanku. Dengan sisa goresan terakhir ia membuatku tersadar, aku sudah berpindah jadi objek penyempurna kanvas putihnya.
“Anakku akan senang mendapat satu teman baru.”
Kudengar tawanya semakin terbahak-bahak.
***
Usai dua hari mengurungku dalam ruangan kerjanya, wanita itu membawaku keluar. Suara-suara yang sempat berbisik kala pertama kali aku bertandang itu makin jelas kudengar.
“Hai, kau penghuni baru?” Semua hampir melontarkan tanya yang sama padaku. Beberapa bahkan ada yang menanyakan siapa namaku. Dimana aku akan tergantung. Dan berakhir dengan sorakan menyebutku sombong. Mungkin karena tempat kosong mereka tak kunjung diambangi Mrs. Bells.
Wanita itu berhenti di tengah ruangan. Aku dapat mencium aroma vanilla yang kental. Mungkinkah ….
Mrs. Bells menggantungkanku berhadapan dengan putrinya. Alice Bells. Usai tersenyum puas dengan tata letakku, ia lantas pergi meninggalkanku.
Di hadapanku pemandangan berganti dengan lukisan yang minggu lalu kukagumi. Ia masih tersenyum di sana. Lantas melirikku. Seolah menyadari aku tengah memperhatikannya.
“Hai, Cat!” Panggilan itu….
“Aku harus pergi dari sini,” kataku.
Alice tiba-tiba terdiam. Wajahnya datar dan tampak sedang memberiku sebuah kenyataan lain. “Tidak ada yang bisa membawamu kembali ke luar sana. Kau sudah ditakdirkan menjadi temanku, Cat. Temanku.” Gadis itu tersenyum geli.
“Apa maksudmu?”
Alice kembali menatapku. Dengan manik emerald-nya, ia mengunci tatapanku. Menyadarkan di mana keberadaanku. Aku sudah sama sepertinya.
“Kau akan jadi penghuni galeri seni ini selamanya, bersamaku, juga mereka.”
Tidak. Tidak mungkin.
Gadis itu lalu tertawa. Tawa yang sempat hilang karena kesepian.
“Selamat datang, Cat! Selamat datang!”
*
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
