Cinta Ditengah Badai - Part 1 & 2

7
2
Deskripsi

Lahir dari keluarga “penjahat” bukanlah kemauan Carlint. Menjadi penerus geng sang ayah pun tidak ada dalam bucket list miliknya. Namun, semenjak sang kakak tewas dengan cara yang tidak wajar, maka dia lah yang menjadi tumpuan ayah. Siap atau tidak semua harus terlaksana.

Sayangnya, rentetan peristiwa mengerikan seolah membuntutinya kemana pun. Kejadian ini membuat Carlint tak sanggup untuk merajut hidup. Apalagi orang yang disayanginya harus direnggut secara paksa.


“Kenapa semenjak kepergian Silas...

Chapter 1

Penerus

Langit sudah berwarna jingga ketika dentingan benda tajam bersentuhan. Dua sosok yang sejak tadi sedang mengayunkan katana terus saling mengawasi. Dengan peluh yang bercucuran seorang laki – laki mengenakan pakaian serba putih masih memasang kuda – kuda. Dia terus mengawasi sosok dihadapannya jika tiba – tiba melawan. 

Tepat ketika sekumpulan burung berbunyi nyaring, sosok dihadapan mengeluarkan satu katana lagi dari balik punggung. 

Sriing! 

Suara katana terdengar saling bergesekkan. Pertarungan itu pun kembali terjadi. Sosok yang menggunakan dua katana itu langsung mengayunkan satu senjatanya kearah si laki – laki. Tapi dengan cepat ditangkis. Kemudian dengan cepat kembali diarahkannya katana ke bawah, tetap ditangkis. Tidak kehilangan akal, masih dengan gerakan cepat katana lainnya langsung diayunkan tepat di depan wajah si laki – laki. Beruntungnya dia cepat menggeser kepala hingga tidak mengenai tebasan.

Bagaikan dua ekor burung yang tengah berkelahi, mereka berdua pun tampak terus melakukan pergumulan menggunakan katana. Suara dentingan benda tajam itu semakin nyaring terdengar. Lalu si laki – laki memutar tubuh agar terhindar dari tebasan yang kesekian, dan langsung mengarahkan katana miliknya. Sayangnya, tangkisan dua katana si lawan tidak mampu melukai. Maka dua benda tajam si lawan yang memang mengapit katana laki – laki tersebut digerakkannya ke bawah. Dilepaskannya kemudian meluncurkan tendangan cepat ke belakang kepala.

Buk!

Si laki – laki itu pun tampak setengah terduduk sambil bertumpu sebilah katana miliknya. Pukulan telak itu cukup menyakitkan hingga pandangannya berkunang – kunang. Dia menggeleng demi menghilangkan rasa sakit.

Sosok dihadapannya tampak memberikan jeda. Dengan sombongnya dia memutar – mutar kedua katana yang bagian Nagasa[1] nya bermotif bunga Erigeron Karvinskianus. Sosok itu kelihatan tangguh. Dia mengenakan pakaian serba hitam. Masker yang menutup wajahnya pun berwarna senada. Bahkan tudung jaket miliknya membuat image misterius semakin melekat. Setelah memberikan ruang sedikit dengan tengilnya sosok itu mengisyaratkan maju menggunakan jari telunjuk. Seolah – olah dia mempersilakan si laki – laki membalas.

“Aaarggh!” teriakan geram itu dibarengi dengan ayunan pedang kearah sosok bermasker hitam.

Tangkisan mantap pun terdengar hingga berkali – kali. Si laki – laki mengayunkan pedangnya sejajar dengan dada, tapi lawan dihadapannya telah lebih dulu menghindar dengan gaya setengah kayang. Dia tidak menyerah begitu saja walaupun ayunan pedangnya selalu ditangkis lawan. Namun, setelah tangkisan yang kesekian dia nampak kelelahan. Akhirnya sebelah pedang si lawan dengan gahar menebas perutnya secara horizontal. Tentu si laki – laki terduduk kalah. Beruntungnya dia mengenakan rompi pengaman.

Si sosok bermasker hitam memutar – mutar kedua katana miliknya puas. Kemudian melangkah pergi dari belakang. Tapi rupanya laki – laki itu tidak terima kekalahannya, hingga dia berdiri dan mencoba melukai lawan di belakang.

Sring! Sayangnya, sosok itu telah lebih dulu menyilangkan kedua pedang di leher si laki – laki.

Nafasnya terdengar memburu. Kemudian dengan tatapan dingin sosok bermasker tersebut langsung menyayat sebelah pangkal tangan si laki – laki. Erangan kesakitan terdengar di ruangan luas itu. 

“Cih, pecundang.” Lantas dengan santainya sosok serba hitam itu melangkah pergi.

“Carlint!” 

Serta merta yang dipanggil berhenti. Menghembuskan nafas kesal seraya melepaskan tudung jaket dan maskernya. Dia sudah hapal diluar kepala akan ada rentetan puisi indah yang sebentar lagi terdengar. Lalu kedua tangannya memasukkan dua katana miliknya ke dalam saya[2] tanpa melihat.

“Kau tidak perlu melukai Danny, Carlint,” ucap seorang laki – laki paruh baya. 

Namun, gadis yang tengah diceramahi ini seolah tidak menggubris perkataan barusan. Sebentar kemudian dia tampak melanjutkan langkah menuju pintu keluar. Tentu tingkahnya membuat laki – laki paruh baya itu naik pitam.

“Kau tidak mendengarkan ucapan, ayah?!” 

Sekali lagi Carlint berhenti melangkah. Dia benar – benar kesal. “Lalu apakah ayah akan diam saja ketika Danny si curut ini melukaiku?” perkataan ini membuat yang disebut jadi salah tingkah.

Danny menekan luka di pangkal tangan kanannya. Sakit. Tapi sakit ini tidak seberapa jika melihat wajah boss besarnya sekarang. Wajah yang dipenuhi brewok itu tampak sangat seram. Tubuhnya yang hanya dibalut kaos dalam putih itu sangat jelas memperlihatkan tato di semua sudut tubuh hingga leher. Jadi, tingkat keseraman itu kian bertambah lah sudah.

Raymond Wiyataraka, lelaki bertubuh penuh tato terdengar menghela nafas. “Latihan kali ini cukup sampai disini,”ucap laki-laki yang memiliki suara berat tersebut.”Lee, obati luka Danny.” Perintahnya pada salah satu dari orang – orang yang berjejer tidak jauh dari lokasi pertempuran tadi.

Carlint bungkam. Lalu membuang pandangan kearah lain. Dia ingin secepatnya menjatuhkan tubuh ke atas kasur empuk. Latihan kali ini banyak menguras tenaganya. Walaupun bisa dibilang dia cukup kuat menghadapi Danny, tapi hal itu tidak lantas tetap membuatnya kuat sepanjang waktu. Dia hanya manusia biasa yang juga sering kehabisan tenaga ketika bertarung.

“Ayah ingin bicara sebentar,” ucap Tuan Ray sambil melangkah menuju sudut ruangan luas tersebut. Mencoba mengajak putri bungsunya untuk sedikit berdiskusi.

Carlint dengan berat hati mengekor di belakang. Kalimat barusan seperti peluru yang menghujam ke jantung. Jika ayah sudah berkata demikian maka akan ada pembicaraan serius di sore hari ini. Sayangnya, Carlint tidak siap menerima puisi indah beberapa detik lagi. Kepalanya sudah dipenuhi berbagai peristiwa dan rancangan.

Tapi setelah si pemilik tato duduk, gadis berwajah suntuk itu enggan mendaratkan pantatnya di atas kursi. 

“Carlint…,” panggil Tuan Ray dengan nada lembut. Seolah dia tengah menyuruh si putrinya untuk segera duduk.

Terdengar helaan nafas keras. Tanpa dipanggil dua kali Carlint duduk di samping tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Dia sudah terlalu lelah hari ini.

“Akhir – akhir ini kau selalu berbuat nekat. Kau sengaja ikut ke medan perang tanpa sepengetahuan ayah.”

Awal pembicaraan ini semakin membuat Carlint enggan berlama – lama. Dia tahu arah diskusi ini. Laki – laki paruh baya itu seperti biasa akan mengeluarkan kalimat ajaibnya. Tapi dia masih bungkam tanpa melihat lawan bicara.

“Kau adalah penerus geng ini…”

Belum Tuan Ray menyelesaikan kalimat ajaibnya, Carlint sudah lebih dulu berdiri.

“Cukup, ayah,” pintanya dengan nada bergetar.

“Lalu jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan pada dirimu, siapa yang akan meneruskan geng ini?”

Carlint mengepalkan tangan kuat – kuat. “Lalu kenapa ayah melarangku untuk ikut ke medan perang? Bukankah aku adalah penerus geng?”

“Ayah tidak ingin mengulang kesalahan lagi…,” ucap Tuan Ray sambil membuang pandangan ke depan. Seolah tengah memikirkan sesuatu.

“Salahkah jika aku ikut bertempur? Bukankah dengan begitu secara tidak langsung aku dapat belajar? Aku butuh sesuatu yang seperti itu, ayah,” nada Carlint benar – benar bergetar. Emosinya sudah mulai memuncak. Dia tidak ingin bersitegang dengan sang ayah. 

“Tidak untuk turun langsung ke lapangan,” ucap Tuan Ray tegas.

Gadis itu tersenyum sinis. “Lalu kenapa Kak Silas diijinkan untuk turun? Bukankah dia juga calon penerus saat itu?”

“Tidak, kau berbeda.”

“Karena aku seorang wanita, begitu? Karena aku bukanlah Kak Silas yang selalu diijinkan untuk melakukan semuanya, begitu?” todong Carlint yang emosinya hampir meledak.

“Carlint!”

Carlint membuang wajah.

“Ayah tidak ingin terjadi sesuatu pada dirimu…”

“Selalu kalimat itu yang kudengar,” potong Carlint cepat. “Lalu apa yang harus aku lakukan sebagai penerus geng ini? Menjadi boneka ayah, begitu?”

“Carlint!” Tuan Ray serta merta memukul meja disamping. “Bicaramu sudah kelewatan!”

“Aku lelah, ayah. Ijinkan aku pergi ke kamar…,” ucap Carlint tanpa memedulikan ledakan emosi sang ayah. Lantas dengan langkah gontai dia menjauh pergi.

“Kenapa semenjak kepergian Silas kau jadi berubah?”

Pertanyaan ini membuat langkah Carlint tersendat. “Ayah pikir? Bagaimana aku bisa menerima kepergiannya? Ayah sama sekali tidak melakukan sesuatu. Ayah seolah telah lepas tangan. Bahkan ayah tidak mendatangi wanita sialan itu sama sekali!” emosinya meledak seketika.

Hening. 

Tuan Ray pun tak bergeming. 

“Persis seperti dugaanku. Ayah tidak akan mampu menjawab semua pertanyaan ini,” ucap Carlint sinis. “Aku lelah…” Setelah itu dia tampak tergesa melanjutkan langkah. Melewati seorang laki – laki paruh baya berambut putih yang berdiri tidak jauh dari mereka.

Laki – laki tersebut sedikit membungkukkan badannya ketika nona besar lewat. Kemudian mendekati sang boss besar yang hingga Carlint hilang dari pandangan pun dia tetap tak bergeming. Hanya helaan nafas berat yang terdengar.

“Kenapa tuan tidak menjelaskan kebenarannya?” 

Tuan Ray menggeleng pelan. “Tidak sekarang, Orion. Tidak sekarang…”

“Maaf, bukankah akan berbahaya jika kita mengulur kebenaran ini? Secara tidak langsung akan membahayakan nona besar, Tuan,” timpal laki – laki bernama Orion.

“Aku tahu. Anak keras kepala itu pasti akan berbuat nekat setelah ini. Seperti biasanya,” Tuan Ray memandang langit yang sudah mulai gelap. Sepasang mata berwarna abu – abu tersebut menerawang jauh ke atas langit. Mungkin lebih dari itu, karena terlalu banyak beban yang telah dipikulnya selama ini. Tato diseluruh tubuhnya pun telah menjadi saksi bisu atas banyaknya pengorbanan.

Orion tersenyum kecil. “Nona besar sudah mampu mengemban masalah, tuan. Jadi sudah sepatutnya kita memberikan ruang untuknya.”

“Benar. Dia sudah dewasa…,” laki – laki bertato tersebut ikut tersenyum tipis menanggapinya. “Tolong handle semua masalahnya. Dia masih terlalu dini di dunia kejam ini.”

“Selalu, tuan,” Orion mengangguk mantap. “Nona besar sudah seperti anak perempuan sendiri bagi saya. Saya akan selalu memantau dan mengurus semua permasalahannya.”

“Kau sudah menyiapkan semua yang kupinta kemarin?”

“Sudah, tuan. Tempatnya aman dan akan ada beberapa orang yang mengawasi pergerakan nona besar dimana pun.”

Tuan Ray mengangguk. “Bagus. Aku mohon bantuanmu.”

“Siap, tuan.”

Kedua laki – laki paruh baya tersebut memandang langit. Keadaan tempat latihan itu kelihatan lengang setelah kepergian Carlint. Namun, masih ada beberapa orang anak buah Tuan Ray yang selalu berjaga di segala penjuru arah. 

Tempat itu juga sekaligus jadi salah satu tempat favorit nona besar untuk latihan. Sengaja dibuat agar gadis tersebut bisa memperkuat tubuh dan ketangkasannya. Lantai yang dilapisi matras empuk itu pun juga sengaja dipesan agar tidak ada yang cedera ketika latihan fisik. Terlebih untuk Carlint.

Akhir pekan di siang hari jalan raya nampak sesak. Kendaraan roda dua dan empat melaju rapi pada kecepatan empat puluh kilometer per jam. Tapi, satu pengendara tampak melarikan motor besar layaknya sebuah burung. Melaju cepat tanpa memedulikan para pengemudi lain. 

Mobil – mobil habis dibalap. Kelokan mantap semacam pembalap ulung pun dilahapnya demi mencapai satu tujuan. Beberapa dari pengemudi terkejut hingga membunyikan klakson nyaring. Namun, si pengendara motor tidak peduli. Dia bahkan semakin mencengkram kuat gas motor besar tersebut. Sampai kecepatan seratus kilometer per jam. Auman gagah pun terdengar.

Nayana. Ya, nama gadis itu adalah Nayana. Silas sering membicarakannya. Tapi jujur Carlint belum pernah bertatap muka dengan kekasih kakaknya itu. Bahkan Silas tidak pernah menunjukkan wajahnya dari handphone sekalipun. Sang kakak sangat tertutup perihal pasangan dan kehidupan pribadinya. Walaupun begitu Silas adalah seorang saudara yang penyayang dan perhatian.

Beberapa hari lalu dia sengaja mengancam Danny untuk menyelidiki alamat kekasih Silas. Tentunya tanpa sepengetahuan Tuan Ray. Dan lihat lah sekarang Carlint pun telah sampai di depan rumah bergaya English Cottage plans. Jendela – jendela besar merupakan salah satu ciri khasnya. Tampak hangat dan nyaman. Apalagi tanaman yang tumbuh menjulur keatas dinding rumah. Ciri khas penghuni yang harmonis. Tapi dia tidak peduli. Yang dia inginkan sekarang adalah bertemu dengan Nayana.

Sambil meletakkan helm diatas motor besar dia melangkah kearah rumah itu. Tapi tiba-tiba seorang satpam menahannya sambil bertolak pinggang. Ah, dia lupa pagar yang mengelilingi rumah tersebut. Bahkan dia juga lupa dengan pos satpam yang sengaja bertengger di sudut bagian depan rumah.

“Jangan asal main masuk saja. Memangnya sudah ada janji, heh?”

Carlint membuang wajah seraya tersenyum sinis. Tanpa memedulikan pertanyaan satpam itu lantas dia melangkah dengan santai.

“Hei, nona, aku sedang bertanya padamu!” ucap satpam sambil memegang pundaknya.

Carlint berhenti dan membuang napas kesal. Cepat dia menangkap tangan yang berada dipundaknya. Beberapa saat kemudian si satpam meringis kesakitan karena tangannya berhasil dipelintir. Carlint mendorong tubuh si satpam hingga jatuh. Tatapannya dingin.

“Aku paling tidak suka disentuh,” ucapnya angker. 

Carlint kembali melangkah, dan meninggalkan si satpam yang masih meringis kesakitan. Kemudian berhenti beberapa meter dari pintu utama.

“Nayana, keluar kau!” teriak Carlint keras. ”Jangan bersembunyi dariku!”

Tidak ada sahutan dari dalam. Carlint mengepalkan tangan. Diambilnya sebuah batu lumayan besar. Dengan gusar dilemparkannya kearah kaca. 

Prang!

Kaca pecah berantakan. Dia tidak peduli dengan tindakannya ini. Luapan emosi telah membutakan matanya. Kebencian akan Nayana terus memuncak ketika mengingat bagaimana Silas pergi.

“Kalau kau tidak mau keluar, aku akan pecahkan kaca yang berikutnya!” gadis cantik itu bersiap-siap hendak melempar lagi, tapi seorang wanita paruh baya cepat membuka daun pintu. Carlint membuang batu itu.

“Ada apa ini? Siapa kau? Berani sekali kau berteriak dan memecahkan kaca jendela orang! Kau tahu sekarang tengah berhadapan dengan siapa, heh?” makinya sambil bertolak pinggang.

Tanpa memedulikan cuitan tersebut, Carlint dengan santainya melangkah masuk. Membuat si wanita tersebut sedikit terdorong ke pinggir.

“Aku sedang mencari Nayana,” Carlint mengedarkan pandangan ke penjuru rumah. Tapi tidak ada satu pun foto di dinding itu yang dapat jadi barang bukti bahwa ada wanita bernama Nayana.

“Siapa Nayana? Kau salah alamat. Jangan mencari masalah di rumah ini, atau aku akan panggil polisi!”

Carlint menoleh kearah wanita paruh baya itu. Ditatapnya dengan wajah seangker mungkin. ”Jangan sembunyikan wanita berengsek itu dariku, atau akan kuhancurkan semua isi rumah ini.”

“Ta-tapi siapa Nayana? A-aku tidak mengenalnya,” wanita itu mulai ketakutan.

“Apa kau kenal dengan laki – laki bernama Silas?”

Wanita itu tampak terkejut sebentar. Kemudian mencoba kelihatan tenang.

“Tidak. Aku tidak mengenalnya.”

Carlint tersenyum sinis. Lalu mengeluarkan sebuah kayu berbentuk katana dari balik punggung. Beberapa detik kemudian pajangan di atas meja yang sengaja ditata di bagian entry way ini semuanya disapu bersih menggunakan katana kayu milik Carlint.

Prang!

Cermin besar, foto frame bergambarkan bunga, lampu meja serta pajangan kecil lainnya jatuh berserakan di lantai. Ditambah lagi guci berbentuk unik di samping meja panjang itu juga jadi sasaran amukan Carlint selanjutnya. Suara pecahan tersebut membuat wanita paruh baya di dekatnya berteriak nyaring sambil menutup kuping. Dia juga tidak sanggup melihat barang – barang kesukaannya harus pecah berkeping – keping.

Suara kegaduhan ini membuat si satpam diluar tadi buru – buru masuk ke dalam. Tapi setelah melihat penampakan di lantai dan wajah Carlint, seketika dia mundur beberapa langkah. Si satpam hanya mampu memperlihatkan wajah ketakutan seraya memijit sebelah tangannya akibat pelintiran tadi.

“Aku ingin dia bertanggung jawab atas kematian kakakku! Karena dialah kakakku tewas dalam kecelakaan. Jadi, keluarkan Nayana atau aku akan mencarinya sendiri menggunakan katana ini.”

“Nayana tidak ada disini. Sekarang dia sedang pergi dengan calon tunangannya,”ucap wanita itu akhirnya. ”Jadi, lebih baik kau pergi dari rumahku!”

Carlint menyeringai buas. “Apakah katana ini bisa jadi media penghilang nyawa seseorang? Tentu bisa.”

“Kau, apa maumu, heh?” tanya wanita itu dengan nada bergetar.

“Aku ingin bertemu dengan Nayana! Apa kau mengerti, heh?! Aku ingin dia bertanggung jawab atas kematian kakakku. Aku ingin dia minta maaf pada kakakku sekarang juga! Nayana, keluarlah!” teriaknya lagi.

“Nayana sama sekali tidak pernah berbuat salah pada siapapun!”

“Benarkah?” tanya Carlint sinis. “Kakakku adalah kekasih anakmu. Namanya Silas. Kau pasti mengenalnya, bukan? Mereka sudah lama berhubungan. Dua tahun. Tapi, kenapa dia telah menghianati kakakku! Apa kau tahu, kakakku sangat mencintai anakmu, heh? Kenapa, kenapa dia justru berhubungan dengan lelaki lain dan melukai perasaan kakakku!” Carlint mengepalkan tangan kuat-kuat.

“Oh, jadi kakakmu adalah si penjahat itu rupanya,” timpal si wanita paruh baya. ”Memang sudah sepatutnya dia mati. Penjahat seperti dia memang pantas dimusnahkan. Aku sangat bersyukur Nayana memutuskan hubungan dengannya. Lagipula siapa yang mau memiliki kekasih seperti dia. Anak seorang mafia.” Lanjutnya seraya tersenyum sinis.

“Hei!” Carlint berteriak marah. Reflek Carlint pun langsung mencekik wanita setengah baya itu. ”Jangan sekali - kali menghina kakakku! Dia bukanlah seorang penjahat! Jika kau mengatakannya sekali lagi maka aku tidak akan segan – segan membunuhmu!”

Wanita separuh baya itu tampak tidak kuasa melepaskan tangan Carlint yang dengan kuat mencekiknya. Dia tampak sulit bernapas. Beberapa orang pembantu datang dan mencoba menarik Carlint. Tapi, gadis cantik itu tidak mau melepaskannya. Sungguh luar biasa kekuatan yang secara tiba – tiba muncul dari tubuhnya ketika mendengar sang kakak dihina sedemikian rupa.

“Tahu apa kau tentang kakakku, heh!? Kau bukan lah siapa-siapa. Asal kau tahu saja, dia sama sekali tidak pernah minta dilahirkan dari keluarga mafia. Dia pun ingin hidup normal seperti lainnya. Dan asal kau tahu lagi, selama ini dia tidak pernah berbuat jahat sedikitpun. Jadi, jangan pernah katakan dia adalah seorang penjahat! Aku tidak sudi kakakku dihina oleh mulut najismu itu. Dasar kau wanita brengsek!” Carlint melepaskan tangannya. Sekali sentakan saja beberapa pembantu tersebut mundur secara teratur.

Carlint mengatur napasnya. Darahnya sudah naik keubun – ubun. 

Wanita separuh baya itu terbatuk-batuk. Wajahnya pucat pias. Dia memegang lehernya yang berbekas. Namun, anehnya tidak ada yang berani menyuruh Carlint keluar. Bahkan si satpam tampak agak mundur – mundur ke belakang agar terhindar dari amukan badai berikutnya.

“Aku bisa saja melakukannya lebih dari apa yang telah kuperbuat padamu, nyonya. Jadi, jangan macam-macam denganku. Masih untung kau kubiarkan hidup. Tapi lain kali, jangan harap!” ucap Carlint seraya membalikkan tubuh untuk pulang.

Beberapa pembantu sedang mencoba menenangkan majikannya. Wanita itu masih belum mampu berkata – kata. Nafasnya tersengal – sengal akibat cekikkan barusan. Dia hanya bisa terduduk lemah di lantai. Memandang gadis yang tengah membelakanginya.

”Katakan pada anakmu kalau aku datang mencarinya. Selama aku masih bernapas dia tidak akan pernah merasa tenang sebelum meminta maaf pada kakakku. Kau mengerti, nyonya?” Carlint tersenyum sinis. Dia melangkah santai sambil meraih sebuah guci besar yang berada di samping pintu menggunakan katana. Sengaja didorongnya dan suara berisik itu pun kembali membahana. 

Prang! 

Carlint melambaikan tangan dan menghilang di balik pintu. Bersamaan dengan itu ibu Nayana jatuh pingsan.

Sementara itu tanpa sepengetahuan Carlint rupanya seorang wanita tengah menatap kepergiannya dari jendela atas. Dia menggumam kecil seraya menyentuh kaca. Memperhatikan kepergian gadis cantik itu dengan perasaan yang campur aduk.

[1] Nagasa: bilah pedang yang mempunyai panjang sekitar 75 cm. Nagasa juga merupakan panjang bilah pedang pada bagian yang tajam.

[2] Saya: sarung pedang yang berfungsi untuk memasukkan pedang ketika tidak dipakai.


Part 2

KENANGAN

Deruman gagah sudah terdengar beberapa ratus meter dari gerbang. Rumah besar letter U seperti biasa banyak dihiasi para penjaga. Di tengah terdapat pancuran kolam ikan berbentuk lingkaran tepat di depan rumah megah bergaya kontemporer. Sengaja dibuat agar tamu yang datang harus melingkari pusat tersebut lebih dulu. Simpelnya pancuran itu sebagai penghalang agar memudahkan para tamu yang membawa kendaraan roda dua dan empat.

Lahan beratus – ratus hektar itu terlihat luas sekaligus juga asri, karena banyaknya tanaman serta pepohonan. Nyonya Ray sangat piawai dalam mengurus tumbuhan. Makanya di segala sudut rumah selalu ditemukan banyak sekali tanaman. Tentu saja para tamu yang datang akan betah berlama – lama disitu. 

Tidak berapa lama suara dencitan motor berhenti tepat di depan pintu utama. Asap knalpotnya menguap cepat di tengah teriknya matahari. Beberapa laki – laki berbadan tinggi tegap dan berwajah sangar keluar dari tempat persembunyian mereka untuk menghampiri nona besar. Salah satu dari mereka mengulurkan tangan untuk menerima kunci motor dan helm yang digunakannya. Lalu laki – laki lain bertahi lalat di kiri atas bibir membisikinya pelan.

“Tuan besar telah menunggu di ruang kerja, nona.”

Carlint tak bergeming, tapi terus melangkah pelan sambil melepaskan jaket kulitnya. Seorang lagi tampak mengulurkan tangan untuk menerima benda itu. Kemudian dengan sigapnya membukakan pintu utama.

Ah, ternyata laki – laki paruh baya itu telah pulang lebih cepat dari biasanya. Padahal, setelah ini dia akan buru – buru mengejar mata kuliah selanjutnya di kampus. Kebetulan pelajaran itu akan dimulai pukul setengah dua siang. Mudah – mudahan saja sang ayah tidak akan lama memberikan petuah nanti.

Carlint melirik jam tangan di pergelangan tangan kiri. Pukul 12.35. Kemudian sambil melangkah ke ruang kerja sang ayah kepalanya tengah mencari sesuatu, tapi para anak buah ayah lebih dulu membisikkan ke telinganya. Seolah sudah tahu apa yang sedang dicarinya.

“Nyonya besar sedang berada di taman belakang, nona.”

Carlint mengangguk paham. Tentu saja. Wanita anggun itu sangat menikmati waktunya bersama ratusan tanaman tropis. Hanya ada dia dan tanaman hijau.

Setelah laki – laki bertahi lalat mengetuk pintu sebentar, barulah daun pintu jati berukir itu menguak lebar. Di dalamnya Tuan Ray sedang sibuk memeriksa berkas. Melirik sekilas kearah putrinya, lalu tanpa basa basi melontarkan pertanyaan seperti biasa.

“Apa yang sudah kau lakukan, Carlint?” tanya Tuan Ray yang masih sibuk memeriksa berkas di atas meja.

Beberapa orang anak buah tadi paham akan situasi langsung menganggukkan badan sedikit. Menutup daun pintu dari luar agar dua orang di dalamnya bisa bicara lebih leluasa. Walaupun bisa diartikan leluasa adalah awal percecokkan. Semua para anak buah telah hapal akhir – akhir ini.

Carlint melangkah pelan menuju rak buku yang berjejer rapi di setiap dinding ruang. Membaca satu – satu judul yang tertulis di sampingnya. Dia tidak segera menjawab pertanyaan ayah. Dia tahu sebentar lagi akan ada puisi indah kembali. Ah, rasanya dia bosan pertengakaran ini.

“Masalah apalagi yang telah kau perbuat?”

“Masalah yang seharusnya telah selesai sejak kemarin.” Carlint mengambil satu buku berjudul The Psychology of Money tanpa menghiraukan tatapan sang ayah. Tentu saja ayah akan segera tahu semua kelakuannya diluar sana. Dia punya Orion yang selalu cepat tanggap. 

“Benar kau telah mendatangi wanita itu?” tanya Tuan Ray seraya meletakkan berkas – berkas di atas meja. Kedua tangannya tampak terlipat di dada memandangi anak gadis di depannya.

Carlint malah asyik membuka lembaran buku yang diambilnya barusan. Tidak menghiraukan pertanyaan ayahnya.

“Carlint!” panggil Tuan Ray keras. “Apa begini yang diajarkan nenek dulu kepadamu? Mengacuhkan pertanyaan orang tua, begitu?”

“Apakah ayah juga akan tetap mengacuhkan permasalahan ini?” serta merta Carlint berbalik badan demi memandangi wajah ayah.

“Kau tidak akan paham.”

“Bagian mana yang aku tidak paham, ayah?”

“Kau terlalu ceroboh, Carlint.”

“Aku ingin wanita itu bersujud di makam kakak!”

“Mendatangi wanita itu sama saja menjerumuskan dirimu pada bahaya, Carlint. Kau adalah penerus geng ini…”

“Cukup, ayah!” mata Carlint mengabur. Kristal – kristal bening mulai menggantung. Setelah pertemuannya dengan wanita berengsek tersebut, emosinya gampang naik turun. “Kakak selalu mengikuti apa maumu. Dia tidak pernah mengeluh akan tuntutan ayah. Dia selalu patuh pada perintahmu. Walaupun aku tahu dia telah berusaha semaksimal mungkin, tapi ayah tidak pernah merasa puas.”

Tuan Ray tak bergeming.

“Ayah selalu menuntutnya menjadi penerus geng. Ayah juga selalu memaksakan kehendak sendiri tanpa memikirkan perasaannya,” ucap Carlint dengan nada bergetar. Air mata di sebelah kiri mengalir pelan.

Lambat laun Tuan Ray menundukkan pandangannya ke lantai. Menghindari tatapan gadis di depannya yang berusaha tetap kelihatan tegar dan kuat. Namun, dia sama sekali tetap tidak bergeming. 

“Ayah bahkan lupa menanyakan kabar kakak setiap hari. Apakah dia bahagia dengan kehidupan ini? Apakah dia benar – benar ingin menjadi penerus geng?” Carlint mengepalkan tangan kuat – kuat. Dadanya sesak.

“Salahkah jika aku menyimpulkan bahwa ayah adalah pemimpin yang egois?” sekuat tenaga Carlint menahan air matanya tapi percuma. Air mata itu bagai aliran anak sungai yang mengalir deras.

“Tidak. Aku tidak akan mau mengeluarkan air mata ini untuk pemimpin seperti ayah,” ucapnya pedih seraya mengusap kristal bening itu di kedua pipi merahnya.

 Tik, tik, tik. 

Jarum jam terdengar memecah keheningan siang itu. Tepat ketika jam menunjukkan pukul satu siang, jam antik tersebut berbunyi nyaring. Setelah beberapa detik tak bersuara akhirnya Tuan Ray pun angkat bicara.

“Kau tidak akan paham, Carlint,” ucapnya berat. “Terlalu banyak rahasia dan kekejaman dunia luar sana yang kau belum mampu emban sebagai penerus geng ini. Tugasmu sekarang adalah berlatih sekuat mungkin agar tidak ada yang bisa menyakitimu suatu hari nanti.”

Carlint tersenyum sinis. “Lalu apa gunanya aku sebagai penerus geng ini? Aku dilatih untuk kuat, tapi ayah sedikit pun tidak mempercayakan semua tugas kepadaku. Bahkan untuk turun ke medan perang saja aku harus diam – diam dan mengancam beberapa anak buah untuk tidak melapor kepadamu.”

“Itu berbeda. Ayah sudah bilang kalau hal itu sangat membahayakan dirimu sebagai pemimpin kelak.”

“Jadi pemimpin atau tidak semuanya sama saja membahayakan, ayah,” timpal Carlint sambil memandang jauh langit – langit ruang kerja yang berukir rapi. “Bukankah kita hidup di dunia mafia ini atas kemauan sendiri? Itu berarti kita telah siap untuk terluka suatu hari nanti.”

“Maaf. Kau tetap tidak akan dibiarkan untuk terjun langsung ke lapangan. Terlalu berbahaya. Kau adalah satu – satunya harapan ayah sekarang.”

Carlint tersenyum sinis. “Perkataan itu juga yang pernah ayah lontarkan kepada kakak untuk terakhir kali: satu – satunya harapan.”

“Ayah tahu kau sangat terpukul atas kepergian Silas. Kau sangat dekat dengannya.” Tuan Ray melangkah pelan ke jendela besar di belakangnya. Menerawang jauh entah kemana. “Tapi kau lupa bahwa ayah dan ibu adalah orang tua kandungnya. Melepas kepergian Silas dengan cara yang tidak wajar tentu sangat menyakitkan. Terlebih lagi pada seorang ibu.”

Beberapa ratus meter diluar sana seorang wanita paruh baya berwajah sendu duduk di antara tanaman besar. Dia sedang asyik mengusap daun monstera deliciosa menggunakan kain lembut. Ya, dia kelihatan tegar, tapi sebenarnya kegiatan yang dilakukannya akhir – akhir ini terlalu banyak melamun. Kejadian seminggu yang lalu telah mengubah kehidupannya. 

“Lalu kenapa ayah hanya diam saja?”

“Menjadi pemimpin geng tidak mudah, Carlint. Kau harus memikirkan jalan ke depan agar semua berjalan lancar. Seperti halnya untuk mengurus permasalahan satu ini.” Tuan Ray membalikkan badan demi memandangi anak gadisnya.

Carlint diam.

“Seorang pemimpin tidak bisa berlaku gegabah hanya karena satu permasalahan. Kalau perlu kau hanya butuh sekali bersuara, maka semua masalah selesai. Jadi, percayakan semua pada ayah.”

Carlint masih terdiam dengan perasaan marah dan sedih. Hanya karena satu permasalahan? Bagaimana bisa ayah bicara begitu? Batinnya sakit. Tapi dibiarkannya sang ayah untuk melanjutkan perkataannya.

“Dunia hitam sangat kejam, nak. Kau tidak bisa menggantungkan kepercayaan pada seseorang hanya karena kau mengetahuinya sejak lama. Dunia yang kita geluti sekarang penuh dengan pengkhianat dan saling tusuk. Jadi, jangan terlalu percaya pada sikap manis seseorang.” Tuan Ray melepas kaca mata yang dikenakannya. Lalu meletakkannya di atas meja kerja. Kemudian menghempaskan tubuhnya di atas kursi kerja empuk.

“Apa kalimat ini juga pernah ayah katakan pada kakak?” lontar Carlint sambil memandang wajah di depannya yang tiba – tiba kelihatan kikuk. “Sepertinya tidak. Lalu bagaimana caranya agar aku bisa mempercayai semua perkataan ini, ayah?”

“Carlint…”

“Apakah aku juga boleh tidak mempercayai ayahku sendiri?”

Perkataan ini tentu membuat Tuan Ray memanggilnya keras. 

“Kau masih terlalu dini untuk mengetahui semua cerita kebenarannya. Maka dari itu mulai dari sekarang ayah telah menyiapkan sebuah apartemen kecil untukmu.”

“Maksud ayah?” tanya Carlint terkejut.

“Mulai sekarang kau tidak boleh lagi tinggal disini.”

“Kenapa ayah tidak mendiskusikannya dulu denganku?”

Sebuah ketukan di pintu menghentikan percecokkan mereka sementara. Orion masuk membungkukkan badan sedikit setelah membuka pintu tersebut, lalu mendekati boss besar sambil berbisik kecil.

“Semuanya sudah beres, tuan.”

Tuan Ray mengangguk pelan. Kemudian menatap Carlint sambil bertkata,”Besok pagi kau harus pergi dari rumah. Semua barang pribadimu akan segera menyusul nanti. Yang jelas untuk sekarang kau harus menyiapkan semuanya.”

Carlint memandang wajah ayahnya tidak percaya. “Apa yang dikatakan kakak memang benar. Kau sangat egois. Jadi, jangan salahkan aku jika aku tidak mau mempercayakan semuanya pada ayah.”

Setelah mengucapkan kalimat itu Carlint melangkah gusar keluar ruangan. Namun, ketika membuka pintu ternyata ada Nyonya Ray yang hendak mengetuk pintu. Carlint menatap wajah sendu itu sebentar, lalu berlari meninggalkan ibunya dengan perasaan campur aduk. 

Nyonya Ray lantas memandangi suaminya untuk meminta penjelasan. Tapi laki – laki paruh baya tersebut hanya berdiam diri. Menyisakan keheningan sementara di ruangan kerja tersebut.

“Tuan..?”

Tuan Ray memberikan isyarat pada sebelah tangannya untuk tidak membahasnya sekarang. Sebentar kemudian helaan nafas berat dan panjang terdengar. Dia terpaksa melakukan ini semua untuk kebaikan anak bungsunya. Hanya dia lah harapan Tuan Ray.


Suasana pantai tampak tenang dan sepi. Hanya ada satu keluarga yang asyik bermain pasir bersama anak – anak mereka. Teriakan gembira menghiasi pantai seketika. Ah, sore hari memang merupakan waktu yang tepat untuk menikmati sunset dengan orang tersayang.

Silas dan Carlint duduk di atas pasir sambil memandangi keluarga tersebut. Untuk beberapa saat mereka berdua sangat menikmati teriakan dan gelak tawa anak – anak kecil. Kemudian tersenyum kecil ketika salah satu diantara mereka melakukan hal menggemaskan.

“Sudah agak baikan?” tegur Silas sambil mendorong adiknya menggunakan bahunya.

Carlint menoleh sambil menyunggingkan senyuman kecil. “Yeah, sedikit,” dia mengisyaratkan jari jempol dan telunjuknya. Tidak lupa memberikan ekspresi yang lucu kepada kakaknya.

Silas tertawa nyaring. Membuat satu keluarga yang berada tidak jauh dari mereka menoleh serempak.

“Untung saja Paman Orion mengijinkan kita sebentar menghirup udara segar. Tenang, ayah tidak akan tahu. Aman,” kata Silas setelah lelah melepaskan tawanya. “Bekerja seharian kadang bisa membuat dirimu macam orang tua jompo. Saat – saat seperti inilah yang dibutuhkan untuk menyegarkan pikiran.”

Carlint memandang kakaknya dari samping yang sedang melemparkan pandangan ke tengah laut. “Kau bahagia dengan kehidupan ini?”

Lontaran pertanyaan yang tak terduga ini serta merta membuat Silas menoleh cepat kearah adiknya.

“Kenapa kau bertanya begitu?”

Kali ini Carlint yang membuang pandangan kearah tengah laut seraya menghembuskan nafas panjang.

“Entahlah, mungkin karena aku memperhatikan kakak terlalu lelah. Ayah kadang sangat egois. Ah, bisa dibilang memang orang yang egois. Lalu, apa kau bahagia dengan kehidupan ini?”

Gelak tawa terdengar lagi dari satu keluarga. Mereka sedang mengajari anak – anaknya menginjak ombak yang menggulung ke bibir pantai. Bersamaan dengan itu Silas tampak menertawakan dirinya. Seolah tengah mengejek kehidupannya sekarang.

“Jika maksudmu diberikan tanggung jawab adalah kebahagiaan, ya aku bahagia,” jawab Silas sambil memungut kerang kecil didekatnya. “Sejak dulu menjadi seorang pemimpin adalah cita – citaku, Carlint. Namun, aku tidak menyangka ternyata menjadi seorang pemimpin adalah tugas yang sangat berat. Bahkan banyak hal yang terlalu kelam untuk diketahui orang sepertiku.”

Carlint diam mendengarkan dengan seksama.

“Terkadang kau pun harus mengesampingkan belas kasih agar semua terlaksana.”

“Maksudmu seperti ayah yang tidak punya belas kasih kepada kakak, begitu?”

Silas menoleh cepat ke wajah adiknya. Tersenyum tipis sambil mengacak pelan rambut panjang Carlint.

“Memang sejahat itu kah ayah di matamu?”

Carlint tampak berpikir sejenak. “Ayah selalu bicara keras padamu. Bahkan aku pernah melihat ayah membiarkan kau ditendang saat latihan. Kupikir ayah memang lah seorang pemimpin yang tidak ada belas kasih sama sekali pada anaknya.”

Kepolosan adiknya ini membuat Silas berkali – kali menghembuskan nafas berat. Memang benar ayah sangat keras kepadanya. Tapi dia pikir semua itu hal yang wajar demi menciptakan dirinya yang seorang calon ketua gangster di kemudian hari.

“Carlint, kadang sesuatu yang kita anggap buruk belum tentu aslinya buruk. Kadang yang kita anggap baik pun belum tentu aslinya baik,” Silas melemparkan pandangan ke satu keluarga yang mulai membereskan mainan pasir. “Aku yakin ayah punya alasan jelas. Kita tidak pernah tahu isi hatinya. Bukan, begitu?”

“Tapi ayah sangat egois,” sungut Carlint sambil memungut kerang kecil kemudian dilemparkannya jauh saat ombak datang. “Kalau aku jadi kakak, aku pasti akan terus protes.”

Silas tertawa lepas. Memperlihatkan deretan giginya yang rapi dan bersih.

“Ah, kau kan memang anak ayah yang paling keras kepala. Persis seperti ayah.”

Carlint memukul pangkal tangan kanan Silas keras. Tapi laki – laki berkumis tipis itu langsung meringis kesakitan sambil memegang tangannya. Carlint menutup mulutnya terkejut, lantas mencoba untuk membantu memijit. Tapi bukannya berkurang, justru kakaknya semaking mengerang.

Suara kesakitan Silas memecah keheningan pantai sore itu. Langit pun sudah mulai berwarna jingga keemasan sekarang.

“M-maaf, maaf,” ucap Carlint merasa tidak enak.

Tapi yang terjadi kemudian hanya terdengar tawa membahana dari mulut Silas. Tentu kejadian ini membuat Carlint menatapnya bingung keheranan. Ada apa?

Gotcha!” teriaknya masih tidak lepas dengan tawa renyah. “Mana mungkin karena latihan begitu saja aku kesakitan, Carlint. Kau terlalu percaya.”

Carlint yang masih belum mengerti hanya memandangi Silas yang lagi – lagi tertawa lebar. Setelah sepersekian detik akhirnya dia pun sadar. Lalu memukul tangan yang tadi dikira sakit olehnya. Tapi Silas tetap tertawa setelah memperhatikan mimik wajah adiknya.

“Kalau kau menggantikan posisiku sebagai calon penerus geng ini, maka sudah dipastikan akan kacau hanya karena kau mudah percaya pada seseorang,” ucap Silas sambil mengacak rambut Carlint.

Wajah gadis disampingnya ini langsung merengut. Kedua tangannya terlipat di dada. Lambat laun Silas menyurutkan senyumannya.

“Dengar, ayah memang terkadang terlihat egois di mata kita. Mungkin masih banyak sifat ayah yang membuat kita tidak suka. Tapi sebenarnya dibalik itu semua dia punya alasan kuat untuk melakukannya. Percayalah suatu hari nanti kau akan mengerti.”

“Walaupun ayah telah berlaku keras pada kita?”

Laki – laki berkumis tipis itu mengangguk mantap.

“Aku tidak mengerti,” Carlint berdiri sambil mengibas celana jins miliknya yang dipenuhi pasir. “Kau menerima semua perlakuan keras ayah. Apa sedahsyat itukah cinta?”

“Maksudmu?” tanya Silas tidak mengerti.

“Iya, perasaan cinta yang kakak alami sekarang. Makanya kau bisa mengatasi semua perlakuan keras saat latihan, kan? Kau mampu mengganti yang tadinya keras, jadi lembut. Bahkan semuanya terasa menyenangkan. Benar begitu?”

Silas tersenyum. Lantas ikut berdiri dan menghampiri adiknya yang sudah berdiri di pinggir pantai.

“Boleh aku melihatnya?” tanya Carlint seraya menoleh kearah Silas dengan wajah lucu.

“Anak kecil tidak boleh tahu urusan orang dewasa. Kau juga akan merasakannya suatu hari nanti.” 

Carlint mencibir. “Aku tidak mau jadi orang bodoh hanya karena jatuh cinta. Bayangkan saja, kau senyum – senyum sendiri saat dipukuli. Ugh, tidak!”

Sepertinya perasaan cinta itu memang lah hal yang menyenangkan. Lihatlah, sudah berapa kali sang kakak tertawa lepas hari ini. Sampai – sampai dia sendiri bergidik ngeri membayangkannya. Bahkan sekarang Silas memeluk pundaknya dengan sebelah tangan. Carlint langsung mendorong tubuh kakaknya untuk menjauh. Ketika matahari mulai terbenam pun tidak henti – hentinya Silas menggodanya.

Sementara itu beberapa puluh meter dari mereka berada, dua mobil hitam besar tampak tenang mengawasi dari kejauhan. Nampak satu orang tengah menyenderkan badan di depan mobil sambil tidak lupa menyalakan sebilah rokok. 

“Hei, Danny!”sebuah kepala tiba – tiba menyembul dari kaca jendela mobil. 

Laki – laki yang sedang asyik menghembuskan asap dari mulutnya menoleh seketika.

“Aman?”

Danny menjawabnya dengan isyarat tangan bahwa semuanya aman terkendali. Dia terlalu sibuk mengepulkan asap.

Carlint membuka matanya secara perlahan. Agak perih karena sudah berjam – jam lamanya dia mengurung diri di dalam kamar. Menolak tawaran makan dari beberapa pembantu. Bahkan suara ibu pun untuk sementara tidak digubrisnya. Dia benar – benar ingin sendiri sekarang.

Dengan pelan dia bangkit dari atas kasur. Melangkah gontai menuju balkon yang menghadap matahari terbenam. Namun, sebelum kakinya berada di tempat itu dia sempat terpaku sebentar pada pantulan wajahnya di cermin besar samping tempat tidur. Matanya sembab.

Keputusan ayah barusan membuat moodnya langsung hancur seketika. Bahkan dia malas mengunjungi kampus hari ini. Pastinya dosen yang mengajar pun akan mencari penampakannya di kursi depan seperti biasa.

Carlint menghirup udara sore. Angin yang bertiup pelan menggerakkan dedaunan di balkon miliknya. Iya, balkon ini dipenuhi berbagai tanaman hijau. Sebenarnya dia bukanlah penggemar tanaman, tapi ibu selalu datang setiap pagi dan sore hari ke kamarnya untuk sekadar menyiram tanaman. Mengurusi tanaman adalah salah satu cara untuk meminimalisir tingkat stress. Begitu yang ibu bilang jika dia protes.

Ting!

Handphone yang berada di atas meja kecil samping tempat tidur berbunyi nyaring. Sebuah pesan dari seseorang. Carlint langsung mengaktifkan benda itu, lalu membuka pesannya segera.

Nona, malam ini kami akan bergerak.

Pesan singkat dari Danny menyegarkan otaknya. Walaupun bisa dibilang hanya sebagai pelampiasan, tapi pertarungan ini bisa mengalihkan pikirannya untuk sementara waktu. Ada gunanya mempunyai bawahan yang bisa dipercaya seperti cecunguk Danny. Walaupun nyawanya bisa dibilang adalah taruhannya, karena Tuan Ray sama sekali tidak tahu rencana dadakan ini. Carlint selalu datang di saat – saat terakhir.

Ah, malam ini pasti jadi malam yang penuh adrenalin. Kemarin dia bertemu seorang petarung yang kemampuannya lebih dari dirinya. Dia selalu menggunakan topeng monster merah bertanduk. Bahkan dia juga menggunakan dua katana seperti halnya dirinya.

Carlint menoleh kearah figura berukuran sedang. Tampak Silas dan dirinya tengah tertawa riang di taman. Jika Silas masih hidup tentu dia menjadi orang ketiga yang menolak mentah – mentah atas keputusannya untuk terjun langsung ke medan perang. Tiba – tiba saja kenangan mengerikan itu kembali muncul di benaknya. Penampakan terakhir ketika sang kakak tewas mengenaskan terpampang jelas.

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Cinta Ditengah Badai - Part 3 & 4
2
0
Disarankan baca dari awal chapter supaya nyambung yaak, karna di setiap chapter punya puzzle - puzzle yang endingnya konek satu sama lain. Carlint mendekat dengan langkah sempoyongan. Setelah berada dekat dengan orang yang disayanginya itu, sebelah tangannya yang bergetar hebat mencoba menyingkap kain putih. Sedikit demi sedikit kain itu tersingkap dan memperlihatkan bagian rambut, dahi sepasang mata, telinga hingga dagunya. Ya, wajah itu milik Silas, kakaknya.Dunia seakan runtuh seketika. Tubuhnya oleng hingga ambruk ke lantai. Dia tidak ingin mempercayai yang baru saja dilihatnya, tapi Orion yang memandangnya hanya menggeleng perlahan. Carlint pun kini terisak lirih sambil memegang bagian tubuh Silas yang masih ditutupi kain putih.“Kakak, bangun. Apa yang kau lakukan disini? Bangun, kak…,” panggil Carlint lirih dengan linangan air mata yang tidak berkesudahan. “Bukankah kemarin kau sudah berjanji akan mengajakku lagi ke pantai? Ayo, bangun, kak…” 
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan