
Di sini aku mau nulis 5 chapter per-satu seri. Untuk chapter selanjutnya dapat dibaca di seri terpisah.
Cerita ini dapat dibaca secara GRATIS!!!
*****
Sedikit pun tak pernah terbersit dalam pikiran Adara bahwa ia akan menikah dengan seorang duda tampan kaya raya beranak satu. Karena situasi yang sangat mendesak, membuatnya terpaksa harus menerima lamaran dari seorang Davin Leonard Dirgantara yang sedang mencari seorang wanita yang akan ia jadikan istri dan juga ibu sambung bagi anaknya.
Singkat cerita,...
Chapter 1
Suara bising orang-orang terdengar cukup nyaring di telinga. Namun, hal itu tak mampu mengalihkan perhatian seorang Davin Leonard Dirgantara terhadap anaknya. Tatapannya tetap berfokus pada anak laki-lakinya yang sedang asyik bermain playground di dalam sebuah mal yang ia dan anaknya kunjungi.
Setiap weekend ia selalu memberikan seluruh waktunya untuk mengajak sang anak bermain ataupun berkunjung ke berbagai tempat yang ingin anaknya kunjungi.
Drrrt. Drrrt.
Tiba-tiba saja ponselnya bergetar pertanda jika ada panggilan masuk.
'Mama is calling... '
Mengetahui jika itu adalah telpon dari sang mama, Davin pun langsung menjawabnya.
"Iya, halo, Ma."
"Davin, kamu lagi di mana, Nak?" tanya sang mama di seberang sana.
"Aku lagi di mal. Lagi ngajak Elfano main. Kenapa, ma?" Davin balik bertanya.
"Cepat pulang. Mama mau kenalin kamu sama anak temen mama."
Davin menghela napas dalam, "ma ... udahlah. Aku lagi nggak mikirin soal itu. Lagian, aku juga bisa kok ngurus El sendirian."
"Davin, meskipun kamu bisa mengurusnya sendiri, tapi El juga pasti butuh kasih sayang seorang ibu, Nak."
"Tapi, ma. Apa mama tau, sulit banget nemuin perempuan yang menurutku cocok untuk dijadikan istri, apalagi Ibu buat El," tutur Davin.
"Ya makanya ayo kamu pulang dulu. Temuin dulu perempuan rekomendasi dari mama. Siapa tau kamu bakalan suka 'kan?"
"Ck. Ya udah, aku pulang sekarang."
"Iya, mama tunggu."
Setelah itu, Davin pun mengakhiri panggilannya. Ia kembali memasukkan ponsel ke dalam saku celana.
"Sayang! Elfano! Sini, Nak!" seru Davin memanggil anaknya.
Mendengar seruan sang papa, Elfano pun langsung menghentikan aktifitasnya dan menghampiri Davin.
"Iya, pah," jawab Elfano.
"Kita pulang sekarang, ya. Oma kamu nyuruh papa buat cepat pulang."
"Yah... Kenapa cepat sekali? Padahal aku masih pengen main di sini," ucap Elfano dengan bibir yang mengerucut.
"Iya, lain kali kita ke sini lagi ya, Nak. Sekarang, kita pulang." Davin mengacak gemas rambut Elfano.
"Ya udah, deh pah."
"Yuk!"
Davin meraih tangan mungil Elfano dan menggenggamnya erat. Keduanya pun melangkah menuju pintu keluar mal.
Saat Davin dan Elfano tengah berjalan menuju basement mal, tiba-tiba ponsel Davin kembali bergetar.
"Sebentar, Sayang. Papa angkat telpon dulu, ya." Dengan segera, Davin pun merogoh saku celananya lantas menjawab panggilan yang baru saja masuk.
"Kenapa, Ry?" ucap Davin setelah ia menjawab panggilan dari Harry, asisten pribadinya.
"Terjadi kecelakaan kerja di dalam proyek baru kita, Dav. Seorang pekerja terjatuh dari lantai 2 saat sedang bekerja," ucap Harry.
"Apa! Lo cepat ambil tindakan, dan segera bawa dia ke rumah sakit! Gue nanti nyusul ke sana!"
"Oke, oke."
"Bagus. Kalo lo udah di rumah sakit, nanti share lokasi rumah sakitnya ke whatsapp gue."
"Iya."
Sambungan pun terputus. Davin kembali memasukkan ponsel ke dalam saku celananya.
"Ayo kita pulang, El."
Davin seketika mulai panik saat dirinya sudah tidak menemukan keberadaan Elfano di sampingnya.
"El? Kamu di mana, Nak? Elfano!" Davin melihat ke sekelilingnya, namun nihil. Ia sama sekali tak menemukan keberadaan Elfano.
Ia mulai melangkahkan kakinya untuk mencari Elfano. Mana tahu Elfano masih berada di sekitaran mal.
Sudah sekitar setengah jam ia berjalan mengelilingi sekitaran mal, namun ia sama sekali tak menemukan Elfano. Pikirannya mulai berkecamuk. Banyak sekali pikiran-pikiran negatif yang hinggap di kepala hingga membuat dirinya begitu mencemaskan Elfano.
"Elfano kamu ke mana, sih?!"
"Maaf, Mas, Mba, apa kalian melihat anak kecil yang ada di foto ini?" tanya Davin pada orang-orang di sekitarnya seraya menunjukkan foto Elfano.
"Maaf, Mas. Kami nggak liat," jawab sepasang laki-laki dan perempuan itu.
"Makasih."
Ia kembali menanyakan hal yang sama kepada orang-orang yang ia temui di sana.
°°°
Di sisi lain, seorang gadis tampak baru saja keluar dari sebuah mini market. Ia menenteng satu kantong besar barang dan makanan yang sudah ia beli untuk keperluannya di rumah.
Saat dirinya berniat akan memesan ojek online, tiba-tiba tatapannya tertuju pada segerombolan orang-orang yang tengah berkumpul di depan sebuah cafe.
"Itu ada apa, ya?" Ia bertanya-tanya. Karena merasa penasaran, ia pun melangkahkan kakinya mendekati segerombolan orang-orang itu.
"Bu, maaf. Ini ada apa, ya?" tanya Dara pada seorang ibu-ibu yang berada di sana.
"Itu katanya ada anak yang terpisah sama orang tuanya," jawab ibu-ibu tersebut.
"Oh gitu."
Adara berusaha menerobos sekumpulan orang itu, agar ia dapat melihat anak tersebut. Setelah berhasil menerobos, ia pun segera mendekati si anak dan berusaha menenangkannya.
"Nak, cup cup cup. Jangan nangis, ya." Adara menyeka air mata anak laki-laki itu.
"Papa... " Elfano tak berhenti menangis dan terus memanggil papanya.
"Cup, cup. Udah, ya. Gimana kalau nanti tante bantu cariin papa kamu?" tawar Adara.
"Tante siapa? Aku nggak kenal sama tante," ucap Elfano.
"Em... Tante teman papa kamu, iya teman papa kamu," kata Adara berbohong.
"Mba kenal sama anak ini?" tanya seorang bapak-bapak.
"I-iya, pak. Saya mengenalnya, dia anak teman saya."
"Jangan bohong, Mba. Kamu jangan ngaku-ngaku jadi teman papanya terus kamu culik dia."
"Pak, apa penampilan saya terlihat kayak penculik? Saya bukan penculik, Pak. Dan saya mau balikin anak ini ke papanya," tutur Adara menegaskan.
"Ya sudah. Kita serahkan anak ini sama mba. Dan mba harus benar-benar mengembalikan anak ini ke bapaknya."
"Tentu, pak. Sudah, sekarang bubar saja."
Setelah berkata demikian, orang-orang pun pergi meninggalkan Adara bersama Elfano di tempat.
"Sayang, jangan nangis lagi, ya. Tante bakalan bantuin kamu buat cari papa kamu. Oke?" Adara kembali mengusap air mata Elfano. Elfano pun sudah mulai percaya jika perempuan yang ada di hadapannya ini bukanlah seorang penculik. Tangisan Elfano pun sudah berhenti.
"Kalau tante boleh tau, nama kamu siapa?" tanya Adara dengan lembut.
"Nama aku Elfano Mahanta Dilgantala, Tante," jawab Elfano.
"Kalau nama papa kamu siapa?" Adara kembali bertanya.
"Nama papa aku Davin Leonal Dilgantala."
"Oh gitu, mama kamu?"
"Mama aku udah nggak ada, Tante," lirih Elfano. Saat Adara bertanya perihal ibunya, tiba-tiba saja wajah Elfano berubah murung. Melihat hal itu, seketika membuat Adara merasa bersalah.
"Maafin Tante, ya. Tante nggak tau," sesal Adara.
"Gapapa, Tante."
"Em... Gimana kalo Tante beliin kamu ice cream? Sebelum kita cari papa kamu, kita beli ice cream dulu. Mau nggak?" tawar Adara.
"Elfano mau Tante!"
"Ya udah, yuk kita beli!"
Adara meraih tangan Elfano dan menggenggamnya erat. Lantas, melangkah menuju kedai ice cream terdekat di sana.
"Ice cream nya mau rasa apa?" tanya Adara begitu ia dan Elfano tiba di kedai ice cream.
"Rasa cokelat, Tante."
"Oke. Mas, ice cream rasa cokelatnya 2, ya!" ucap Adara pada pelayan di kedai ice cream tersebut.
"Baik, tunggu sebentar ya, Mba."
Adara mengangguk, lantas mengajak Elfano duduk di kursi yang tersedia di depan kedai.
"Ngomong-ngomong, kenapa Elfano bisa pisah sama Papa Elfano?" tanya Adara.
Elfano mulai berpikir dan mencoba mengingat kejadian sebelum ia berpisah dari sang papa.
"Oh, tadi itu pas papa lagi nelpon, Elfano liat ada kucing lucu, Tante. Elfano mau nangkap dia, tapi dia kabul. Telus Elfano kejal lagi kucingnya. Sampai Elfano lupa jalan pulang," jelas Elfano panjang.
"Oh gitu, ya. Tante janji kalau Tante bakalan bantu kamu ketemu lagi sama papa."
Elfano hanya menganggukkan kepala sebagai jawaban.
Chapter 2
"Mba, ini pesanannya!" seru sang pelayan ice cream tersebut.
Adara pun berjalan dan mengambil pesanannya. "Semuanya jadi berapa, Mas?" tanya Adara.
"Semuanya jadi, 30 ribu, Mba."
"Ini uangnya, Mas," balas Adara sembari menyerahkan selembar uang 50 ribu.
"Kembaliannya 20 ribu, ya, Mba. Terima kasih."
Adara mengangguk seraya tersenyum simpul. Ia pun kembali menghampiri Elfano yang tengah menunggunya.
"Ini ice cream nya."
"Makasih, Tante," jawab Elfano dengan senyuman lebarnya.
"Sama-sama. Kita habisin dulu ice creamnya di sini, ya. Nanti, kita lanjut buat nyari papa kamu."
"Iya Tante."
°°°
Davin mengacak rambutnya frustrasi. Pasalnya, sudah 1 jam dirinya mencari sang anak, namun ia belum juga menemukannya.
"Elfano, kamu ke mana, sih, Nak?"
Perasaannya semakin tak karuan karena ia takut jika terjadi sesuatu kepada anaknya.
Drrt. Drrt.
Ia kembali merogoh saku celana karena ponselnya yang bergetar. Tertera nama sang mama di layar benda pipih itu, dan ia pun segera menggeser tombol hijau di layarnya.
"Ada apa lagi, Ma?"
"Davin kamu kok lama banget, sih? Temen mama sama anaknya udah ada di sini, loh. Kasian mereka nungguin kamu," cetus sang mama.
"Iya sebentar, Ma. Ini Elfano... "
"Ada apa sama Elfano?"
Davin terdiam sejenak. Ia berpikir, sebaiknya jangan dulu memberitahu mamanya jika Elfano hilang. Ia takut mamanya akan shock dan sedih karena cucunya hilang.
"Em... Ini, Elfano nya nggak mau diajak pulang," alibinya.
"Kamu bujuk aja, pasti Elfano nurut nanti."
"I-iya, Ma. Nanti aku coba bujuk dia lagi."
"Hmm. Ya udah, mama tunggu. Tapi, jangan lama-lama, ya."
"Iya, Ma."
Sambungan terputus. Davin kembali memasukkan ponselnya ke dalam saku celana. Lantas, ia kembali melanjutkan misi pencarian anaknya.
°°°
"Ice cream nya udah habis, Tante," ucap Elfano.
"Ya udah, kita pergi, yuk! Sampahnya bawa, Sayang. Nanti kamu buang ke sana, ya." Adara menunjukkan tempat pembuangan sampah yang tak jauh dari lokasi mereka.
"Baik, Tante," sahut Elfano. Lantas, ia pun menuruti perintah dari Adara.
"Kamu lucu banget, sih!" ucap Adara gemas.
Elfano pun hanya tertawa kecil saat Adara dengan sengaja mencubit hidungnya.
"Yuk, kita pergi!"
"Ayo!"
Adara kembali meraih tangan Elfano dan menggenggamnya erat. Takut jika Elfano akan lepas juga dari genggamannya.
"Elfano!"
Tiba-tiba saja terdengar teriakan seseorang dari arah belakang yang sontak membuat Elfano dan Adara membalikkan tubuh mereka.
"Papa!" teriak Elfano girang. Ia pun berlari dan berhamburan ke dalam pelukan Davin.
"Sayang! Kamu ke mana aja sih, Nak? Papa udah nyariin kamu dari tadi," ucap Davin sembari menangkup kedua pipi Elfano.
Elfano terdiam, lantas ia mengalihkan pandangannya pada Adara. Davin pun begitu. Ia mengikuti arah pandang anaknya.
Davin melangkah mendekati Adara.
"Jadi, kamu yang sudah bawa anak saya?!" tanya Davin sarkas.
"Eh! Bu-bukan! Saya nggak--"
"Halah! Bohong! Kamu mau culik anak saya 'kan?" tuduh Davin.
Adara yang sudah merasa kesal pun, mengepalkan kedua tangannya kuat. Enak saja dirinya dibilang penculik. Memangnya, ada ya penculik modelan sepertinya?
"Anda jangan asal bicara, ya!" tegas Adara seraya meletakkan telunjuknya di depan wajah Davin.
Davin menepis telunjuk Adara yang berada tepat di depannya seraya berkata, "saya tidak asal bicara, Nona. Buktinya, anak saya ada bersama anda di sini. Bersama orang asing yang tidak tahu asal usulnya dari mana." Lagi-lagi, Davin berkata sarkas.
Adara menatap Davin nyalang. Sepertinya, pria ini ingin mengibarkan bendera perang dengannya.
"Asal anda tahu, ya. Saya menemukan anak anda ini di pinggir jalan! Dan dia sedang dikerumuni orang-orang. Dia menangis karena sudah terpisah dengan orang tuanya. Saya merasa kasihan dengannya. Karena itu, saya memberanikan diri untuk membawanya dan berniat untuk mengembalikan dia pada keluarganya! Itu yang sebenarnya terjadi! Dan satu hal lagi yang perlu anda ketahui! Saya bukan penculik!" ujar Adara dengan penuh penegasan.
"Makanya, kalo nggak bisa jaga anak, jangan bikin anak!" lanjut Adara sarkas.
Davin seketika ternganga setelah mendengar penuturan Adara. Ia hanya bisa menahan emosinya agar tidak berkelahi dengan seorang gadis.
Setelah puas meluapkan unek-uneknya, Adara pun langsung bergegas pergi meninggalkan Davin dan Elfano di tempat.
"Sayang, kamu nggak apa-apa 'kan?" tanya Davin pada khawatir.
Elfano menggeleng pelan.
"Kita pulang sekarang, ya?"
"Iya, Pa."
°°°
Adara berjalan dengan kaki yang dihentak-hentakkan ke tanah. Ia benar-benar kesal dengan kejadian yang terjadi beberapa menit yang lalu.
"Dasar cowok gila! Enak aja aku dibilang penculik! Udah dibantuin, bukannya bilang makasih malah nuduh orang sembarang." Adara menggerutu kesal.
Ia menarik napas dalam, kemudian membuangnya perlahan. "Sabar, Adara. Sabar."
Adara menghentikan langkahnya di pinggir jalan sembari memesan sebuah ojek online.
Beberapa menit kemudian, sang ojek online pun tiba untuk menjemputnya.
"Dengan mba Adara, ya?" tanya mas-mas ojek itu.
"Iya, Mas."
"Tujuannya ke jalan Pahlawan no. 32 ya, Mba?"
"Iya, Mas."
Lantas, motor ojek itu pun segera maju menuju ke tempat tujuan Adara.
°°°
Sebuah mobil lamborghini berhenti tepat di pekarangan rumah mewah. Kemudian, keluarlah seorang pria dewasa bersama anak laki-lakinya dari dalam mobil tersebut.
Ya, mereka adalah Davin dan Elfano. Keduanya pun bergegas memasuki rumah mewah milik keluarga Dirgantara itu.
"Nenek!" teriak Elfano girang seraya menghampiri sang nenek yang sedang mengobrol bersama tamunya.
"Eh, cucu nenek sudah pulang, ya. Kamu habis dari mana, Sayang?" tanya Salma.
"Aku habis main sama Papa, Nek," terang Elfano.
"Oh, ya? Seru nggak?" tanya sang nenek tampak exited.
"Seru banget, Nek! Kata Papa, nanti kita akan ke sana lagi."
"Iya, Sayang," jawab Salma, "oh, iya. Jeng, kenalin ini anak bungsu saya, Davin," lanjutnya memperkenalkan Davin kepada teman dan juga anak temannya itu.
"Davin, Tante," ujar Davin seraya menyalami tamu mamanya itu.
"Nak Davin ganteng banget, ya. Kayaknya bakalan cocok deh kalo sama Flora," ucap Diana, mama Flora.
Davin tersenyum sebagai tanggapannya sembari menatap ke arah seorang perempuan muda yang berada di samping Diana.
"Ayo dong Vin, kenalan sama anaknya Tante Diana," ucap Salma.
"Iya, Ma."
Davin mengulurkan satu tangannya, "Davin," ucapnya memperkenalkan diri.
"Flora," jawab perempuan itu seraya membalas uluran tangan Davin.
Setelahnya, keduanya pun melepaskan jabatan tangan mereka. Davin mendudukkan diri tepat di samping mamanya.
"Davin, Mama sama Tante Diana berencana untuk mendekatkan kamu sama Flora. Nanti, kalau kalian sudah merasa nyaman dan cocok satu sama lain, mama sama Tante Diana akan mengurusi pernikahan kalian," jelas Salma.
"Ma, aku rasa Mama nggak perlu ngelakuin ini, Ma. Lagian, aku sama sekali belum ada kepikiran buat menikah lagi," tutur Davin, "aku sama Elfano aja udah cukup kok," lanjutnya.
"Tapi, Davin. Mama ngelakuin ini semua juga demi kamu sama Elfano, Nak."
"Iya, Nak Davin. Elfano juga pasti membutuhkan kasih sayang seorang ibu. Dan Tante rasa Flora udah cocok untuk jadi ibu sambung Elfano. Flora juga udah bisa kok kalo ngurusin anak. Iya 'kan, Sayang?" Diana menimpali.
Flora menyunggingkan senyumannya sedikit ragu, "iya, Ma. Aku udah lumayan bisa kok ngurusin anak."
Davin menatap Flora intens. Ia mencoba menelisik seperti apakah seorang Flora itu. Di sisi lain, Flora merasa sangat gugup karena Davin menatapnya dengan tatapan seperti itu. Ia berusaha untuk bersikap biasa saja seolah-olah tidak merasakan gugup sedikit pun.
"Jadi, gimana, Vin? Kamu mau 'kan kalo coba buat deket dulu sama Flora?" tanya Salma.
"Terserah mama aja lah. Aku capek, mau istirahat. Elfano, ayo, Nak!"
Elfano turun dari pangkuan Salma dan menghampiri sang Papa. Lantas, keduanya pun bergegas menaiki tangga menuju ke lantai 2. Davin sudah malas dengan ini semua. Ini adalah kali ketiga ia diperkenalkan dengan perempuan. Namun, rasanya sama saja. Ia tak merasa tertarik sedikit pun untuk melakukan pendekatan dengan perempuan-perempuan rekomendasi dari sang mama.
Chapter 3
Langit yang cerah telah berubah warna menjadi gelap. Ribuan bintang pun bersinar terang seakan menemani langit yang sedang kesepian.
Davin dan Elfano melangkah memasuki kamar Elfano berniat untuk mengajak sang anak tidur.
"Ayo, Papa bacain Elfano dongeng, ya. Tapi, Elfano harus tidur udah malem," ucap Davin.
"Baik, Papa." Elfano naik ke atas tempat tidur dan berbenah bersiap untuk tidur.
Davin mendudukkan diri di pinggiran kasur sembari fokus mencari judul cerita yang akan dibacakannya. Setelah menemukan judul cerita yang pas, ia pun mulai membacakan dongeng tersebut.
"Papa."
Ia seketika menghentikan aktivitasnya begitu Elfano memanggilnya.
"Iya, Sayang. Ada apa?"
"Papa kenal nggak sama Tante yang tadi siang sama Elfano?" tanya Elfano.
"Hmm, Papa nggak kenal sama dia. Memangnya kenapa?"
"Tapi, Tante itu bilang kalau dia temannya Papa."
"Nggak, Sayang. Dia bohong sama kamu. Papa enggak kenal sama dia. Lain kali, kamu jangan terlalu percaya sama orang yang gak dikenal ya. Kita nggak tau dia orang baik atau bukan. Untung aja Papa cepat nemuin kamu tadi. Kalau enggak, mungkin nanti kamu dibawa pergi sama perempuan itu."
"Tante itu baik kok, Pa. Dia udah beliin Elfano es klim," jawab Elfano.
"Dia beliin kamu es krim, karena itu adalah cara dia buat bujuk kamu. Supaya kamu mau ikut sama dia. Udah ya, pokoknya kamu jangan mau diajak sama sembarang orang lagi. Papa nggak mau terjadi apa-apa sama kamu. Mengerti?"
"Iya, Papa."
Davin mengusap pelan rambut Elfano, kemudian kembali membacakan dongeng sampai Elfano benar-benar tertidur.
°°°
Pagi ini Adara tampak sibuk membereskan beberapa berkas yang akan dibawanya sebagai pelengkap untuk memenuhi persyaratan. Beberapa hari yang lalu, ia sudah mendapatkan pekerjaan di sebuah sekolah Taman Kanak-kanak yang berlokasi tak jauh dari kontrakannya. Ini adalah hari pertama dirinya bekerja sebagai guru baru di sekolah tersebut.
Adara memasukkan semua berkas itu ke dalam tas, kemudian meraih tas tersebut dan disampirkan di pundak.
Ia mematut dirinya di depan cermin, dan merapikan penampilannya yang sedikit terlihat berantakan. Setelah dirasa penampilannya benar-benar rapi, ia pun bergegas keluar dari rumah dan mengunci pintu rumah kontrakannya itu.
Ia mulai mengotak atikan ponselnya guna memesan ojek online. Setelah orderan sudah diterima, ia pun tinggal menunggu sang ojek datang menjemputnya.
°°°
"Papa, ayo kita belangkat, Pa!" teriak Elfano seraya mengguncangkan lengan Davin.
"Iya, sebentar, Sayang. Papa mau minum dulu."
Elfano pun melepaskan tangannya dari lengan Davin.
"Ayo berangkat!" ucap Davin begitu ia selesai menenggak segelas air.
"Yeayy!!" Elfano memekik kegirangan.
Orang tua, Kakak kandung serta Kakak Ipar Davin hanya terkekeh sembari menggelengkan kepala melihat kelakukan Elfano yang begitu menggemaskan.
"Cucu kakek semangat banget sekolahnya," ucap Firman.
"Iya dong, Kek. Kan bial pintal," jawab Elfano.
"Iya, Sayang. Semangat terus ya sekolahnya," timpal Salma.
"Siap, Nek!"
"Ayo Sayang kita berangkat!"
"Dadah semuanya!" Elfano melambaikan satu tangannya kepada keluarga besar Davin.
"Dah."
Davin dan Elfano pun bergegas menaiki mobil dan segera pergi untuk mengantarkan Elfano ke sekolahnya.
"Nanti di sekolah, kamu jangan jajan sembarangan, ya. Kamu makan aja bekal yang tadi udah disiapin sama Bi Ira ya, Sayang," kata Davin memperingati.
"Iya, Papa," balas Elfano seraya menganggukkan kepalanya.
"Bagus! Anak kesayangan Papa memang pintar." Davin mengacak gemas rambut Elfano.
"Papa! Lambut El jadi belantakan kan jadinya," kesal Elfano.
"Eheheh iya maaf-maaf. Habisnya sih, El gemesin banget!"
"Kan El anaknya Papa!"
Setelah beberapa menit menempuh perjalanan, akhirnya Davin dan Elfano pun tiba di depan sekolahan Elfano.
Davin keluar dari pintu kemudi, lantas mengitari mobil dan membukakan pintu untuk Elfano.
"Kalo di kelas jangan nakal ya, jangan berantem sama orang lain."
Elfano mengangguk.
"Ya udah, kamu masuk gih. Nanti kesiangan!"
"Dah papa! El masuk dulu, ya! Mwahh!" Elfano mengecup pipi kiri papanya. Setelahnya, ia pun bergegas memasuki area sekolahnya.
°°°
Tepat pukul 07.30 kelas Elfano sudah mulai memasuki jam pembelajaran. Semua murid di kelas Elfano mendadak terdiam kala seorang guru masuk ke dalam kelas.
"Selamat pagi, anak-anak!" sapa seorang guru yang diketahui bernama Bu Rena.
"Pagi, Bu!"
"Anak-anak, hari ini kita kedatangan seorang guru baru! Silakan, perkenalkan diri."
Adara pun mulai melangkahkan kakinya dan memasuki kelas TK A.
"Halo, anak-anak! Selamat pagi!" sapa Adara.
"Pagi, Bu!"
"Perkenalkan, nama Ibu Adara Wulandari. Kalian bisa panggil ibu 'Bu Dara'. Ibu adalah guru baru di sekolah TK Indah dan akan menjadi wali kelas di kelas kalian."
"Yeay!" pekik semua murid bersamaan.
Elfano menatap Adara lama, seraya memperhatikan wajah Adara. Ia merasa seperti pernah melihat Bu Adara, tapi ia lupa di mana. Setelah berpikir keras, akhirnya ia pun mengingat Bu Adara.
"Itu 'kan, Tante yang kemalin nemuin aku," gumam Elfano.
"Ya sudah, sekarang kita mulai pelajarannya, ya," ucap Adara.
"Baik, Bu."
Adara pun segera memulai aktifitas mengajarnya.
°°°
Cahaya matahari sudah mulai terasa terik di pagi menjelang siang ini hari ini. Dengan terpaksa, Adara melangkah dengan ogah-ogahan menuju ke gerbang sekolah berniat segera pulang.
Namun, sesampainya di gerbang depan sekolah, ia melihat Elfano yang tengah terduduk di sebuah tempat duduk yang dibuat dari bahan bangunan rumah yang berada di bawah pohon yang rindang.
Adara pun melangkahkan kakinya berniat menghampiri bocah laki-laki itu.
"Elfano?" panggil Adara.
Elfano menoleh, "bu Dala?"
"Kamu... Lagi nungguin jemputan, ya?" Adara bertanya.
"Iya, Bu. Tapi, Papa lama banget jemputnya."
"Mungkin bentar lagi Papa kamu datang. Ibu temenin kamu di sini, ya. Boleh?"
"Boleh."
"Elfano udah berapa lama sekolah di sini?" Adara bertanya lagi.
"Em... belapa ya? El lupa, Bu."
"Ya udah, gapapa, kok."
Setelahnya, tak ada lagi percakapan diantara Adara dan Elfano. Hingga tak berapa lama, sebuah mobil BMW hitam berhenti tepat di depan keduanya.
Seorang pria yang merupakan sang empunya mobil pun keluar dari mobil tersebut dan menghampiri Elfano.
"Sayang. Maaf ya, Papa sedikit terlambat jemput kamu karena Papa ada rapat di kantor tadi," ucap Davin meminta maaf.
"Pantesan aja. El udah lama nungguin Papa di sini. Untung aja ada Bu Dala yang nemenin El."
"Terima kasih anda sudah-- eh, tunggu-tunggu! Bukannya anda wanita si penculik itu 'kan?!"
Adara seketika mendelik kesal. Sepertinya, Adara sudah dicap seorang penculik di mata Davin walau sebenarnya ia tak melakukan hal itu.
"Ternyata benar ya dugaan saya. Anda memang berniat untuk menculik anak saya. Buktinya, baru kemarin saya menemukan anak saya bersama anda, dan sekarang hal itu terulang lagi. Anda menguntit dan mengikuti kami 'kan? Lebih baik anda mengakui saja kebenarannya sekarang! Kalau tidak, hukuman anda akan semakin berat!"
Lagi, untuk yang kedua kalinya Davin kembali menuduh Adara melakukan suatu hal yang sebenarnya tak dirinya lakukan.
"Stop anda menuduh yang tidak-tidak kepada saya! Kemarin saya sudah mengatakan yang sebenarnya, tapi anda tidak percaya kepada saya. Lain kali, sebelum menuduh orang sembarangan sebaiknya anda tanya saja kepada anak anda! Permisi!" cecar Adara dengan emosi yang meluap-luap.
Usai meluapkan emosinya, Adara pun bergegas pergi meninggalkan ayah dan anak itu di tempatnya.
Chapter 4
"Papa. Kenapa Papa selalu bilang kalo Tante Dala itu penculik? Tante Dala bukan penculik, dia ibu gulu balu di sekolah El," ucap Elfano seraya menatap Davin yang tengah menyetir.
"Oh, ya? Sejak kapan dia mengajar di sekolah kamu?" tanya Davin.
"Balu hali ini Bu Dala ngajal di sekolah El, Pa. Sekalang, Bu Dala yang jadi wali kelas El."
"Hmm gitu."
“Papa jangan ngatain Bu Dala penculik lagi. Dia olang yang baik.”
"Iya deh iya. Lain kali nggak lagi," balas Davin sesekali menatap anaknya.
"Sayang, kamu mau ikut Papa ke rumah sakit sebentar?" lanjutnya.
"Kita mau ngapain ke sana, Pa?" Elfano bertanya.
"Mau jenguk orang sakit, Sayang. Karyawan Papa ada yang jatuh pas lagi kerja." Davin menjelaskan.
“Oh, gitu. Iya, Pa. El mau ikut.”
“Oke.”
°°°
Adara turun dari atas motor ojek dan tak lupa membayar biaya tumpangannya. Lantas, ia pun mengucapkan terima kasih dan mulai melangkah memasuki sebuah cafe.
Ia mendudukkan dirinya di tempat yang terlihat masih kosong. Tak lama kemudian, seorang waiters pun datang menghampirinya.
"Mau pesan apa, Mba?" tanya sang waiters itu.
"Saya mau espresso nya satu ya, Mba," ucap Adara.
"Baik, ada lagi?"
"Nggak, Mba. Itu aja."
"Baik, kalau begitu ditunggu pesanannya ya, Mba."
Adara mengangguk. Setelah itu, sang waiters pun pergi dari hadapannya. Karena merasa bosan, ia meraih ponsel berniat ingin menghubungi seseorang. Ia mulai mencari kontak seseorang tersebut, dan saat menemukannya ia langsung menekan tombol panggil di layar benda pipih tersebut.
Tak lama kemudian, seseorang itu pun menjawab panggilannya membuat dirinya seketika menyunggingkan senyuman.
"Hei! Aku kira kamu nggak bakalan jawab telpon ku," ujar Adara mengawali percakapan.
"Nggak lah, ini kan lagi jam istirahat. Eh, kamu betah nggak di sana?" tanya Rania. Dia adalah teman Adara di kampung dari sejak mereka kecil. Namun, Rania menetap di kampung halaman mereka yang ada di kota Bekasi. Sementara itu, Adara merantau ke Jogjakarta dan memilih untuk mencari pekerjaan di sana.
"Lumayan lah. Eh, aku mau cerita nih."
"Cerita apaan? Sok atuh ceritain."
"Sumpah baru kali ini aku nemuin orang yang nyebeliiin banget, Ran." Adara mulai mengadukan kejadian yang dialaminya sejak ia tinggal di Jogja.
"Beneran kamu? Siapa emang?" tanya Rania exited.
"Iya! Aku nggak tau sih. Orang aku aja baru ketemu. Oh iya, Ran. Menurut kamu, aku keliatan kayak penculik ga?"
"Hah? Hahahaha." Rania terkekeh. "Maksud kamu apa sih, Dar? Mana ada penculik modelan kayak kamu? Yang ada, kamu mah penculik hati orang kali," lanjutnya.
"Ish! Aku serius, Ran! Masa aku dikatain penculik sama itu orang? Bukannya bilang makasih, malah nuduh orang sembarangan!" Adara kembali merasa kesal saat mengingat kejadian itu.
"Tunggu-tunggu, emang gimana ceritanya sih? Kok dia bisa nuduh kamu sebagai penculik?" Rania bertanya.
Adara menghela napas dalam. "Awalnya sih aku nemuin anak yang kepisah sama orang tuanya. Terus, aku samperin lah anak itu, karena aku kasian juga kan. Niatnya sih, aku mau bantuin dia buat nyari Papanya. Tapi, nggak lama nih, ternyata Papanya yang nemuin dia pas dia itu lagi dibawa sama aku. Ya... disitulah Papanya nuduh aku yang nggak-nggak. Coba kamu bayangin deh. Kesel nggak sih kalo kayak gitu? Niat mau bantu, eh malah dituduh sembarangan," jelasnya.
"Permisi, Mba. Ini pesanannya," ujar seorang waiters sembari menyimpan pesanan Adara.
"Makasih, Mba." balas Adara seraya tersenyum ramah.
"Sama-sama." Waiters itu pun pergi dan kembali pada pekerjaannya.
"Kalau gitu sih, aku juga pasti kesel banget sih, Dar. Oh iya, kira-kira orangnya gimana? Ganteng nggak?" celetuk Rania.
"Em... Ganteng sih ganteng. Ya... minusnya dia nyebelin sama arogan."
Rania kembali terkekeh. "Awas loh, nanti kalau kamu ketemu lagi sama dia, kamu malah suka sama dia. Atau bisa jadi cinta. Pada dasarnya, cinta sama benci itu beda tipis, Dar."
"Ish! Nggak lah! Apaan sih kamu, Ran! Lagian, aku nggak bakalan suka sama cowok arogan kayak gitu! Ihh." Adara bergidik.
"Hahahah, iyain deh. Eh, Dar, udahan dulu, ya. Bentar lagi waktu istirahat habis, nih."
Adara menghela napas gusar, "ya udah deh. Padahal aku masih pengen telpon. Aku nggak ada temen di sini. Coba aja kalo kamu ikut Ran, pasti seru."
"Iya, tapi mau gimana lagi, 'kan? Aku tutup dulu, ya. Bye, Dar! Semoga kamu ketemu lagi sama cowok itu, hahaha." canda Rania.
“Ish, mulutmu itu, ya! Ya udah, bye!”
Sambungan telpon pun berakhir. Aku menyimpan ponsel di atas meja, lantas mengambil kopi pesanan ku yang sudah mulai terasa dingin karena kudiamkan.
Usai menyeruput sedikit kopi yang kini berada digenggaman, aku mulai teringat pada kata-kata Rania tadi.
"Cowok itu 'kan bapaknya salah satu murid aku. Karena itu, sangat memungkinkan buat aku sering ketemu sama dia. Astaga! Kenapa bisa begini, sih?" batin Adara.
"Nggak mungkin kan aku resign dari sana cuma karena hal ini?" gumam Adara.
°°°
Matahari kini sudah bertukar posisi dengan bulan. Langit yang semula terang pun kini sudah berubah menjadi gelap.
Jarum jam sudah menunjukkan pukul 20.15, tetapi Davin masih terlihat sibuk mengerjakan pekerjaannya di laptop. Hingga akhirnya, perhatiannya pun bisa teralihkan saat Salma, sang ibu datang sembari membawakannya teh hangat.
"Pekerjaan kamu masih belum selesai, Nak?" Salma bertanya setelah ia menyimpan teh hangat itu di meja Davin.
"Belum, Ma. Bentar lagi juga selesai kok," jawab Davin.
"Ya udah, tapi jangan kelamaan ya. Kamu harus istirahat."
Davin mengangguk sebagai responnya.
"Oh iya, Davin. Weekend nanti, sekali-sekali kamu ajak Flora jalan dong. Kalau kamu nggak kayak gitu, kapan kamu mau pdkt sama dia? Masa harus Flora yang ngajak kamu duluan?" ujar Salma.
Davin seketika menghentikan aktifitasnya, dan menghela napas.
"Ma, Davin lagi banyak kerjaan. Davin nggak punya waktu buat itu."
Salma menghembuskan napas gusar, "ya terus kamu mau kapan dong? Mama itu pengen kamu nikah lagi. Biar El juga bisa mendapatkan kasih sayang dari seorang ibu yang nggak bisa kamu kasih ke dia."
"Tapi, aku liat selama ini El baik-baik aja, kok. Dia nggak ngerengek minta mama yang baru sama aku."
"Iya, keliatannya baik-baik aja. Tapi, kita nggak tahu isi hati kecilnya 'kan? Mungkin aja sebenernya dia menginginkan seorang ibu pengganti. Tapi, dia nggak berani ngomong sama kamu."
Davin terdiam, merenungi setiap kata yang dilontarkan mamanya. Sepertinya, apa yang dikatakan sang mama juga ada benarnya. Ia mulai berpikir, bahwa tak seharusnya ia berlaku egois terhadap anaknya sendiri.
"Sebaiknya kamu pikirin juga perasaan anak kamu, Dav."
"Hmm. Iya, Ma. Sekarang, pikiranku mulai terbuka. Dan ya... sepertinya apa yang Mama katakan benar," tutur Davin.
Salma tersenyum senang karena akhirnya pikiran Davin mulai terbuka setelah ia berikan nasehat.
"Ya udah, kalo gitu minggu depan kamu mulai ajak Flora jalan berdua, ya."
"Emm... Ma, sebenernya aku udah punya perempuan pilihanku sendiri."
"Beneran kamu?" tanya Salma exited.
Davin mengangguk.
"Terus, kapan kamu mau ajak dia ke rumah? Mama jadi penasaran sama perempuan yang udah berhasil mencuri perhatian kamu."
"Nanti aja, kapan-kapan."
"Apanya yang kapan, Vin? Mama udah penasaran banget lho sama perempuan itu."
"Iya, Davin tau. Pokoknya Mama sabar aja, nanti Davin bawa dia ke sini dan kenalin dia sama Mama sama yang lain juga."
"Jangan lama-lama. Pokoknya, Mama mau bulan ini kamu bawa perempuan itu dan kenalin sama Mama! Oke?!"
Davin sontak terkejut mendengar penuturan sang Mama. Bulan ini?! Bagaimana caranya ia bisa mendapatkan perempuan dalam waktu yang sesingkat ini?
"God! Help me!" batin Davin menjerit.
Chapter 5
Di sisi lain, Adara tengah memasak mie instan untuk hidangan makan malamnya kali ini. Namun, seketika ia mengalihkan perhatiannya pada handphone yang berdering di atas meja ruang tengah.
Dengan segera, ia pun melangkah ke ruang tengah dan mengangkat panggilan telepon tersebut.
"Ibu?" monolognya.
Tanpa berpikir panjang, ia pun segera menggeser tombol hijau di layar handphone itu.
"Halo? Ada apa, Bu?"
"Halo. Dara, Ibu mau minta tolong sama kamu," ujar Ibu Dara dari via telpon.
Adara mengerutkan dahi bingung, "minta tolong apa, Bu?"
"Kamu punya uang 500 ribu nggak? Ibu mau minjam buat bayar utang sama pak Darwin, Dar. Tadi siang dia sama anak buahnya datang ke rumah nagih utang kita. Ibu sama bapak belum punya uang buat bayar utang itu. Terus pak Darwin bilang kalau kita belum bisa bayar utang dalam bulan ini, pak Darwin akan ngusir kita dari rumah, Nak," jelas sang Ibu.
"Bu, bukannya Dara nggak mau ngasih, tapi Dara belum punya uang sekarang. Dara aja di sini baru kerja kemarin."
"Terus, ini gimana, Dar? Bapak kamu juga, ngojek nya nggak banyak orderan. Sementara, gaji hasil kerja ibu dipake buat keperluan sehari-hari sama bayar uang sekolah adek kamu."
Adara menghela napas panjang sembari berpikir untuk mencari solusi dari permasalahan yang dialami keluarganya.
"Ya udah Bu, gini aja. Nanti, Dara coba buat nyari solusinya, ya."
"Iya, Nak. Maaf ya, ibu selalu ngerepotin kamu."
"Nggak kok, Bu. Ibu sama sekali nggak ngerepotin aku. Lagian, ini udah jadi kewajiban aku buat bantuin keluarga," jawab Adara.
"Makasih ya, Nak. Kalau begitu, ibu tutup dulu telponnya."
"Iya, Bu."
Sambungan pun terputus. Adara langsung menepuk dahi saat dirinya teringat pada mie instan yang sedang dirinya masak tadi.
"Astaga! Mie instan ku!" pekik Adara. Lantas, ia segera berlari ke arah kompor dan mematikan apinya.
"Yah... gosong," lirihnya, "kalo kayak gini, terpaksa deh aku masak lagi. Untung persediaannya masih banyak," lanjut Adara.
°°°
Beberapa hari kemudian. Setelah selesai mengajar, Adara segera membereskan semua barangnya dan beranjak pergi dari ruang kelas. Kemudian, ia berjalan ke arah kantor guru dan menemui sang kepala sekolah di ruangannya.
Tok tok tok
"Permisi, Bu," ucapnya.
Bu Dewi, selaku kepala sekolah di TK Indah pun mengalihkan pandangan ke arahnya kemudian tersenyum.
"Bu Dara. Silakan masuk, Bu," ujar Bu Dewi mempersilakan Adara untuk memasuki ruangannya.
Adara pun mengangguk lantas masuk ke dalam ruangan kepala sekolah itu.
"Silakan duduk," ujar Bu Dewi lagi.
"Terima kasih, Bu," jawab Adara. Kemudian, ia pun mendudukkan diri di sebuah kursi yang berada tepat di depan Bu Dewi.
"Kalau boleh tau, ada perlu apa ya Bu Dara menemui saya di sini?" Bu Dewi bertanya.
Adara terdiam beberapa saat, sambil memikirkan bagaimana caranya untuk ia dapat mengatakan maksudnya menemui Bu Dewi. Jujur saja, sebenarnya ia malu untuk mengatakan hal ini, tapi bagaimana pun ia harus mencobanya demi membantu keluarganya.
"Em... Maksud dari kedatangan saya ke sini, saya ingin meminjam uang, Bu. Apa Ibu bisa memberikan uang pinjaman? Untuk bayarannya, nanti ibu boleh potong saja dari gaji saya," ucap Adara dengan menahan rasa malu.
"Memangnya, kamu mau pinjam uang berapa, Bu?" tanya Bu Dewi.
"Kalau ada, saya mau pinjam 500 ribu."
"Maaf, Bu Dara. Bukannya saya tidak ingin meminjamkan, tapi uang gaji kita belum ada. Biasanya, uang gaji akan dikirim tepat di hari gajian," jelas Bu Dewi.
"Oh, begitu ya, Bu. Ya sudah, gapapa kok, Bu. Maaf, saya sudah mengganggu waktu Bu Dewi. Kalau begitu, saya permisi, Bu," pamit Adara.
"Tidak apa-apa Bu Dara. Iya, silakan."
Setelahnya, Adara pun beranjak dari ruangan Bu Dewi.
Ia berjalan dengan langkah gontai dan pikiran yang melanglang buana. Ia bingung harus mencari uang ke mana lagi untuk membantu membayar utang keluarganya.
Tiba-tiba, dirinya tersenyum kala ia mendapat sebuah ide.
"Rania. Apa aku pinjam sama Rania aja, ya? Kali aja dia punya."
Adara mengambil ponselnya dari dalam tas, kemudian mulai membuka aplikasi chatting dan menuliskan beberapa pesan pada Rania perihal tujuannya.
°°°
Hari sudah menjelang malam. Setelah menyelesaikan ritual mandinya, Davin pun bersantai di dalam kamar sembari memainkan ponsel. Ia sibuk menggulirkan layar ponselnya yang menampilkan wanita-wanita cantik sekelas dirinya. Baik dalam karier, maupun materi. Bahkan, beberapa dari jejeran wanita itu ada yang berprofesi sebagai artis dan juga model papan atas.
Davin menghela napas gusar, "kenapa wanita-wanita ini tampak tidak menarik sama sekali di mataku?" monolognya.
Pasalnya, sudah cukup lama ia menghabiskan waktu hanya untuk melihat foto-foto wanita cantik itu, namun 1 pun tidak ada yang bisa menarik perhatian nya.
"Apa karena aku terlalu lama sendiri, sampai aku lupa caranya jatuh cinta lagi?"
Davin menggeleng, menentang semua yang baru saja ia katakan.
"Nggak, nggak, nggak. Nggak mungkin."
Ia membuang handphone nya ke ranjang dengan asal, lantas bersilang dada dan mulai memikirkan sesuatu.
Tiba-tiba, bayangan seorang perempuan pun terlintas di kepalanya.
"Wanita itu. Kenapa tiba-tiba dia muncul di pikiranku? Argh! Nggak, nggak, nggak. Dia sangat menyebalkan, jutek lagi. Jauh dari type cewek idamanku," monolognya lagi.
"Argh! Nggak tau lah! Pusing!" Davin mengacak rambutnya frustrasi.
Cek lek!
"Papaaa!"
Tiba-tiba Elfano datang, dan menghampiri Davin ke kamarnya.
"Eh, jagoannya Papa!" Davin membawa Elfano ke atas pangkuannya.
"Papa lagi apa?" tanya Elfano.
"Papa lagi istirahat aja. Kenapa, Sayang? El mau apa?"
"El disuluh nenek buat panggilin Papa. Kita mau makan malam," ucap Elfano.
"Oh, iya? Ya udah, yuk kita ke bawah!"
Elfano mengangguk. Lantas, keduanya pun pergi dari kamar Davin dan turun ke lantai satu untuk makan malam.
Setibanya di ruang makan, semua keluarga Davin sudah berada di sana. Davin dan Elfano pun duduk di kursi masing-masing.
Setelah semua keluarga lengkap, mereka pun segera menyantap hidangan makan malamnya.
"Dav, kamu udah tanya sama pacar kamu kalau kamu berencana mau bawa dia ke rumah dan mengenalkannya pada kami?"
"Apa?! Davin udah punya pacar?!" pekik Clara, kakak kandung Davin.
"Iya, lho, Ra. Dia juga udah janji mau kenalin pacarnya sama kita. Iya 'kan, Dav? Jangan lama-lama, ya. Mama udah nggak sabar banget buat ketemu pacar kamu itu."
Davin mengangguk ragu, "i-iya, Ma."
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
