Mission to be Liar - Volume 7

0
0
Deskripsi

Spoiler

"Ma--maafkan saya, pak. Saya yang salah telah membagikan tangkapan layar ke grup utama. Saya memang salah. Meski Anda sudah resign, saya terus dihantui rasa bersalah hingga membuat para pegawai menghujat Anda."

Bab 13

"Adel, gimana jas hitam yang Kakak pakai ini?" Tio bertanya, meminta pendapat pada Adelia yang sedang merias di kamarnya.

Kusuma bersaudara tampak bersiap untuk ke hotel, sejam sebelum acara. Termasuk Adelia yang masih bertaut pada totalitasnya kali ini. Setidaknya dia harus terlihat sempurna di depan keluarga. Brush masih dipoles di sekitar wajah.

Tinggal bagian alis. Sembari menebalkan kedua alis, Adelia menjawab pertanyaan tentang setelan pakaian yang melekat di tubuh Tio. "Bagus, kok. Jas hitamnya cocok buat badan atletisnya Kak Tio."

Spontan Tio menjentikkan jarinya menerima pujian adik pertamanya. "Oke nih kalau gandengan ama Sasa nanti."

Tampaknya Tio sengaja membuat Adelia memanas. Namun Adelia sendiri tidak merasa demikian, sebab dia akan membawa gandengan nanti malam.

"Oh iya, Del. Gimana nih acara keluarga kita? Kamu nggak ada satu cowok gitu buat dipinjam? Setidaknya buat sehari. Kakak tuh takut kamu jadi bulan-bulanan sepupu kita. Terlebih tante Fatma. Duh, mulutnya tuh memang nggak bisa dijaga."

Adelia tahu kakak sulungnya sangat khawatir. Pernah sekali membawa pacar keduanya di acara makan malam formal tanpa pesta. Tantenya yaitu kakak dari ayahnya selalu mengomentari hal-hal kecil yang berkaitan dengan dirinya maupun pacar keduanya. Adelia cemas tante satu itu ikut datang acara malam ini atau tidak.

"Kalau memang kamu kekeuh sendirian di acara nanti, Kakak teleponin satu teman buat jadi gandengan. Dia bebas kok, mau digandeng sama siapa saja." Tanpa sungkan, Tio mengeluarkan ponselnya dari saku jasnya. "Mau Kakak teleponin?"

"Nggak, jangan!" seru Adelia mengangkat satu tangannya menahan Tio. "Aku sudah punya, kok. Barusan juga bilangnya mau."

"Siapa cowok itu?" tanya Tio penasaran seraya menaruh kedua tangannya di bagian pinggang. "Jangan bilang, dari rekan kerjamu di Oradi lagi."

"Bukan salah satu dari mereka." Adelia mendecih sebal. "Kakak ini kenapa penasaran sih? Cowoknya juga baik, kok."

Sebisa mungkin Adelia menutupi rapat-rapat identitas pria yang akan dia bawa. Setidaknya jangan sampai ada yang tahu kalau Hardi yang jadi gandengannya, secara Tio pernah satu kantor dengan Hardi. Tepatnya di FoodBeary. Biarkan Tio penasaran dulu sebelum nanti siap dipamerkan pada keluarga.

Tio menjawab pertanyaan Adelia. "Yah bukan gimana-gimana. Cowok-cowok yang kamu kenal pastinya tahu kalau kamu anak orang kaya. Founder TimeY, perusahaan besar loh. Kamu mungkin bakal dimanfaatkan sama mereka." Kekhawatiran Tio menjadi-jadi. "Kakak tuh maunya kamu cari cowok yang baik-baik gitu loh. Teman Kakak banyak tuh cowok baik, nggak bandel pula. Makanya mending percayakan sama Kakak. Mereka bisa berdandan secepatnya. Toh ini tinggal dua jam atau kurang dari itu? Mereka bisa kejar waktu."

Ponsel putih milik Adelia bergetar beberapa detik di meja rias. Adelia meraihnya, pesan dari Hardi masuk kurang dari semenit lalu.

(Adel. Kalau kamu sudah siap, bilang ya. Aku akan jemput pakai mobil. Nggak usah ke apartemen, takutnya kamu repot lagi.)

Senyum lebar Adelia terbit saat membaca pesan tersebut. Lantas tak menyadari kakaknya masih di kamar.

"Del? Ngapain senyum-senyum?" tanya Tio seraya mendekat, berusaha melirik ponsel milik adiknya. "Jangan bilang, dari pria yang kamu ajak itu nanti?"

"Ish, apaan sih, Kak?" Untung tangannya bergerak cepat menjauhkan ponselnya dari jangkauan Tio.

"Kakak cuma memperingatkan kamu, loh. Awas ya, kalau sampai dia memanfaatkan kamu," ancam Tio yang sepertinya bukan dibuat main. "Bilang sama Kakak jika terjadi hal yang tidak diinginkan. Tenang, Kakak nggak akan ngomong apa-apa pada ayah."

Di balik sifat jahilnya Tio, kakak sulung Adelia itu lebih peduli dibanding Budi. Tio yang lebih menyayangi kedua adiknya sudah cukup bagi Adelia. Respon selanjutnya adalah anggukan, alih-alih membuka mulut lagi.

"Kak Tio. Ada yang cariin tuh." Nabila memunculkan kepalanya di balik pintu. "Katanya ... si Sasa atau siapa gitu."

"Sasa?" Tio menegakkan tubuhnya semangat. "Oke, suruh dia masuk dulu. Sementara aku masih harus semprot rambutku dengan hair spray biar nggak ke mana-mana."

Tio keluar dari kamar Adelia sembari mengumpulkan kepercayaan diri.

Adelia melirik Tio dari belakang yang sedang merapikan rambutnya. Adelia hanya bisa menggelengkan kepala.

Kedua orang tuanya pergi lebih dulu ke hotel untuk meninjau acara makan malam yang ternyata juga bakal dihadiri oleh para kolega serta beberapa pegawai TimeY yang berjasa membangun perusahaan. Tentu, Adelia diminta untuk lebih totalitas. Selain penampilan juga lebih penting, gandengan.

"Kak Tio kayaknya sudah berangkat lebih dulu. Gimana dengan Kak Adel?" Nabila kembali muncul di permukaan kamarnya, bersembunyi di balik pintu.

Adelia menoleh menanggapi Nabila. "Kamu duluanlah. Kakak akan dijemput sama seseorang."

"Memang Kak Adel sudah punya gandengan? Bukannya tidak ada?" tanya Nabila kikuk.

Duh. Nggak Tio nggak Nabila, mereka nggak percaya aja aku sudah dapat gandengan lebih cepat.

"Pokoknya kamu lihat ajalah di hotel. Pergilah. Nanti ayah dan ibu menunggu kamu loh."

Nabila menurut kemudian Adelia mempercepat sesi riasannya. Untunglah ditutup dengan blush on yang menyempurnakan wajahnya. Alis sudah, bulu mata palsu sudah, gincu merah muda sudah, sekarang tinggal pasang anting berlian.

Sungguh, pantulan dirinya benar-benar seperti ratu atau putri. Apakah dengan penampilannya yang sekarang dapat memukau ayahnya, terutama Hardi?

"Semoga saja dengan ini, mereka tidak bakal mencemoohku lagi. Terutama tante Fatma." Adelia meyakinkan diri, berbicara dengan bayangannya di cermin.

***

Acara makan malam TimeY diadakan di salah satu gedung hotel bernama Eunver dengan kapasitas yang lumayan muat sampai 200 orang. Adelia sampai takjub melihat luas gedung tersebut. Bahkan lampu gantung warna emas memenuhi seluruh tempat.

"Loh, bukannya kamu bilang hanya acara makan malam biasa?" tanya Hardi yang berada di samping Adelia. Lengannya digandeng oleh wanita itu.

"Sayang sekali, melenceng dari rencana," sahut Adelia berbisik. "Ayah sekalian ngundang koleganya juga pegawai untuk menikmati makan malam."

Hardi mengangguk spontan mengedarkan pandangan seisi gedung. Di sebelah kiri dan kanan, terdapat area khusus tamu VIP di mana disediakan meja bundar besar untuk empat orang dilengkapi serbet, lilin, serta bunga tulip di tengah-tengah. Tamu biasa juga disediakan meja khusus seperti tamu VIP, hanya saja tidak mendapatkan wine dari pelayan yang bertugas. Terlebih area mereka juga terpisah.

"Makanan di sini enak-enak. Walau bukan berkonsep fine dining sih, tapi tetap suka." Adelia sungguh antusias mengambil piring yang berderet sampai ke atas. Di sebelah kiri ada tempat nasi yang bisa disalin ke piring oleh para tamu. Tentu di sebelahnya lagi, berbagai macam makanan dihidangkan. Mie goreng, bihun goreng, ayam goreng madu, sapi lada hitam, ikan gurame, serta sup ayam yang dijamin bakal menggoyang lidah para tamu.

"Setelah kita ambil makanannya, kita duduk di situ. Makan dulu, terus sambut ayah." Adelia memberikan arahan pada Hardi sekaligus menenangkan pria itu. Sesekali Adelia melirik Hardi tampak canggung dengan beberapa orang yang hadir untuk merayakan kesuksesan TimeY.

Piring Hardi sudah disalin beberapa makanan, tentu porsinya tidak terlalu banyak sebab rasa gugup masih menguasai dirinya. Begitu selesai mengambil kerupuk, lengannya ditarik begitu saja oleh Adelia kemudian duduk di area VIP.

Seketika itu juga, pelayan laki-laki tinggi berdasi kupu-kupu menyambut mereka.

"Anda ingin minuman apa, Nona Adelia?" Pelayan itu sangat sopan. Mungkin karena mengetahui Adelia adalah putri pemilik acara.

"Saya hari ini nggak mood minum wine, jadi kasih cola. Yang botol."

Hardi spontan terkesiap. "Loh, memang bisa request minuman apa aja? Bukannya cuma ada wine?"

Pelayan yang berdiri semenit lalu tertawa pelan. "Kami menyediakan minuman yang sesuai sama selera tamu. Meski mereka minta air putih pun, akan kami bawakan."

Hardi mengangguk seperti mendapatkan ilmu baru. Harap maklum dengan pengetahuannya yang kadang terbatas.

"Saya ingin jus jeruk." Hardi menyebutkan pesanannya.

"Baik. Akan kami bawakan bersamaan dengan cola milik Nona Adelia."

Pelayan barusan pergi, Hardi mulai menikmati makanannya. Demikian juga Adelia.

"Adel. Sendirian aja nih?" Tio datang di saat Adelia sedang menikmati makanannya. "Jadi, gandengannya yang lagi makan ini?"

Sempat tertawa sejenak, tiba-tiba senyum Tio luntur begitu mengetahui siapa gandengan adiknya sekarang.

"Pak ... Pak Hardi?" Tio sempat mengucek matanya lalu melototi pria tuxedo abu-abu itu. "Jadi ... Pak Hardi ini gandengan kamu?"

Adelia hanya mengangguk sebagai respon. "Memang kenapa?"

"Del. Pak Hardi ini mantan manajer Kakak!" seru Tio seolah menunjukkan penyesalannya. "Yang pernah Kakak bicarain itu. Pak Hardi."

Hardi mengerling begitu tahu mantan pegawainya juga hadir di acara itu. Fakta terbaru Tio ternyata saudara dengan Adelia.

"Tunggu, kamu kan ..." Hardi menunjuk pria jas hitam di sekitar Adelia. Matanya tidak salah. Tio, yang mengurus bagian CRM di kantornya, adalah penyebar gosip.

Tentu dari awal dia sempat tidak tahu siapa yang mengirim tangkapan layar serta memanas-manasi grup kantor dengan hasil penelusurannya. Begitu diberitahu bahwa awal dia dihujat adalah Tio, amarah Hardi meledak-ledak. Namun saat itu ditahannya sebab Tio tidak ada di kantor.

Seperti tidak menyangka saja bertemu dengan Tio yang merupakan kakak Adelia itu. Hardi mulai mendorong piringnya jauh dari hadapannya. Fokus melototi Tio yang spontan menghampirinya sembari berlutut.

"Ma--maafkan saya, pak. Saya yang salah telah membagikan tangkapan layar ke grup utama. Saya memang salah. Meski Anda sudah resign, saya terus dihantui rasa bersalah hingga membuat para pegawai menghujat Anda."

Mendengar rasa bersalah sang kakak, Adelia terkejut dengan pengakuan Tio yang mendadak. "Loh, Kak Tio ... jadi Kak Tio yang ..."

"Jangan berlagak seperti punya kesalahan besar." Suara Hardi begitu tenang. Meski di sekitar banyak pembicaraan yang saling bertabrakan di pendengaran, tetap saja Tio dapat mendengar Hardi yang berucap pelan.

"Aku tahu lebih dulu siapa yang membagikan tangkapan layar itu. Dan aku nggak pernah dendam. Aku biarin aja. Walau, aku sangat ingin marah padamu ketika kembali ke kantor."

"Tapi ... saya jadi nggak enak, pak." Pria dengan bulu tipis di dagu itu memegang punggung tangan Hardi sambil menggoyangkannya ke atas dan ke bawah. "Saya sungguh minta maaf. Melihat wajah Pak Hardi yang gelisah waktu itu, saya sempat nggak masuk kantor dengan alasan sakit selama beberapa hari. Terus pas tahu Pak Hardi mau resign dan pamitan, saya jadi masuk kantor lagi."

"Kalau aku tidak ada di kantor, apa membuatmu senang?" Hardi bertanya menatap tajam Tio.

"Eh, nggak gitu juga, kok, pak. Saya justru sedih karena kesalahan saya jadi membuat Anda pergi dari FoodBeary." Tio melepas tawanya demi memperbaiki citra buruk di depan Hardi.

"Sayang? Kok kamu di sini?" Wanita berambut ikal dengan shift dress warna merah tua berjalan menghampiri meja Adelia serta Hardi. Di mana Tio sedang berlutut di depan pria rambut belah tengah itu.

"Dia ... mantan manajer aku." Tio menjelaskan pada Sasa agar tidak salah paham.

"Tio? Adel?" panggil seorang pria paruh baya yang rapi dengan jas hitam putih. Beliau tepat berada di belakang kursi yang diduduki Adelia.

***

Bab 14

"Pak Budi?" Sasa spontan membungkuk memberi hormat pada pemilik acara.

"Jadi? Gandengan kamu yang sedang menggunakan tuxedo abu-abu ini?" Budi menunjuk pria yang sedang berdiri di sebelah Tio.

Mata Hardi bergerak meneliti pria paruh baya berkacamata itu. Hardi menebak beliau adalah ayah Adelia, terlebih beliau menanyakan dirinya sebagai pendamping Adelia di acara.

Maka, Hardi mulai maju selangkah kemudian mengulurkan tangan seraya meminta jabat tangan. Betapa elegannya Hardi begitu melakukan itu.

"Perkenalkan, saya Hardi Yudhistira. Pacarnya Adelia." Hardi dan kepercayaan diri yang patut diacungi jempol. Hardi juga memasang senyum hangat pada beliau.

Bola mata Budi bergerak dari atas ke bawah. Seperti meneliti hal-hal kecil yang menurut beliau akan menjadi pertimbangan.

"Ini pacar kelima ya?" Budi tak ragu memberikan ledekannya pada sang putri. Bukan bercanda, melainkan keseriusan dari wajah beliau.

"Ayah. Ngapain bilang gitu?" Adelia berdiri dari kursi lalu menghampiri sang ayah yang berusaha membuat malu dirinya. "Bukankah seharusnya ayah senang kalau Adel punya pacar lagi?"

"Tunggu, pacar?" Tio mendadak kebingungan, padahal dia sempat mendengar Hardi perkenalkan diri sebagai pacar namun dia melewatkannya.

Tio mengarahkan telunjuknya pada Hardi bergantian Adelia. "Jadi ... kamu dan Pak Hardi ... pacaran?"

Adelia mengangguk mantap kemudian merangkul lengan Hardi lebih erat lagi.

Sudah saatnya kamu menunjukkan taringmu, Del. Biarkan mereka bungkam dan mengagumiku.

"Adel sengaja merahasiakan ini dari Kak Tio juga ayah. Ya, sejak putus dari Egi ... Adel ketemu dengan Mas Hardi yang mana dia sahabatnya mantan Adel, si Rendra. Gimana Adel nggak jatuh cinta? Mas Hardi ini setia menjaga dan melindungi Adel."

Tio melongo mendengar pengakuan sang adik, bahkan dia tak dapat berkata-kata. "Ja--jadi ... berapa lama kalian berpacaran?"

Adelia tersenyum miring kemudian menjawab pertanyaan kakaknya. "Yah ... kira-kira baru empat bulan. Awalnya sih Mas Hardi kuanggap sahabat aja sebenarnya. Waktu awal ketemu Mas Hardi kan pas masih pacaran sama Egi. Begitu putus, langsung aja deh Mas Hardi jadi pacarku."

Eratan Adelia makin menjadi hingga terus merangkul lengan kekar Hardi. Tak ragu, kepalanya bersandar di bahu pria itu.

"Gimana, ayah? Mas Hardi cocok kan sama Adel? Secara dia jabatannya tinggi di kantor. Manajer pula. Benar nggak, sayang?"

Mendengar panggilan tersebut makin membuat Tio tercengang. Sampai harus menutup mulutnya melihat keromantisan mereka berdua.

Hardi spontan mengulum senyum lebar sambil membalas tatapan 'cinta' Adelia. "Betul dong, sayang. Aku nggak peduli kamu mau putus berapa kali, asal sama kamu, aku senang." Tangan Hardi memegang dagu Adelia seraya memberikan cubitan kecil pada hidung mancung wanita kulit putih susu tersebut.

"Wah, ada yang lagi pacaran nih," sahut seorang wanita paruh baya bersanggul, menggunakan kacamata bulat. Adelia meliriknya sekilas. Tante Fatma datang juga di acara itu.

"Berapa lama pacarannya? Tante lihat, kalian ini romantis ya." Fatma menunjuk Adelia dan Hardi bersamaan.

"Sudah masuk setengah tahun, tante," jawab Adelia dengan percaya diri.

"Wih, cepat ya move on- nya."

Adelia menganalisis wajah tantenya, apakah senyuman serta tawaan itu murni atau palsu?

' Lihatlah, Tante Fatma senang begitu tahu aku menggandeng seorang pria. Sementara ayah ... kok wajahnya masam gitu? Bukankah seharusnya ayah senang melihat putrinya pacaran lagi? '

"Tante mau ke stan zuppa soup dulu ya. Mau ikut?" Fatma menawarkan namun Adelia menolak dengan alasan masih ingin sayang-sayangan.

Fatma pergi, disusul Sasa yang katanya ingin sup buah. Tio tidak ikut, masih menyimak adik pertamanya bergandengan tangan dengan mantan manajernya sendiri.

Pria paruh baya dengan rambut sedikit beruban itu bersuara. "Hmm, ayah tidak yakin kamu bisa pacaran secepat itu. Kamu kan baru-baru ini putus dari Egi, terus apa? Kamu mendadak pacaran sama orang ini?"

Adelia mendengus pelan. Dugaannya benar, Budi tidak memercayainya. Entah ucapan atau tindakan apalagi supaya Budi sungguh membuka pandangan. Adelia berusaha untuk membuat Budi terkagum, malah sekarang ayahnya tidak terlalu yakin.

"Ayah nggak boleh bilang begitu. Adel merasa Mas Hardi ini orang yang paling tepat dibanding Egi dan Rendra." Adelia terdengar bersungguh-sungguh dalam ucapannya. "Adel yakin, setelah ini Adel tidak akan putus lagi dari Mas Hardi. Karena kenapa? Mas Hardi beda dari mantan-mantan Adel sebelumnya."

"Apa yang menjadi pembeda kalau begitu?" Budi bertanya sekali lagi dengan nada menantang. Kedua tangan ditaruh di pinggang sambil menyorot tajam sang putri.

"Mas Hardi baik dan ramah. Pokoknya Mas Hardi ini benar-benar beda. Adel yakin itu." Jawaban singkat Adelia kembali membuat ayahnya tidak percaya. Padahal Adelia masih berusaha meyakinkan Budi.

Pandangan Budi kini mulai teralih pada Hardi. Masih dengan sorotan tajam.

"Nak Hardi. Jangan bilang ... kamu didesak kan sama Adel buat pacaran?" tanya Budi dengan nada tegas. "Adelia ini sering membuat pria yang dipacarinya tidak nyaman. Terutama si Egi. Apa nak Hardi akan tahan dengan dia yang suka mengatur?"

Sejenak pandangan Adelia menurun ke bawah. Benar-benar di luar dugaan, sang ayah tak bisa membuka pikirannya dengan melihat pemandangan ini. Jika saja Adelia berpikir mendapatkan reaksi yang sama, harusnya Adelia biarkan saja dengan nekat tidak membawa gandengan manapun.

"Ayah. Masa ayah tidak percaya juga? Adel sudah sayang banget sama Mas Hardi."

"Adel. Bukannya ayah tidak percaya, tapi ini tidak masuk di akal. Belum sebulan kamu putus dari Egi. Jangan bilang, dia ini pria yang kamu sewa agar bisa dikenalkan ke ayah bukan?"

Benar-benar sial. Kenapa Budi jadi menuduhnya yang bukan-bukan?

"Tapi ayah sendiri loh yang minta Adel buat cari pacar. Kok ayah jadi curigaan begini sih?" seloroh Adelia pada akhirnya.

"Sekali lagi, bukan ayah tidak percaya. Kalau memang kamu sudah punya pacar sedari awal, harusnya kamu bilang lebih dulu ke ayah atau yang lain. Supaya ayah tidak capek-capek mengingatkan kamu. Ini kelihatan jelas kamu seperti menyewa orang untuk dijadikan gandengan."

Budi justru melenggang pergi dengan sikap yang Adelia baca adalah kekecewaan. Tentu tak lama kemudian, Budi kembali bersikap wibawa ketika menyapa teman-teman beliau yang baru datang ke acara.

Tio melihat semua itu dan spontan memegang lengan Adelia untuk menenangkan. "Kamu jangan dengerin ayah. Ayah tuh ngomong begitu karena tidak menyangka aja. Kakak juga tadi, sampai menutup mulut, kan? Yang penting, kamu sudah meyakinkan diri bahwa kamu bisa. Jika dilihat-lihat ..."

Mata Tio bergerak memandang Hardi yang masih berdiri tegap dengan tuxedo warna abu-abu. "Pak Hardi ini kelihatan bagus untukmu. Syukur, bukan pria nakal yang mempermainkan kamu."

Pria berjas hitam itu pergi meninggalkan area VIP. Tak lama setelahnya, pelayan datang membawakan jus jeruk untuk Hardi dan cola botol besar serta gelas tinggi dengan es batu. Masing-masing ditaruh di meja posisi sejajar.

Hardi dan Adelia masih berdiri dari kursinya, bahkan makanan di meja belum dihabiskan.

"Del? Kamu nggak apa-apa?" tanya Hardi memegangi kain dress di bagian lengan.

Penglihatan Hardi tidak salah. Tampak raut kekecewaan serta tangisan yang ditahan dari Adelia.

"Bukannya memuji, malah ayah kurang percaya padaku." Adelia memilin bagian bawah dress putih miliknya, seraya mengendalikan amarah yang bisa saja bakal meledak. "Percuma kita pura-pura pacaran begini di depan ayah, tapi nyatanya ayah sama saja. Harusnya dukung kek apa kek. Ayah sendiri yang minta aku begini."

"Del. Sudahlah. Yang dikatakan kakakmu itu benar. Kemungkinan, ayahmu cuma kaget. Nanti juga ayahmu akan membuka pikirannya."

Adelia tidak menanggapi, memilih duduk kembali di kursi seraya menyesap cola yang telah tertuang di gelas. Hardi juga ikut duduk sambil menghabiskan makanannya.

"Kita nggak boleh lama-lama di sini. Setelah kita menyantap makanan, ayo kita pulang," pinta Adelia dengan suara seraknya. Tampaknya wanita itu sedang menahan tangisnya.

Benar saja, Hardi tak sengaja melirik Adelia yang berulang kali mengusap air matanya di wajah. Hardi mulai paham kenapa Adelia mendesaknya untuk menjadi pacar pura-puranya. Di situ, Hardi merasa iba. Tak tega bila Adelia harus menghadapi hal yang tidak terduga. Bukankah seharusnya Budi senang melihat sang putri pacaran? Kenapa justru kurang percaya?

"Aku sudah selesai, ayo kita pulang." Adelia langsung berdiri dari kursinya. Hardi masih harus menyantap potongan ayam yang masih tersisa di piring, namun Adelia memasang tatapan tajam mendesak pria itu untuk ikut berdiri.

"Boleh kita izin ..." Hardi ingin menyalami Budi sebagai ucapan pamit, seketika Adelia menahannya kemudian mendorong tubuh Hardi keluar dari gedung hotel.

"Nggak usah pamit. Ayahku lagi bicara sama koleganya, takut mengganggu," ucap Adelia pelan lalu melepas sepatu hak tingginya begitu berada di lobby.

Hardi mencari keberadaan kunci mobil, untungnya ketemu di saku tuxedo-nya.

"Del. Mau tunggu di sini, kan? Aku ingin ambil mobil dulu ..."

Seketika ucapannya terhenti melihat Adelia yang mulai berjongkok melampiaskan kesedihan sambil menelungkupkan kepala.

Terdengar tangisan Adelia yang kencang. Segera Hardi menepuk bahu wanita sleath dress itu.

"Aku nggak paham sama jalan pikirannya ayah. Kenapa sih nggak bisa harap yang baik-baik? Ayah sendiri yang minta untuk cari pacar, kenapa bilangnya aku seperti menyewa orang? Kalau aku sudah punya pacar, apa harus pakai beri tahu dulu ke ayah?" Adelia merasa tak terima dan kurang adil terhadap tindakan ayahnya barusan. Adelia bahkan berusaha agar tampil dengan baik. Hanya tante Fatma yang mulai mendukung, padahal sebelumnya kakak Budi sering mengkritik tentang hubungan renggang.

"Sudah, Del. Aku mengerti. Setidaknya kamu sudah mencoba. Daripada tidak sama sekali. Iya kan?"

Hardi memberikan hiburannya. Itulah satu-satunya cara agar membuat Adelia tenang.

Singkat cerita, Hardi mengantar pulang Adelia ke rumah. Tanpa peduli keluarganya masih berada di gedung hotel. Adelia memilih untuk istirahat lebih cepat.

"Sialan memang," rutuk Adelia, belum juga melepas seat belt dari tubuh. "Ayah seperti tahu saja kalau kita memang pura-pura. Aku sangat kecewa pada ayah."

"Kamu mau jujur saja, biar nanti ayahmu cari solusi?" tanya Hardi yang sepertinya mendapat semburan amarah dari Adelia.

"Sudah gila kamu, Mas? Apa kita harus membuka rahasia kita ke orang lain? Ini adalah misi. Misi membohongi orang-orang. Pura-pura," tegas Adelia. "Kalau kita jujur gimana? Ayah mungkin bakal menganggap aku ini aneh. Kita harus tetap melakukan misi ini supaya pikiran ayah terbuka."

Hardi hanya menghela napas, memegangi setirnya dengan satu tangan. Harusnya dia tak menanyakan itu, memang kepalanya sedang tidak berkompromi untuk memikirkan sesuatu. Dia hanya tidak menyangka Budi seperti membaca apa yang dilakukan. Apa insting beliau begitu kuat?

"Sudahlah, Mas. Kamu pulang saja. Aku nggak bisa terus diginiin." Adelia pun melepas sabuk pengaman lalu membuka pintu mobil, sedikit menyibak gaun miliknya untuk berjalan menuju pagar rumah.

Hardi tak menyalakan mobil sebelum Adelia benar-benar masuk dalam rumah. Begitu hening, Hardi langsung menegakkan posisi kemudian memutar kunci mobil hingga lampu depan menyala.

Saat akan menginjak gas, tiba-tiba ponselnya bergetar di saku jas sebelah kiri. Segera dia membukanya, sebuah pesan masuk dari Irma.

(Ada undangan ulang tahun nih. Mau datang?)

***

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi ๐Ÿฅฐ

Selanjutnya Mission to be Liar - Volume 8
0
0
SpoilerKalau memang kamu nyaman sama Pak Hardi, bilanglah ke ayah. Jika siap menikahi Pak Hardi.Saran dari kakaknya terlalu berlebihan. Adelia bahkan belum rencana sampai di situ. Lagipula, hubungan mereka juga hanya pura-pura. Adelia hanya mengarang agar situasi berjalan kondusif.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan