Cinta Ditengah Badai - Part 3 & 4

2
0
Deskripsi

Disarankan baca dari awal chapter supaya nyambung yaak, karna di setiap chapter punya puzzle - puzzle yang endingnya konek satu sama lain. 

Carlint mendekat dengan langkah sempoyongan. Setelah berada dekat dengan orang yang disayanginya itu, sebelah tangannya yang bergetar hebat mencoba menyingkap kain putih. Sedikit demi sedikit kain itu tersingkap dan memperlihatkan bagian rambut, dahi sepasang mata, telinga hingga dagunya. Ya, wajah itu milik Silas, kakaknya.

Dunia seakan runtuh seketika....

Part 3

Ingatan Masa Kecil

Salah satu usaha Tuan Ray yang berjaya bergerak di bidang onderdil atau suku cadang kendaraan. Usaha tersebut sudah berdiri sejak bertahun – tahun lamanya dan selalu diekspor keluar negeri. Namun, setengah tahun ini perusahaan mengalami kerugian yang bisa dibilang besar. Orion, yang merupakan orang kepercayaan dan paling dekat dengan Tuan Ray pun akhirnya mau tak mau diutus untuk menyelidiki. Walaupun tugas yang diperintah bukanlah tugas utamanya, tapi apapun yang dikatakan oleh boss besar, maka kalimat tersebut harus dilaksanakan segera.

Laki – laki paruh baya berambut putih itu patut diandalkan. Buktinya sekarang para anak buah Tuan Ray sudah berada di lokasi. Ya, ternyata kerugian perusahaan tidak lepas dari campur tangan pesaing bisnis. Sengaja mereka beli barang dari perusahaan Tuan Ray, lalu mengganti dengan barang kualitas rendahan yang sudah dipersiapkan. Kemudian setelah semuanya beres barulah barang – barang itu dijual kembali di pasaran. Tentu masih dengan nama perusahaan Tuan Ray.

Tiga buah mobil merapat di depan sebuah gedung terbengkalai. Semua laki – laki bertampang garang keluar dan masing – masing menyisir lokasi sambil memegang senjata. Beberapa masuk dari arah belakang untuk sedikit memberikan efek kejutan kecil. Tapi beberapa juga ada yang mencoba masuk dari arah depan gerbang. Namun, yang anehnya adalah tidak adanya penjagaan ketat sehingga kumpulan laki – laki bermasker hitam tersebut bisa leluasa berlenggang.

Dor! Dor! Dor!

Rentetan tembakan selamat datang disebar ke segala arah ketika mereka masuk. Perasaan tak sabar sudah mereka tahan sejak di perjalanan tadi. Tapi yang mengejutkan adalah tidak adanya orang – orang yang sedang melakukan pergantian onderdil seperti yang dijelaskan Orion. Hanya ada tiga orang wanita berpakaian serba putih dan sarung tangan sedang melakukan pembersihan di ruangan penuh penyimpanan kayu – kayu besar. Tembakan yang diluncurkan anak buah Tuan Ray membuat mereka ketakutan sambil berpelukkan.

Sekumpulan lelaki bertampang garang itu tampak terkejut dengan suasana gedung. Beberapa orang yang tadi menyisir area belakang gedung datang tergopoh – gopoh sambil membawa senjata.

“Kosong!” teriak Wija kearah Danny.

Rupanya Danny yang memimpin eksekusi malam ini. Wajah dibalik maskernya tampak was - was. Ada yang aneh dari kejadian ini, batinnya cemas. Kemudian menyuruh beberapa orang untuk kembali menyisir lokasi. 

Baru beberapa detik menyisir, tembakan beruntun terdengar dari arah belakang. Tidak hanya itu, diluar gedung sana beberapa mobil berdecit datang. Danny semakin pucat pias. 

Laki – laki berkuncir kuda tersebut langsung menghubungi anggota lain menggunakan earpiece yang menempel di telinga kirinya. “Kami dijebak! Kami dijebak!” Dia berharap bantuan segera datang.

“Berlindung!” teriak Danny nyaring pada anggotanya.

Maka masing – masing dari mereka langsung mencari tempat untuk bersembunyi. Menunggu hingga tiba saatnya mereka untuk membalas tembakan. Danny pun memeriksa peluru di senjata api jenis AK-47. Aman. Kemungkinan besar lawan yang berdatangan puluhan. Mereka harus menerima kemungkinan paling buruk malam ini.

Tembakan dari arah depan mulai meluncur. Mengincar Danny cs yang tengah berlindung. Namun, mereka dibekali skill yang bagus hingga cukup piawai mengelabui musuh dan dapat menjatuhkan beberapa penembak.

Suara tembakan semakin membabi buta. Para musuh mulai berdatangan dengan senjata api mereka. Beberapa peluru menembus kotak – kota kayu yang tersusun di dalam gedung tersebut. Dan…

Dor!

Danny terbelalak ketika peluru tersebut menembus dahi Rafi yang berada tepat disampingnya. Rafi langsung tewas saat itu juga.

Sial! Para musuh sudah mengepung mereka. Rupanya si penembak tadi berada di atas dan berkamuflase, sehingga mereka tidak sadar sama sekali sejak datang tadi. Tanpa banyak bicara Danny langsung membidik senjata apinya ke si penembak Rafi. Berharap agar aksinya bisa mengurangi puluhan lawan yang semakin banyak bermunculan. Dari arah depan dan belakang semua menuju satu titik, yaitu lokasi mereka bersembunyi.

Dor!

Peluru itu pun bersarang di dahi si target. Si penembak itu jatuh ke bawah dengan penampakan mengerikan. Lantas diarahkannya sisa anggota untuk menyusun strategi lain sambil menunggu bala bantuan. Danny sudah yakin bahwa anggotanya yang tengah menyusuri belakang gedung telah tewas semua. 

Walaupun bisa dibilang Danny adalah seorang cecunguk, tapi tembakannya jarang meleset. Ini yang kemungkinan besar membuat Tuan Ray tidak bisa melepaskannya. Dibandingkan pedang, dia lebih piawai memainkan senjata api.

Bruk! 

Satu anggota lagi jatuh tertembak di dada. Danny menggertakkan giginya geram. 

Dimana bala bantuan? Dimana nona besar?! Batinnya tidak sabaran.

Pasukan musuh yang berada di atas ada tiga orang. Mereka bersembunyi agar dapat dengan mudah menembaki anggota Danny. Suara tembakan dan erangan pun tidak bisa terelakkan. Walaupun skill yang mereka punya mumpuni, tapi dengan keadaan dikepung seperti sekarang rasanya mustahil. Mereka kalah jumlah.

Gubrak!

Satu laki – laki jatuh dari atas. Tidak berselang lama yang kedua jatuh lagi, hingga akhirnya yang terakhir pun ikut melantai bersama. Penampakan mereka penuh darah segar dengan sayatan di leher dan anggota tubuh lainnya.

Danny menengadah. Mendapati sesosok berpakaian serba hitam dengan dua katana di masing – masing tangannya. Tampilan sosok tersebut sangat menjanjikan. Semua yang dikenakannya serba hitam sehingga kesan misterius sangat melekat pada sosok itu. Tapi yang membuat Danny sedikit lega adalah si hitam mengenakan sepatu boots diatas mata kaki berwarna cream. Dia ingat bahwa beberapa hari lalu nona besarnya baru saja membeli sepatu tersebut. Pastilah para musuh tidak akan tahu jika sosok yang berdiri diatas mereka adalah seorang wanita.

Dor! Dor! Dor!

Beberapa tembakan diluncurkan kearah si hitam. Tapi dengan cepat dia menghindar dan berlari menuju ke lantai bawah. Danny pun gerak cepat untuk melindungi si nona besar agar tidak jadi sasaran empuk para musuh. Dia bergeser kearah lain sambil terus melepaskan beberapa tembakan. Sementara anggota lain yang tersisa pun berpencar untuk bisa lebih leluasa mencari para musuh. Mereka harus bergerak cepat.

Jarak antara lantai atas dan bawah lumayan tinggi, tapi Carlint tidak pikir panjang. Tubuhnya dengan cepat meluncur ke lantai bawah. Sebelum benar – benar menginjakkan kedua kakinya, tubuh Carlint terlihat berputar cepat dan akhirnya mendarat mulus sambil bertopang satu katana miliknya. Persis ibarat film action di televisi.

Tembakan beruntun terdengar mengejarnya. Cepat – cepat dia menggulingkan tubuh dan mencari tempat sementara untuk berlindung dari tembakan. Diintipnya Danny cs tampak masih sibuk melawan para musuh yang terpencar dari segala arah.

Carlint menyenderkan tubuhnya ke kotak – kotak kayu yang mulai rusak akibat tembakan. Lalu memejamkan mata sebentar sambil membayangkan wajah kedua orang tuanya. Setelah itu mencium satu katana miliknya, dan menurunkan kacamata night vision yang selalu dipakainya saat beraksi di malam hari. Tidak percuma memang memberikan saran pada ayahnya.

Dia siap beraksi. Sambil mengencangkan pegangan pada kedua katana miliknya, lalu tubuhnya dengan sigap mencari korban. Danny yang melihat aksinya dari kejauhan tampak tertegun sebentar.

Dor! 

Sebuah tembakan mengenai sebelah tangan kanannya. Dia kehilangan konsentrasi. Maka dengan membabi buta dibalasnya si penembak dengan maju beberapa langkah. Seolah dia menyerahkan semua dewi keberuntungan menghampirinya, karena kemungkinan besar dia akan terkena tembakan dari para musuh. Tapi dia tidak gentar sedikit pun.

Disisi lain Carlint masih terlihat mengayunkan kedua katana. Sungguh, gerakkan itu seakan – akan tengah menari diatas penderitaan orang. Sudah tidak terhitung berapa musuh yang tewas akibat tarian mematikan tersebut. 

Danny mulai optimis hasil pertempuran malam ini. Nona besarnya akan mengantarkan mereka pada kemenangan. Tapi perasaan senang itu lambat laun mulai berkurang seiring munculnya sosok bertopeng monster merah bertanduk dari arah belakang Carlint. Dia terbelalak. Monster keparat itu muncul lagi!

Aku harus segera melindungi nona besar! Batin Danny panik. Dia pun meneriaki sisa anggotanya yang lain untuk cepat – cepat keluar dari sarang buaya itu. Menyuruh mereka untuk segera menyiapkan mobil agar dengan mudah lari dari pertempuran.

Danny menembaki si topeng monster segera. Tapi rupanya sosok itu mempunyai insting yang kuat, hingga dia bisa dengan mudah menghindari beberapa peluru. Si topeng monster itu pun menatapnya dari kejauhan dengan tajam.

Carlint yang juga sadar ada tanda bahaya dari arah belakang langsung berpaling. Tersenyum sinis memandangi lawan seimbangnya. Dia sudah tidak sabar akan menebaskan katana ke tubuh si topeng monster itu. Tapi baru saja akan memulai pertempuran, tiba – tiba semua listrik di gedung itu padam. Membuat para musuh buta sementara. Waktu inilah yang dimanfaatkan oleh Danny untuk menjemput nona besar. Namun, yang dijemput bersikeras melawan si topeng monster.

“Boss besar akan membunuhku jika kau terluka!” Danny langsung menarik gadis keras kepala itu secara paksa. Setelah beberapa detik akhirnya Carlint pun menyerah. Langsung mengikuti langkah Danny yang juga telah menggunakan kacamata infrared.

Ditengah pelarian tersebut monster merah bertanduk yang tahu kepergian mereka memandangnya dingin. Menggenggam erat dua katana miliknya sambil mendengus kesal. Tidak sekarang.

Masih terdengar suara tembakan beruntun dari dalam gedung. Para musuh mengira mereka masih berada di dalam. Tapi beruntungnya Carlint dan sisa anggotanya sudah meluncur pergi dari lokasi. Walaupun gadis keras kepala itu pergi dengan perasaan jengkel karena tidak dapat melampiaskan hasrat tempurnya. Setidaknya mereka punya informasi penting malam ini.

“Ophelia…,” sebuah suara serak memanggil pelan. “Kau mau ikut bersama nenek?”

Gadis kecil berumur tujuh tahun itu menguap lebar. Dia tampak mengucek sebelah matanya yang tiba – tiba gatal. Kemudian terdiam sejenak seolah tengah mencerna kalimat tanya si nenek. 

Sore hari angin selalu bertiup sepoi – sepoi di sekitar rumah vila itu. Makanya gadis yang bernama lengkap Carlint Ophelia Wiyataraka itu dengan nyamannya tertidur di ruang keluarga yang punya pintu lebar kearah taman samping.

“Apa, nek?” tanya Carlint dengan suara cempreng.

“Kau mau ikut bersama nenek?” wanita setengah baya itu dengan sabar mengulang pertanyaan tadi. Sebelah tangannya sedang memegang peralatan lukis. 

Carlint diam sebentar sambil memandang penampilan sang nenek yang sudah bersiap – siap akan pergi. “Ke bukit lagi?”

Nenek mengangguk seraya tersenyum manis. “Ayo…”

Tanpa mendengar jawaban dari cucu kesayangannya, wanita setengah baya itu langsung melangkah pergi. Carlint pun berlari – lari menghampiri, dan tidak lupa meraup semua perlengkapan lukis miliknya yang berada di lantai. Sebelum tidur tadi, rupanya dia asyik menggambar – gambar bunga Erigeron Karvinskianus.

Perjalanan menuju bukit tidak begitu jauh, karena rumah vila milik nenek memang berada di sebuah desa yang sangat asri dan tenang. Hanya beberapa rumah yang menjadi penghuni desa tersebut. Sisanya semua penuh hamparan rumput hijau yang menyegarkan mata. 

Ketika mereka berdua tiba diatas bukit, langit sore sudah mulai berwarna jingga. Tapi angin yang bertiup masih terasa menyejukkan. Tidak ada seorang pun kecuali mereka yang tengah asyik memandang keindahan alam. Ah, dan seekor kerbau yang sibuk memakan rumput beberapa ratus meter dari mereka.

Nenek meletakkan stand kayu untuk siap – siap melukis diatas rumput. Kemudian mengeluarkan semua alat lukis. Begitu pula dengan gadis kecil disampingnya yang terlihat cekatan. Jari – jari gendutnya mulai mencoret – coret kertas sketsa. Dia kelihatan senang walaupun hanya duduk beralaskan rumput hijau. Aktifitas sore ini memberikan kenangan tersendiri di hatinya.

Lalu tanpa bersuara mereka berdua larut akan aktifitas masing – masing. Sebentar – bentar Carlint melihat kearah langit, lalu menunduk dalam untuk mencetaknya di buku sketsa. Dia memang belum terlalu mahir, tapi dia selalu senang melakukan aktifitas itu. Tidak seperti nenek yang sudah bisa dibilang sangatlah ahli dalam mencoretkan kuas diatas kanvas. Bahkan lukisan milik nenek lebih bagus dari pelukis ternama yang sering dilihatnya di buku.

“Kau senang, Ophelia?” tiba – tiba nenek menoleh kearahnya.

Tanpa ditanya dua kali pun Carlint langsung mengangguk mantap. Senyumannya mengembang lebar. Dia senang karena nenek selalu mengajarinya melukis dan melakukan aktifitas lainnya seperti memasak dan berkebun. Walaupun dia hanya membantu untuk menambah kerjaan nenek, tapi dia senang. Lagipula wanita setengah baya itu pun tidak pernah keberatan.

Nenek tersenyum. “Nenek juga senang. Mari berjanji untuk selalu datang keatas bukit ini.”

Carlint lagi – lagi mengangguk. Menyetujui perjanjian sore hari.

Tiba – tiba seorang lelaki datang tergopoh – gopoh menghampiri mereka. Napasnya tersengal – sengal ketika dia menyerahkan sebuah handphone kearah nenek. Carlint yang melihatnya hanya terdiam mengamati.

“Telpon dari Tuan Ray, Nyonya,” ucap lelaki itu sambil berusaha tetap tenang, tapi gagal. Dia masih tersengal. “Beliau ingin bicara dengan Nona Ophelia sebentar.”

Wanita setengah baya itu termangu sebentar. Lalu memandang cucunya yang tengah duduk diatas rumput. Wajah lugu itu juga membalas pandangannya tidak mengerti. Setelahnya dia menempelkan gadget tersebut ke telinga kiri. Kemudian menyapa dengan nada dingin.

Carlint diam mengamati.

Untuk beberapa saat nenek terdengar terlibat percakapan serius. “Tidak. Dia akan tetap disini. Jangan harap untuk mengajaknya pergi sebelum kau mengubah semua perilakumu.”

Carlint tidak mengerti arah pembicaraan itu. Lalu melemparkan pandangan kearah lain. Dilihatnya dari kejauhan seorang anak laki – laki sedang melambaikan tangan dari atas kerbau. Carlint membalasnya dengan gerakan patah – patah.

Ah, dia lagi. Mau apa dia kesini? Batin Carlint malas.

Ini adalah pertemuan kedua baginya. Anak lelaki itu datang ketika dia dan nenek asyik melukis diatas bukit seperti sekarang. Menanyakan bermacam – macam hal yang sedikit mengganggu Carlint. Ditambah lagi anak tersebut punya bau badan yang tidak enak. Mungkin karena dia sering melakukan aktifitas bersama kerbau. Dilihatnya anak kecil yang seumuran dengan dirinya itu sedang berlari – lari menuju kearah mereka sekarang.

“Ophelia,” panggil nenek tiba – tiba.

Carlint menoleh seketika. Ternyata nenek telah selesai bicara di handphone.

“Apa kau bahagia tinggal bersama nenek?”

Gadis kecil bermata merah hati itu terdiam sebentar. Ah, itu lagi yang ditanyakan nenek. Bukankah sudah jelas aku bahagia tinggal bersamanya? Apa dia tidak mengerti? Batinnya sedikit kesal. Tapi yang keluar dari mulutnya,”Iya, aku sangat bahagia, nek.”

Nenek tersenyum lebar. “Berjanjilah untuk selalu bersama nenek. Jangan pernah pergi dari sini. Jangan pernah datangi ayahmu.”

Carlint hanya mengangguk kecil.

“Raymond punya pengaruh buruk untukmu. Cukup Silas yang harus mengorbankan masa kanak – kanaknya, kau jangan.” Wajah nenek kelihatan tidak suka ketika mengatakannya.

Namun, wajah kecil berpipi merah itu tetap tidak mengerti arah pembicaraan sang nenek. Wanita anggun tersebut kadang menyinggung seseorang yang bernama Raymond. Dia mengatakan bahwa orang itulah ayah kandungnya. Tapi nenek tidak pernah sedikitpun memberikan embel – embel “ayah” pada Raymond, hingga Carlint merasa agak bingung. Benarkah dia punya seorang ayah?

“Hai, Ophelia!” suara cempreng dari anak lelaki bertubuh bau kerbau ternyata sudah berada diantara mereka.

Carlint terkejut sebentar. Lalu sedikit menyapu hidungnya yang merasa terganggu. Dia hanya diam tanpa mau membalas sapaannya. Tapi sang nenek justru senang bertemu dengan anak itu. Sekarang pun dia tengah tersenyum lebar, berbeda dengan sambutan cucu dan pelayannya.

“Hai, Papat! Menjaga kerbau lagi?” sapa nenek hangat. Sungguh sangat jauh berbeda saat dia menerima telpon tadi, dingin.

“Iya, Nyonya Geya. Kali ini anda melukis apa lagi?” anak lelaki bernama Papat itu sedang mengintip lukisan nenek.

Carlint yang memperhatikannya tidak suka. Wajahnya kelihatan cemberut sambil terus mengawasi pergerakan si bau kerbau.

“Aku, kan sudah bilang kemarin: panggil nenek Geya saja,” wanita setengah baya itu kembali memulai aktifitasnya yang sempat tertunda. “Kukira pepohonan cukup bagus hari ini. Warna hijaunya memberikan efek menenangkan. Kau suka warna apa?”

“Aku suka warna seperti bajuku ini, nek. Hanya ini yang paling bagus,” ucap Papat dengan wajah polosnya. Baju yang ditunjuk itu sebenarnya berwarna putih, tapi karena sering dipakai makanya berubah warna jadi abu – abu. Bahkan terdapat beberapa bolongan di kainnya.

Carlint tertawa kecil mendengarnya.

“Ophelia juga senang warna itu. Bukan begitu?” tentu saja nenek menyindir tingkahnya yang telah menertawakan penampilan Papat. Tawa kecilnya pun langsung hilang seketika.

Papat mengintip hasil gambaran Carlint. Lalu berseru girang karena warna yang telah digunakannya adalah abu – abu. Padahal, gambaran itu belum selesai diwarnai. Namun, dia hanya mengangguk kecil agar sang nenek tidak menanyainya kembali. 

Papat yang masih berbau kerbau itu sekarang tengah melompat kegirangan. Entah mengapa anak lelaki itu memang sangat suka sekali melompat. Bahkan kemarin dia terjun dari atas pohon, lalu naik lagi dan melompat lagi. Sampai – sampai nenek berseru takut melihatnya. Sementara Carlint hanya diam memperhatikan tingkah aneh Papat. Mungkin itu alasannya kenapa dia diberi nama Papat, suka melompat.

Carlint memarkir motor scooternya di sudut kampus. Ya, pergi ke kampus dan arena pertempuran adalah dua hal yang jauh berbeda. Jadi, motor yang digunakan pun harus lah berbeda. Dia tidak ingin seorang pun tahu sisi gelap kehidupannya.

Carlint mengedarkan pandangan.

Keadaan kampus pagi hari terlihat penuh. Banyak para mahasiswa berseleweran untuk mengikuti mata kuliah, di lain sisi ada juga yang melipir ke kantin belakang kampus. Sebenarnya dia ingin mengisi perutnya yang telah menyanyi sejak pergi tadi. Tapi jika harus dikelilingi orang – orang, maka dia lebih suka memilih menyendiri di pojokan kampus. Duduk di bawah pohon rindang depan kelas. Kebetulan tempat itu juga merupakan taman kecil yang sering digunakan para mahasiswa menunggu kelas selanjutnya. Rumputnya lebat dan sehat. Memang pandai sekali penjaga kampus merawatnya.

Carlint tidak sempat sarapan, karena ayah sudah memberikan petuah pagi hari sekali. Petuah ini diperkuat karena dia telah mengetahui aksi nekat anak gadisnya yang datang ke lokasi pertempuran tadi malam. Ternyata ayah benar – benar tidak mengijinkan dirinya untuk terjun langsung ke lubang hitam tersebut. Bahkan Danny yang terluka di pangkal tangannya itu harus rela menerima imbalannya. Imbalan yang bisa dibilang cukup membuat lelaki berkuncir kuda itu kapok, dan tidak bisa melakukan aktifitas seperti biasanya.

Hal ini pun membuat Carlint emosi. Pertengkaran di pagi hari telah menjadi sarapan yang mengenyangkan baginya. Bahkan ibu saja tidak bisa berkata apa – apa ketika dia pergi dari rumah tanpa menyentuh roti bakar kesukaannya. 

Ah, ibu. Sebenarnya dia sangat rindu bercengkrama dengan ibu di balkon kamar milikinya seperti biasa. Tapi suasana rumah membuat Carlint anti berlama – lama. Dia ingin menghilang sebentar.

Carlint menghempaskan pantatnya diatas rumput. Menyandarkan tubuhnya ke pohon besar di taman kecil itu. Kemudian sebelah tangannya merogoh isi tas untuk mencari sebuah buku bacaan. Dia ingin melupakan pertengkaran tadi pagi untuk sementara waktu. Setidaknya larut dengan fantasi sendiri bisa mengalihkan pikiran kalut.

Setelah beberapa menit sibuk dengan fantasinya, tiba – tiba sebuah tangan muncul tepat mengambang di depan wajah Carlint. Tercium aroma wangi dari bungkusan berwarna coklat yang tengah dipegangnya. Carlint menoleh kearah si pemilik tangan.

Seorang gadis bermata sipit sedang tersenyum manis. Lantas tanpa menunggu tanggapan Carlint dia meletakkan sebuah bungkusan roti di atas buku.

“Sama – sama…” 

Carlint yang mendengar sindiran halus itu segera mengucapkan trimakasih sambil mengangguk kecil.

“Aku lihat kau ingin ke kantin, tapi ragu – ragu. Jadi, kubelikan roti kesukaanmu di tempat langganan. Kau pasti suka dengan pilihanku kali ini.”

“Benarkah?” Carlint cepat - cepat membuka bungkusan kertas. Aroma wangi langsung tercium semerbak. Dia semakin lapar. Mulutnya terbuka lebar untuk melahap roti kopi yang akhirnya sisa setengah sekarang.

Namanya Aita Ogawa. Seorang gadis blesteran Jepang ini selalu menjadi teman kampusnya. Di saat para mahasiswa lain sibuk bergerombol karena memiliki kesamaan, Aita justru mendekatinya hanya karena dia berbeda dari teman – teman lainnya. Ya, dia kelihatan trauma dengan teman – teman yang sering memanfaatkan privilege dan kekayaan ayahnya. 

“Kau suka?” tanya Aita antusias yang juga mulai membuka bungkusan kertas roti.

Carlint menatapnya datar. Mengangguk kecil agar bisa sedikit membahagiakan temannya. Jujur, roti ini adalah makanan pembuka yang paling enak di pagi hari. Peduli setan jika orang mengira dia rakus, yang penting perutnya terisi. Tapi, setelah beberapa saat mengunyah tiba – tiba kerongkongannya terasa serat. Dia lupa membawa tumbler berisi air mineral seperti biasa. Sebelah tangannya tampak memukul – mukul dada agar roti yang sedang sangkut itu segera turun ke perut.

Aita panik. “Tunggu, Akhasa sedang membeli minuman untuk kita.” Dengan cepat dia lambaikan tangan kearah seorang lelaki bertubuh jangkung berambut agak gondrong yang melangkah santai beberapa ratus meter dari mereka. Menyuruhnya agar cepat – cepat berlari. Sosok itu pun langsung meluncur secepat mungkin. Alhasil sebagian minuman yang dibawanya sedikit tumpah di rerumputan.

“Kau tidak apa – apa?” Akhasa memperhatikan wajah Carlint yang akhirnya bisa lega telah membasahi tenggorokkan.

Sepasang mata hijau milik Carlint hanya menatapnya datar. Tapi Aita yang melihatnya langsung menepuk pundak Akhasa keras.

“Jangan pernah bertanya pada orang yang tengah menikmati sesuatu.”

Akhasa tampak mengusap – usap pundaknya yang terasa pedas. “Kulihat kau juga bertanya tadi.” Sudah jelas dia menggerutu kecil karena perbuatan si sipit kali ini. Dengan mulut yang masih sibuk menggerutu dia lantas mengambil sebuah buku manga. Lalu mengaktifkan aplikasi musik di android dan akhirnya larut dalam fantasinya.

Suasana kampus semakin sibuk. Ada yang masih mengobrol di tempat parkir, sibuk membaca buku, mengerjakan tugas, dan ada yang masih asyik bergerombol. Perkumpulan para mahasiswa memang menjadi salah satu tempat untuk bisa merekatkan diri pada jenis – jenis manusia lain. Mengenal satu sama lain. Sayangnya, Carlint merasa wadah itu bukanlah tempat yang nyaman untuknya. Setidaknya menjauh dari berbagai macam manusia di kampus akan menyelamatkan dirinya dari gossip. Akan bahaya jika seseorang mengetahui latar belakang keluarganya. Mungkin salah satu alasan kuat ayah melemparnya pergi dari rumah adalah ini. Mungkin. 

Walaupun begitu Carlint mau menerima ikatan pertemanan ini hanya pada dua makhluk astral di depannya. Lebih tepatnya Aita yang selalu mendempetinya untuk berteman. Biarpun sering menerima ketidakpedulian Carlint saat itu. Sementara Akhasa merupakan teman yang tidak disengaja ketika dia membeli sebuah minuman di salah satu café. Pertemuan itu berlanjut di kampus yang ternyata mereka bertemu lagi. Walaupun bukan satu jurusan, tapi berkat usaha Akhasa akhirnya mereka pun berteman.

Setelah selesai melahap roti kopi di tangannya, Carlint masih saja melihat Aita protes pada Akhasa. Pemandangan semacam ini sering dijumpainya jika mereka kumpul bersama di bawah pohon seperti sekarang, tempat favorit mereka. Bahkan ada saja permasalahan yang muncul ketika mereka tengah duduk. Aita yang seorang perfeksionis terlihat tidak nyaman jika harus berurusan dengan seorang Akhasa, lelaki yang hidupnya tampak serampangan.

Ya, begitulah ikatan pertemanan mereka. 

Part 4

Sebuah Rahasia

Untuk saat ini jam - jam pulang bukanlah hal yang ditunggu – tunggu. Bahkan kamar yang biasanya selalu bisa membuatnya betah pun kini bukanlah merupakan tempat yang nyaman. Setelah kepergian Silas beberapa waktu lalu semua cerita hidupnya berubah drastis. Keceriaan dan senyuman lambat laun terkikis seiring perginya sosok sang kakak. Dia masih belum menerima kepergian lelaki berkumis tipis itu secara tiba – tiba. Apalagi penyebab tewasnya Silas karena wanita laknat bernama Nayana.

Namun, sekarang Carlint lebih suka berada diluar rumah. Walaupun Tuan Ray telah menyediakan tempat luas untuk bersantai, tapi tetap saja tempat itu berada di area rumah. Berjumpa dengan lelaki bertato itu disekelilingnya akan membuat emosinya gampang tersulut. Perdebatan pun bisa – bisa sering terjadi. Jadi, ada benarnya keputusan sang ayah yang nekat menjauhkan dirinya dari rumah. Berada serumah dalam jangka waktu yang sangat lama terkadang bisa membuat percikkan emosi muncul. Mudah – mudahan saja dengan diusir dirinya, pertengkaran yang sering terjadi akan memudar.

Sejak Carlint menginjakkan kaki di rumah beberapa menit yang lalu, anak buah ayah membuntutinya kemana pun. Dia paham jika ayah telah mengusirnya sejak pagi tadi. Tapi dia malah masih berkeliaran di rumah. Seolah sedang menantang titah raja besar.

Ketika dia akan memasuki kamar pribadinya, ditolehnya lelaki dibelakang dengan mata menyala. Lelaki itu pun langsung berhenti dan menundukkan pandangan segera.

“Kau masih berani mengikutiku?”

“Maaf, nona. Tuan memerintahkan saya untuk segera membawa anda ke apartemen.”

“Lalu apakah aku tidak boleh mengambil barang pribadi di kamarku sendiri?”

“Tapi, nona…”

Belum sempat dia melanjutkan kalimat protesnya, Carlint sudah buru – buru menutup daun pintu hingga berdebam nyaring. Peduli setan. Dia ingin mengucapkan perpisahan pada kamar yang sudah menjadi tempat persemayamannya semenjak dia datang waktu itu. Walaupun sebenarnya semua barang pribadi telah diangkut, tapi Carlint bersikeras pulang untuk terakhir kali. Kamar yang bisa dibilang cukup luas tersebut sudah menampung kenangan selama bertahun – tahun.

Tentu saja bukan hanya kamar yang akan sangat dirindukannya, melainkan juga kenangan bersama Silas di rumah.

Sketsa - sketsa yang banyak menghiasi dinding kamar sekarang terlihat bersih. Buku – buku, laptop dan beberapa bantal kesayangannya pun sudah hilang. Diayunkannya langkah menuju balkon yang dipenuhi banyak tanaman ibu. Hembusan napas terdengar pelan.

Tidak lama kemudian sebuah ketukan pintu menghampiri telinganya. Ingin dia berteriak menegur pengawal tadi, tapi daun pintu itu keburu terkuak lebar. Sebuah wajah sendu muncul dari baliknya sambil tersenyum tipis. Ibu.

“Tidak keberatan ibu masuk?” Nyonya Ray masih berada ditengah pintu. Seolah menunggu jawaban sang anak.

“Sejak kapan aku harus keberatan pada ibu? Biasanya ibu akan langsung masuk kamar sambil membawa peralatan berkebun,” ucap Carlint sambil membalas senyuman itu. Senyuman hambar.

Sudah berapa lama mereka tidak terlibat percakapan? Ya, semenjak kepergian Silas, ibu terlihat murung. Sayangnya, Carlint tidak pernah menyadari perubahan ini. Waktu – waktu ibu terlalu banyak dihabiskan di area taman belakang. Mengurusi semua anak – anak hijaunya dari pagi hingga siang. Bahkan tukang kebun yang biasa membantunya merawat tidak diperkenankan ikut campur. Dia tidak sadar bahwa kesibukan sang ibu pada tanaman adalah sebagai bentuk pelampiasan rasa kehilangan. Alih – alih meratapi kepergian Silas, ibu justru melampiaskannya pada tanaman. Walaupun semua aksinya tersebut tetap kentara di mata ayah.

Carlint merasa bersalah. Dia memang lupa bahwa ayah dan ibu adalah orang tua kandung Silas. Tentu mereka juga sangat kehilangan. Justru merekalah yang sangat terpukul atas tewasnya si anak sulung. 

Namun, kepergian Silas mengingatkannya pada pada masa lalu tentang nenek. Mereka sangat dekat. Sebagai seorang kakak pun Silas sangat baik. Setelah kepergiannya yang mendadak membuat Carlint butuh waktu untuk merangkai kehidupannya.

Keheningan tiba – tiba menjalar diantara mereka. Angin siang hari yang bertiup kencang membuat sebuah pot tanaman jatuh ke lantai. Semua tanahnya berserakan. Untungnya pot plastik itu tidak pecah. Ibu pun langsung menangani masalah ini segera. Carlint yang melihatnya segera mengambil sapu kecil disudut balkon untuk segera membantu.

“Maafkan kami masih belum bisa jadi orang tua yang baik untukmu…”

Kalimat itu jelas membuat kepala Carlint menoleh cepat. Sepasang tangannya yang sibuk menyapui sisa tanah di lantai mematung seketika. Kata kami yang di maksud ibu sudah tentu juga termasuk ayah. 

Apakah ayah yang telah menyuruh ibu untuk bicara demikian? Batinnya terkejut.

“Selama ini kau dan Silas pasti sudah berjuang keras untuk menjadi yang terbaik di mata ayah. Ibu yakin, kalian pasti sangat tertekan dengan kehidupan semacam ini,” ucap Nyonya Ray pelan dan halus. “Bahkan ibu sendiri tidak mampu membantu kalian…,” sambungnya yang semula sibuk meratakan tanah di dalam pot kemudian terdiam.

“Maafkan ibu, Carlint. Maafkan ibu…” Kali ini wajah yang mulai menua itu menatapnya lurus. Sepasang matanya kelihatan lelah. Kalimat yang dilontarkannya pun terdengar bergetar.

Carlint terpaku. Mencerna semua perkataan ibu dengan teliti. Lantas sambil kembali menyapu sisa tanah di lantai dia berujar, “Maafkan aku juga, ibu. Selama kakak meninggal, aku tidak menyadari perubahanmu. Aku terlalu sibuk mengurusi kepergian kakak hingga lupa bahwa kau pun terluka.”

Nyonya Ray tersenyum maklum. Meraih sebelah tangan anak gadisnya dan meremasnya lembut. “Semua manusia pasti pernah berbuat salah, nak. Tinggal bagaimana mereka memperbaiki semua kesalahan itu sedikit demi sedikit. Dan ibu harap kau juga mau memaafkan kesalahan ayah.”

Carlint menarik sebelah tangannya pelan. Berdiri sambil memandangi langit cerah di siang hari. Dari tempat itu mereka bisa melihat beberapa anak buah ayah telah menunggu keberangkatannya. Mereka sudah tidak sabaran.

Seperti tahu akan jawaban anak bungsunya, Nyonya Ray ikut berdiri seraya meletakkan tanaman tadi ke tempat semula. Menghela napas seolah sedang menyiapkan kata – kata yang tepat.

“Kau tahu, merelakan seseorang dalam kurun waktu yang sangat lama adalah hal yang sangat menyakitkan?”

Carlint tidak tahu kearah mana ibu sedang bicara. Tapi dia hanya diam mendengarkan tanpa mau menyela.

“Semua keputusan yang diambil sudah pasti ada resikonya tersendiri. Bahkan tidak jarang resiko yang diterima melebihi apa yang dipikirkan,” Nyonya Ray memperbaiki rambut bergelombangnya dari tiupan angin kencang.

Sebentar dia tampak memberikan jeda. Kemudian menghela napas berat berkali – kali. “Ayah mau tak mau harus merelakan anaknya sendiri jauh darinya. Walaupun dia harus terluka akibat jarak dan perbedaan prinsip.”

Carlint menoleh kearah ibu. Memandangnya tidak mengerti. “Maksud ibu ini tentang Silas?”

Ibu menggeleng pelan sambil tersenyum tipis sekali. “Saat itu ayah harus merelakan anak gadisnya diurus oleh ibu mertuanya. Sebelum kau lahir, nenek dan ayah sudah punya perjanjian tak tertulis. Kau harus ikut nenek untuk waktu yang tidak ditentukan. Pada dasarnya harapan nenek dan ayah sangatlah tulus, berharap agar kau tumbuh jadi anak yang baik. Walaupun kau lahir dari keluarga mematikan.”

Angin masih bertiup kencang, sehingga pot yang tadi jatuh kembali mendarat mulus di lantai. Bahkan sekarang dahannya terlihat ada yang patah.

“Tapi, ayah dan ibu bukanlah orang tua yang mampu menahan rindu,” Nyonya Ray membalas tatapan gadis disampingnya. “Kami berusaha berdiskusi dengan nenek agar mau memberikan waktu pada kami untuk menjagamu. Tapi nenek bersikeras tidak ingin melepaskanmu sedikit pun. Ibu paham karena setelah sepeninggal kakek, nenek merasa sangat kesepian sekali. Makanya dia tidak mengijinkan kami untuk merawatmu.”

Sepanjang pembicaraan tersebut Carlint mendengarkan penuh. Tidak ada sepatah kata pun yang lewat dari telinganya. Dia masih mencerna semua kalimat itu.

“Oleh karenanya, semenjak kau menginjakkan kaki ke rumah ini, ayah seolah telah mempunyai janji pada dirinya sendiri. Bersumpah agar tidak ada seorang pun yang bisa melukai anak gadisnya. Jadi, semua tindakan ayah yang mungkin melukaimu, membuatmu membencinya adalah salah satu bentuk cinta pada anak bungsunya. Dia telah berjanji pada dirinya sendiri, serta kepada nenek sebelum meninggal.”

Seorang pengawal mengetuk pintu kamar yang setengah terbuka. Menyembulkan kepala sedikit, lalu menganguk kecil kearah mereka berdua.

“Kami telah menunggu nona besar untuk segera pergi.”

Wanita anggun berambut bergelombang itu memberikan isyarat pada lelaki di pintu. Lantas sosok itu pun paham dan pergi ke lantai bawah untuk menunggu.

Nyonya Ray kembali memandangi wajah Carlint yang sekarang masih sedang mencerna kalimat tadi. Wajah itu berpaling kearah ibu dan ingin mengucapkan sepatah kata. Tapi dia tampak kesulitan mengutarakannya. Lantas Nyonya Ray cepat memeluknya seraya mengusap rambut kecoklatan itu dengan lembut.

“Dengar, nak, kami bukanlah orang tua yang baik untuk kalian. Tapi pada sejatinya, tidak ada orang tua satu pun di dunia ini yang mau anak – anaknya juga menggeluti pekerjaan yang sama seperti mereka. Apa yang ayah pinta kemarin mungkin terdengar egois menurutmu, tapi dia sangat memperhatikan keselamatanmu, nak.”

Kalimat ibu bagaikan penyegar di padang savana. Di saat dia mengalami krisis kepercayaan pada ayah, ibu datang memberikan nasihat yang menyejukkan hati. Semua kalimatnya terdengar lembut, tapi juga sekaligus menggetarkan jiwanya.

Setelah ibu merenggangkan pelukan, Carlint berusaha cepat menghapus jejak air mata yang tadi sudah lebih dulu mengalir di pipinya. Dia tidak ingin memperlihatkan kesedihan di depan ibu sebelum kepergiannya ini. Dia tidak ingin menambah beban pikiran ibu nanti.

Nyonya Ray meletakkan kedua tangannya di kedua belah pipi Carlint. Lalu menyapu sisa – sisa kristal bening tersebut sambil tersenyum tipis. “Kali ini kau pakai softlens hijau? Bukankah ibu pernah bilang, jadilah diri sendiri. Sepasang bola matamu yang berwarna merah hati itu terlihat sangat cantik. Kau sangat beruntung, Carlint.”

Ya, gadis si keras kepala ternyata memiliki bola mata berwarna merah hati sejak bayi. Kelainan ini disebut heterochromia dimana orang yang lahir memiliki warna mata berbeda dari orang normal lainnya. Faktor yang mempengaruhi ini tidak jauh dari genetik, dan Nyonya Ray lah yang telah mewariskan keunikan ini pada putrinya. Memang sekilas akan terlihat normal, tapi jika diperhatikan benar – benar maka Carlint punya keunikan tersendiri. Jika sebagian orang memiliki dua warna berbeda, dia justru memiliki sepasang warna yang sangat jarang ditemukan.

Sebelum dia menghilang dari balik pintu, kembali dipeluknya tubuh ibu. Wangi khas dari wanita anggun ini tercium samar – samar di hidungnya. Manis sekaligus lembut. 

Dia akan sangat merindukan pelukan ibu nanti, karena sesuai dari penjelasan Orion bahwa untuk kembali ke rumah dia harus memberikan janji dulu sebelumnya. Jadi, dia tidak boleh seenaknya saja datang. Mulanya Carlint keberatan, tapi setelah mendengar penjelasan ibu tadi, sedikit demi sedikit dia mau menerimanya. Walaupun dari lubuk hati yang paling dalam masih ada perasaan tak terima.

Langkah kaki tergesa – gesa terdengar di koridor rumah sakit. Sepanjang perjalanan dari kampus Carlint berusaha menata perasaannya agar tidak hancur. Meskipun air muka yang disuguhkan pada orang sekitar tidaklah baik. Dia berusaha kuat. Ketika di perjalanan pun dia hampir saja menabrak sebuah truk yang sedang berhenti saat lampu merah menyala. Jika dia tidak segera mengerem motor besarnya, maka sudah bisa dipastikan motornya akan hancur ringsek akibat tabrakan. 

Langkahnya semakin lebar dan terkesan tidak sabaran menuju ruang yang disebutkan. Sambil matanya berkeliling mencari ruangan yang dituju, tidak sengaja dia menabrak seorang laki – laki bertubuh tinggi besar. Carlint jatuh tersungkur, karena memang dia setengah berlari tadi.

“Kau tidak apa – apa?” tegur lelaki bermata tajam di depannya. Sambil mengulurkan tangan ingin membantu, tapi Carlint hanya diam memandangnya.

Sebenarnya Carlint tidak benar – benar mendengarkan. Pikirannya kacau balau sekarang. Uluran tangan dari lelaki berpakaian serba cerah itu mengambang sia – sia. Lantas beberapa detik kemudian akhirnya dia tampak tersadar dari pikiran kalutnya. Berdiri buru – buru sambil memandang lelaki tadi sebentar. Dia tampak linglung.

“M-maaf, maaf. Aku tidak sengaja. Maaf.” Hanya itu yang bisa diucapkannya sekarang sambil berkali – kali membungkukkan badan. Sungguh, pikiran dan hatinya tidaklah berada di tempat itu. Tubuhnya seolah tengah mengawang setelah menerima info Silas kecelakaan.

Lelaki di depannya ingin menanyakan satu hal lagi, tapi Carlint keburu melesat pergi menuju ruang yang telah diberitahukan Orion. Kali ini dia benar – benar berlari kencang. Tidak memedulikan teguran para perawat yang berlalu – lalang di lorong rumah sakit. Sementara si lelaki tadi hanya mematung dari kejauhan.

Tiba – tiba saja gemuruh menggema di atas langit. Beberapa detik setelahnya sebuah tirai bening turun ke tanah dengan sangat deras. Orang – orang yang tadinya masih melangkah santai di area parkir mau tak mau langsung bergegas lari menghindari hujan. Tepat ketika sebuah kilatan menyambar, tubuh Carlint berhenti di depan sekumpulan orang yang sangat dikenalnya. Ibu, Orion dan beberapa pengawal ayah sedang menunggu di depan ruangan. Wajah mereka tampak harap – harap cemas. Apalagi ibu yang sejak tadi memperlihatkan mata sembabnya. Ibu hanya memandangnya dengan tatapan sedih.

Lalu ayah ada dimana sekarang? Yang jelas Carlint tidak sempat berpikir. Dia terlalu sibuk memikirkan Silas, hingga tidak memerhatikan larinya. Entahlah, dari tadi sudah berapa perawat yang jadi korban tabrak larinya.

Tidak berapa lama kemudian seorang dokter berpakaian serba biru keluar dari ruangan tersebut. Melepaskan masker yang menutupi sebagian wajahnya, lalu menatap ibu sambil menghembuskan napas berat. Ibu yang bisa membaca raut wajah si dokter langsung menutup mulutnya tak percaya. Air matanya yang sejak tadi menggantung kini mengalir deras. Tubuhnya bergetar hebat.

Gelengan pelan dokter itu semakin membuat mereka yang berdiri menunggu luruh sudah. Harapan mereka untuk kembali melihat sosok Silas, calon penerus geng Tuan Ray, pupus lah sudah.

Isakan tangis pilu terdengar memecah kebisuan koridor. Orion tampak sedang menenangkan Nyonya Ray disampingnya, meskipun dia sendiri juga tengah menata perasaan setelah berita ini. 

Carlint yang melihatnya tidak jauh dari ibu tampak berusaha menahan tubuhnya agar tidak ambruk. Saat itu juga dia merasa kakinya tidak sedang menginjak lantai. Isyarat dokter tadi telah sukses membuat dirinya merasa sedang bermimpi sekarang. 

Sampai pada akhirnya yang ditunggu – tunggu keluar dari ruangan. Tubuh itu ditutupi kain putih. Baru saja para perawat mendorong meja tersebut untuk dibawa ke kamar jenazah, wanita anggun yang sesenggukan tadi menahannya. Tubuhnya melorot ke lantai sambil memanggil – manggil nama Silas. Pemandangan menyedihkan itu telah membuat Orion dan beberapa pengawal lain hanya tertunduk tidak berdaya.

“Silas, bangun, nak. Ibu disini. Ayo pulang…”

Carlint mendekat dengan langkah sempoyongan. Setelah berada dekat dengan orang yang disayanginya itu, sebelah tangannya yang bergetar hebat mencoba menyingkap kain putih. Sedikit demi sedikit kain itu tersingkap dan memperlihatkan bagian rambut, dahi sepasang mata, telinga hingga dagunya. Ya, wajah itu milik Silas, kakaknya.

Dunia seakan runtuh seketika. Tubuhnya oleng hingga ambruk ke lantai. Dia tidak ingin mempercayai yang baru saja dilihatnya, tapi Orion yang memandangnya hanya menggeleng perlahan. Carlint pun kini terisak lirih sambil memegang bagian tubuh Silas yang masih ditutupi kain putih.

“Kakak, bangun. Apa yang kau lakukan disini? Bangun, kak…,” panggil Carlint lirih dengan linangan air mata yang tidak berkesudahan. “Bukankah kemarin kau sudah berjanji akan mengajakku lagi ke pantai? Ayo, bangun, kak…” 

Ibu yang berada disampingnya langsung memeluk si bungsu. Mencoba menenangkan tangisan yang kian menyayat hati. Berbisik pelan ke telinga Carlint dengan suara patah – patah akibat isakan. Tapi si bungsu tampak tidak bereaksi, dia justru semakin berontak. 

“Ibu, kakak sedang bercanda, bukan? Dia senang menggodaku. Hari ini pun dia sedang menggoda kalian semua. Ini bohong, bu. Ini bohong.” Carlint berdiri sambil mencoba mengguncang tubuh sang kakak.

Perasaan tidak percaya itu akhirnya menimbulkan aksi nekatnya sekarang. Dia berusaha membangunkan Silas yang sudah tidak bergerak. Orion yang menyaksikan nona besarnya seperti itu langsung menyuruh beberapa pengawal untuk menangani. Carlint pun berontak ketika beberapa lelaki bertubuh tinggi besar menariknya ke belakang. Gadis yang memiliki sepasang mata merah hati itu berteriak memanggil Silas.

“Kakak, bangun! Kakaaak!” teriaknya dengan linangan air mata. Dua orang lelaki yang sedang memegang masing – masing tangan nona besarnya tampak kewalahan. Dia berusaha melepaskan pegangan para pengawal demi mendekati tubuh Silas lagi.

“Jangan tinggalkan aku, kak. Jangan tinggalkan aku! Kakak!”

Nyonya Ray yang melihat anak gadisnya berontak langsung mendekati dan memeluknya erat. Dengan lembut diusapnya rambut panjang Carlint seraya membisiki kata – kata yang sebenarnya tidak bisa didengar olehnya. Telinganya seolah sedang ditutupi tirai kesedihan, sehingga dia tidak bisa lagi mendengarkan sekitar. Yang dia inginkan sekarang adalah mendengar suara Silas segera mungkin.

Ketika tubuh tersebut dibawa pergi untuk yang terakhir kali Carlint berteriak kencang memanggilnya. Setelahnya dia ambruk lagi ke lantai dengan ibu yang masih setia mendekapnya. 

Tepat pukul 03.05 dini hari Carlint terjaga dari tidur. Untuk beberapa saat dia tampak termangu karena mimpi itu datang lagi. Mimpi dimana dia meratapi kepergian Silas. Dipandanginya sekeliling kamar apartemen baru itu dengan posisi masih berbaring di atas kasur. Apartemen tersebut merupakan apartemen studio berkonsep open space. Dia pun bisa melihat semua barang yang diantar kemarin masih berada di kotak – kotak penyimpanan depan dapur mini.

Sengaja dia menolak tawaran para pembantu di rumah untuk membantunya merapikan isi kamar tersebut. Dia ingin menatanya sendiri seperti yang dilakukannya dulu di rumah. Jika ibu memilih bercocok tanam untuk meminimalisir stress, maka Carlint pun melakukan hal sama pada kamar. Baginya menghias kamar studio ini bisa sedikit membantunya melupakan kesedihan.

Diliriknya sekilas handphone yang berada di samping bantal. Dengan gerakan malas diraihnya, lalu mengaktifkan gadget tersebut. Barisan kata terlihat di layar handphone. Pesan dari Danny. Carlint mendengus ketika membaca tulisan itu.

Maaf, saya tidak bisa mengantar kepergian nona kemarin siang. Tubuh kuat ini tiba – tiba saja harus beristirahat total sementara waktu. Saya harap saya masih bisa memberikan info selanjutnya kepada nona nanti.

Carlint tersenyum sinis. Pastilah si cunguk Danny mengira dirinya tidak tahu menahu tentang hukuman yang diberikan ayah. Tapi, tidak bisa dipungkiri dia harus mengakui keberanian dari pengawal satu itu. Buktinya Danny masih mau memberikan info selanjutnya tentang kasus kemarin. Tampaknya lelaki itu merupakan salah satu pengawal yang sangat mendukung calon penerus geng nanti.

Handphone itu terhempas pelan di tempat semula. Sekarang Carlint hanya termangu dengan kondisi kamar yang masih berantakan. Dari mana dia harus memulai semuanya? Menyusun isi kamar ini ibarat menyusun kembali kepingan hidupnya. Setelah beberapa minggu telah hancur berkeping – keping, kini saatnya dia harus merekatkannya lagi dengan perasaan yang masih berusaha sembuh. Mungkin dengan cara dipaksakan, hatinya akan kembali pulih sedikit demi sedikit. Mungkin.

Sebuah gelas kaca yang terkesan mewah terisi setengah diatas meja panjang. Sebentar saja minuman itu bersih oleh tegukan seorang lelaki paruh baya. Setelah puas menikmati anggur Cheval Blanc yang diproduksi tahun 1947, dia tampak melemparkan pandangan keluar jendela pesawat. Malam ini pemandangan langit sedikit suram karena sekumpulan awan sedang bersiap – siap menurunkan rintik hujan. Jadi cukuplah cahaya – cahaya dari ratusan rumah di bawah sana yang bisa menghiasi pemandangan malam.

Keadaan pesawat jet pribadi milik Tuan Ray nampak lengang karena hanya ada dia, Orion, beberapa pengawal berbadan besar, pramugari dan pilot yang berada di dalamnya. Tidak ada yang berani mengajak bicara si boss besar sekarang, karena dari tampilan wajah pun lelaki bertato itu sedang sibuk dengan pikirannya. Bahkan Orion yang merupakan orang terdekat Tuan Ray hanya bisa duduk di sofa panjang. Mengatur semua jadwal perjalanan agar tidak ada kendala.

Sebelah tangannya menuang kembali minuman anggur tadi hingga penuh. Kemudian meminumnya setengah. Meskipun bisa dibilang tua, tapi jika berurusan dengan minuman mahal, dia merasa kembali muda seperti dulu. Berapa kali pun dia menenggak anggur dengan harga 4,3 miliar tersebut, tidak pernah sedikit pun oleng atau pun mabuk. Malah tubuhnya semakin hangat setelahnya. Pikiran juga akan terasa lebih ringan dan dia pun akan lebih percaya diri ketika berbicara di depan banyak orang.

“Tuan…,” akhirnya Orion memecah keheningan karena dilihatnya boss besar hampir menghabiskan sebotol Cheval Blanc

Tuan Ray melirik sekilas, tapi kemudian kembali meraih gelas wine dihadapannya. “Ada apa, Orion?” suara berat boss besar terdengar di seluruh kabin pesawat. 

Entah mengapa bila suara lelaki berjambang lebat tersebut mengudara, semua mata pasti tertuju padanya. Para pengawal yang bertubuh besar pun tampak sedikit ciut ketika mendengar sang ketua. Bahkan kharisma dan sifat tegasnya itu bisa membuat para petinggi di pemerintahan bergetar.

“Maaf, tuan sudah terlalu banyak minum. Alangkah baiknya jika tuan melanjutkannya lagi setelah pertemuan nanti,” ucap Orion sopan sambil tersenyum tipis.

“Kau sedang mengejekku, Orion?” senyuman sinis tiba – tiba menghiasi wajah lelaki paruh baya tersebut. “Berapa puluh kali pun aku menenggak minuman ini, tidak akan merubah kelakuanku nanti. Kau sudah mengetahui kebiasaanku selama belasan tahun, bukan?”

Tentu saja harapan lelaki berambut putih disamping Tuan Ray sia – sia. Sebelah tangan bertato itu dengan cepat meraih gelas wine dan menenggaknya hingga habis tak bersisa. Orion hanya menghela napas pasrah.

“Tapi, ada satu yang bisa merubah kelakuanku…,” timpal Tuan Ray pelan. Setelah mengucapkan kalimat itu dia tampak terdiam sebentar. Matanya memandangi langit malam diluar jendela pesawat yang kini sedang menampakkan kilatan cahaya. “Keluarga.”

Orion tidak terkejut. Namun, dia hanya diam mendengarkan curhatan sang ketua. Ingatannya juga masih segar sekali ketika Tuan Ray menghadapi anak sulungnya di kamar jenazah. Tepat setelah Carlint dan Nyonya Ray beranjak pergi dari rumah sakit. Sosok tegas tersebut tidak menangis sedikit pun, dia hanya diam tak bergeming selama sejam lebih sambil terus memandangi wajah anaknya.

Namun, sepasang mata tua itu telah bercerita banyak. Dia sangat kehilangan hingga lupa bagaimana harus menyikapi perasaan tersebut. Terlalu banyak kisah kelam yang telah ditelannya selama berpuluh – puluh tahun. Beruntungnya Orion diberikan kesempatan untuk menjadi bagian kisah kelam itu.

Kemudian secara perlahan sebelah tangan bertato tampak mengusap dada Silas. Tiga lubang kecil tampak menghiasi bagian itu. Satu lubang di bahu kanan, dua lubang dibagian tengah dan kiri dada. Ya, penyebab lubang tersebut tidak lain adalah peluru. Sengaja Orion memerintahkan dua pengawal menarik Carlint untuk menjauhi tubuh Silas. Meskipun si nona besar terus berontak.

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Harsa Si Penjual Roti #BanyakCeritadiRumah
3
4
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan