Blacklight Dawn Bab 2: SINGA HANYA MENGAUM KEPADA YANG LEMAH

1
0
Deskripsi

Bab kedua dari novel Blacklight Dawn

Tama melaporkan peristiwa serangan naga di gerbang kepada Dewan Bangsawan. Sekaligus kecurigaan adanya serangan lanjutan dalam jumlah besar. Tama meminta tambahan pasukan dan senjata di gerbang kepada Dewan. 

Namun Dewan justru memberikan misi lain kepada Tama, dengan imbalan yang di luar dugaan.

Sore itu, dua orang pekerja sedang membersihkan gedung dewan bangsawan yang terletak di kaki bukit di ujung utara kota Orin. Salah satu dari pekerja itu merawat tanaman di teras tingkat ketiga gedung itu. Gedung itu bertingkat-tingkat dengan tingkat di atas berukuran lebih kecil dari tingkat di bawahnya, sehingga membentuk semi-piramida. Tumbuhan yang lebat memenuhi teras masing-masing tingkat, sehingga sekilas gedung itu terlihat seperti bukit yang hijau. Satu pekerja lagi sedang membersihkan air kolam yang mengelilingi lantai dasar gedung itu. Air dari kolam itu berasal dari air terjun yang bersumber dari atas bukit, lalu turun terus hingga membelah persis di tengah-tengah piramida gedung dewan bangsawan. Kolam itu kemudian akan terus membentuk sungai yang mengalir ke penjuru kota.

Pekerja pembersih kolam baru akan menyelesaikan giliran sorenya, saat mendengar sapaan dari Tama yang berjalan masuk.

“Sore, Pak Puru.” Sapa Tama sambil tersenyum. Yang disapa hanya melirik dingin sambil melengos.

Tama hanya tersenyum dan berusaha untuk tidak terpengaruh. Ia membutuhkan stok kesabaran yang banyak untuk menghadapi orang-orang yang akan ia temui di dalam gedung ini. Dalam perjalanan menuju gerbang gedung, ia melihat sosok patung singa kekar yang sedang berdiri mengaum memamerkan giginya. Segala perkataan yang sedang disusun Tama seakan hilang setengahnya setelah melihat patung itu. Dalam hati ia mengutuk sekaligus memuji siapapun pembuat patung yang betul-betul provokatif ini.

Tama memasuki ruangan dengan langit-langit yang tinggi. Dengan sinar matahari yang masuk melalui jendela yang berderet di atas. Ruangan ini cukup luas, dan Tama tahu masih banyak ruangan yang lebih luas dalam gedung ini. Tama berdiri di depan meja panjang. Di balik meja, duduk empat orang pria dan seorang wanita dengan busana yang menurut Tama kelewat glamor untuk hari-hari seperti saat ini. Aksesoris yang mereka pakai sungguh membuat Tama sulit berkonsentrasi. Di atas meja terpampang papan dengan bingkai berukir dan huruf timbul bertulisan KOMISI KONTRAKTOR DEWAN BANGSAWAN ORIN. Gambar singa sedang mengaum terukir di atas tulisan tadi.

Salah satu dari mereka, pria muda dengan rambut lurus klimis dan tubuh yang proporsional, membolak-balik kertas lalu melihat ke arah Tama. “Sore, Tama.” sapanya.

“Pinya.” jawab Tama singkat. Perhatian Tama entah kenapa terpusat ke arah anting bermata yang dipakai Pinya di telinga kirinya. Dan jas berwarna putih yang kelewat bersih dan mulus.

“Empat orang kontraktor meninggal. Dua luka parah. Kerusakan berat terdeteksi di salah satu bagian menara gerbang utama. Pintu gerbang lepas. Lalu tiga ekor naga sempat masuk kota. Dua hampir melukai warga sipil.” Pinya berhenti sejenak. Matanya menatap Tama menagih jawaban. 

Tama bergeming. Mengulur waktu karena belum ada pertanyaan yang secara resmi meluncur.

“Apa yang sebenarnya terjadi kemarin, Tama?” Tanya Pinya. Akhirnya membahasakan tatapan matanya. 

Kalau bisa, sebenarnya Tama tidak ingin mengingat peristiwa kemarin. Ia merasa pantas akan waktu istirahat yang sedikit lebih panjang. 

Namun, tentu saja, Pinya harus bertanya. 

Siang itu, di balik sebuah lubang pada tembok kota, pada ketinggian 12 meter, Tama melihat dua ekor naga berlari buas menyeberangi ladang mendekati dua anak perempuan yang berlari mencari aman menuju rumah mereka. Tama tahu, kedua anak itu tidak akan berhasil mencapai rumah tanpa tersusul oleh kedua naga. Jika berhasil pun, kedua naga akan dengan mudah mendobrak pintu rumah atau bahkan menjebol dinding kayu rumah mereka. Lalu kedua anak perempuan itu, dan mungkin keluarga mereka, tidak akan tertolong.

Tama menarik napas panjang. Ia menenangkan diri, lalu menyetel senjata penguat pukulan di kedua tangannya menjadi pelontar proyektil. Lalu ia mencoba membidik dengan tenang. Ia tahu kalau tidak akan ada kesempatan kedua jika ia meleset. Senjata penguat pukulan ini hanya bisa dipakai sekali menjadi pelontar proyektil. Setelah itu, Tama bahkan tidak bisa memakainya sebagai penguat pukulan lagi. Tama tidak boleh meleset. 

Tama. Harus. Sangat. Tenang. 

Bidik. Tarik napas. Hembuskan.

Lalu tarik pelatuk.

Kedua proyektil senjata penguat pukulan meluncur deras. Menyeberangi ladang. Mengejar naga dengan kecepatan suara. Lalu tepat meledak menghantam salah satu naga. Naga yang lain, karena sempat melihat rekannya terpental, berhasil menunduk dan membuat proyektil berikutnya melesat menghantam batang pohon yang besar. Menimbulkan suara berdebum yang keras.

Gelombang ledakan membuat salah satu anak perempuan terjatuh. Ketika ia berusaha berdiri, tangan bersisik sang naga mencengkram kakinya. Air mata memenuhi sudut mata sang anak perempuan saat sang naga di depannya mengangkat cakar tinggi-tinggi, mengambil ancang-ancang untuk mencabik tubuhnya.

Kretak! 

Suara yang keras dari arah samping membuat naga itu menghentikan geraknya. Ketika naga itu menoleh ke arah sumber suara, batang pohon yang besar, keras dan berat jatuh deras menimpa tubuhnya. Batang pohon yang sama dengan yang tadi terkena peluru Tama. Naga malang itu tidak sempat menghindar. Begitu sadar naga yang mencengkeramnya tidak lagi bergerak, sang anak perempuan melepaskan kakinya dari tangan naga yang lemas. Ia lalu berlari sambil menangis masuk ke dalam rumah.

Di atas tembok, Tama menghembuskan napas lega.

JEDAR! GUBRAK! BUM! Suara keras mengiringi getaran yang menjalar ke seluruh tembok batas kota. Tama lupa kalau masih ada satu naga prajurit di gerbang. Ia berlari menuju menara di dekat gerbang dan melihat pemandangan yang tidak ingin ia lihat hari ini atau kapan pun. 

Pintu gerbang kota yang terbuat dari besi baja setebal setengah meter sudah terjatuh teronggok di tanah. Di atasnya berdiri seekor naga prajurit yang besar dan kekar. Meraung keras mengumumkan pencapaiannya. Kini tidak ada yang bisa menghalangi keinginannya mengobrak abrik kota dan semua manusia yang ia lihat di sini. Di depannya, kontraktor berlarian mencari tempat sembunyi. Mereka sadar makhluk ini tidak bisa dilawan tanpa senjata yang memadai. Senjata yang saat ini dipegang Tama. 

Tepat di atas gerbang, di atas naga yang masih berdiri meraung-raung, Tama berdiri memegang tombak besi sibat. Busur besinya sendiri sudah rusak dihantam salah satu naga penjelajah. 

Tidak boleh lama, naga prajurit sudah mengambil ancang-ancang untuk mulai mengobrak abrik kota. Maka Tama mengambil liontin di lehernya, menciumnya, lalu melompat ke arah naga. 

Angin terasa dingin melewati kepala Tama yang plontos saat Tama meluncur ke bawah selama sedetik. Sesaat kemudian, kedua tangan Tama menusukkan tombak sibat tepat di atas kepala naga prajurit. Menancap walau tidak dalam. Momentum yang timbul memaksa Tama untuk melompat ke depan naga, lalu mendarat berguling-guling di tanah. Tanpa buang waktu, selagi sang naga masih terkejut dan tidak sadar apa yang menancap di kepalanya, Tama menekan tombol detonator. 

BUM! Dalam sekejap, ledakan pada ujung tombak membuat sang naga kehilangan kepala dan tubuh bagian atasnya. Darah dan bagian tubuh naga memuncrat dan terlempar ke segala arah. Gelombang ledakan membuat Tama terpelanting dan kembali terguling. Dua detik kemudian, tubuh naga prajurit yang sudah tidak berkepala jatuh berdebum.

Telinga Tama masih berdenging akibat ledakan tadi, ketika samar-samar ia mendengar suara lolongan yang janggal. Ia memutar kepala mencari-cari sumber suara, lalu melihat seekor naga penjelajah di atas salah satu menara. Naga itu melihat ke arah bukit pertambangan jauh di ujung utara kota. Lalu ia meraung, melolong panjang dengan suara yang belum pernah didengar sebelumnya oleh Tama. Yang mengejutkan, lolongan itu kemudian dibalas oleh suara lolongan lain agak jauh di arah selatan, di perbukitan di luar kota. Lalu lolongan lain muncul samar-samar lebih ke selatan. Lalu ada lagi. 

Tama tidak mengerti perilaku naga itu. Namun ia berani bertaruh lolongan itu bukan pertanda baik bagi penduduk Orin. Tama melihat ke sekelilingnya, mencoba mencari-cari senjata apapun yang bisa melumpuhkan naga yang sedang melolong itu. Ketika itulah Tama tersadar kalau ada sekitar selusin kontraktor di sekelilingnya sedang membidikkan senjata penguat pukulan ke arah naga itu. 

“Hei, tunggu, jangan tembak dulu. Kalau kalian serentak menembak ke arah sana, kalian bisa…”

Jedum! Sebuah ledakan menyela instruksi Tama. Salah satu kontraktor tidak sabar memulai eksekusi. Letusan itu kemudian memancing reaksi sebelas kontraktor lainnya. Jedum! Jedum! Jedum! Jedum! Jedum!

Duar! Duar! Blam! Blam! Blam! Duar! Proyektil-proyektil itu menemui sasaran mereka tanpa ampun. Debu dan asap menyelimuti puncak menara. Dan ketika asap mulai menghilang. Sosok naga sudah hilang berganti potongan tubuh dan cipratan darah. Menara tempat naga itu berdiri hancur setengahnya. Tembok di sekelilingnya juga runtuh sebagian. 

Dan Tama sangat mengerti itu artinya penambahan giliran jaga malam ini. Lalu pertemuan dengan dewan bangsawan besok. Terkadang, Tama lebih memilih berhadapan dengan naga daripada dengan dewan bangsawan.

“Tiga belas kontraktor tewas di perjalanan menuju ke sini dari ibukota. Selain kerusakan dan korban yang sudah aku sebutkan tadi. Kehilangan kita besar sekali, Tama.” Pinya yang duduk di kursi paling kanan masih memberondong Tama dengan pertanyaan yang bukan pertanyaan. Kedua lengan Pinya diletakkan di atas meja dengan jari-jari tangan yang dikaitkan satu sama lain 

“Saya sadar, Pinya.”

“Lalu? Itu saja? Kalau sudah sadar terus bagaimana dong?”

Tama memandang anggota Dewan Bangsawan lainnya yang berada di ruangan ini. Ia bertanya-tanya, apakah mereka sengaja membuat Pinya saja yang dari tadi berbunyi? Atau dari awal ini memang ulah Pinya yang ingin terlihat menonjol?

Sadar apapun jawabannya tidaklah begitu penting, Tama mulai berbicara. 

“Karena anggota dewan sudah bertanya, sebenarnya ada yang ingin saya sampaikan. Ada yang aneh dari perilaku para naga. Beberapa tahun lalu naga yang sampai perbatasan adalah naga yang tanpa sengaja menemukan kita, dan jumlahnya hanya satu-dua per kejadian. Akhir-akhir ini, naga yang sampai gerbang seperti sudah memiliki tujuan, dan jumlahnya selalu meningkat. Bulan kemarin ada tiga naga di gerbang. Dua minggu yang lalu ada lima. Kemarin tujuh. Lebih janggal lagi, salah satu dari mereka kemarin melihat ke arah pertambangan dan melolong seperti memberikan sinyal kepada kawanan mereka entah di mana.”

“Kawanan? Kita tidak pernah melihat mereka dalam jumlah besar selama ini, Tama.” anggota dewan lain bersuara. Kali ini bapak bertubuh pendek dan berpakaian seperti penggemar fanatik beludru. Kali ini Tama dibuat tidak fokus oleh beberapa gigi depan sang bangsawan yang dilapis emas. 

“Be..begitulah adanya. Lolongan naga di gerbang kemarin dibalas secara berkesinambungan oleh suara naga-naga lain di arah selatan. Seluruh kontraktor yang ada di gerbang kemarin saksinya.” Tama dengan sukses menahan serangan silaunya beludru ungu dan memberikan penjelasan penuh.

“Naga tidak bisa memiliki rencana. Mereka makhluk buas yang otaknya terbatas. Itu sudah dikonfirmasi ilmuwan kita. Tolong biasakan agar mendasari pendapatmu dengan hasil pengamatan atau riset atau teori umum yang valid.” kali ini yang berbicara adalah seorang perempuan paruh baya bertubuh agak gempal.

Tama terdiam di depan gemerlapnya kemeja loreng sang ibu anggota dewan. Untaian mutiara di lehernya yang berkilau menusuk mata Tama, membuat Tama kehilangan daya untuk berkata.

“Namun okelah, saya akan mencoba mensejajarkan diri denganmu. jika itu adalah hasil pengamatanmu, apa yang menurutmu sedang mereka rencanakan?” Lanjut sang anggota dewan sambil membetulkan sanggulnya.

Tama terdiam sesaat. Ia memejamkan mata, menghapus semua aksesoris berkilau yang ia lihat tadi dari benaknya, dan mencoba menyusun kata.

“Mereka merencanakan penyerbuan.”

Anggota dewan terlihat terkejut. Tama mengambil kesempatan untuk meneruskan ceritanya.

“Saya yakin para anggota dewan juga pernah mendengar cerita ini. Saya dengar sewaktu kecil, dari pedagang-pedagang yang berasal dari jauh. Dari provinsi lain, atau dari negara lain. Cerita tentang satu kota yang diserbu oleh naga yang jumlahnya banyak sekali. Sangat banyak dan terlalu banyak sehingga seluruh penduduk kota sampai tersapu habis. Bangunan hanya tinggal puing. Tanah dan pohon terbakar.”

“Saya baru saja meminta kamu untuk membiasakan berpendapat dengan hasil riset yang valid, Tama.” Tama mendengar sang kalung mutiara bersuara lagi.

“Itu bisa jadi hanya imajinasi berlebih dari para pedagang tukang cerita, Tama.” Kali ini, pria yang sudah agak berumur berjanggut putih dengan rambut panjang dikuncir mengeluarkan suara. Tama mengenalnya sebagai Moses, ayah Regina. Mertuanya. 

“Saya sudah hidup hampir 70 tahun dan belum pernah mendapati konfirmasi bahwa ada kota yang betul-betul diserang oleh gerombolan naga. Bukan hanya oleh naga. Bahkan cerita kota yang diserbu bandit saja sudah tidak lagi ada. Masa sudah berganti Tama, sekarang semua orang sudah paham bahwa kedamaian dan kestabilan adalah hal yang paling penting.” lanjut Moses.

Ruangan hening sebentar. Sebelum Tama kembali menjawab. “Bagaimanapun, perilaku naga kemarin di luar kebiasaan. Banyak saksinya, bukan hanya saya.”

Para anggota dewan bangsawan bergumam berbicara dengan satu sama lain. Sebelum Moses kembali bertanya.

“Lalu, apa kau punya rekomendasi?”

Tama terdiam sebentar, berpikir, melihat ke arah lantai. Setelah pikirannya mantap, ia kembali melihat ke arah Moses.

“Penambahan personel di gerbang, lalu penambahan senjata. Perkuat dinding di titik lain, bukan hanya di gerbang. Riset teknologi baru untuk perkuat gerbang. Lalu libatkan warga untuk ikut mempertahankan, atau minimal mengawasi gerbang.”

Para anggota dewan kembali berbicara dengan satu sama lain. Kali ini dengan volume yang lebih keras. 

“Penambahan senjata di dinding itu sulit, Tama.” Sekarang yang bersuara adalah pria muda bertubuh bulat dengan kacamata setengah lingkaran dan kepala gundul licin. Tama dibuat sulit fokus melihat jumlah cincin bermata yang dipakai di delapan jari tangannya. 

“Kita juga harus merogoh kantong sangat dalam untuk mendapatkan kontraktor baru setelah peristiwa bus kemarin. Ibukota Ego memang menjamin ketersediaan senjata dan kontraktor. Tapi mereka tidak menjamin harga akan terus tetap. Kita perlu menambang banyak sekali lifstein dan menjualnya untuk memenuhi permintaanmu. Coba pertimbangkan keuangan kota juga. Jangan serahkan semua masalah ke bangsawan.”

“Saya...saya hanya memikirkan keamanan di gerbang.” Tama membalas setelah berhasil mengalihkan pikiran dari cincin-cincin itu.

“Ya tidak bisa begitu. Tolong lihat dalam lingkup yang lebih luas. Jangan hanya uang-uang-uang terus.” Ujar si cincin lagi.

“Coba berpikir dengan logis. Bantu bangsawan berpikir. Begini nih kalau kita serahkan urusan ke golongan yang tidak sekolah tinggi. Apa tidak ada bangsawan yang bisa jadi koordinator kontraktor?” Tanya kalung mutiara kepada temannya yang lain.

“Saya yakin ada banyak lulusan sekolah bangsawan yang memenuhi klasifikasi.” Ujar gigi emas.

Ruangan kini agak riuh oleh para bangsawan yang saling berbicara ke satu sama lain. Satu aksesoris berbicara ke aksesoris lain. Tama hanya melihat ke lantai. Kini Tama mulai emosi mendengar semua celotehan para bangsawan di depannya. Semua penghakiman tanpa justifikasi mengenai kecakapan Tama.

Dan Pinya menangkap hal itu.

“Maaf, Bapak Ibu. Boleh saya berbicara sebentar?” Pinya tiba-tiba berbicara dengan volume yang keras.

Ruangan mendadak hening.

“Terima kasih. Sekarang, Tama. Idemu mengenai keterlibatan sipil sangat bisa dipertimbangkan. Seperti kau dengar tadi, kita tidak bisa menghamburkan terlalu banyak uang untuk keperluan gerbang saja. Maka aku akan tawarkan solusi.”

Tama curiga. Seingat Tama, solusi bukan suatu hal yang biasanya keluar dari Pinya. Setidaknya bukan solusi yang akan ia pilih.

“Kau pergi, ke seluruh kota ini. Bahkan, kalau kau bisa, keluar kota pun boleh. Kau cari warga sipil yang mau dan sanggup membantu mempertahankan kota jika terjadi serangan gerombolan naga. Rekrut mereka. Buat pasukan milikmu sendiri.”

Tama melihat ke anggota dewan bangsawan yang lain. Dahi mereka juga berkerut.

“Tentu jangan kau rekrut sembarang orang. Carilah yang memang benar pintar, yang kuat, yang berpengaruh. Atau temukan tokoh yang sudah punya banyak bawahan untuk memperbanyak jumlah personel di gerbang. Atau cari orang yang punya kemampuan unik sehingga bisa berguna untuk dipakai melawan… gerombolan naga. Seperti yang kau bilang.”

Pinya melihat Tama mengeluarkan raut wajah yang tidak karuan. Pinya tertawa dalam hati.

“Jika berhasil. Dan jika para naga itu menyerang. Lalu jika kau dengan pasukanmu bisa mengusir mereka. Banyak sekali ‘jika’ memang, tapi dengarkan dulu.”

Pinya tersenyum. Melihat ke arah Tama.

“Jika itu semua terjadi, kau akan kami anugerahkan bintang kota Orin. Statusmu akan naik, sejajar dengan para bangsawan. Emblem elang akan berganti menjadi singa”

Tama tebelalak. Anggota dewan bangsawan yang lain juga tidak bisa menyembunyikan keterkejutan mereka.

“Bagaimana?” Pinya menagih.

Tama menoleh ke arah Moses. Moses justru melihat ke arah Pinya dengan mata terbelalak. Pinya masih tersenyum. Menunggu jawaban Tama.

“Itu tipuan.”

Regina mencetuskan kata-kata itu di sela-sela kesibukan mulutnya mengunyah sisa daging ayam di ruang makan di dalam rumah kecil milik Tama di sudut kota Orin.

“Dia sudah mencoba mendekatiku ratusan kali sedari remaja. Aku hapal sekali perilaku Pinya.” Sambung Regina lagi. Tama memperhatikan, sebetulnya daging ayam yang tersisa di piring Regina sudah tidak seberapa. Regina hanya menikmati menggerogoti tulang ayam. Tama jadi khawatir. Apakah ia terlalu sedikit memberi uang belanja? Sampai istrinya yang seorang bangsawan sibuk menggerogoti tulang ayam?

“Hei! Malah bengong!” Regina membentak. Tama tersentak. Ia mengambil gelas air putih hanya karena salah tingkah.

“Tapi jujur, mungkin menjadi bangsawan sepenuhnya akan berguna banyak untukku. Orang-orang sekarang menjadi dingin. Bahkan Puru yang dulu ramah sudah beberapa tahun tidak membalas salamku.” Tama melanjutkan menjawab sambil menghabiskan daging ayam di piringnya. Tidak seperti Regina, ayam di piring Tama memang belum habis.

“Mungkin dia sibuk. Banyak pegawai yang dipecat waktu produksi lifstein turun. Sedang taman gedung itu luasnya tidak berkurang.”

Tama menelan daging yang masih ada di mulutnya, kemudian menyahut. “Kemarin bahkan tidak ada kontraktor yang mau menjalankan instruksi. Mereka berubah drastis setelah aku menikahimu. Mereka pikir aku dapat jabatan karena menikahi bangsawan, padahal aku menikahimu setelah aku diangkat jadi koordinator. Bagaimana aku bisa mengkoordinasi jika tidak ada yang mau mendengarkan instruksi?”

Sejenak mereka berdua diam. Ruang makan yang kecil dan penuh perabotan jadi terasa lengang.

“Ancam saja kau akan menahan gaji mereka” celetuk Regina tiba-tiba.

Tama meletakkan tulang ayam pelan-pelan di piringnya yang kosong. Ia menatap Regina. “Dewan bangsawan hari ini menganggap aku tidak logis, tidak kompeten, dan tidak mengerti keadaan kota karena aku bukan bangsawan seperti mereka. Karena aku tidak sekolah di tempat mereka sekolah.”

Regina berhenti menggerogoti tulang ayam. Ia balas menatap Tama yang sedang menunduk menatap lantai. Regina lalu berkata pelan. “Kau hebat dalam pekerjaanmu. Tidak usah pedulikan apa kata orang. Kau tidak perlu menjadi bangsawan. Kita sudah punya semua yang kita butuhkan. Kau punya aku, Filla, dan rumah kecil yang sumpek ini.”

Tama tersenyum sebentar. “Ya aku pastinya bersyukur.” Lalu ia terdiam. Ia menunduk. “Namun kau sudah menjadi bangsawan dari lahir. Kau tidak akan mengerti apa yang dialami warga non bangsawan.”

Regina terdiam sejenak mendengar kata-kata Tama. “Ya, betul. Aku tidak akan membantah soal itu.”

“Aku sangat tidak nyaman berada di posisi sekarang. Dicibir bangsawan dan tidak diterima di tengah warga biasa. Ditekan dari atas dan diasingkan di bawah” Tama akhirnya mengeluarkan hal yang sudah ia pendam cukup lama. Tugas ini, dan semua perkataan Regina tadi, membangkitkan semacam perasaan sentimen yang tanpa sadar ia kubur supaya tidak mempengaruhi pekerjaannya sehari-hari.

“Aku akan mengambil tugas ini. Aku akan membentuk pasukanku sendiri, mengusir segala naga yang mungkin menyerbu. Setelah itu, aku akan menjadi bangsawan sepenuhnya. Aku ingin menjadi bangsawan. Seperti kamu” ujar Tama mantap.

Regina berdiri. Menumpuk piring alumuniumnya yang kosong di atas piring Tama yang juga kosong. “Oke, kalau itu maumu. Tapi sebelum itu ada tugas yang harus kau lakukan.”

Tama melongo di atas kursinya.

“Cuci piring malam ini.” seru Regina sambil mendorong tumpukan piring di atas meja besi ke depan Tama.

“Bukankah itu tugas Filla?”

Regina berjalan ke ruangan sebelah yang hanya dibatasi kain, lalu menuruni tangga menuju ruang bawah tanah mungil. “Filla tidur cepat, banyak tugas dari tutor dia tadi siang. Lagipula ia sudah mencuci piring pagi dan siang.” jawab Regina setengah berteriak.

“Kau mau apa?” Tama membawa piring dan gelas kotor ke tempat cuci yang tidak terpisah dengan ruang makan.

“Membaca, pak calon bangsawan.”

Ruangan bawah tanah itu seperti dirancang untuk membaca tanpa terganggu apapun. Di sana hanya ada kursi besi dengan sedikit bantalan, lampu gantung yang menyediakan cahaya yang cukup, sebuah meja kecil, dan rak besi yang penuh dengan buku. Regina menghampiri peti besi di sudut ruang. Di salah satu permukaannya tercetak tulisan dengan aksara yang tidak umum. Tidak seperti kebanyakan orang, Regina mengerti arti dari ukiran itu. 

Ukiran di peti besi itu berbunyi ‘Mantra-mantra penguasa pikiran’. Regina mengambil salah satu dari selusin buku dalam peti itu, menguncir rambut hitamnya yang sudah agak panjang, mengubur diri dalam pakaian rajut tangan panjang dan kursi besi yang setengah empuk, lalu mulai membaca.

Satu malam setelah itu, di suatu daerah yang rimbun dan gelap, Tama seorang diri berlari sekuat tenaga. Jantungnya berdegup kencang, keringatnya mengucur deras. Ia meraba pinggangnya, mencari alat komunikasi yang ternyata sudah tidak berada di tempatnya. Tama menengok ke belakang. Sorot mata yang menempel di kepala raksasa masih rapat mengejarnya. Tama berlari hingga menembus semak-semak yang rimbun, menuju sebuah ladang. Di bawah sinar bulan ia melihat jelas sosok pengejarnya. Seekor naga prajurit dewasa lengkap dengan semua atributnya.

Tama begitu panik sampai ia tidak sadar sudah menemui jalan buntu di depannya. Ia menabrak tembok kota yang tebal dan berdiri kokoh setinggi 12 meter. Ia berbalik, ingin mencari jalur lain. Namun naga prajurit itu sudah berdiri di depannya, dan mengulurkan tangan yang berhiaskan cakar setajam pasak ke arahnya.

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Blacklight Dawn Bab 3: SATU JIWA SAMA DENGAN SEMUA JIWA
1
0
Bab ketiga dari novel Blacklight DawnTama mulai mendekati kandidat pertama yang akan ia rekrut. Ia mendatangi satu ladang di pinggiran kota. Namun yang menyambutnya di tempat itu adalah seekor naga prajurit.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan