HIDDEN GENIUS 4 - 6

0
0
Deskripsi

Yang Keira inginkan adalah merasakan kembali hangatnya kekeluargaan yang sudah membeku sejak usianya 9 Tahun. Jatuh bangun ia menanti kembalinya kehangatan itu.

Dalam penantiannya ada Vano, dan teman-teman serta gurunya yang memberikan setitik kehangatan.

Namun tetap saja, hangatnya keluarga jauh lebih hangat melebih apapun.

Inilah perjalanan Keira meraih kembali hangatnya keluarga yang telah lama beku.

Akankah ia berhasil? Atau ia memilih jalan seperti Vano?

wp fvsole (dulunya upiknehanehi)

PART 4 MENGAWALI SEBUAH IKATAN

Pusing, itu yang Keira rasakan. Perlahan matanya terbuka kemudian mengerjapkannya menyesuaikan intensitas cahaya yang masuk. Setelah nyawanya terkumpul, Keira langsung beranjak dari kursi santai menuju kamar mandi untuk membersihkan diri dari bekas tangisnya tadi malam.

Seusai mandi Keira pun menuju meja riasnya, betapa terkejutnya Keira melihat matanya bengkak seperti naga 'Astaga! mataku sembab! Oh mungkin karna menangis kemarin, tapi kenapa aku menangis kemarin? Ah iya, aku dilarang untuk terlihat di depan rekan bisnis Papa. Satu kata untuk ini! miris' ucap batin Keira sambil tersenyum pedih menatap pantulan dirinya di cermin.

Keira mengakali mata sembabnya dengan memoleskan bedak gelap, menutupi mata dengan kacamata bulatnya dan rambut yang biasa diikat rapi kini diikat asal membuat anak rambutnya terlepas dengan tujuan jika orang melihat dirinya maka orang itu akan fokus pada rambutnya yang berantakan dan bukan fokus pada mata sembabnya. Keira pun memakai seragamnya kembudian kembali bercermin dan perfect untuk penampilan nerdnya.

Setelah selesai dengan ritual beriasnya, Keira segera menuju meja makan. Semua sudah berkumpul dan Keira melihat senyum menghiasi wajah keluarganya tapi bukan senyum hangat yang tulus tapi senyum hangat yang dipaksakan dan terlihat jelas ada maksud tertentu dibaliknya. Melampaikan tangan "Pagi Kei," sapa Josh dan Lisa "Pagi sayang" sapa mama dan papa-nya. "Pagi semua" sapa Keira sambil tersenyum tipis. 'Ingat Keira! Ini semua hanyalah sandiwara! Senyum mereka palsu!' batin Keira setelah menjawab sapaan keluarganya.

Setelah Keira duduk di kursinya, mereka pun segera menyantap sarapan yang telah disipakan. Tak lama kemudian Lisa memulai pembicaraan.

"Ingat ya Kei hari Jumat!" Pesan Lisa pada Keira tak lupa dengan senyum miring meremehkannya yang khas seakan Keira lupa dengan ucapan papa mereka kemarin malam.

"Iya Lisa adik kembarku yang bawel dan cantiknya minta ampun! Mana mungkin sih aku lupa sama acara penting (baca: acara yang membuatnya tak terlihat)" Ujar Keira dengan nada biasa seakan ia tak keberatan ataupun sakit hati dengan perlakuan mereka.

"Iya siapa tau aja lo lupa iya kan Jei? By the way gue memang cantik! Secara gue itu model top remaja nomor 2 di Indonesia." jawab Lisa membanggakan dirinya yang seorang model remaja yang cukup terkenal di Indonesia.

"Ah enggak kok El. Walaupun aku bodoh, ingatan ku masih berguna kok El." balas Keira dengan senyum palsunya.

"Kan biasanya elo nggak ada lebihnya. Iya nggak Jei?" sahut Lisa meminta persetujuan Josh.

"Iya, dia kan memang tidak ada lebihnya. Cuma pungguk yang merindukan rembulan." Jawab Josh dan disertai tawanya bersama Lisa. Menertawakan Keira yang tidak ada lebihnya di mata mereka. Menertawakan Keira si pungguk yang merindukan Rembulan. Keira yang selalu mengharapkan kasih sayang sama rata yang tulus dari keluarganya.

"Mama, Papa, Kei berangkat ya. Kei ada piket pagi ini." Pamit Keira pada orang tuanya karena lelah mendengar ejekan saudara-saudaranya.

"Kamu tidak bawa mobil?" Tanya Ben dan Keira menggelengkan kepala tanda tidak.

"Ya sudah." Keira langsung pergi ke sekolah tanpa membawa mobil.

Sebenarnya ia dibelikan mobil oleh papanya. Mobil jazz warna putih. Tapi ia tidak suka menggunakan pemberian orang tuanya. Ia lebih suka membawa mobil yang ia beli sendiri. Mobil ferrari warna merah yang ia parkir di garasi café dekat sekolahnya. Ia menggunakan mobil itu jika ada acara-acara tertentu seperti meeting dengan rekan bisnisnya.

Pukul 06.45. Keira sudah sampai di sekolah. Dengan lambat ia berjalan menuju kelasnya.

"Eh itu cewek yang zero nerd itu bukan? Culun banget ya? Jijik gue liatnya," Ujar seorang gadis kepada dua orang temannya yang tengah duduk di salah satu kursi yang ada di koridor.

"Iya. Dia si zero nerd. Udah jelek, kulit hitam, nggak bisa rawat diri, enggak bisa bergaul, sok-sok-an rajin tapi selalu mendapat nilai nol. Makanya enggak jarang dia dia dipanggil zero nerd jadi korban bully di sekolah ini." Respon salah satu dari gadis itu.

"Kalaupun dia bisa bergaul, enggak akan ada yang mau berteman dengannya. Tampangnya aja udah kayak orang idiot, siapa sih yang mau berteman dengan gadis culun idiot seperti dia?" Ujar gadis lain yang tadinya diam kini ikut menghujat.

Keira yang mendengar hujatan itu hanya diam dan tetap berjalan lambat melewati ketiga gadis penggosip pagi itu untuk sampai ke kelasnya.

Tanpa Keira sadari, salah satu gadis itu memajukan kakinya hingga menghadang jalan Keira dan akhirnya Keira terjatuh dengan kondisi mengenaskan diiringi tawa ketiga penggosip pagi tersebut.

Dengan kesabaran ekstra yang telah terlatih, Keira bangkit dan kembali melanjutkan perjalanannya tanpa mengeluarkan sepatah kata untuk memprotes mereka.

Setelah perjalanan melelahkannya, ia sampai di depan pintu kelasnya. Dibukanya pintu tersebut dan terlihatlah beberapa warpil sudah duduk santai di kursi mereka.

"Pagi Lala." Sapa teman-temannya serentak dengan senyum tulus, membuat Keira sedikit tersentak.

'Ah... mungkin efek rule kemarin.' Keira membatin dan memilih membalas sapaan teman-temannya.

"Pagi juga semua." ujarnya dengan senyum lebar yang menampilkan barisan rapi giginya yang putih berkilau, bahkan mengalahkan kilauan gigi Rock Lee dan Guru Guy di cartoon Naruto.

"Wih, gila putih banget gigi lo, kontras banget sama kulit lo yang hitam mintak ampun." Celetuk Vano dengan pedas bak cabai rawit sehingga mengundang tatapan tajam dari teman-teman-temannya.

"Van. Bisa nggak sih kalau ngomong nggak pake cabe? Pedes tau gak." Sungut Novi pada Vano.

"Iya ih Vano gitu banget jadi orang. Elo kalau gitu terus dan enggak ikut menjalin IKATAN PERSAUDARAAN jauh-jauh sana!" Tungkas Karina dengan pedasnya.

Menjalin Ikatan Persaudaraan. Tiga kata ini mampu mengingatkan Keira pada keluarganya yang bahkan tak pernah mengucapkan apalagi melakukan hal seperti ini. Ia hanya tersenyum pedih mendengarnya.

"Iya nih Vano enggak asik woo," Paduan suara dari siswa kelas 11-4 memenuhi ruangan kelas mereka.

"Iya, iya, maafin gue saudara-saudari," Ujar Vano dengan suara malasnya.

"Lo ikhlas gak sih minta maafnya? Yang benar dong!" Titah Anitha pada Vano. Membuat Vano mengumpat

"Ampun dah ini cabe." Ujarnya pelan namun tak sampai terdengar yang lain.

"Okay, guys gue minta maaf atas ucapan pedas gue yang selalu ngatain orang, jadi gue minta maaf. Lo mau maafin gue kan La?" Tanya Vano pada Keira yang tengah melamun.

"La, Lala, lo mau maafin gue kan?" Tanya Vano lagi hingga membuat lamunannya menguap entah kemana.
"Ah, iya-iya gue maafin." Jawab Keira kemudian dan beralih pada tasnya mengambil buku pelajaran, karena bel sudah berbunyi.

Pelajaran dimulai jadwalnya adalah pelajaran fisika. Saat pak Arya masuk ke kelas semua warga 11-4 menyambutnya dengan semangat, sukses membuat Arya cengo, terkejut melihat reaksi anak didiknya ini yang tiba-tiba menyapa seperti ini padahal tidak pernah sebelumnya, tapi ekspresi terkejutnya segera ia netralkan.

"Pagi Pak." Seru murid 11-4.

"Pagi juga anak-anak ada apakah gerangan ini? Sampai kalian sangat semangat pagi ini." Tanya Arya kepo

"Nggak ada apa-apa kok Pak." Celetuk Karina - siswi cabe di kelas 11-4 - dengan suara yang diimut-imutkan.

"Hmm kayanya bapak tau deh," Ujar Arya sambil mengelus dagunya
seperti sedang berpikir.

"Cieee yang lagi jalin persaudaraan cie-cie," Kata Pak Arya dengan heri-nya (HEboh sendiRI).

"Ah, bapak apaan sih?" Ujar seorang siswa malu-malu.

"Iya nih bapak apaan sih? Sok tahu deh." Gurau murid lain pura-pura mengelak.

"Udah deh tidak usah bohong sama bapak! Karena mood bapak udah kalian buat baik pagi ini, maka kita cuma belajar 1 jam pelajaran dan 1 jam sisanya kita ngunakan untuk game." Ujarnya.

"Yeay...."

"Yah Pak kenapa tidak sekalian aja enggak belajar?"

"Iya nih Pak," Seru murid-murid bernegosiasi agar tidak jadi belajar.

"Sudah-sudah kita lanjut ke pelajaran Gerak Harmonis Sederhana." Ujar Arya dan mereka pun belajar dengan antusias.

"Sesuai janji yang telah dibuat maka sekarang kita akan main game."

"Yeay!" Seru murid-murid layaknya orang kelaparan yang mendapat makanan.

"Nah kita akan memainkan ToD tau kan? Pada ToD kita kali ini yaitu setiap orang yang ditunjuk oleh botol akan diberikan 2 pilihan, yaitu Truth dan Dare atau Double Truth dan tidak ada double Dare." Jelas Arya pada anak didiknya.

"Yah Pak, kenapa dua sih?"

"Kenapa ga ada double dare pak?" Tanya siswa 11-4.

"Yah karena kita akan buka rahasia masal." Arya menampilkan senyum miringnya yang membuat siswa berkedut bingung. "What? Buka rahasia masal? Kenyataan apa ini Tuhan? " Tanya Anitha si lemot 11-4.

"Kenapa? Kalian takut kalau ditanya atau disuruh mengatakan nama lengkap kalian atau lebih tepatnya nama keluarga?" Sebagian murid diam dan ada beberapa yang mengangguk membenarkan.

"Baiklah kalian tidak perlu khawatir, dalam permainan ini tidak ada pertanyaan nama belakang dan dare untuk mengatakan nama lengkap." Murid-murid yang mendengarnya jadi semangat dan well, game untuk 'mengawali sebuah ikatan' dimulai.

PART 5 CRAZY TOD WITH 11-4

"Okay para satria, (murid laki-laki) geser bangku ke pinggir dan kalian membentuk lingkaran besar!" Titah Arya yang langsung dilaksanakan oleh 11-4.

Game segera dimulai, Arya memutar botol minuman yang airnya tinggal sedikit. Botol pun berputar dengan kencang dan akhirnya melambat kemudian menunjuk satu orang yaitu Sheila Soraya A.

"Okay , Sheila T&D or double T" Tanya Arya. "T&D aja deh Pak, biar seimbang."

"Okay Sheila, Truthnya kenapa kamu menyembunyikan nama belakangmu?" Tanya Arya yang membuat 11-4 bengong tak percaya dengan pertanyaannya.

"Oh ayolah anak-anak, ini cuma alasannya, bukan nama belakang kalian!" Keluh Arya saat menyadari anak didiknya menatapnya merasa ditipu. Namun akhirnya Sheila tetap menjawab.

"Okay begini Pak, my friends, maaf sebelumnya, seperti yang sudah ketahui bahwa saya ini seorang Bad Girl, jadi saya menyembunyikan identitas karena aku karena takut menjelekkan nama baik keluarga, sehingga saya jadi tidak leluasa bermain-main dan menjahili atau kasarnya ngebully orang kalau mereka tau siapa saya sebenarnya." Sheila menjawab dengan enteng tanpa beban. "Woo..." Sorak-sorai murid 11-4 saat tahu alasannya.

"Okay, selanjutnya dare, kalian mau Sheila ngapain?" Arya kembali mengambil alih perhatian, "Enggak ngebully kita-kita lagi, Pak." jawab Kanya yang merupakan salah satu korban bully Sheila.

"Okay, gue tidak akan ngebully kalian lagi, tapi itu cuma untuk member 11-4! Kalau untuk yang lain sorry-sorry aja, nggak bisa!" Sheila menjawabnya dengan antusias sambil nyengir kuda.

"Yah..., tapi oke deh." Jawab siswa 11-4 sempat kecewa namun akhirnya menyetujui.

ToD pun dilanjutkan, kini mengarah pada Aditya R. atau lebih sering dipanggil Adit. Adit ternyata juga memilih T&D, sama seperti Sheila.

"Okay pertanyaannya sama seperti Sheila dan dare-nya ditentukan oleh yang lain." Ujar Arya.

"Saya menyembunyikan identitas karena saya terlalu malas dikejar-kejar cewek matre." Adit menjawab sambil mengarahkan pandangannya pada Tasya – Anggota 11-4 yang selalu saja mengejar Adit.

"Ih Adit, kenapa lo liat gue kaya gitu? Gue kan enggak matre! Gue itu beneran suka dan cinta sama elo!" Demprat Tasya tak terima disindir matre.

"Cie Adit cie cie" sorak-sorai kembali menggema di ruang kelas penuh suka cita ini. "Okay, stop it guys!.... gimana kalau dare-nya kita suruh dia nyanyi 'My Heart Will Go On' dengan I dangdut? Plus jogednya tidak lupa." Sela Beni.

"Wah, setuju-setuju." Seru mereka dan Adit pun memulai aksinya. Permainan lanjut lagi kini giliran Karina L., dia milih double truthTruth pertama sama dengan yang lainnya dan truth yang kedua mengapa ia nempel seperti permen karet pada Beni dan sukses membuat wajahnya merah padam seperti cabe karna malu, em.. ralat dia itu memang cabenya kelas 11-4, habis dandanannya seperti tante-tante kebanyakan.

"Okay dua truth ini aku jawab langsung. Aku nyembunyiin identitas karena aku males aja di iriin sama orang karena aku lahir di keluarga yang terlihat sempurna ini, tapi kenyataannya keluargaku enggak se-sempurna yang mereka pikirkan! Aku selalu ditinggal kerja sama orang tua, jadinya tumbuh kurang perhatian! Aku itu kesepian tinggal dirumah megah kayak istana tapi sepi se-sepi kuburan! Sampe akhirnya aku memutuskan untuk kaya gini pake make-up tebel kaya cabe! Itu tujuannya biar semua orang negur aku, perhatiin aku, hiks, hiks, hiks," Karina menangis sesegukan setelah ia menyampaikan alasannya

"Sampe akhirnya saat mos aku ketemu sama Beni, dia selalu ngejekin aku karena pake make-up tebel kaya tante-tante yang nyari sensasi, aku awalnya kesel tapi ya gitu deh aku akhirnya cinta sama dia, aku juga ngurangin kadar make-up di wajah aku. Iya kan sayang" Lanjutnya kemudian sambil tersenyum geli mengingat dirinya yang lebih parah dulu.

Prok, prok, prok,semua bertepuk tangan atas apa yang terjadi dan permainan pun dilanjutkan kami jadi terbiasa satu sama lain dan kami tidak tanggung-tanggung lagi untuk menceritakan kisah-kisah mengapa mereka menyembunyikan nama belakang mereka. Dan kini giliran Keira, ia memilih double truth karena terlalu malas melakukan dare, sebut saja dia pengecut, ia ikhlas.

"Sebelum aku jujur aku enggak jamin kalian masih mau berteman dengan aku atau tidak, tapi aku harap kalian mau. Okay alasan aku nyembunyiin namaku yaitu aku merasa tersisih dikeluargaku, aku punya saudara dan semua anggota keluargaku sangat menyayangi mereka mereka sangat sempurna berbeda denganku yang buruk rupa ini, aku selalu dibanding-bandingkan aku selalu di pilih kasihkan aku tak dipedulikan dan terlebih lagi tidak tidak semua kenalan Mama, Papa tau aku itu ada kalaupun mereka tau kalau aku itu ada mereka akan bilang kalau aku sekolah di luar negeri," Keira menundukkan kepalanya geli dengan keadaannya, setelahnya menegakkan kembali kepalanya dan mulai melanjutkan cerita.

"Mengetahui kenyataan itu, aku sempat berpikir kalau mungkin saja namaku tidak dicantumkan di kartu keluarga dan beberapa detik setelahnya aku sadar 'tidak dicantumkan' berarti aku bukan anak Mama dan Papa, itulah yang kupikirkan. Tersiksa dengan itu, aku melakukan tes dna tanpa sepengetahuan keluargaku dan hasilnya? Aku 100 persen aku anak mereka." Keira menunjuk-nunjuk dirinya.

"Sebut saja aku anak durhaka, karena tidak mengakui kenyataan bahwa aku keluarga tersebut. Intinya aku menyembunyikan identitasku karena aku tidak diakui keluarga pada teman-teman mereka, aku terlalu kecewa terhadap mereka, dan yang terakhir, jika aku menyatakan aku ini bagian dari keluarga tersebut pasti orang-orang tidak akan percaya. Sorry aku terlalu berbelit-belit," Ia tersenyum setelah mengatakannya, senyum yang memperlihatkan betapa menyakitkannya jika merasakannya. Karina menghambur kepelukan Keira, menangis sesegukan setelah mendengar ceritanya, ia merasa turut prihatin terhadap temannya itu.

"Wah, panjang ya ceritanya, kalo gitu lanjut pertanyaan berikutnya, mau ditanya apa anak-anak?" Arya menyela setelah keadaan yang tadi terasa pilu, kini sedikit menemukan titik terang.

"Sejak kapan kamu mulai tidak menggunakan nama belakang?" Elgar tiba-tiba bertanya tanpa persetujuan teman-temannya, namun yang lain tidak ada yang protes.

"Aku enggak make nama keluarga setelah gagal dalam melakukan aksi 'bunuh diri' saat awal masuk SMP," Jawab Keira tenang dengan senyum simpulnya.

"What? Bunuh diri?" Mereka bertanya serempak hamper membuat kaca jendela pecah akibat getaran suara mereka yang menggema dan menggelegar seperti petir.

"Sesinya udah lese anak-anak, lanjut lain waktu aja! Sekarang lanjut lagey," Ucap Arya dengan alay-nya menirukan sikap murid-muridnya yang alay.

Botol pun diputar kembali, botol itu berputar dan terus berputar, sampai berhenti dan menunjuk seorang bermulut cabe, siapa lagi kalau bukan Vano.

"Okay, Vano Alexander H. pilih apa?" Vano memutar bola matanya malas saat Arya lagi-lagi menyebut nama kepanjangannya. "T&D aja deh, Pak."

Ia menjawab langsung tanpa aba-aba, "Gue nutupin identitas gue karena gue males terkenal cuma karena keluarga atau nama lainnya numpang eksis pake nama keluarga! Karna gue punya pengalaman buruk tentang itu."

"Ooo..." Koor syahdu dipadukan siswa 11-4.

"Okay dare yang harus lo lakuin yaitu ubah semua sikap ketidakpedulian lo dengan lingkungan sekitar! Lo buang jauh-jauh tuh sifat jelek lo!" Salah satu siswa menceletuk setelah berdiskusi beberapa saat untuk menentukan dare yang cocok untuk Vano.

"Seharusnya gue enggak milih dare tadi." Sesal Vano yang membuat siswa yang lain tertawa melihat penderitaannya, namun tak urung juga Vano mengiyakannya.

Permainan pun terus berlanjut hingga selesai tepat sebelum pergantian jam pelajaran,kira-kira lima menit sebelumnya. Dengan sisa waktu lima menit tersebut, mereka pun diceramahi kembali oleh wali kelas canggih mereka.

"Okay, sudah pada tahu kan, alassan menutupi nama keluarga masing-masing?" Arya menggoda emosi siswa-siswanya itu, membuat mereka menjawab malu-malu, "Gimana? Nyesek nggak?" Dengan kecepatan kilat yang serempak, mereka menjawab kompak, "Banget, Pak."

"Okay, dengan kalian yang sudah mengetahui alasan masing-masing menyembunyikan identitas, kalian tidak perlu penjelasan lagi kalau salah satu identitas kalian terbongkar, dan dengan itu Bapak harap kalian bisa berteman dengan baik dan bahkan menganggap semua warga 11-4 ini keluarga kalian, kalian bisa saling berbagi cerita, minta saran mengenai masalah kalian."

"Iya, pak pasti" Seru Karina paling semangat bahkan sampai berdiri dengan hebohnya.

"Uu...." Sorak siswa-siswa lain saat melihat antusiamenya yang begitu besar.

"Sudah, sudah, dari alasan-alasan tadi kebanyakan alasannya karena keluarga, memang ya orang-orang kaya sama kurang mampu masalahnya beda, kalau orang kurang mampu masalahnya adalah ekonomi, lha, yang mampu? Masalahnya keluarga, Aduh, pucing pala Bapak." Arya menggeleng-gelengkan kepalanya heran yang dibalas cengiran lebar siswanya. "Hehe."

"Ingat ya pesan-pesan Bapak, kita harus maju dan kejar target kita, yaitu 'tunjukkan kalau kita lebih hebat dari kelas-kelas lain' dan untuk itu bapak akhiri sampai di sini". Pamit Arya setelah menyampaikan kampanye semangatnya dengan menggebu.

PART 6 TOKO BUKU

Sepulang sekolah, Keira tak langsung pulang. Ia pergi ke toko buku untuk membeli beberapa buku sebagai bahan bacaan dan bahan latihannya. Ia membeli dua novel, dua buku materi kimia, 2 buku soal dan penyelesaian latihan kimia, satu buku soal dan penyelesaian latihan matematika, dan satu buku soal dan penyelesaian latihan fisika.

Dengan enam buku dan masing-masing berukuran lumayan tebal, ditambah lupa mengambil keranjang belanja, membuat Keira kewalahan membawanya.

Bugh. Tamatlah sudah. Buku-bukunya berserakan di lantai.

"Woi, bawa buku tuh yang bener. Kalau udah disedia-in keranjang tuh dipake! Bukan dianggurin!" Lambat-lambat Keira mendongak, melihat siapa yang ditabraknya.

Matanya mengerjap berkali-kali, pertanda ia tak percaya dengan siapa yang dilihatnya di toko buku. "Va-Vano?"

Mengangkat alis bingung, Vano bersua, "Kenapa lo liatin gue kayak gitu?"

"L-lo ngapain kesini?"

"Kenapa? lo bilang kenapa?" Vano tertawa hambar dengan apa yang didengarnya dari Keira, sungguh pertanyaan konyol yang pernah ada. "Emang gue enggak boleh ke toko buku? Apa yang lo punya sampai bisa ngelarang gue ke toko buku? Sinting."

Bagaimana tidak bingung , jika melihat dia yang bertampang berandalan dan tidak pernah membawa buku apalagi berteman dengan buku dan menyentuh buku saja tidak pernah itu, bisa datang ke toko buku yang menyediakan banyak buku, aneh bukan?

Omong-omong mengapa Keira bisa tahu jika Vano tidak pernah membawa buku? Tentu saja Keira tahu, karena ia duduk disebelah laki-laki itu, setiap pelajaran hanya mengeluarkan sebatang pulpen, jika ada ulangan cukup minta kertas pada Elang yang duduk di depannya, bahkan Keira yakin bahwa tas yang dibawanya itu tak ada isinya, hanya formalitas semata.

"Aw." Vano berlalu meninggalkan Keira tanpa membantu memungut buku-buku yang berserakan milik Keira, ditambah lagi sebelum berlalu ia menepuk kepala Keira menggunakan buku yang dibawanya. Sungguh manusia cabe hyperaktif yang tidak bisa diam.

Ia pun membungkuk dan memungut buku-buku yang berserakan. Dengan pelan ia berjalan ke kasir, tak ingin kejadian tadi terulang lagi. Setelah membayar ia pun pulang ke rumah.

Bug. Belum sampai di rumah dan masih di depan pintu masuk toko, Keira kembali terjatuh. Bukan karena buku-bukunya, tapi kakinya tersandung kaki orang lain saat ia tak memperhatikan jalan saat menyimpan kembali uang kembaliannya ke dompet.

"Ups, ada yang jatoh. Sini aku bantuin." Ujar seorang dengan suara nyaring yang khas. Bukannya membantu, orang itu malah mengambil paksa dompet yang ada di tangan Keira.

"L-lisa?" Keira terkejut melihat siapa yang menabrak dan merampas dompetnya, bahkan ia lupa untuk bangkit dari jatuhnya.

"Wohoo, liat Jei merah sama biru semua." Lisa menunjukkan isi dompet itu pada Jei.

"Cewek jelek enggak baik bawa uang banyak-banyak." Lisa mengambil semua uang tunai yang ada di dompet itu. Uang itu ia berikan pada Josh yang langsung dikantongi-nya.

"Mari kita lihat, apa saja yang ada di sini selain benda merah dan biru," Ia mengecek setiap kantung yang ada di dompetnya.

"Cih, foto jelek kayak gini disimpan, enggak ada kerjaan. Eh bukan fotonya sih yang jelek, tapi... orang yang di foto yang jelek." Lisa bermonolog sendiri.

"Gila!" Pekik Lisa kagum dengan apa yang dilihatnya.

"Kenapa, El?" Josh mengernyit bingung.

"Kartu member Hollys Key Cafe. Nih liat." Lisa mengambil kartu itu dari dompet. "Mana VVIP lagi," Ia masih terkagum-kagum dengan kartu member itu.

Dengan berbinar-binar ia berucap pada Keira yang masih dengan bodohnya terduduk di lantai, "Pokoknya ini buat gue, titik." Segera disimpannya kartu itu di disakunya.

"Nah, ini dia yang gue cari-cari." Lisa mengeluarkan sebuah kartu dari dompet tersebut. "Gue lagi gerit, jadi gue pinjem uang lo ya! Honor gue sayang buat dipake."

Setelah mendapat apa yang dicarinya, ia melempar asal dompet cokelat itu ke arah Keira dan berlalu ke dalam toko yang di ikuti Josh yang menatap sinis Keira.

Tanpa banyak bicara, Keira memunguti dompet dan tas belanjanya. Baru ia akan berdiri, ia tersungkur kembali, parahnya dengan posisi yang tidak elit.

Begitu pula dengan orang yang menabraknya dari belakang juga terjatuh dengan posisi yang tidak elit, kepalanya mendarat di tanah sedangkan pantatnya nungging.

Mereka sama-sama merintih kesakitan sampai akhirnya orang itu berucap dengan pedasnya, "Woi, kalo ngemis itu liat tempat! Jangan di tengah jalan!"

"Nerd."

"Vano." Ucap Keira dan Vano berbarengan, terkejut tak menyangka mereka tabrakan lagi, yang kali ini Vano yang menabrak -walaupun penyebabnya tetap Keira.

"Elo lagi, elo lagi. Enggak puas-puas lo buat masalah? Hah? Nggak disekolah, nggak di toko, enggak di depan pintu, lo selalu aja buat masalah ke gue. Bosen hidup? " Dengan pedasnya Vano menceramahi Keira seraya bangkit dari jatuhnya.

Begitu juga Keira, ia bangkit dari jatuhnya yang tak elit. "Lo kira gue enggak bosen buat masalah terus, lo kira gue enggak capek kena masalah terus? Gue itu udah muak, capek, gue juga bosen buat hidup." Jawabnya cepat dengan curhat terselubung di dalamnya.

Setelah itu ia pergi tanpa mengucapkan apapun lagi, meninggalkan Vano yang menganga mendengar betapa cepatnya ia berbicara. Bahkan lebih cepat dari angin puting beliung.

***

Dentingan sendok dan garpu yang beradu dengan piring senantiasa memecah keheningan makan malam bersama di rumah keluarga Adee.

Suasana yang tiba-tiba hening setelah biasanya tidak pernah hening, mampu membuat rambut-rambut tengkuk Keira berdiri.

"Kei," Suara berat yang terdengar mengintimidasi, sukses membuat rambut-rambut di tengkuknya semakin tegak berdiri.

"Kenapa, Pa?" Jawabnya dengan nadanya biasa. Mencoba tak terintimidasi oleh suara berat itu.

"Apa saja yang kau beli hingga menarik uang dengan nominal banyak seperti itu?" ucap Ben menahan geram.

Uang? Banyak? - otak Keira berpikir keras untuk itu, setahunya ia tidak membelanjakan sepeserpun uang ayahnya. Hingga akhirnya ia sadar sesuatu.

Lambat-lambat ia menatap Josh dan Lisa yang menyantap makan malamnya tanpa terganggu dengan pertanyaan ayah mereka.

"Menarik apa, Pa?" Tanyanya pura-pura tak mengerti.

"Halah, enggak usah pura-pura tidak tahu! Kalau bukan kamu siapa lagi? Jelas-jelas itu kartu kamu. Apa kamu amnesia sampai-sampai lupa sudah narik uang sebanyak lima puluh juta? Boros sekali!" Aira menceramahi Keira dengan sinisnya.

Keira terperanjat kaget mendengar nominal uang itu. Nominal yang cukup besar. Uang jajannya selama satu tahun bahkan lebih.

Keira kembali menatap Josh dan Lisa yang kini juga menatapnya dengan senyum sinis dan mengancam.

"Papa tidak akan memberikan tambahan uang jajan, jika uang yang ada di kartu itu habis. Berhematlah, karena selama dua bulan kedepan kamu tidak mendapat jatah uang jajan." Ucap Ben kemudian.

Keira hanya menunduk diam tidak menjawab, ia tersenyum dalam menunduknya dan kembali melanjutkan makannya tanpa dengan selera.

"Jei, El, Mama dan Papa akan pergi berbelanja. Kalian ikut?"

"Aduh, Ma. El lupa," Lisa menepuk jidatnya. "Lisa sama Josh diundang ke acara ulang tahun teman kami yang acara jam delapan dan ini sudah jam tujuh. Kita sebenarnya pengen ikut, tapi enggak bisa. Maaf ya, Ma, Pa." Lanjut Lisa lagi yang mendapat anggukan mendukung dari Josh.

"Yah..., kan sudah lama kita enggak quality time, ya udah deh kapan-kapan aja." Aira mendengus.

"Makasi, Ma, Pa. Kita udah selesai dan sekarang mau siap-siap dulu." Lisa dan Josh menyudahi makan mereka dan mengecup sekilas pipi Aira dan Ben, dan barulah mereka kembali ke kamar.

"Em, Ma, Pa, Kei juga udah selesai, Kei ke kamar ya. Dah Mama, Papa." Lirih Keira lemah dan kembali ke kamarnya tanpa menunggu jawaban orang tuanya, mencium pipi mereka ataupun repot-repot menawarkan diri untuk diajak belanja. Ia cukup sadar diri hanya menjadi anggota asing disini.

Keira berjalan menunduk menaiki tangga. Tak sadar ada yang mengangkat kaki menghalangi jalannya.

Bugh. Untuk yang ketiga kalinya di hari ini Keira jatuh.

"Ups. Ada yang jatuh." Lisa terpekik dramatis.

"Ini kartu atm lo. Gak banyak sih yang kita ambil, pas seperti yang Mama bilang tadi, ditambah juga beberapa lembar seratus dan lima puluh ribu itu. Ah iya, member card lo di H'Key, gue sama Lisa ambil. Lumayan dapat potongan harga dan dilayani seperti petinggi." Josh melempar kartu itu pada Keira yang masih terduduk di lantai. Sama seperti Lisa melempar dompet tadi siang.

Lisa dan Josh pun berlalu turun ke lantai satu tanpa banyak bicara dengan Keira lagi. Sedangkan Keira bangkit dan langsung berlari menaiki tangga menuju kamarnya di lantai tiga.

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya HIDDEN GENIUS EP 7 - 9
0
0
Yang Keira inginkan adalah merasakan kembali hangatnya kekeluargaan yang sudah membeku sejak usianya 9 Tahun. Jatuh bangun ia menanti kembalinya kehangatan itu.Dalam penantiannya ada Vano, dan teman-teman serta gurunya yang memberikan setitik kehangatan.Namun tetap saja, hangatnya keluarga jauh lebih hangat melebih apapun.Inilah perjalanan Keira meraih kembali hangatnya keluarga yang telah lama beku.Akankah ia berhasil? Atau ia memilih jalan seperti Vano?
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan