
- novelette -
Saat Runa-si bridesmaid-dan Cay-si groomsman-bertemu dalam perjalanan menuju pernikahan teman mereka di Bromo, 𝘴𝘱𝘢𝘳𝘬𝘴 𝘧𝘭𝘺, 𝘧𝘭𝘺 𝘩𝘪𝘨𝘩. Tapi, dengan masa lalu rumit dan masa depan yang nggak pasti, apa mereka bisa mengatasi ketakutan untuk menerima "koneksi" yang terjalin?
± 17k words
𝘤𝘰𝘷𝘦𝘳 𝘣𝘺 𝘤𝘪𝘴𝘵𝘺𝘢𝘳𝘵 𝘰𝘯 𝘐𝘎
PART 1 | HYPNOTIZED, MESMERIZED
Runa membanting badan ke atas kursi biru di dalam kereta Argo Bromo Anggrek setelah sekuat tenaga mengangkat koper—yang beratnya ngalahin balita—sepanjang puluhan langkah lebih banyak dari perkiraan karena sempat salah masuk gerbong.
Lagian bukannya tadi mau-mau aja waktu ditawarin porter buat angkatin koper, batinnya.
Runa bukannya pelit, tapi tadi dia yakin banget kalau dia langsung masuk ke gerbong yang benar—padahal benar-benar salah kaprah. Pasalnya, dia cuma bermodalkan daya ingat yang nggak secemerlang itu, harusnya kan double check tiketnya dulu.
Setelah napasnya kembali teratur dan mulai tenang duduk bersandar di bangkunya, sekarang malah kepala Runa yang mulai terasa berat karena semalam kurang tidur. Sudah lama banget dari terakhir kali gadis itu naik kereta jarak jauh untuk liburan. Packing sambil membayangkan serunya lihat pemandangan jalur utara Jawa bikin jantungnya menderu seperti habis dicekoki kafein semalaman.
Aruna Amanilla, si sebentar lagi jadi wanita dua puluh sembilan tahun, kelakuannya masih seperti anak SMP yang besoknya mau study tour bareng teman-teman seangkatan.
Mata bulatnya mengamati sekeliling, wangi kayu cendana tercium dari pengharum ruangan otomatis yang menempel di atas pintu gerbong. Satu persatu penumpang berdatangan dan menempati kursi mereka, tapi penumpang yang nantinya duduk di sebelahnya belum kelihatan batang hidungnya. Padahal tinggal sepuluh menit lagi sebelum kereta berangkat.
Untuk beberapa orang mungkin jatuhnya masih sepuluh menitan lagi sebelum kereta berangkat.
Oh, to be that chill.
Yeah, this girl is restless, dia bahkan sekarang merasa panik untuk orang yang nanti bakal duduk di sebelahnya karena satu persatu bangku kosong di gerbong ini sudah terisi dan jam digital yang terpampang di ujung gerbong terus berubah angkanya. Untuk menggeser perhatian dari hal yang nggak bisa dia atur, Runa memutuskan untuk mengecek ponselnya. Baterainya masih tersisa lima puluh persen, lalu tangannya dengan cepat merogoh tas untuk mengambil charger, kemudian dia coba colokkan ke stop kontak yang tersedia di setiap seat. Better be safe than sorry, dia nggak mau kejadian sok tahunya terulang lagi. Tapi naas, colokan di tempatnya ternyata nggak nyala.
Ya sudah, nanti ngecasnya di gerbong restorasi saja, toh baterainya masih cukup kira-kira buat sampai sepertiga perjalanan. Lagipula dia juga nggak butuh-butuh banget terkoneksi sama orang lain untuk sekarang, apalagi terkait kerjaan, rugi dong sudah ambil cuti susah-susah.
Anyway, perkara susah cuti, bukan kantornya yang susah kasih permit cuti, tapi Runa yang susah meyakinkan diri sendiri untuk ambil cuti. She’s currently in the running towards becoming a key account manager, dan Wanda — yang membuatnya akhirnya cuti — adalah yang sedang neck to neck dengannya memperebutkan posisi itu.
Ini rahasia, tapi, She’s kinda hate Wanda.
No, hate is a strong word.
Annoyed?
Biasanya kita selalu punya seseorang yang menyebalkan tapi nggak bisa kita tinggal, kan? Wanda is that person to Runa. Nggak sesimpel karena dia saingannya aja, ya.
Pertama, menurut Runa, Wanda terlalu berisik. Semakin tua biasanya kita semakin mencari ketenangan, and you won’t find it in her. Tapi, traits ini somehow berguna untuk pekerjaannya, terbukti lebih banyak klien mereka yang lengket sama Wanda, ya karena karakternya itu. Tapi klien kan ketemunya jarang-jarang. Nggak kayak co-worker yang hampir selalu ketemu setiap hari kerja, in this case, hubungan Runa dan Wanda.
Kedua, yang kelihatannya sebal sama Wanda bukan hanya Runa aja, mungkin hampir semua anak divisinya. Menurut Runa, ini alasan yang valid untuk dia jadi nggak bisa nge-vibe sama Wanda. Nggak mungkin dong orang yang nggak menyebalkan punya haters sebanyak itu? Runa tahu hal ini bukan karena dia punya chat group terpisah yang nggak ada Wandanya, tapi karena Runa sering nggak sengaja lihat wajah orang-orang saat Wanda being a smartass in Monday meeting.
Well, she IS smart. Tapi kalau kurang nyenengin kan percuma.
Wanda dan Runa di-hire pada waktu yang sama enam tahun lalu di sebuah konsultan manajemen ternama di Jakarta. Mereka selalu ditempatkan di proyek yang sama dan berbagi supervisor yang sama, sampai akhirnya mereka yang jadi supervisor sekarang. Di tengah perjuangan mereka memperebutkan posisi manajer, Wanda malah memutuskan untuk menikah—in a destination wedding, on top of that—dan mengundangnya sebagai bridesmaid. Entah Runa harus merasa tersanjung atau curiga.
Saat bunyi peluit panjang terdengar, tiba-tiba tercium harum yang nggak biasa. Runa teringat pernah dengan syahdu mengendus-endus paper test parfum ini sepanjang keliling mal lalu berikrar bakal belikan satu buat pacarnya kelak — walaupun belum tahu kapan soalnya pacarnya belum ada tanda-tanda akan muncul.
Oh, so enticing, and complex, and nuanced, and…
“Permisi….”
…those thick eyebrows, and cute eye-smiles, and those deep, deep dimples.
“Kursi saya di dalam.”
Mas-mas wangi itu duduk di sebelah Runa.
__________

__________
“ — ak… Mbak….”
Sayup-sayup terdengar suara berat berbarengan dengan pundak Runa yang ditepuk pelan. Runa terbangun dari tidur siangnya yang nggak dia sengaja, belum berapa lama tadi gadis itu asyik scroll-scroll Twitter memantau diskursus bulanan perkara split bill. Bosan banget sebenarnya dia dengan topik itu, tapi makin kesini ternyata Runa menemukan lebih banyak insight. Walaupun dia tetap di kubu ‘sepakat dulu sebelum dikerjain supaya nggak jadi omongan jelek’.
“Maaf ya, Mbak… permisi, saya mau lewat.” Ternyata ini tujuan si mas-mas lucu.
“Eh, iya, sorry ya….” Runa menarik kaki yang sebelumnya berselonjor, padahal bisa aja mas lucu itu main melangkah tanpa perlu repot-repot banguni Runa.
Detik setelahnya, Runa sedikit menyesal kenapa nggak pakai omongan itu untuk basa-basi, Kalau terjadi percakapan sederhana dari situ kan lumayan. “Nggak apa-apa padahal Mas kalau mau ngelangkahin kaki saya. Masnya pasti dididik dengan baik dan penuh sopan santun, ya? Aduh oke banget, sih. Udah cakep, beradab pula.”
Nggak gitu. Harusnya kalimat awalnya aja.
Karena Runa kelamaan mikir, mas gantengnya sudah keburu melewatinya dan berterima kasih dengan senyum manis, lelaki itu berjalan ke arah belakang dengan membawa handphone dan charger. Oh, pasti dia mau ngecas tapi karena stop kontak sini nggak nyala, akhirnya pindah ke gerbong restorasi.
Runa jadi latah dan ikut mengecek handphonenya. Aman, baterai masih cukup untuk doomscrolling dua sampai tiga jam lagi. Tapi ada hal lain yang menggeser perhatian Runa, ada email baru yang belum terbaca. Baru aja telunjuk Runa mau tap layar untuk buka, ada telepon masuk dari Wanda.
“Got my email, Run?” Belum juga Runa say hallo, suara ceria Wanda dari seberang sana tiba-tiba menyambar.
“Sabar, baru juga mau buka.”
“Buka dulu, Arunahhh!”
“Tipikal Indon deh, abis email mesti chat. Padahal nanti juga dibales.” Runa sewot.
“Iiihhh… I need to make sure lo baca, soalnya ini penting,” sahut Wanda manja. “Runa jangan marah-marah, dong! Nanti cantiknya kurang.”
“Oke, gue baca dulu, nanti gue kabarin.”
“Alrighty! Ditunggu, yah! Annyeongs!” Telepon lalu ditutup lagi-lagi sebelum Runa say bye-bye. Gadis itu hanya bisa menggeleng pelan lalu membuka email dari Wanda.
From : Wandarani Soediro <[email protected]>
To : Aruna Amanilla <[email protected]>;Chairil Baladraf <[email protected]>; + 4 others
Subject : Wedding Rundown & Hotel Room Assignments
Hi Everyone,
The big day is finally here! We can’t believe it’s D-2! Here’s everything you need to know to make sure everything runs smoothly.
D-1 Wedding Schedule:
2:00 PM – Check-in @ Plataran Bromo
4:00 PM – Tea Time @ Kinandari Resto (optional, but if you want to join, it’d be great to see you!)
7:00 PM – Rehearsal Dinner @ Syailendra Resto
Wedding Day Schedule:
6:30 AM – Grab some snacks @ bar to last you until brunch time!
7:30 AM – Bridesmaids and groomsmen meet in the bridal suite for final preparations (+photos!!)
9:00 AM – Ceremony starts
10:30 PM – Reception followed by brunch and dancing
Hotel Room Assignments:
Bridesmaids: Attic 311 - sorry for making you girls share a room at ur 1st meeting ;)
Groomsmen: Attic 310 - you guys know each other duh!
Please let me know if there are any issues with the room assignments (pls no). We can’t wait to see all of you tomorrow! Thank you so much for being part of this moment. Let’s make it unforgettable!
Love,
Wanda & Aldrin
Oh, kirain email apaan! Emang lebay ini si Wanda, deh. Runa mendesah, membanting pelan handphone ke sela-sela kiri kursinya. Gadis itu kembali meluruskan kaki lalu menoleh ke bangku sebelahnya. Pede banget ini orang ninggalin tablet di sini, yakin banget nggak bakal gue colong?
Nggak bakal juga, sih. Runa bukan maling tablet.
Perjalanan kereta ini sudah lebih dari dua jam, artinya sebentar lagi sudah mau sampai Cirebon. Padahal rencana awal Runa ambil kereta pagi selain karena waktu tempuhnya lebih singkat, juga karena pemandangannya. Sayang banget kalau cuma dipakai tidur.
Nggak berapa lama, terdengar bunyi notifikasi dari tablet si mas wangi yang masih dengan pasrah tergeletak di bangku kosong itu. Runa mendapatkan sebuah godaan besar untuk mengintip, dia ingin tahu tab orang ganteng isinya seperti apa, apa ada bedanya dengan warga lain? Tapi niat itu langsung urung karena si masnya aja tadi sudah sangat beradab sikapnya pada Runa, masa dia bisa-bisanya membalas dengan tindakan lancang?
Tapi Runa sangat, sangat penasaran. Matanya melirik ke kiri, berusaha membaca dari jauh notifikasi yang terlihat dari layar yang masih terang.
Nengok aja, deh, nengok. Jangan pencet apa-apa tapi, Run.
Kalah dengan hasrat keponya, Runa menggeser duduknya lebih ke kiri lalu menundukkan kepalanya supaya bisa lihat layar tablet dengan lebih jelas tanpa perlu menyentuh benda itu. Ternyata, subject yang terpampang di notifikasi emailnya sama dengan notifikasi email yang barusan Runa terima.
Belum sempat bertindak dramatis karena kaget, telepon dari Wanda kembali masuk ke ponsel Runa.
“Udah, kan? Udah clear ya, Run?” tanyanya nggak sabar.
“Iya, thanks infonya.”
“Lo hari ini udah start cuti, ya? Gue dapet auto-reply lo tadi pas bales report Mas Gana. Tapi kok Senin udah masuk aja? Kan gue booked kamar buat lo checkout Senin loh. Kan bisa leyeh-leyeh dulu sampai siang di hotel, terus jalan-jalan sebentar di Surabaya, terus ambil flight malam ke Jakarta.” Ada nada kecewa di suara Wanda.
“Nggak, deh. Sampai Minggu aja cukup. Nanti gue balik, lo tahu-tahu udah jadi manager,” canda Runa.
Wanda tertawa kecut, “Anda ini! Terus sekarang lo istirahat di rumah?”
“Iya,” bohong Runa, dia malas kalau harus menjelaskan kenapa dia berangkat lebih awal naik kereta, pasti nanti Wanda akan repot lagi buat Runa, entah perkara hotel atau apa. Runa nggak mau terlalu banyak hutang budi, apalagi dia tahu kalau akan susah balasnya.
“I see… Ya udin, see you besok!”
“Eh, Nda!” potong Runa sebelum Wanda menutup teleponnya.
“Yeppp?”
“Lo kenal sama semua groomsmen-nya laki lo?”
“Kenal dong, tapi nggak sama semuanya akrab, sih. Kenapa, Run?”
“Err… nevermind.”
__________
PART 2 | MEET ME HALFWAY
__________
Belum sempat si mas–creed–aventus–yang–kemungkinan–besar–searah–dengannya itu minta izin lewat untuk kembali ke bangkunya, Runa sudah keburu menggeser kedua kakinya ke arah aisle untuk memberi jalan, pria itu mengangguk singkat lalu tersenyum menunjukkan lesung pipinya. Hoodie hitam yang tadi dia tenteng, sekarang sudah dipakai berikut penutup kepalanya.
Tanya nggak, ya?
Tanya nggak, sih, harusnya?
Runa nggak perlu menoleh ke kiri buat tahu apa yang laki-laki itu kerjakan sekarang, sudut matanya cukup jelas menangkap gerakan tangan si mas lucu yang sibuk meletakkan earbuds ke kotaknya, lalu ke dalam ransel yang dia letakkan dekat kakinya.
Oke, dia nggak rencana tutup kuping, berarti dia nggak masalah kalau diganggu, pikir Runa.
Tanya sekarang kali, ya?
Runa menoleh ke jendela di sebelah kiri, modusnya mau lihat pemandangan, padahal cari kesempatan buat buka omongan. Lelaki itu sedang fokus memandangi warna hijau segar yang terhampar di luar jendela. Dari awal bertemu, settingan wajahnya selalu terlihat ramah. Ya jelas aja, kan bolak-balik urusan Runa dengannya cuma perkara minta lewat. Tapi kalau lagi diam begini, bapak yang bersangkutan kelihatan judes banget. Apa karena alisnya yang hitam legam dan tebal kayak Angry Bird itu?
Nggak, deh. Runa nggak jadi nanya. Takut.
Runa pikir, sebenarnya nggak masalah jalan sendiri ke Bromo. Kan, dari awal emang begitu rencananya. Lagian all set, itinerary lengkap, tinggal jalan.
Perempuan itu kembali sok sibuk dengan handphonenya. Mencoba mencari aplikasi apa yang bisa dia buka untuk membunuh rasa bosan sekaligus rasa kepo kepada manusia tampan yang duduk di sebelah kirinya. Namun nggak disangka pergelangan tangan Runa tiba-tiba letoi, membuat handphonenya terpental ke sandaran tangan dan terjun bebas ke atas paha si masnya.
"Eh, sorry banget, sorry, sorry!" ujar Runa panik.
"Aman, aman...." Disodorkannya handphone Runa kembali.
"Tahu-tahu lemes tadi tangannya."
"Nggak apa-apa, santai...." Lesung pipinya muncul lagi. Mereka lalu sama-sama terdiam karena cacu. Pandangannya kembali ke jendela, pandangan Runa kembali ke gadget.
Kenapa, sih, Run? Padahal tinggal nanya aja.
"Err... Mas?"
Bagus, Run!
Lelaki itu menoleh, "kenapa, Mbak?"
"Lagi mau ke acaranya Wanda–Aldrin, bukan?"
"Eh?" dia menarik badannya sedikit menjauh dari Runa, kedua tangannya dilipat di depan dada. Wajar, pikir Runa, siapa juga yang nggak kaget ditodong pertanyaan begini sama orang asing.
Suara dengung kereta mengisi suasana canggung. Akhirnya, Runa mengumpulkan keberanian untuk memecah keheningan. Dia menoleh ke arah pria di sebelahnya, berusaha terlihat santai.
"Tadi pas tabletnya ketinggalan, ada email yang sama kayak email yang saya terima. Tapi serius nggak saya buka, nggak sengaja kelihatan tadi soalnya tabletnya ngehadap ke atas." Lah, Runa nggak jadi santai, malah jadi panik. "Beneran, loh, Mas!"
"Iya, iya, percaya." Si masnya menahan tawa. "Email masalah booking-an kamar, kan?"
Runa mengangguk. "Saya Aruna, err... Runa aja deh. Bridesmaidnya Wanda."
"Cay." kedua tangan bertemu dan saling menggenggam singkat. Kontak mata terpanjang mereka membuat Runa sadar kalau pria di depannya punya bola mata yang nyaris hitam legam.
"As in Chai tea?"
"Ce–A–Ye," ejanya.
"Well that's cute."
"Gue?"
"Bukan, nama lo. Nama lo yang lucu. Unik." Runa buru-buru meralat.
"Kirain." Not even a slight giggle, Cay nggak bercanda waktu mengira Runa bilang dia cute. A very hard opponent, Runa noticed.
"Kok udah jalan aja? Rangkaian acaranya, kan, masih besok," tanya Runa.
"Nah, elo?" Cay malah tanya balik.
"Mau jalan duluan aja, pertama kali ke Bromo soalnya."
"Serius mau main di Bromo sendirian?" Mata Cay yang besar membulat.
"Emangnya nggak solo travel friendly, ya?" Mata Runa yang juga besar ikut membulat. Mereka berdua kelihatan kayak dua tupai yang kebingungan.
"I would say so."
"Menuju ke Bromonya atau pas di sana?" Runa mulai panik.
"Menujunya malah nggak apa-apa, kan duduk rapi aja di kendaraan. Tapi pas di areanya kalau sendiri kayak kurang aja gitu. Emang nggak apa-apa nanjak sendiri? Naik Jeep sendiri?"
"Nggak apa-apa, nggak, sih?" Iya, Runa panik betulan sekarang.
Cay mengangkat kedua bahunya. "Kalau baru pertama kali, gue nggak akan pilih berwisata sendiri ke Bromo, sih."
"Berwisata nggak, tuh?" ledek Runa. Tetap sok asik walaupun panik. Jarinya bermain-main gugup dengan ujung bajunya.
"Lho iya, kan?" Cay menoleh, dahinya sedikit berkerut bingung.
"Nah, lo mau ngapain ini? Kan sama aja kayak gue, lo dibutuhinnya baru Sabtu sore," tanyanya lagi. Matanya menatap Cay penasaran, menyadari bahwa dari tadi cowok itu belum menjawab pertanyaannya.
Cay tersenyum tipis, matanya berbinar. "Gue mau lihat sunrise."
"Lah itu nanjak sendiri!" protes Runa. Gimana, sih? Ganteng-ganteng aneh.
"Kan bukan pertama kali, argumen gue tadi akan valid untuk traveler yang pertama kali aja."
"Apa coba bedanya?"
"Beda dong, kalau gue udah tahu medan," jawabnya tengil diikuti senyum miring.
Runa mendengus, matanya memutar jengkel. Nggak usah ngajak bareng apa, ya? Nyolot anaknya, daripada nambah-nambahin musuh nanti.
Keheningan singkat mengisi ruang di antara mereka. Cay mengubah posisi duduknya, kini bersandar membelakangi jendela. Tatapannya fokus ke Runa, terlihat sepenuhnya tertarik. "Berarti lo temen apanya Wanda?" tanyanya, suaranya terdengar penasaran dan menunggu jawaban Runa.
"Coworker." Runa menjawab dengan nada datar, matanya mengamati reaksi Cay.
"Ouch!"
"Why ouch?"
Cay menghela napas dramatis, "Jauh-jauh diundang private destination wedding di luar kota, free accomodation, dibikinin seragam, tapi statusnya dianggep coworker?"
"Oke, officemate?" Runa mencoba memperbaiki, alisnya terangkat penuh harap.
Cay menggeleng pelan, matanya menyipit. "Tetep jahat."
Runa mengangkat bahunya, ekspresinya campuran antara geli dan pasrah. "Ya, gimana dong? Gue emang statusnya begitu sama Wanda."
"Tapi lo di kantor ada temen deket lain?"
Runa berpikir sejenak. "Nggak, sih."
"Persepsi lo berarti masalahnya."
Mataku membelalak. "Nggak, ya!"
Cay tertawa kecil, suaranya rendah dan dalam. "Ya, nggak apa-apa juga kalau nggak ngerasa sekarang. Ada kok, orang yang mesti dikasih tahu dulu baru sadar, kehilangan dulu baru sadar."
"Idih, nyebelin."
"Aldrin sama Wanda, dua-duanya temen kuliah gue," infonya, bahkan sebelum ekspresi dongkol Runa menghilang. Runa kan nggak nanya, tapi ya sudah dia mengangguk aja.
"Lebih ke satu circle, sih," lanjutnya.
"Jadi, Wanda nikah sama sahabatnya?" tanya Runa. Pria itu mengangguk.
"Satu best man lagi juga satu circle sama kita. Belum lama nikah, jadi tinggal gue yang single," dia tertawa. TMI, sih, but looks like Runa appreciates the info.
"Do you wanna get married?" tanya Runa.
Cay tersentak, Runa juga ikut kaget.
"No, no, that's not a proposal, maksud gue — " Runa mengibas kedua tangannya cepat-cepat.
"That's bold. It's only our first meeting," goda Cay, terhibur dengan kepanikan Runa.
"No, no, you know that's not what I meant!" kedua tangannya belum berhenti melambai-lambai seperti penjaga wahana di taman hiburan.
Cay pasti paham maksud Runa yang sebenarnya. Paham... kan... kira-kira? Tapi kenapa dia mesam-mesem begitu, sih?
"Kalau orang Arab itu biasanya udah ada jodohnya nggak, sih?" tanya Runa dengan niat mengalihkan pembicaraan.
"Semua manusia juga udah ada jodohnya, tinggal ketemunya aja di dunia apa di akhirat." Cay mengangkat kedua bahunya lalu tertawa kecil.
"Baik Pak Ustad." Runa menghela napas, nyerah. "Tapi lo beneran keturunan Arab, kan?"
"Bokap gue iya, gue separo."
"Berarti Irwansyah dari sisi nyokap lo?"
"Hah?" Cay melongo. Runa pun ikut melongo walaupun menurutnya nggak ada yang salah dari pertanyaannya. Lihat aja bentuknya! Mungkin tujuh dari sepuluh orang berpikir hal yang sama.
"Gue yakin, gue bukan yang pertama pasti bilang lo mirip Irwansyah."
"Betul, tapi you have a different way to say that." Cay akhirnya tertawa lepas, suara tawanya renyah dan agak melengking di akhir. Mata besarnya ikut menyipit, dan Runa juga baru sadar ternyata Cay punya gummy smile yang menawan.
Aduh, orang ini memang ganteng, coba kalau nggak nyebelin.
Sepertinya perjalanan ini nggak akan terlalu membosankan.
__________

__________
"Makan apa tadi akhirnya?" tanya Cay begitu Runa kembali duduk rapi di kursinya.
"Bakmi Godog." Runa tersenyum lebar. "Rasanya ngingetin gue sama bakmi yang pernah gue makan di Jogja. Ibunya masak masih pakai arang, ngipasnya lama banget lagi, tapi ikhlas nunggunya soalnya enak beneran."
"Seenak banget itu?"
"Nggak seenak banget itu, sih." Runa berpikir sebentar. "Satu peringkat di bawahnya, deh."
Cay mengangguk lalu menekan tombol sleep di tabletnya. Tadinya Runa mau melanjutkan drama korea yang tadi jadi temannya makan, tapi melihat Cay matikan tablet begitu, Runa jadi nggak enak kalau nggak ajak dia ngobrol.
Eh, dia matiin tablet karena mau ajak gue ngobrol, kan?
"Si Wanda kuliah di Semarang, berarti lo juga, dong?" Jelek banget, sih, pertanyaannya, Run! Jelas-jelas dia udah bilang kalau mereka satu kampus. Kenapa nggak biarin dia aja sih yang buka omongan? Hrr....
"Iya, pas S1."
"Tapi lo orang Jakarta?"
"Condet born and raised."
"You don't smell like you're from Condet."
"Gue lihat-lihat lo anaknya suka stereotyping ya, Run," ujarnya tertawa. Dan cara tertawanya yang melengking di akhir itu makin kesini kedengaran makin nyebelin.
Ya lucu sih tapi orangnya. Curang!
"Eh, bukan... maksudnya — "
"Kalau dari Condet harusnya bau Malaikat Subuh, ya?" ledeknya makin menjadi.
"Ih, bukan gitu Cay...," Mulutmu–harimaumu bener ini, mah! "Ya udah, nggak usah ditanggepin. Gue tidur, ya, bye!"
"Kok hobi kabur dari masalah?"
Hobi katanya??? "Kok nyerang personal?"
"Kalau nyerang ras boleh emangnya?"
"Cay, gue tahu kata-kata gue memang terlalu gegabah, tidak terkontrol, dan membuat lo kecewa — "
"Apaan, sih, Run. Lebay!" Pria itu tertawa, cukup keras sampai penumpang di depan kami menoleh dan membuat Cay buru-buru memberi gestur minta maaf lalu mengunci bibirnya.
"Lo, sih!" tudingnya.
"Ih!" Runa merengut lalu buang muka.
Tapi memang harusnya Runa nggak ngomong gitu, sih, tadi. Kalau Runa ngomongnya nggak sama Cay, bisa aja tanggapannya nggak akan se-chill dia. Kenapa skill bersosialisasi secara normalnya jadi merosot begini, deh? Kayaknya Runa memang nggak bakat berteman, bisanya jualan aja.
"Run...," panggilnya.
"Apa?!"
"Ih, judes," desisnya.
Runa menghela napas lalu duduk menghadapnya, "ada apa, Cay?"
"Udah tahu ke Bromo mau naik apa?"
"Antara bus atau travel, sih. Yang mana yang lebih cepet berangkat aja."
"Nginep langsung di Plataran?"
"Nggak, lah! Mahal!" cibir Runa.
"Terus?"
"Ada hotel jaraknya nggak sampai dua kilo dari Plataran, tapi harga setengahnya. Bintang empat."
"Bagus, dong?"
"Gue udah riset, yang lokasinya nggak jauh rata-rata penginapan ngeri gitu—again, sebelum gue salah ngomong, di fotonya ngeri walaupun gue nggak tau aslinya gimana. Padahal harganya lumayan banget bisa hemat jauh," jelas Runa. "Lo nginep di mana?"
"Belum ada, sih, tadinya rencana go-show aja di salah satu penginapan yang kata lo ngeri, soalnya dulu gitu."
"Tapi ngeri beneran?"
"Semua tergantung mindset."
"Sebel."
"Tapi kalau ada hotel oke yang harganya setengah Plataran, menarik, sih."
"Ya udah, bareng aja ke sananya," sahut Runa. Kesebut juga akhirnya niatan yang sudah dipendam dan dimarinasi selama beberapa jam. Semoga lidah tak bertulangnya nggak menjerumuskan Runa ke keadaan yang penuh nestapa.
Tak disangka, ajakan Runa membuat Cay terlihat bersemangat, "gue sewa mobil lepas kunci, tapi. Lo nggak apa-apa, kan, kalau perjalanan ke sana berdua aja?"
"Nggak apa-apa, asal jangan nanti sampai hotel lo minta nebeng kamar gue aja."
"Itu lo yang ngarep kali, Run?" Ujung kiri bibirnya terangkat. Kenapa, sih, sering banget senyum separo gitu? Pasti dia nama aslinya Cay Malfoy.
"You wish!"
Kali ini kedua ujung bibirnya yang terangkat sampai gummy-smile dan lesung pipinya muncul.
So, Cay, how does it feel to be God's favorite?!
"Kita perlu tukeran nomor nggak, sih?" tanya Runa sambil berdeham, berusaha menyingkirkan pikiran-pikiran yang kurang berguna. "Nggak perlu kali, ya?"
"Lo emang lagi nggak mau punya tambahan acquaintance? Atau ada sesuatu yang bikin lo nggak mau urusan sama laki-laki baru?" tanya Cay setengah berbisik.
"I don't know. A bit of both, maybe?"
"And why is it?" Cay makin penasaran.
"Kenapa gue harus cerita sama lo?"
"Because we're strangers, cerita akan jadi cerita aja, nggak akan lanjut jadi masalah yang perlu ditanggung bersama."
Ouch!
Inikah perasaan Wanda kalau tahu Runa menganggapnya sebagai coworker semata? They're indeed strangers, Runa and Cay, tapi kok rasanya kalau di perjelas begini jadi agak menyakitkan.
Lah, emang harusnya apa?
__________
PART 3 | FAMILIAR STRANGER
Setibanya di hotel, lelah mulai terasa di sekujur tubuh Runa. Sebelas jam lebih perjalanan dengan kereta lanjut mobil dari Jakarta ke Bromo lumayan menguras tenaganya, walaupun sepanjang perjalanan jobdesknya hanya jadi passenger princess. Apalagi malam sebelumnya dia nggak cukup tidur, dan sepanjang perjalanan juga nggak berusaha memejamkan mata karena ogah rugi.
Runa membuka jaketnya dan duduk di pinggir kasur, selonjoran tanpa niat untuk segera beres-beres. Matanya sudah setengah tertutup, tapi tangannya masih sibuk memegang ponsel, mengabari ibunya di rumah via chat.
Tadi setibanya di stasiun, Cay memimpin perjalanan mereka dengan selalu berjalan lebih dulu di depan karena sudah lebih familiar dengan situasi sekitar. Pria itu pun sering menoleh ke arah Runa untuk memastikan gadis itu mengikutinya. Runa, di sisi lain, malah seperti turis yang kebingungan.
Dan saat perutnya terasa keroncongan, seakan bisa membaca pikiran Runa, Cay juga langsung mengajak Runa makan. Nggak pakai bingung, nggak pakai drama, langsung tunjuk tempat makannya. One of the thing that Runa appreciates the most, soalnya gadis itu cenderung nggak bisa mikir kalau sedang lapar.
Setelah mobil yang mereka tumpangi berhasil melewati jalanan sekitar stasiun yang cukup semrawut, Cay melipir di depan sebuah warung kecil di pinggir jalan. Aroma kuah rawon yang gurih langsung menyergap hidung Runa begitu mereka duduk, gadis itu menoleh ke Cay sambil memberikan cengiran lebar seakan memberi approval, padahal dicoba saja belum rawonnya.
Cay memesan dengan lancar—a la customer langganan. Entah kenapa Runa merasa lebih kalem setelah memutuskan untuk join trip dengan si beautiful stranger ini. Mungkin karena bawaan Cay yang tenang dan jauh dari kata ribet, semuanya jadi terlihat mudah, paling nggak dalam beberapa jam belakangan.
Sekarang Runa sebenarnya sudah sangat mengantuk, tapi bukannya cepat-cepat bersiap untuk istirahat, posisi badannya malah makin melorot sampai tengkurap, membiarkan rasa lelah menghampiri perlahan. Kaki dan separuh badannya menggantung karena posisinya betul-betul di pinggir kasur.
Saat kesadaran perlahan mulai hilang, ponselnya tiba-tiba berbunyi. Nama Wanda muncul di layar. Runa berkedip cepat dengan niat membuat matanya lebih terbuka.
"BETE IH ARUNA!" suara Wanda langsung terdengar begitu Runa menjawab telepon. "Kok boong sama gue sih? Bilangnya istirahat di rumah, nggak taunya udah sampe Bromo! Lupa ya kita mutual di IG?" lanjutnya.
"Posesif, lu!" Runa tertawa kecil, dustanya terbongkar sudah.
"Ya kalau lo ngomong kan kamarnya gue majuin, Ruuun!"
"Nah, ini makanya gue nggak ngomong, biar lo nggak repot mikirin gue. Lagian nggak lucu dong gue check-in duluan dari lo, yang punya acara aja belum check-in," jelas Runa.
"Beberapa saudara juga udah di sana tau, Run. Kan sekalian...."
"Ya udah kapan-kapan dah, ya!"
"Lo doain gue married lebih dari sekali?" Suara Wanda melengking.
"Nggak ada yang ngomong gitu, ya!" Runa tertawa sambil menguap, akhirnya malah jadi batuk-batuk karena combo gerakan aneh yang terjadi barusan.
"Nginep dimana jadinya malam ini?" tanya Wanda lagi.
"Ada... Nggak jauh dari Plataran, kok. Aman." Lagi-lagi Runa menguap.
"Oke deh, see you besok ya! Istirahat yang cukup ya, Runa...," ujar Wanda ditutup dengan suara kecup jauh.
Setelah telepon ditutup, Runa akhirnya menyerah pada rasa kantuk yang sudah menumpuk.
Sebentar aja...
Lima belas menit aja...
Masih dengan kondisi sebelumnya yang belum ganti baju dan bersih-bersih, kepalanya terjatuh di atas kasur, begitu juga handphone yang tadinya ada di genggamannya, kali ini lelah betul-betul mengambil alih.
Hampir dua jam berlalu, Runa tertidur nyenyak—lebih nyenyak dari yang dia rencanakan, sampai nggak sadar kalau ponselnya sudah berkali-kali bergetar. Satu pesan masuk dari Cay, disusul dengan pesan lainnya. Bahkan Cay sempat menelepon sekali, tapi telepon itu hanya menimbulkan getaran halus yang nggak cukup keras untuk membangunkannya.
Namun, Runa tiba-tiba terbangun karena kaget, bukan karena dering telepon, tapi karena kesadarannya sendiri—kesadaran kalau dia belum sempat bersih-bersih setelah perjalanan panjang. Matanya terbuka lebar, dan tubuhnya langsung terduduk tegak.
"Ya ampun, gue belum mandi!" gumamnya sambil cepat-cepat meraih ponsel yang sudah penuh dengan notifikasi. Ada beberapa pesan dari Cay.
| Lo ketiduran ya?
| Run, Masih idup kan?
Runa terkekeh membaca pesan dari Cay yang diiringi sebuah meme ibu-ibu yang diwawancara perihal penemuan mayat di dalam tong. Runa lalu mendapati satu panggilan nggak terjawab dari Cay. Dengan cepat, dia menelepon balik. "Eh, sorry banget gue ketiduran," kata Runa buru-buru begitu Cay menjawab telepon.
Cay tertawa kecil di seberang. "Udah gue duga. Lo udah lapar lagi belum? Kita terakhir makan jam 5, itu hitungannya belum dinner sih kalo gue."
"Laper Cay! Laper banget, gue belum makan dari SD," keluh Runa.
"Nah, bagus! Gue lihat tadi jam operasional resto atas sampai jam sebelas malam. Kalau mau keluar jujur males sih, dingin banget. Lagian kemana-mana juga jauh dari sini."
"Kenapa nggak order room service aja, sih? Mager."
"Buset, air susu dibalas air tuba. Gue daritadi nungguin elo, elah."
Runa mesam-mesem, "Iya, iya... Kasih gue waktu lima belas menit, ya. Gue belum beres-beres dari tadi. Baru nyampe, langsung pules."
"Oke, gue tunggu di atas aja ya?"
"Bentar!" Runa mengecek jam tangannya, "udah jam sepuluh lewat, loh! Nggak apa-apa nih kalau kita mepet last order?"
"Nggak apa-apa, udah, makanya buru!"
"Shapp!!"
Setelah telepon ditutup, Runa langsung melompat dari tempat tidur. Dengan cepat dia menyiapkan baju dan langsung menuju kamar mandi, sambil merutuki dirinya sendiri karena terlalu terlena dengan kasur empuk hotel. Langit sudah gelap, restoran pun pasti sudah nggak lagi ramai, tapi Runa tetap memastikan dirinya tampil rapi sebelum bertemu Cay lagi.
__________
"Saya ulangi pesanannya, ya... Satu beef teriyaki rice, satu ebi furai rice, dan dua ocha hangat. Ditunggu pesanannya kira-kira sepuluh sampai lima belas menit ya, Kak."
Runa dan Cay mengangguk ke mbak waiter yang lalu izin pamit ke dapur untuk memproses pesanan last minutes mereka. Setelah batang hidung sang pelayan nggak terlihat lagi, Runa akhirnya buka suara.
"Menurut gue, mbaknya dalam hati dongkol."
"Suudzon aja!" Cay tertawa.
"Tapi lo yakin, nih, kita nggak akan diusir begitu selesai makan?"
"Kan tadi lo dengar sendiri gue tanya, katanya nggak ada batasan waktunya kalau buat tamu yang menginap, room service juga dapurnya dari sini."
Runa kembali celingukan, memastikan keadaan sekitar yang lampunya memang dibuat sedikit temaram. Cuma ada dia dan Cay di dalam restoran ini, walaupun kalau melihat keluar sedikit, di teras restoran yang dibatasi kaca berembun tebal masih ada beberapa tamu hotel yang juga duduk-duduk sambil mengobrol. Ini orang-orang pada kuat banget dingin, deh.
Restoran ini terletak di lantai bawah hotel, nggak jauh dari lobby. Suasana dalam restoran didominasi elemen kayu dan pernak-pernik bunga sakura palsu dan lentera kertas di setiap sudutnya. Untuk kelas bintang empat, menurut Runa tampilan ini terlalu terlihat murahan dan kurang sesuai sama uang yang dikeluarkan. But worry not, besok mereka akan pindah ke tempat yang jauh lebih fancy tanpa perlu keluar uang sepeserpun.
So, it's still a win for her.
Cay kembali membetulkan posisi beanie supaya penuh menutup kupingnya. Kayaknya dia bawa yang ukurannya terlalu pas jadi naik-naik terus. Atau jangan-jangan kepalanya membesar dari waktu dia beli? Bodo amat, deh, Run.
"Cay?"
"Hmm?"
"Jujur gue masih susah percaya kalau lo ternyata dosen—dan lagi PhD juga on top of that."
"Yah, Run! Ketebak malahan kalau orang lagi PhD itu karena mau ngedosen atau malah sambil ngedosen."
"Nah, ngedosennya itu yang agak unbelievable."
Lagi-lagi Cay tertawa, "masih part-time dosen. Lagian di mata lo, harusnya dosen itu kayak apa, sih?"
"Gimana, ya?" seluruh bagian muka Runa sekarang berkerut. Runa menyesal karena main ngomong aja nggak pakai mikir dulu. "Gue mau jawab pertanyaan lo nih, tapi bingung mau jawab apa."
"Nggak apa-apa, nggak usah difilter." Cay duduk tegak sambil melipat tangannya. Kedua alisnya yang tebal menyatu ke tengah. "Gue nggak kelihatan kayak suka belajar, gitu? Yang lama di kampus karena nggak lulus-lulus?"
"Nggak juga, you just don't radiate a lecturer's vibe aja gitu. Bukan masalah suka atau nggak suka belajar." Runa menggeleng cepat, lalu gadis itu duduk menjauh. "Kok lo intimidatif banget, sih?"
"I am not!" Kali ini cengiran lelaki itu muncul lagi.
"Gue lihat-lihat lo itu kalau diam ada serem-seremnya tahu, Cay. Raut muka lo kayak galak gitu."
"Terus lo maunya gue nyengir terus kayak boneka Chucky?"
"Itu nggak nyengir ya, Cay!" Runa memutar bola mata. "Seru tapi ngajar?"
"Sekarang sesi tanya jawab profesi, nih, ya?"
"Tinggal jawab aja, sih." Rasanya Runa memang diam-diam nyaman sama perasaan ditindas, deh. Buktinya, udah tahu kalau akan dapat jawaban usil terus dari Cay, tapi masih aja dia nggak nolak barengan sama mas-mas ini.
Pria itu mengangguk samar sambil menggigit bawah bibirnya, bola matanya menjelajah setiap sudut ruangan. Namun, tiba-tiba, gerakan matanya itu berhenti, pupilnya membesar saat menatap Runa dan bersiap untuk menjawab.
"Seru. Gue suka proses transfer ilmunya, gue suka lihat orang paham sama apa yang gue jelasin. Walaupun perasaan itu nggak selalu ada, ya. Ada kalanya maksud gue juga nggak semudah itu nyampe di mereka, namanya juga guru pemula," ceritanya dengan mata berbinar dan ujung bibir yang terangkat sedikit.
"Tapi emang ada ribetnya, anak-anak baru gede sekarang frontal banget," lanjutnya sambil tertawa kecil.
"Frontal gimana?"
"Ya, frontal aja. Ekspresif, gitu. Nggak cewek, nggak cowok. Gampang aja ngajak gue main atau nongkrong bareng, bahkan nembak gue tanpa pakai modus-modus dulu. Kalau dulu jaman kita jadi mahasiswa, kan, ada malu-malunya kalau naksir sama dosen."
"Eh, Cay... lo tuh sadar ya kalo lo lucu?"
"Loh? Gue emang lucu, kan?"
Runa menghela napas berat, "salah ngomong gue."
Ralat saudara-saudara, Runa nggak salah ngomong, Cay memang lucu. Runa sangat paham kalau banyak yang genit sama dia. Kalau jadi muridnya, Runa mungkin juga salah satu dari anak-anak yang begitu kelas selesai langsung maju ke depan buat bertanya detail tugas atau apapun itu alasannya. Tapi mungkin Runa akan geret-geret teman sekelasnya juga, sih. Kalau sendirian juga dia nggak seberani itu.
"Tapi keren banget, sih, kalau mindset lo ngajar adalah buat mencerdaskan kehidupan bangsa. Berarti beneran mau diseriusin ngajar full-time begitu lulus S3?"
"Maunya full-time ngajar di kampus bergengsi. Tapi nggak bisa, soalnya ada kerjaan lain yang harus jadi fokus gue, dan dengan fokus di sini juga membuat gue terlihat sebagai anak berbakti di mata Aba gue." Kali ini statement-nya disusul tawa yang lumayan keras.
"Yang adalah?"
"Jaga warung."
"Gimana?" Runa memastikan lagi kalau gadis itu nggak salah dengar.
"Bokap gue ada warung masakan timur tengah."
"Apa namanya? Mau dong mampir," sahut Runa semangat sambil memposisikan jemarinya untuk siap berselancar di Google.
Namun alih-alih menyebutkan nama warung makannya, tangan kanannya menjulur sambil jarinya bergerak sembarang mengisyaratkan Runa untuk memberikan ponselnya. Runa menurut dan selang berapa detik kemudian, handphone-nya sudah kembali ke tangan dengan tampilan layar yang berbeda.
"Cay, lo mau gue pukul, nggak?" ujar Runa sambil memicingkan mata.
"Kok abusive?"
"Ini apanya yang warung, sih?" Disodorkan lagi laman itu ke Cay, laman yang berisi website sebuah restoran besar yang tempat parkirnya saja cukup untuk dipakai acara pensi SMA. Runa sempat lihat sepintas, interiornya juga terlihat mewah dan menunya juga sangat beragam.
Harusnya nggak heran, sih, melihat gaya Cay yang cukup perlente begitu, nggak mungkin kalau dia bisa hidup dengan gajinya sebagai dosen part-time aja. As if that watch alone doesn't scream money.
Wait! Is that Roger Dubuis???
"Maaf nih kalau statement gue habis ini bakalan terdengar ignorant banget, dengan 'warung' segede ini, ngapain lo masih pengin kuliah tinggi-tinggi coba?"
"Ini salah satu metode gue buat biar nggak selalu ada di rumah atau warung. Bokap micromanaging parah, asli males banget kerja under beliau, tuh. Tapi makin kesini dia makin berumur dan nggak sesegar dulu lagi, jadinya ya sebagai anak berbakti, gue harus menyesuaikan rencana jangka panjang gue yang tadinya mau seenaknya sendiri jadi, yah...."
"Lo nggak punya saudara?"
"Ada satu abang. Udah sibuk sendiri dia, punya bisnis yang dirintis sendiri dari lulus kuliah. Dan berhasil. Jadi orang tua gue nggak bisa utak-atik."
"Sedangkan lo bisa diutak-atik?"
Pria itu cuma angkat bahu sambil tersenyum tipis. "I'm fine with it, tho."
Runa jadi ikut tersenyum, "lo keren."
"Gue tahu."
Tuh, kan!
"Oh iya, on time ya besok! Jangan sampai telat, nanti mataharinya keburu terbit." Runa tiba-tiba teringat dengan rencana mereka besok.
"Bold of you assuming gue bakal telat."
"Lah, lo naik kereta aja telat, semua juga tahu nggak ada yang lebih tepat waktu daripada jadwal berangkatnya kereta."
"Lo harus tau dulu latar belakang kejadiannya. Gue nungguin kembalian, ibu-ibunya ga terima QRIS."
"Ooo...." sahut Runa malas.
"Ooo???" protes Cay nggak terima.
__________

__________
PART 4 | HERE COMES THE SUN
Alarm di ponselnya berbunyi tepat pukul 2.45 pagi, Runa terbangun dalam keadaan setengah sadar dan memanfaatkan waktu sepuluh menit untuk bersiap. Masih dengan kondisi yang diselimuti rasa kantuk, Runa meraih jaket dan syal tebal yang tergeletak di kursi lalu membombardir Cay dengan chat, nggak berapa lama, pria itu mengabari kalau dirinya sudah ada di depan kamar Runa, wajahnya terlihat segar, nggak seperti Runa yang kelihatan seakan separuh nyawanya menggantung di atas kepala.
"Nanti di jalan pas nanjak, tidur aja," ujar Cay, tangannya meraih tas Runa yang hampir jatuh karena gadis itu terlalu ribet dengan kunci kamarnya.
"Kita jeepnya joinan sama orang lain nggak, sih?"
"Nggak, kita sama driver aja. Jok belakang semua punya lo."
"Yay!" pundak Runa bergoyang semangat. Gadis itu kembali bersyukur dalam hati karena ditakdirkan ketemu Cay sebelum memulai perjalanan sok tahunya di Bromo, coba kalau dia tetap nekat menjalani semuanya tanpa persiapan yang matang dan pengalaman?
Jeep berwarna hijau tua sudah menunggu di tempat parkir nggak jauh dari lobi, mesinnya berderum pelan di bawah langit yang masih gelap. Saat Runa melangkahkan kaki keluar dari villa, udara dingin Bromo langsung menyergap, tapi rasanya justru nyaman, dingin yang nggak membuat badan jadi gemetar, seperti angin sepoi-sepoi yang menggoda kulit.
"Jalan, ya?" tanya Cay sambil menoleh ke Runa yang sudah duduk manis di kursi belakang, senyum tipis tersungging di wajahnya.
Runa hanya mengangguk, setengah menguap, Perjalanan melihat matahari terbit dimulai.
Naik jeep di Bromo adalah pengalaman yang seru dan mendebarkan sekaligus. Jalanan menuju puncak penuh dengan tanjakan curam dan tikungan tajam. Untungnya sopir jeep mereka benar-benar jagoan, setiap kali jeep berbelok tajam, Runa yang tadinya hampir ketiduran, langsung terbangun lagi, sampai akhirnya melanjutkan sesi tidur yang terputus tadi jadi mustahil buat Runa. Beberapa kali Cay menoleh ke arahnya sambil menahan tawa, disambut wajah Runa yang merengut kesal.
"Enak, kan? Kayak ditimang-timang," goda Cay.
"Ditimang kora-kora, maksud lo?"
"It'll be worth it, kok!" jawab Cay, matanya menyipit karena angin yang masuk lewat jendela jeep yang terbuka sedikit.
"I know." Runa kini duduk lebih tegap, "gue udah nggak ngantuk."
"Great."
Setelah perjalanan yang terasa singkat meski cukup lama, mereka tiba di tempat pemberhentian jeep, tepat di kaki bukit yang mengarah ke puncak penanjakan. Ada banyak rombongan wisatawan lain yang berkumpul di sana, semua dengan tujuan yang sama—melihat matahari terbit. Runa jadi lebih bersemangat sekarang.
Nggak butuh waktu terlalu lama untuk sampai di spot sunrise viewing, tepat pukul 4.40 mereka sudah sampai di sana, duduk nyaman di atas rumput berteman kopi kalengan yang tadi sempat mereka beli begitu turun dari jeep. Sunrise di Bromo sungguh memukau. Begitu matahari mulai muncul dari balik cakrawala, Runa merasa semua rasa kantuk yang kembali sempat menghampiri langsung lenyap seketika. Langit yang tadinya kelam perlahan berubah, menciptakan gradasi warna dari ungu tua, merah muda, hingga jingga keemasan.
"Bagusnya astaga... bagus, bagus, bagusss...." gumam Runa excited, tangannya merogoh kantong jaket untuk meraih handphone, pemandangan spektakuler ini harus diabadikan secepatnya.
Cay mengangguk, tersenyum melihat reaksi Runa. "Banget. Never failed. Mau berapa kalipun kesini, tetap nggak pernah nggak takjub."
Mereka diam dalam kekaguman, membiarkan matahari pagi yang hangat perlahan mengusir dinginnya pagi di Bromo.
Setelah puas menikmati keindahan matahari terbit, rasa lapar pun menyerang, mereka akhirnya berhenti di sebuah warung sederhana yang terletak di lereng bukit, nggak jauh dari tempat jeep sewaan mereka diparkir. Teh hangat dan masakan rumahan yang disajikan prasmanan pagi ini mengisi perut Cay dan Runa. Mereka duduk di bangku kayu panjang, menghadap ke hamparan padang pasir yang membentang luas. Saat itulah, di antara tegukan teh hangat dan canda ringan, Runa nggak sengaja menyebutkan nama Sashi, kakaknya.
"Sashi doyan sama nasi jagung," ujar Runa sembari tertawa kecil dan menyuap kembali nasi jagung ke mulutnya.
Cay menoleh, nggak yakin harus menanggapi apa, nama Sashi baru pertama kali muncul dari mulut Runa setelah seharian mereka kenal. "Gimana?"
"Gue punya kakak, namanya Sashi. Dari kecil suka sama nasi jagung, bolak-balik minta nyokap supaya masak pakai nasi jagung aja di rumah, tapi nyokap nggak pernah mau soalnya trauma."
"Karena?"
"Dulu pas nyokap kecil, pernah lama makan nasi jagung soalnya orang tuanya one day mendadak miskin gitu, deh. Bisnis kakek gue bangkrut." Runa tertawa lagi, "ya harusnya gue nggak ketawa sih nyeritain traumanya nyokap, tapi masalahnya mereka berdua ini kalau lagi ngotot-ngototan perkara nasi jagung tuh lucu banget."
"Kakak lo nyobain nasi jagung dimana? Kok bisa orang tuanya nggak ngenalin tapi dia tahu?"
"Makan di rumah temannya. Nyokap dulu punya stigma makan nasi jagung itu miskin karena nggak kuat beli beras biasa, Sashi ngotot kalau temannya itu orang mampu soalnya di rumahnya punya banyak Polly Pocket. Tapi sekarang nyokap nggak mikir gitu lagi sih, cuma ya tetap aja masih nggak suka lihat nasi jagung. Katanya membangkitkan kenangan buruk."
"Kakak lo pasti doyan sama nasi jagung di sini." tanggap Cay sambil mengunyah suapan nasi terakhirnya dengan nikmat.
"Pasti," jawab Runa, suaranya pelan, matanya menatap kosong ke cangkir tehnya. Cay menatapnya, bingung dengan mood Runa yang tiba-tiba berubah, tapi tetap menunggu kelanjutan cerita gadis itu tanpa menyela.
"Tapi orangnya udah nggak ada, Cay...," lanjutnya.
Sashi, kakaknya, sosok yang selama ini terus hadir dalam pikiran dan hati Runa meski sudah nggak ada. Runa nggak pernah benar-benar membicarakan ini dengan orang lain. Dia selalu menyimpannya sendiri, meresapi setiap kenangan tentang kakaknya melalui pesan-pesan yang nggak pernah terkirim. Sashi adalah saudara sekaligus teman dekat Runa. Kehilangan Sashi, buat Runa, seperti kehilangan banyak hal dalam hidupnya.
Cay tetap diam, membiarkan Runa berbicara. Dia tahu ini bukan cerita yang gampang untuk dibagi.
"Gue masih sering chat Sashi. Marah, ngeluh, laporan kejadian aneh atau lucu. Nggak make sense emang ngechat orang yang udah nggak ada, tapi rasanya gue nggak punya siapa-siapa lagi yang bisa diceritain," lanjut Runa, suaranya mulai terdengar berat. "Dia satu-satunya temen gue."
"Umur gue sama Sashi nggak jauh, jadi memang dari kecil gue sama dia ngelakuin apa-apa ya selalu bareng, she's my best friend. Gue bahkan nggak tertarik punya teman lain selain dia. Sedangkan dia beda, dia punya banyak teman, waktu pemakamannya, yang datang dan kehilangan dia banyak banget. She's everyone's sunshine. Nggak jarang malah dia ikut ngajak gue main sama dia dan temannya karena kasihan ngelihat gue yang kuper ini."
"Terus lo akhirnya jadi temenan sama temennya?" tanya Cay.
"Nggak." Runa tertawa getir. "Emang guenya yang susah, sih. Gue kayak sering merasa kalau gue nggak siap buat attached sama orang. Kayak, kalau gue nggak ngasih keuntungan buat mereka dengan berteman sama gue, gimana?"
Cay mengerutkan kening, bingung dengan ucapan Runa. "Yah, Run, kalau pertemanan yang ikhlas mah nggak ngelihat meritnya lah, Run."
"Kayak sama Wanda, nih. Dia baik banget sama gue, care, royal juga... tapi gue ngerasa gue nggak bisa sebaik dia. Gue ngerasa gue nggak bisa se-available itu emotionally ke dia, mana gue juga masih sering dongkol sama dia—kalau ini mungkin karena gue nggak terbiasa sama karakternya. Jadi ya udah, sebelum semuanya jadi terlalu dalam, gue bikin border sama dia kalau kita itu teman kerja, bukan teman, TEMAN." Runa menekan kata terakhirnya.
Cay menatapnya lebih lama, lalu berkata, "Gue nggak niat sotoy sih, tapi... gue lihat lo nggak sesusah itu buat buka hati, loh."
Runa terdiam, memikirkan kata-kata itu. Nggak susah gimana?
"Lo duduk di sini, di lereng Bromo, bareng orang yang baru lo kenal beberapa jam lalu. Kalau ini bukan buka hati, apalagi coba namanya?" lanjut Cay. "You just have to learn to acknowledge it. Terus coba belajar singkirin lah pikiran-pikiran kayak lo harus berguna buat orang lain kalau lo mau dianggap teman, nggak gitu Run... terlalu transaksional itu."
"Simplenya gini, gue dari kemarin jadi parasit buat lo di sepanjang trip ini kan, gue ngikut aja kemana-mana nggak ngasih kegunaan apa-apa buat lo. Apakah lo akan tahan temenan sama orang kayak gue kalau terus-terusan dalam keadaan yang kayak gitu? Ini kita kan belum temenan, jadi ya belum kerasa banget kali lo direpotinnya," sambar Runa.
"Kalau lo semaksa itu mau cari guna lo di sini apa, oke, gue akan kasih tahu kalau you're comfortable to be with. Jadi kalau kedepannya kita jadi teman—yang sesuai definisi lo—lo tahu kalau lo kasih nyaman buat gue. Dan gue nggak masalah juga repot, orang gue suka repot. Mungkin lo temuin hal ini di Wanda juga," jawab Cay sambil mengangkat bahunya.
Runa terdiam sambil tersenyum kecil dalam hati, sebenarnya merasa tersanjung tapi berusaha nggak terlalu percaya sama apa yang Cay katakan, another line she drew there. Dia nggak bereaksi apa-apa selain tangannya yang iseng memainkan gelang-gelang dagangan yang berjajar di meja kecil sebelahnya. Dari awal mereka duduk di sana, barang dagangan itu tergeletak begitu saja. Runa nggak bisa menahan tangannya untuk nggak menyentuh gelang-gelang itu, terutama satu gelang berwarna ungu yang terus menarik perhatiannya.
Gelang ungu itu terbuat dari tali yang disimpul dan dihiasi beberapa manik-manik kecil, sederhana, tapi teksturnya membuat tangan jail Runa nggak bisa lepas darinya. Selama obrolan dengan Cay, jarinya terus memainkan gelang itu, membolak-baliknya di antara jemari tanpa sadar.
Nggak lama kemudian, yang sepertinya punya dagangan datang mendekat, dan sebelum Runa sadar, Cay tiba-tiba berkata, "Pak, gelang yang dipegang mbak itu saya beli, ya."
Runa menoleh kaget, wajahnya sedikit memerah. "Hah? Nggak usah! Gue cuma iseng pegang-pegang."
Cay tersenyum, lalu mengedikkan bahunya santai. "Keburu nggak layak jual dari tadi lo tarik-tarik terus begitu."
Runa terkekeh, merasa sedikit malu tapi juga senang. Gadis itu memakainya tanpa protes lebih lanjut setelah Cay membayarkan sejumlah uang ke bapak pedagang. Gelang ungu itu kini melingkar di pergelangan tangan kanan, bersebelahan dengan gelang Sashi yang selalu dipakainya.
Dan saat itu, tanpa dia sadari, Runa merasakan sesuatu yang hangat menyelinap di hatinya—sesuatu yang membuatnya merasa, mungkin, hanya mungkin, dia sedang belajar untuk benar-benar membuka hati.
__________

__________
PART 5 | UNDER THE SAME SKY

Runa dan Cay baru saja tiba di Plataran Bromo, tempat di mana rangkaian acara pernikahan Wanda akan berlangsung. Udara di sekitar mereka terasa sejuk disertai dengan aroma tanah yang basah. Runa sudah turun duluan bersama barang bawaan mereka di lobi, sedangkan Cay bertugas meletakkan mobil sewaan mereka di parkir.
Sebelum ke resepsionis, Runa sempat chat sebentar dengan Wanda untuk mengabari kalau dia sudah sampai di hotel. Tepat dengan berakhirnya percakapan mereka, Cay datang setengah berlari menghampiri Runa sambil merogoh kantong celananya untuk mengambil tanda pengenal lalu menyerahkannya ke petugas front desk.
"I know this hotel is going to be fancy, tapi ngelihat dengan mata-kepala sendiri jadi benar-benar kerasa high classnya," ujar Runa, matanya menggerayangi detil-detil di bangunan hotel. Pandangan Cay ikut berkeliling ke sekitar lobi lalu menunjukkan nomor kamar ke concierge yang akan mengantar mereka.
"Anak siapa sih mereka ini?" tanya Runa.
"Anaknya orang kaya," jawab Cay sekenanya.
"Okay, thanks infonya." Kedua bola mata Runa memutar kesal. Perjalanan dari lobi menuju kamar mereka cukup jauh dan menanjak, Runa kira nggak akan ada acara hiking lagi setelah pagi tadi, tapi ternyata dia salah.
"Wanda dulu papanya wakil bupati Sidoarjo, sekarang lanjut tuh di DPR. Kalau Aldrin keluarganya punya bisnis ekspor rami gede banget," jelas Cay, tangannya menjulur ke arah Runa, menawarkan bantuan untuk naik tiga anak tangga yang sebetulnya tingginya nggak seberapa. But since he's being a gentleman, Runa nggak kuasa menolak bantuannya.
"Eh, gue nggak tau bapaknya Wanda anggota DPR."
"Gue jadi dia juga nggak akan bilang siapa-siapa, sih." Cay tertawa. Runa langsung paham dan mengangguk cepat, benar juga.
Namun nggak lama Runa tersadar akan sesuatu, "Astaga, gue baru inget lo juga kan anak sultan. Pantes temenan sama mereka!"
"B aja sih gue."
"Down to earth lo nggak pada tempatnya," ledek Runa. "Anyway, gue sekamar sama pacar adiknya Wanda dan sepupunya, dan bridesmaidnya cuma kita bertiga ini. Bridesmaid yang tugasnya hadir doang, bantu-bantu persiapan dia juga nggak. Itu anak benar-benar nggak punya temen, anjir!"
Tawa Runa membuat Cay ikutan tertawa juga.
"We're basically the same person," lanjut Runa. "At this point kalo gue salty sama dia, sama aja gue salty sama diri sendiri."
Cay masih tertawa walaupun kali ini Runa sudah nggak geli sendiri lagi sama ucapannya.
"Dih! Ketawa doang tanggapannya?" Runa sewot.
"Ya terus gimana? Gue juga nggak ada pengelakan."
"Wanda emang dari dulu nggak punya temen deket, ya?" tanya Runa, tapi nggak lama gadis itu tersadar sendiri dengan kesalahan dari pertanyaannya, "Eh, tapi lo sama lakinya kan temen deket dia."
"Kalau sama dia lebih ke satu circle soalnya satu jurusan, sering sekelompok juga," jelas Cay. "Tapi mungkin temen deket juga ya jatu—"
Belum sempat Cay menyelesaikan kalimatnya, concierge yang bertugas mengantar mereka sudah memberi tanda kalau mereka sudah sampai di depan bangunan villa yang akan mereka tempati dua hari ke depan.
Runa dan Cay kemudian menggotong barang-barang mereka dibantu oleh concierge ke kamar mereka yang letaknya ada di lantai dua. Ada dua kamar di sisi kiri dan kanan, terpisah sebuah ruang tengah dengan sofa berbentuk L dan menghadap langsung ke jendela besar yang menampilkan pegunungan.
Kamar Runa berada di sebelah kanan, modelnya attic dengan tiga ranjang berjajar rapi di atas panggung kayu. Di atas masing-masing ranjang ada bridesmaid kit yang isinya body care dan beberapa aksesoris lucu. Jendelanya juga besar, membuat banyak cahaya masuk menerangi ruangan. Oh, dan kamar mandinya... don't get her started, it's her dream bathroom! Luas, terang, dengan bathtub, dan ada tiga cermin besar untuk masing-masing penghuni kamar, the best part in this hotel so far. Runa paling malas kalau harus menghadapi drama rebutan kaca, apalagi dengan orang yang dia baru kenal.
Mumpung yang lain belum datang, Runa langsung berencana akan menghabiskan waktu berendam di bathtub dengan bath bomb yang ada di dalam bridesmaid kit dari Wanda, pas banget tubuhnya butuh relaksasi setelah perjalanan panjang kemarin yang disambung perjalanan melelahkan lainnya tadi pagi, apalagi dia juga belum cukup tidur.
Setelah meletakkan kopernya ke dalam kamar, Runa kembali ke ruang tengah untuk mencari Cay, ternyata pria itu sedang di sana menunggu kopi instannya diseduh oleh mesin di pantry.
"Gue kayaknya mau istirahat sampai nanti malam sebelum dinner," Runa berjalan mendekat ke arah Cay.
"Jadi lo nggak ikut tea time?" Cay menunjuk tumpukan kapsul kopi, mana tahu Runa juga mau, tapi Runa menggeleng.
"Nggak deh, mau tidur aja gue, daripada nanti malam sama besok tampilan gue kayak zombie."
"Ya udah, mau gue salamin nanti ke Wanda?"
"Jangan! Dia nggak tahu kalau kita bareng ke sini, nanti ribut lagi."
__________
Suasana dining hall tempat acara rehearsal dinner malam itu terasa magis, walau acara berlangsung di dalam ruangan, dekorasinya dibuat seolah sedang berada di bawah langit malam yang penuh bintang. Langit-langit hall dihiasi dengan lampu-lampu kecil berwarna keemasan yang menggantung, berkilauan seperti bintang-bintang di langit malam. Lilin-lilin dan mawar putih yang diletakkan di atas meja, di sudut ruangan, dan di pintu masuk membuat suasana semakin terasa romantis.
Runa berdiri di dekat pintu masuk, sibuk mengambil beberapa gambar untuk dia post di sosial media. Selain mengagumi dekorasi di depannya, isi kepalanya dipenuhi perkiraan biaya yang keluarga ini keluarkan untuk selera semewah ini. Apalagi dengan bunga segar yang melimpah di sana-sini, she definitely will take some later. Tapi, belum sempat rencana menjarah bunganya tersusun sempurna, dia menyadari ada hal yang aneh, lima menit lagi acara mulai namun kedua calon mempelai belum juga muncul.
Para tamu undangan sudah mulai berkumpul, sebagian tampak mulai saling berbisik. Runa melirik ke arah Cay yang berdiri nggak jauh darinya, bertukar pandang dan sama-sama mengangkat bahu, bertanya-tanya dalam hati apa yang sebenarnya terjadi.
Akhirnya gadis itu menelepon Wanda dan tersambung di deringan kedua.
"Dimana, Nda? Aman, kan? Laki lo sama lo kan, ya?"
"Aruna... gimana, nih?" sahut suara panik disertai isakan dari seberang sana.
"Apaan, Nda? Lo jangan bikin deg-degan, deh!" Runa jadi ikutan panik.
Isakan Wanda makin keras, "lo boleh kesini, nggak?"
"Gue OTW, lo dimana sekarang?"
"Nda...," panggil Runa sambil berulang kali mengetuk pintu suite yang ditempati Wanda. Di ketukan kelima, pintu akhirnya dibuka dan detik kemudian muncul Wanda dengan gaun satin biru mudanya yang mengalir lembut—membentuk lengkungan tubuh yang elegan. Rambutnya digulung rapi dengan ikatan bergelombang di belakang kepala, sementara beberapa helai rambut yang lembut jatuh anggun di sekitar wajahnya yang... berantakan.
Iya, berantakan!
Mascara dan lipstik yang sudah nggak pada tempatnya walaupun complexion-nya masih sangat rapi dan halus. Runa harus cari tahu apa merk foundation dan bedaknya. Atau jangan-jangan, tampilan ini bisa terjadi karena dia punya dasar kulit yang bagus dan sehat, ya?
Fokus, Run!
"Lo ngapain?? Astaga!" seru Runa sambil menyerobot masuk ke dalam lalu melihat sekeliling, Wanda sendirian saja di dalam. Kamarnya berantakan, banyak barang di atas kasur dan di sekitar meja rias.
"Arunaaa...." Wanda merengek lalu seenaknya aja memeluk sambil kepalanya berat terjatuh di atas pundak kanan Runa. Runa balas memeluk dan menepuk pelan punggung Wanda, menghasilkan isakan yang makin kencang, pundak rampingnya naik turun.
"Mau cerita atau butuh ditemenin aja?" tanya Runa akhirnya setelah tangisan Wanda mulai mereda. Wanda lalu melepas pelukannya dan duduk di ujung kasur, Runa juga ikutan duduk di sebelahnya.
Runa merasa aneh melihat wajah Wanda yang biasanya ceria kini penuh kesedihan. Matanya yang biasa berkilau sekarang nampak muram, seolah-olah masalah yang kini dia hadapi merampok semua kebahagiaannya.
"I ruined everything, Run! Everything!"
"Lo ngapain emangnya, Nda?"
"Gue habis ngelakuin hal bodoh, pernikahan gue terancam batal, Run!"
LHA IYA, LU ABIS NGAPAIN BUSET KEK SINETRON AJE LU DIULUR-ULUR NGOMONGNYA, batin Runa nggak sabar.
Tapi, lain di hati, lain di bibir, "ya udah, kalo udah siap cerita, cerita ya... Lo mau gue ambilin minum?"
Lagi-lagi bola mata Runa melihat sekeliling, mencari letak mini bar atau mungkin ada minuman yang tergeletak di sudut manapun ruangan ini.
Oh, itu ada!
Runa beranjak bangun namun seketika ujung gaun pendek hitamnya ditahan Wanda, "Lo mau kemana, Run? Jangan tinggalin gue!"
Lah, posesif! Runa menahan tawa.
"Ambilin minum buat lo itu di kulkas. Ada isinya, kan?"
"Ada...," sahutnya sambil melepas genggaman di ujung gaun Runa.
"Laki gue nggak ada di bawah?" tanya Wanda.
"Terakhir nggak ada, sih. Mau gue tanyain ke Cay?" Hmm... lumayan, nih, banyak soft drink. Runa ambil dua, satu untuknya dan satu untuk Wanda. Dia tutup pintu kulkas dan berbalik ke arah Wanda yang ekspresinya sekarang ganti fitur jadi terkejut.
"Lo kenal Cay? Chairil Baladraf?"
Runa baru sadar dan kaget sendiri sama kata-katanya—walaupun sudah telat juga, "gue nggak ngeh namanya Chairil. Tapi emang kenalan gara-gara perjalanan ke sini kemarin." Runa mengangkat bahu. "Jalan dari Surabaya ke sini juga barengan."
Runa pikir, dia nggak perlu cerita masalah jalan-jalan mereka di Gunung Bromo tadi pagi. Baru sebut namanya sedikit aja Wanda kayaknya udah kaget banget gitu.
"Oh, God, Aruna...." Wanda menghela napas berat. "Dia ada hubungannya sama masalah ini."
"Eh?"
"Gue sama dia ada history, tapi tunangan gue nggak tahu."
"Bukannya kalian bertiga temenan?"
"Iya, tapi ini lain." Kedua jari tengah Wanda bergerak cepat memijit pelipisnya. "Gue selalu simpan cerita ini bertahun-tahun, tapi entah kenapa, gue ngerasa harus buka semuanya sebelum besok gue dan Aldrin resmi jadi suami-istri."
"Ya, nggak apa-apa, dong? Resiko jadi pasangan, kan, harus bisa terima masa lalu masing-masing. Lagian past is just the past."
Wanda kembali terisak, "Nggak semudah itu. Gue harusnya simpan cerita itu sampai gue mati."
Runa menyodorkan botol minuman ringan ke Wanda, "emangnya lo ngomong apa sama laki lo—again, cerita kalo mau cerita aja, ya."
Wanda membanting badannya ke atas kasur sampai terlentang, matanya memejam sebelum dia berkata, "gue bilang sama dia kalo gue pernah kissing sama Cay."
Oke, masalahnya dimana? Batin Runa.
"Dua minggu setelah gue jadian sama Aldrin."
O... Ow.... Posisi duduk Runa semakin tegak. Seru, nih!
"Gue awalnya suka sama Cay, bukan sama Aldrin." Wanda kembali duduk lalu meminum sodanya banyak-banyak dan nggak lama dia terbatuk heboh. Dengan sigap, Runa ambil tisu lalu mengusap pelan punggung Wanda. Mau cerita masalah Cay aja sampai rungsing begitu.
"Dan Cay itu anaknya susah ditebak, ngambang aja. Dan dia itu tipe yang nggak pernah ngomong masalah perasaannya. Gue akhirnya capek. Pas gue nyerah, gue baru sadar kalau Aldrin ternyata udah lama ngejar gue, tapi gue terlalu fokus sama Cay sampai gue nggak sadar."
Dilemanya orang populer memang agak ngeselin gitu, ya?
"Gue terima Aldrin, tapi ngelupain Cay ternyata nggak semudah itu."
Indeed, he grows on you. Dalam hati, Runa mengakuinya.
"One day, Cay sakit. Gue jenguk ke apartemennya, bawain makanan dan obat-obatan, as a friend." Wanda menghela napas. "And then the kiss happened. Gue yang cium dia duluan, gue yang membiarkan semua itu terjadi. Gue juga nggak ngerti kenapa gue begitu, I guess the feeling still lingered? dulu."
"Ciuman aja tapi, kan? Nggak ngapa-ngapain lagi, kan?" si lidah ceroboh as per usual, Runa spontan menepuk mulutnya sendiri lalu memutuskan untuk jadi pendengar saja, nggak mau tanya apa-apa lagi sebelum makin banyak kata-kata nggak penting yang keluar dari mulutnya.
"Tetap aja, Run, dan gue yang mulai. Dan gue udah hidup bersama hal ini bertahun-tahun. Gue nggak bisa, Run."
Bener sih..., pikir Runa. Tapi kalau Cay tahu Wanda itu pacar sahabatnya, manusia dengan moral compass yang baik nggak akan dengan mudahnya meladeni ciuman Wanda, dong?
Wanda bangkit dari kasur lalu berjalan ke depan meja rias dengan cermin besar. Diletakkannya kaleng soda yang tadi dia minum dan dipandangnya cermin yang memantulkan bayangan wajahnya sambil bergumam kecil, "gue kayak setan banget ya, Run?"
Tangisnya keluar lagi, tapi kali ini tanpa isakan, ujung jarinya berkali-kali menghapus tetesan air yang terus-terusan turun dari sudut mata. How can she be this beautiful while being sad and devastated?
"Nggak, lo cantik banget, Nda." Oke, Runa akhirnya tahu kenapa moral compass Cay saat itu arah jarumnya nggak berarturan. Look at her!
"Tapi makeup lo emang harus dibetulin, sih. Mau gue yang kerjain? Tapi skill gue tujuh dari sepuluh aja, loh!" tawar Runa.
"Nggak perlu, pernikahan ini nggak akan terjadi juga. Jadi mendingan gue nggak usah turun dan ikut makan malam di bawah." Wanda tertunduk lesu.
"Itu kongklusi lo sendiri atau udah jadi kesepakatan lo dan Aldrin?"
"Aldrin langsung pergi dari sini, Run, begitu gue bilang kalau gue merasa perlu untuk bahas ini sama Cay dan dia. Gue nggak mau ada kebohongan lagi."
Isi kepala Runa langsung berisik, emang dongo aja ini anak, ya! She really needs protection from every dimension possible, deh. Aduh, Wanda..., kalau gue tahu lo ternyata anaknya begini, gue nggak akan menganggap lo annoying dan sedongkol itu sama lo. She's just genuinely clueless... about so many things! Jangan-jangan kelakuan sok paling tahunya dia selama ini murni karena memang dia mau berbagi ilmu aja, nggak ada niat biar kelihatan pinter.
"Nda, some things better left unsaid, tau. Mungkin hal ini salah satunya. Gue—akhirnya—paham dan setuju sama keputusan lo buat jujur masalah ini ke Aldrin, tapi nggak perlu juga lo minta tiga-tigaan orang ketemu bikin konferensi meja bundar buat bahas masalah ini. Lo kebayang nggak kalau akan ada possibility hal ini bikin pertemanan kalian bakal jadi nggak nyaman ke depannya?" Akhirnya kata-kata ini yang keluar dari mulut Runa.
Ponsel Runa yang tadi sempat dia letakkan di atas mini bar bergetar. Ada pesan dari Cay yang bilang kalau semua sudah lengkap berkumpul di bawah, termasuk Aldrin. Mama dan beberapa sepupu Wanda juga dari tadi berusaha hubungi Wanda tapi nggak diangkat. See, calonnya Wanda aja sudah stand by, berarti kan semua—mungkin sebagian—ketakutan Wanda cuma ada di kepalanya saja.
"Mendingan lo turun dulu, deh, Nda. Datang dulu ke acara dinner, jangan bikin orang-orang khawatir. Nanti begitu acaranya kelar, bahas lagi sama tunangan lo, lurusin semuanya, cari solusi yang bikin sama-sama enak. Ambil keputusannya bareng, jangan ambil kesimpulan sendiri. After all, lo dan Aldrin kan mau membangun rumah tangga, apa sih yang dibutuhin pasangan selain kompak dan sepakat?"
Runa mendekat ke meja rias di mana Wanda masih berdiri sambil memandang pantulan bayangannya, menekan pundak Wanda turun supaya gadis itu duduk, lalu membuka tempat tisu pembersih makeup. "Gue bantuin rapi-rapi lagi, ya?"
Wanda akhirnya lebih tenang dan berterima kasih kepada Runa karena ada dan memberi jalan keluar untuk masalahnya. Runa, sembari membantu Wanda merapikan makeupnya, untuk pertama kalinya merenungkan sejauh mana dia berani membuka diri lagi setelah kepergian Sashi. Wanda is a real friend, someone who can count on her. This realization makes her more aware of the walls she still keeps up around others.
Especially around Cay.
______
PART 6 | CUT TO THE FEELING
There's always a first time for everything.
Hari ini adalah pertama kalinya Runa berdiri di antara tamu-tamu lainnya, mengenakan gaun bridesmaid berwarna pink blush sambil nggak berhenti mengepal kedua tangannya kuat-kuat karena kedinginan. Kalau lihat telapak tangannya, sekarang tercetak beberapa bentuk bulan sabit dari kuku-kuku panjangnya.
As everybody knows, Bromo itu dingin, seyogyanya kalau datang ke tempat dingin, hal pertama yang dipikirkan manusia dengan isi kepala wajar adalah pakai barang yang bisa bantu menghangatkan badan. Tapi si gadis kurang wajar satu ini bisa-bisanya nggak kepikiran untuk cari atau beli sesuatu yang matched dengan baju bridesmaidnya supaya bisa dipakai di situasi kedinginan seperti ini.
Tadinya, Runa sudah dengan penuh percaya diri aja mau keluar pakai jaket yang ada, tapi urung karena sebelum keluar kamar, kedua roommatenya bilang,
"Kak, jaket kamu jeans, apa nggak jadi dress down?" ujar Sasa di rambut merah berlesung pipi.
"Nggak matching, sih, ya sebenarnya sama gaunnya." Kieran yang lebih blak-blakan ikut berkomentar sambil memandangnya dengan tatapan nggak setuju.
YAUDAH IYA NGGAK JADI! Aruna being Aruna, cuma bisa jawab oke aja lalu meninggalkan jaket jeansnya di atas kasur. This people pleaser stays in character. Tapi kalau tahu ujung-ujungnya menyiksa begini, Runa pikir nggak masalah kalau dia harus tampil nggak matching. Sayang penyesalan datangnya setelah acara mulai.
Untungnya semakin siang, kabut yang mengelilingi mereka semakin tipis seiring dengan naiknya matahari. Pemberkatan Wanda dan Aldrin tadi sangat syahdu dan cantik dengan latar belakang pemandangan gunung yang menjulang megah. Dekorasinya juga masih senada dengan dekorasi hall semalam, banyak mawar putih dan lilin tersebar di seluruh sudut.
Runa menatap ke arah altar, Wanda dan Aldrin masih berdiri di sana dikelilingi beberapa kerabat. Senyum lebar nggak lepas dari wajah cantik Wanda, tangan Aldrin juga terus melingkar protektif di pinggul istrinya. Looks like they solved their problem last night after dinner.
Semalam setelah acara, Runa dapat sedikit tambahan info dari point of view Cay sebagai—yang dianggap—orang ketiga. Mereka sempat ngobrol sebentar di teras vila sebelum kembali ke kamar masing-masing.
"Biar nggak panjang intronya, gue mau lurusin satu hal dulu," buka Cay. "Wanda cerita sama lo kan, tentang hubungannya masalah mereka sama gue?"
"Iya."
"Aldrin sebenarnya udah tahu dari lama, karena gue langsung ngaku habis kejadian itu. Dia pura-pura nggak tahu aja biar nggak jadi masalah antara dia sama Wanda, toh dia pikir udah berlalu juga. Dan dia tau Wanda sayang banget juga sama dia."
"Asli! Sayang banget si Wanda tuh sama lakinya, hancur banget dia semalam," sahut Runa semangat.
"Makanya... kocak lah tahu-tahu dia bahas lagi perkara lama."
"Wanda cuma mau nggak ada yg ditutup-tutupin tahu, Cay! Rumah tangga itu kan bakalan bikin masalah baru nantinya, bagus dong dia mau come clean dulu sama masalah lama mereka biar nanti kalau ada apa-apa nggak bawa-bawa yang udah lalu." Entah kenapa Runa merasa berkewajiban membela Wanda.
"Oke lah, ya udah, bagian itu kelar. Yang bikin aldrin sebel itu, kenapa Wanda harus ngide ngajak gue buat bahas ini? Gue juga males anjir! Ngapaeeen! Saking nggak maunya bawa masalah sampai geret orang lain di masalahnya. Lagian ya udah sih, udah B banget juga dari lama," ujar Cay menggebu-gebu. "Untung si Aldrin anaknya nggak dendaman, tadi sebelum dinner dia bahas ini juga nggak pake emosi ke gue."
Runa tertawa, "ya harusnya dia emosinya dulu sih, bukan sekarang."
"Tenang, dulu gue juga kena bogem dikit di sini," Cay menunjuk dagu kanannya. "Tapi kelar habis itu."
Runa tertawa lagi, "diterima tapi, kan? Nggak pakai dibales?"
"Nggak lah, gue yang salah."
"Tapi gue juga kurang suka deh sama tindakan Aldrin yang main pergi aja. Gimana orang nggak stress ditinggal begitu, mana besoknya udah mau kawin."
"Kalo dia tetep di situ, yang ada malah debatnya makin panjang, Run. Nanti bisa salah-salah ngomong juga. Udah bagus malah kata gue dia cabut," bela Cay.
"Ih, tetep sebel!" bibir Runa mengerucut kesal.
"Ya udah, sana tidur!" Cay berdiri lalu menepuk kepala Runa sebelum masuk ke dalam, villa, "stay warm, Run...."
Runa terbangun dari lamunannya saat teringat adegan terakhir bersama Cay semalam, kupingnya memerah—tapi foundationnya cukup tebal sehingga merah di wajahnya nggak ikut terlihat. Runa menggigit bibirnya grogi saat melihat Cay berjalan mendekat sambil melepas jasnya, sepagian ini Runa belum sempat ngobrol dengannya walaupun berkali-kali gadis itu sempat curi-curi pandang dari tempat duduknya.
"Hai, cewek!" sapa Cay usil.
Untung Mas Chairil ini bentukannya nggak seperti mamang-mamang genit bau Samsoe. In fact, hari ini dia super ganteng dengan tuxedo hitamnya, sorot mata yang tajam kontras dengan gummy smile yang merekah lebar. Ada tiga orang memang dengan pakaian yang sama, tapi karena THE Excalibur on his left wrist, Cay jadi terlihat paling stand out. It's indeed a fashion statement.
Nanti kalau sudah waktunya—alias sudah cukup uangnya—Runa berjanji dalam hati akan beli statement piece sekelas jam yang Cay pakai.
"Berisik." balas Runa salting.
Jasnya yang sudah dibuka dan dia tenteng, lalu dia sodorkan pada Runa tanpa bicara apa-apa.
"Mau titip?" tanya Runa bingung.
"Buat lo pakai, you look cold."
Eh? Perhatian banget? Kalau dia baik begini, kan, gue jadi kewalahan. Batin Runa.
Runa mengambil jas Cay sambil menggumam terima kasih. Saat ambil jas dari tangan pria itu, Runa sengaja sekalian pamerkan gelang hadiah kemarin yang bertengger di pergelangan tangan kanannya, tapi laki-laki itu nggak ada komentar apa-apa. Apa iya dia nggak sadar kalau Runa pakai pemberiannya? Jelas-jelas gelang ini nggak matched dengan look Runa sekarang yang lebih elegan, lihat dong usahanya untuk tetap maksain pakai. Dia bahkan nggak maksain pakai jaket jeans yang harusnya bisa jadi penyelamat hidupnya dari hipotermia, lho!
Tapi kalau lo pakai jaket, sekarang jas Cay yang wangi parfumnya exactly seperti wangi cowok idaman lo itu nggak akan dengan nyamannya bertengger di pundak lo. Be a bit grateful, you moron!
"Tapi nggak jadi gantian lo yang kedinginan, kan?" Runa memastikan lagi sebelum benar-benar memakai jasnya, kepala Cay langsung menggeleng.
Tanpa buang waktu, Runa memasukkan kedua lengan jas Cay yang kebesaran. It indeed smells like him, my most favorite smell—The perfume I mean. Tubuh Runa mendadak terasa lebih hangat seperti dalam pelukan Cay. Rasa excited kadang-kadang membuat orang jadi sedikit halu. Tanpa sadar Runa memeluk dirinya sendiri sambil menghirup dalam-dalam aroma jasnya.
Runa benar-benar nggak sadar dia melakukan itu sampai akhirnya gadis itu mendengar Cay berkata, "Kayak dipeluk gue, ya?"
Gosh, this man is annoying! Memang benar pertanyaannya, tapi bisa pura-pura bego aja, nggak?
"Gue kedinginan dari tadi, Cay. Jadi meluk diri sendiri itu kayak refleks nggak, sih?" Runa beralasan sebelum harga dirinya tercabik-cabik.
"Kirain!" Seringainya jail.
Dia bisa menebak-nebak perasaan Runa, tapi bisa nggak sadar sama hal yang benar-benar terpampang nyata di depan matanya. Runa dengan sengaja menarik bagian lengan kanan jas sampai gelangnya terlihat, lalu berlagak mengaitkan rambut ke belakang kuping.
Hey, Sir! Please look at the bracelet, lihat kan kalau gue pakai barang dari lo? Kalau lihat, bagusnya sih dikomen!
Namun mata tajamnya malah berkeliling mencari target cemilan yang mau dia santap walaupun belum waktunya. Kalau lihat rundown, habis ini agendanya masih ada acara simbolis yang Runa sendiri nggak tau bentuknya seperti apa karena keterangan di rundownnya hanya 'acara simbolis'. Kalau lihat sekeliling, sih, ada dua burung Merpati dan beberapa tembakan confetti.
"Gue mau ambil minum, you want one?" tanya Cay.
"Boleh, non-alcohol ya, gue nggak bisa minum pas perut kosong."
"Alright." Cay berjalan ke arah bar kemudian berkata sesuatu ke penjaganya, lalu lelaki itu menunggu sambil duduk di stool dengan mata yang berkeliling melihat sekitar.
Dari sini Runa bisa melihat side profilenya yang menawan, tulang hidungnya yang cukup tinggi serasi dengan bibirnya yang penuh. Poninya yang agak panjang dan biasanya menutupi separuh mata, sekarang ditata rapi ke belakang. He's such a cutie. Runa nggak bisa bilang hal lain karena wujudnya memang definisi cowok lucu yang biasa jadi crush kita di sekolah atau kampus.
Lagi-lagi Runa memeluk dirinya sendiri karena terlalu nyaman berada dalam pelukan jas Cay. Kesal sebenarnya kalau mikir masalah gelang, tapi ya sudah mau gimana lagi. Lagian Runa maunya Cay nganggap dia apa, sih? Someone potential buat jadi pacar? Runa dan Cay baru kenal bahkan belum ada seratus jam.
Selama ini Runa merasa belum ada kebutuhan untuk punya pacar, dan memang lagi nggak tertarik sama siapa-siapa juga setelah sekian lama. Terlebih lagi, setahun belakangan Runa terlalu fokus sama rasa dukanya karena kepergian Sashi yang mendadak.
Dia meninggal karena penyakit jantung. Sashi bahkan nggak pernah nunjukin tanda apa-apa perihal sakitnya, tiba-tiba saja dia sudah nggak ada. Padahal paginya sebelum berangkat ke kantor, dia bilang ke orang rumah kalau mau bawa pepes yang dia pesan ke OB kantornya untuk makan malam nanti.
It was a lot to take, Runa nggak siap.
Nggak ada yang siap.
Tapi tiga hari ini seperti angin segar untuk Runa, kenalan dengan orang baru dan langsung menghabiskan banyak waktu bersama—waktu dengan intensitas yang lumayan tinggi. Runa sepertinya mulai hanyut dan akhirnya perlahan merangkul perasaan ini, nggak terlalu denial lagi seperti sebelumnya. Runa sebenarnya sadar ini cuma akan jadi baper sesaat, begitu Runa nggak ketemu Cay lagi juga paling perasaannya ikut hilang.
Runa dari kemarin denial karena takut waktu dan perasaannya terbuang percuma. Lagipula memang dari kemarin cuma Runa, kok, yang punya kebanyakan skenario di kepala. Cay bahkan nggak melakukan apa-apa yang berarti banget sampai bisa diartikan kalau dia suka sama Runa.
Nawarin bareng? Jelas-jelas untungnya berdua karena jadi bisa berbagi biaya transport.
Ngajak lihat sunrise bareng? Ya kalau jalannya ke bromo aja udah bareng, kenapa mendaki buat lihat sunrisenya mesti pisah?
The stay warm message dan tepukan di kepalanya semalam? Ya normal aja nggak sih? Menganggap hal seperti ini adalah bentuk ketertarikan seseorang itu menunjukan kalau Runa memang sudah lama banget nggak ada di dalam suatu hubungan. And It's pathetic.
Besar kepalanya yang pathetic, bukan not being in a relationshipnya.
The grandest gesture yang Cay lakukan pada Runa, ya, cuma perkara pinjam jas karena melihat gadis itu kedinginan. Again, ini juga sebenarnya bentuk kebaikan sesama manusia aja. Akibat kebodohannya yang nggak well prepared.
Selama ini walaupun Runa anaknya fun-fun aja dengan lawan jenis, Runa bisa selalu keep things professional. Karena dia malas kalau sampai ada office fling, She doesn't shit where she eats. Tapi naas, ternyata Runa nggak pernah dapet kenalan lain juga selain dari urusan pekerjaan. Ini tentunya adalah buah dari kelakuannya yang kalau nggak lagi kerja, langsung langsung shutdown mode di rumah.
Hubungan serius terakhirnya juga pas Runa kuliah dulu, mereka putus nggak lama setelah sama-sama kerja jadi konsultan. Ketebak, dong, alasannya apa? Menanjaki karir di tempat yang fast paced seperti kantornya memang seberat itu, at least untuk Runa.
Jadi saat terjadi anomali seperti ini, kenal dengan orang baru di suasana yang baru. Runa jadi—
Pengarah acara memberi komando kepada para undangan supaya berkumpul untuk memulai acara simbolis, bertepatan dengan Cay yang sudah berjalan balik ke arah Runa sambil membawa gelas berisi mocktail berwarna kemerahan, mereka lalu berjalan di bersebelahan, bergabung dengan kerumunan.
"Awalnya, agendannya itu mau lepas balon sama Merpati," jelas Cay.
"Kenapa diganti?"
"Karena nggak environmentally friendly."
"Lepas Merpati juga kan nggak ethically correct buat burungnya."
"Coba lo lihat kaki burungnya, itu ada GPSnya." Jarinya menunjuk ke arah Merpati yang sedang diserahkan panitia ke Wanda dan Aldrin. Runa otomatis mendekat ke arah tunjukannya sembari berjinjit karena orang-orang yang berada di depan Runa rata-rata lebih tinggi darinya.
"Buat ditangkap lagi? Gimana caranya? Kita, kan, di gunung!" seru Runa, namun sedetik kemudian keseimbangannya hilang. Dengan sigap, Cay menangkap tangan Runa bersamaan dengan seluruh tamu yang mulai berhitung dari angka tiga ke angka satu, kerumunan pun semakin maju dan memadat, dan tubuh mereka semakin mendekat.
Confetti kelopak mawar putih dilepaskan ke udara bersama dengan dua Merpati putih. Semua tamu bersorak dan bertepuk tangan. Hanya Runa dan Cay yang masih bertahan di posisi sebelumnya, tangan kiri Cay menggenggam tangan kanan Runa erat.
Saat keramaian mulai mengurai dan tubuh-tubuh semakin menjauh, Cay masih berdiri sejengkal di belakang Runa, bibir mendekat ke telinga, "Besok ke Banyuwangi sama gue, mau?"
__________
PART 7 | BETWEEN THE LINES
⚠️ 𝘄𝗮𝗿𝗻𝗶𝗻𝗴: 𝗶𝗺𝗽𝗹𝗶𝗲𝗱 𝗺𝗮𝘁𝘂𝗿𝗲 𝘀𝗰𝗲𝗻𝗲
Beberapa hari belakangan, Runa kebetulan jadi anak yang nurutan, diajak kesini mau, diajak kesana ayo. Jadi bisa ditebak, ajakan Cay ke Banyuwangi langsung direspon positif. Apalagi cara Cay mengajak Runa juga manis banget, pakai bisik-bisik segala. Mereka berdua berangkat sebelum matahari terbit supaya bisa puas berkeliling spot yang mereka incar di Banyuwangi sebelum gelap.
Perkara perpanjangan hari liburan ini juga didukung penuh oleh Mama Runa. Semalam waktu Runa laporan, mamanya langsung beri approval tanpa tanya apa-apa. Mama Runa tahu anaknya sudah terlalu lama membusuk di kamar setiap hari kosong dan nggak pernah pakai cutinya setahun belakangan. She realizes her daughter needs time for herself and to heal. Yang Mama Runa nggak tahu, anaknya sekarang lagi liburan berduaan bersama laki-laki yang dia baru kenal, kalau sampai tahu... waduh.
Hari itu, Runa dan Cay menghabiskan waktu menjelajahi Hutan De Djawatan dan Taman Nasional Baluran. Selama menjelajahi kedua tempat itu, Cay selalu punya cara untuk membuat Runa tertawa, entah itu lewat komentar konyol tentang hewan-hewan yang mereka temui atau sekadar cerita-cerita absurd tentang pengalamannya. Runa could feel herself laughing more than she had in the past few months.
Makin sering bersama, Runa mulai menyadari sesuatu tentang perasaannya terhadap Cay. Gadis itu mulai menyukai Cay—mungkin bukan hanya sekadar fling, tapi lebih dalam dari itu. Namun, dalam hati, Runa juga bertanya-tanya apakah ini benar-benar perasaan suka atau hanya karena dia sedang merasa kosong.
Iya, ini pasti cuma karena gue lagi hampa aja.
Matahari baru tenggelam saat mereka kembali ke hotel, Runa sudah selesai mandi dan dengan semangat menggotong makanan mereka ke kamar Cay dari lobi. Tadi, sebelum berpisah ke kamar masing-masing untuk beberes, mereka sepakat untuk pesan makanan online saja untuk makan malam. Cay yang pesan, Runa yang ambil, lalu mereka makan di kamar Cay.
Aroma kaldu bakso yang gurih langsung memenuhi kamar Cay begitu mereka membuka bungkusnya. "Kamar lo nggak boleh bau kaldu bakso, tapi kamar gue boleh, gitu?" protes Cay.
Runa tertawa jahat, "Iya dong~"
Obrolan kembali mengalir, kali ini lebih banyak soal perjalanan mereka hari itu.
"Di Jawarwa aga new—"
"Habisin dulu baksonya itu di mulut baru ngomong, Aruna." Kepala Cay menggeleng pelan sembari ujung bibir kirinya terangkat.
"Sowi...." Setelah semua makanan di mulut Runa hancur dan tertelan, Runa melanjutkan, "di Jakarta, tuh, ada Nasi Bali yang enak juga."
"Tahu gue, yang dekat MRT Haji Nawi, kan? B, sih, kalau kata gue. Menang halal aja."
"Enak, tahu!"
"Ya selera, sih. Tapi yang tadi siang baru beneran enak banget, lebih enak dari yang di Bali gue makan waktu itu malah."
"Mungkin yang di Bali, yang lebih enak yang nggak halal...," tebak Runa asal.
"Bisa jadi."
"Nyesel lagi gue, nyokap tadi sore baru bilang kalau mesti cobain rujak soto. Telat nih, besok kan udah pulang!" rengut Runa. "Emang kalau liburan dadakan itu pasti banyak yang kelewat dan nggak kepikiran, deh."
"Gue baru dengar rujak soto." balas Cay tertarik.
"Guepun! Kalau nyokap nggak kasih tahu tadi, mungkin gue juga nggak akan tahu kalau ada makanan model begitu. Jalanan yang kita lewatin tadi juga kayaknya nggak ada yang jualan itu, ya?"
"Karena nggak nyari aja kali, makanya nggak kelihatan."
"Mungkin, ya...."
Suara Runa hampir serak karena seharian ini nggak berhenti mengoceh, yang jadi pembahasan topik dengan Cay memang nggak ada habisnya. Biasanya sifat asli orang akan muncul saat traveling bersama, tapi sejauh ini yang kelihatan masih yang seru-seru aja, mungkin karena mereka baru kenal juga.
But she can conclude that Cay is indeed a fun guy. She indeed feels comfortable around him. Bahkan dengan kondisi rawan awkward seperti sekarang, saat laki-laki dan perempuan berdua dalam kamar tanpa ada status apa-apa.
Not that he's undesirable, oh, he's nothing near the word undesirable.
Err... atau jangan-jangan malah gue yang undesirable makanya kita lempeng-lempeng aja? Batin Runa.
IH, IYA KALI YA??? Lagi-lagi kepala Runa sibuk sendiri.
Layar televisi di kamar menayangkan acara pencarian bakat Britania, Runa never really watch that, tapi mamanya dan Sashi adalah penggemar setia. Setiap menutup minggu, mereka berdua pasti sudah nongkrong dengan manisnya di depan TV sambil ditemani cemilan buatan mama, dan sekali-kali melempar cibiran untuk Simon Cowell yang biasanya paling susah memberikan pujian ke para peserta. Runa nggak pernah ikutan karena biasanya perempuan itu memilih buat tidur cepat atau nonton series di kamar.
Sejak Sashi nggak ada, mama juga stop nonton acara ini. Padahal Runa—kayaknya—udah siap kalau harus temani beliau jadi pengganti Sashi duduk di sebelahnya setiap Minggu malam.
Ganti channel aja lah, daripada mellow.
Runa meraih remote TV dari meja dan segera mengganti channel setelah memastikan kalau perhatian Cay nggak terarah ke sana, pria itu sedang sibuk dengan handphonenya sambil sesekali menyeruput air kelapa yang sedikit lagi mau tuntas. Waktu sadar suara dari TV tahu-tahu berbeda karena Runa ganti terus, Cay akhirnya menoleh ke Runa dengan tatapan heran.
"Mau nonton apa, sih?" tanya Cay.
"Nggak, tahu. Yang seru aja gitu."
"Golf+, coba!"
"Seru dari mana?"
"Seru, lah, makanya coba nonton dulu."
Sambil mencibir, Runa masuk ke channel directory dan menggantinya sesuai mau Cay. "Udah, tuh!"
"Yah, lagi berita," ujar Cay kecewa.
"You golf?"
"I golf."
"Oh, tajir...," ledek Runa.
"Kan, kesana lagi," sahutnya tertawa. "It's the only thing I splurge, sih. Kalau buat yang lain-lain, gue tetap pelit sesuai stereotype. Senang, kan, lo kalau udah bahas stereotype?"
"But you look so... white!" seru Runa heran.
"White?" sahut Cay nggak kalah heran. "Like western white?"
"Bukan, kulit lo. Putih banget. Kayak kapur."
Pria itu tertawa kecut, "Tuh kan, Run! You always have to put it differently. Orang itu biasanya kalau ngomong putih asosiasinya sama kapas. Atau susu, deh."
"Iyakah?" Runa kembali memperhatikan wajah Cay, kulitnya yang putih terang seperti porselen Runa jamin berada di shade termuda dari segala merek foundation yang beredar di pasaran. Ditambah bibir merah penuh dan matanya yang bulat. Ini nggak umum kalau diucapkan untuk mendeskripsikan laki-laki, tapi Cay benar-benar seperti boneka. Dia terlihat seolah-olah hampir rapuh dari leher ke atas.
Tapi kalau ke bawahnya... duh.
"Gitu banget ngelihatnya. Penasaran mau tahu muka gue kalo dipegang rontok kayak kapur apa enggak?" tanya Cay membuyarkan lamunan Runa.
"Iya."
Nggak tahu keberanian dari mana, Runa bergeser duduk mendekat lalu menangkup wajah Cay dengan tangan kirinya. Pandangan Runa belum lepas dari wajah pria itu, ibu jarinya membelai pipi Cay perlahan. "It's rare, I believe, to be able to talk so freely with a person you know so little," gumam Runa.
Gumaman Runa tadi sebenarnya untuk dirinya sendiri, tapi Cay membalas, "I think it's easier somehow."
Runa tercengang, lalu nggak lama berkata, "Because we're strangers? Cerita akan jadi cerita aja, nggak akan lanjut jadi masalah yang perlu ditanggung bersama?" Gadis itu mengulang pernyataan Cay di hari pertama pertemuan mereka lalu menghela napas kecewa. Runa seketika menarik jari-jarinya yang tadi bertengger lembut di pipi Cay.
Gimana, sih? Lo nyuruh gue buka hati, belajar terima orang baru, tapi lo-nya aja kayak gini sama gue? Jadi maksudnya gue buka hati tapi bukan buat lo, gitu?
Sekarang mereka jadi canggung. Kamar Cay akhirnya terasa sumpek, cuma suara TV yang masih menyala yang jadi pengisi kekosongan. Runa menggeser duduknya menjauh sembari sibuk memandangi lantai. Cay berulang kali melirik Runa tapi nggak berinisiatif untuk membuka suaranya.
Nggak tahan dengan suasana cacu, Runa akhirnya berdiri dan berencana kembali ke kamarnya. Tapi sebelum Runa sempat melangkah pergi, Cay menahan tangannya, membuat Runa terhenti sejenak dan menoleh.
"Jangan balik dulu, boleh?" minta Cay pelan, bola matanya membulat.
Sebenarnya Runa geram setengah mati, tapi melihat cara Cay menatapnya, membuatnya nggak kuasa untuk menolak. Tanpa bicara apa-apa, dia akhirnya mengangguk pelan dan kembali duduk di sebelah Cay.
Keheningan pun kembali mengisi ruangan, tapi di sisi lain, kepala Runa malah semakin berisik. Runa bertanya-tanya dalam hati, sebenarnya lelaki di sebelahnya itu mau apa? Tangan kanan Cay masih betah memegang pergelangan tangan Runa, again, masih sambil sama-sama terdiam cacu.
Sebelum suasana cacu semakin parah, Runa memutuskan buat ke kamar mandi untuk menyegarkan mulutnya dari sisa makanan. Belum sempat gadis itu beranjak, tangan Cay kembali menahannya.
"Lo mau ikut ke kamar mandi?" tanya Runa sewot, Cay langsung melepas genggamannya, pandangan matanya bergerak kemana-mana kecuali ke arah Runa. Runa menahan tawa lalu masuk ke kamar mandi.
Nggak lama gadis itu keluar dengan wajah segar setelah menyikat gigi. Di ruang tengah, Cay sudah bersiap untuk gantian masuk ke kamar mandi, tapi sebelum pergi, dia melontarkan senyum tipis ke arah Runa.
"Gantian," katanya singkat sambil berjalan melewati Runa. Runa hanya mengangguk sambil menahan senyum kecil, perasaannya sudah mulai lebih nyaman karena akhirnya sikap Cay juga sudah kembali seperti biasa.
Saat Cay masuk ke kamar mandi, Runa mengalihkan perhatiannya ke TV yang masih menyala. Ia mencari remote, lalu mencoba mengganti channel sambil bersenandung kecil, "Netflix and chill..." namun langsung kaget sendiri dengan ucapannya, detak jantungnya bergerak lebih cepat bersamaan dengan suara air dari dalam kamar mandi yang terdengar samar, membuat suasana hatinya semakin tegang.
Apa, sih? Netflix and chill yang literal maksudnya, bukan yang terselubung! Nggak usah mikir aneh-aneh deh, Run! gumamnya sambil mulai menggulir deretan judul film dan serial. Tapi detak jantungnya masih susah dikondisikan.
Setelah beberapa saat Runa memilih film dan belum juga berhasil, Cay keluar dari kamar mandi, rambutnya masih sedikit basah. Pria itu langsung duduk di sebelah Runa dengan aroma segar menguar dari tubuhnya. Runa menoleh dan mendapati bulu-bulu halus yang tadi ada di sekitar dagu Cay kini sudah hilang.
Harum aftershavenya membuat Runa kalang-kabut, pikiran anehnya kembali lagi dan kini tenggorokannya terasa kering. Runa akhirnya berdeham, "habis shaving?"
Ih, kenapa malah ditanya??? Sesalnya.
"Iya, tadi pagi nggak sempat karena kita buru-buru, kan," jawab Cay sambil meraba dagunya sendiri. Tatapan Runa masih belum lepas dari wajah Cay.
"Kenapa?" Cay bingung.
"Why do you always smell so good?" tanya Runa, matanya masih menjelajah setiap sudut wajah pria di hadapannya. Tanpa pikir panjang, gadis itu langsung mendekat ke sisi kanan wajah Cay dan menghirup wangi lelaki itu dalam-dalam.
Runa nggak peduli lagi, dia lelah sendiri kalau harus terlalu banyak berpikir. Whatever will be, will be. Hal terburuk yang mungkin terjadi adalah hubungan—well, non existent relationship—mereka mungkin jadi berantakan. Gampang saja sebenarnya keluar dari situ, mereka cuma nggak perlu bertemu lagi setelah ini.
Tubuh Cay sekejap membeku, otot-ototnya menegang tanpa sadar. Sebaliknya, Runa malah semakin maju, wajahnya menunduk menghirup aroma di sekitar leher Cay, "your smell really drawn me on our first meeting. Gue selalu suka wangi parfum ini dan ternyata gue ketemu lo yang pakai."
Runa seketika tersadar kalau tindakannya tadi terlalu gegabah, gadis itu lalu duduk menjauh sambil berkata, "sorry, sorry, gue freak ba—"
Belum sempat Runa menyelesaikan kalimatnya, Cay lalu menarik pinggang Runa mendekat.
Chest to chest.
Nose to nose.
Breath to breath.
"Lo mau apa, Run?" napas Cay memburu.
"Harusnya gue nggak sih yang tanya?" jawab Runa tertahan. "Lo maunya apa Cay?"
Cay terdiam memandang lurus ke mata lalu bibir Runa, napasnya masih memburu, dadanya naik turun. Sedangkan Runa masih belum bergerak dari posisinya, masih pasrah ruang kecil di sekitarnya dipenuhi keberadaan Cay, tangan Cay bersandar di lekukan kecil punggung Runa.
Gadis itu menggigit bibirnya grogi, membuat Cay semakin gelisah, Runa benar-benar nggak membuat semua ini jadi lebih mudah buat Cay.
"Oh, fuck it! I'm going to kiss you, Aruna."
Belum sempat Cay maju dan menutup jarak di antara wajah mereka, Runa lebih dulu bergerak, bibirnya menyentuh bibir Cay, lalu mulai bergerak perlahan. Cay yang sempat kaget sepersekian detik akhirnya mulai ikut larut, ciuman mereka semakin dalam dan menuntut. Detak jantung yang keras pun ikut beradu dengan napas dan decap.
Cay menarik Runa lebih dekat, satu tangannya terus naik perlahan dari pinggang menuju punggung, hingga terakhir membelai ceruk leher Runa. Ciuman mereka semakin intens, penuh rasa lapar yang nggak terucap. Seolah-olah mereka berdua menyadari bahwa momen ini sudah lama tertunda, dan sekarang mereka nggak bisa lagi menahannya.
Ciuman itu terlepas, Runa dan Cay berhadapan namun belum ada yang berani menatap, keduanya sama-sama terkejut. Dada Runa naik turun dengan cepat, napasnya nggak beraturan karena ketegangan yang menggantung di udara. Dan saat gadis itu mendongak, yang pertama dilihatnya adalah wajah Cay—matanya yang lebar, napasnya yang berat, bibirnya yang masih sedikit terbuka, seolah siap mengatakan sesuatu tapi nggak ada suara yang keluar.
Mereka saling menatap, sama-sama nggak percaya sama apa yang baru terjadi. Keduanya ingin bicara, ingin mengungkapkan perasaan mereka yang tiba-tiba meluap. Namun, kata-kata nggak juga muncul. Cay menggerakkan bibirnya, seperti ingin mengatakan sesuatu. Runa juga, tetapi mulutnya seolah terkunci.
Dan saat itu, tanpa peringatan, keduanya menyerah pada dorongan yang sama. Dengan gerakan cepat dan mendadak, Cay menarik Runa kembali ke arahnya. Bibir mereka bertemu lagi, kali ini lebih intens—lebih dalam, lebih berani, dan lebih nggak terkendali.
Runa merasakan gelombang panas membakar seluruh tubuhnya saat ciuman mereka semakin dalam, penuh dengan gairah yang meletup-letup. Emosi yang terus melonjak di dalam dirinya semakin susah diimbangi. Tangannya kirinya naik ke leher Cay, sementara tangannya yang kuat memeluk pinggang pria itu erat, menarik tubuh mereka lebih dekat lagi, nggak ada lagi ruang di antara mereka.
Cay dengan lembut tapi pasti membimbing Runa hingga kepalanya tersandar di sudut sofa, pria itu mengungkung Runa di bawahnya. Sekali lagi, mereka saling menatap dengan napas yang masih memburu. Dengan suara serak, Cay berkata pelan, "bilang kalau lo mau gue berhenti sekarang."
Pupil Runa membesar, gadis itu memandang pria di hadapannya yang masih tersengal. She wants him. She wants him so bad... tapi seperti ada hal yang menahannya. Pikiran-pikiran itu datang lagi, ada sesuatu yang membuat Runa meragukan keseriusan Cay. Cay tampak seperti orang yang nggak benar-benar ingin berkomitmen, atau setidaknya, dari ceritanya dengan Wanda, Cay bukan tipe yang serius dalam menjalani hubungan.
Bagi Runa, ini seharusnya menjadi hal yang positif. Toh, ia sendiri tidak sedang mencari hubungan yang dalam. Setelah kehilangan Sashi, ia merasa terlalu rentan. Masuknya seseorang ke dalam hidupnya—terlebih lagi dalam hubungan yang serius—hanya akan membuka kemungkinan untuk ditinggalkan lagi. Itu yang jadi ketakutan terbesarnya saat ini.
Bila hubungannya dengan Cay tetap casual dan ringan, seharusnya ini nggak jadi masalah. Mereka bisa menikmati waktu yang ada tanpa perlu memikirkan masa depan atau risiko patah hati yang mungkin datang. Namun, deep down, ada bagian dari dirinya yang merasa sedih. Meski ia berusaha keras untuk menjaga agar hubungan ini tetap ringan, Runa nggak bisa mengabaikan perasaan yang muncul.
Gadis itu ingin lebih, mungkin bukan sekarang, tapi suatu hari nanti. Dan meskipun Cay mungkin adalah orang yang tepat untuk saat ini, Runa tahu bahwa menjalani hubungan tanpa arah yang jelas dengan Cay hanya akan membuatnya merasa lebih kosong di hari nanti.
Cay menunggu Runa yang terlihat seperti sedang berperang dengan dirinya sendiri, nggak lama pria itu bergerak menarik dirinya dari Runa. Namun belum sempat dia beranjak bangun, Runa meraih kerah baju Cay, menatap mata Cay dalam-dalam dan mengangguk.
Jarak di antara mereka kembali menghilang, ciuman kali ini lebih pelan dan berirama, seolah mereka ingin meresapi setiap detik, setiap sentuhan. Tangan mereka bergerak dengan bebas, menyentuh, mengeksplorasi, menghapus setiap jarak yang tersisa.
Dan saat tangan Cay sampai di kancing piyama Runa, pria itu berhenti.
"Kenapa?" tanya Runa sedikit kecewa, napasnya masih tersengal.
"Lo tadi mikirnya lama, Aruna."
"Tapi gue akhirnya setuju, kan?" ujarnya sambil memandang Cay.
Cay mengangguk dan menyentuh lembut pipi Runa. "Iya, but let's take our time. Sekarang gini dulu."
"Oke...."
Runa bingung kalau harus menggambarkan perasaannya sekarang, antara lega juga kecewa. Runa tahu kalau mereka nekat melakukan itu, pasti akan lebih besar penyesalan yang Runa rasakan. Gadis itu tapi nggak mau kalau harus buru-buru berpisah dengan Cay, dia masih terlalu nyaman berada di pelukan Cay.
Kalau udah begini, berarti gue harus balik ke kamar gue, dong?
Seperti membaca pikirannya, Cay lalu menoleh ke arah Runa. "Tidur sini aja, ya? Tidur aja kok, nggak ngapa-ngapain."
Runa terkekeh. "Gue nggak bilang apa-apa, loh." Lalu mereka berdua berpindah ke kasur, Cay merentangkan tangan kanan lalu menepuk ruang kosong di sebelahnya, Runa dengan senang hati langsung memposisikan dirinya dengan nyaman di pelukan Cay.
Selama pelukan itu, mereka nggak membicarakan apapun soal masa depan atau arah hubungan mereka. Mereka hanya saling menikmati keberadaan satu sama lain, dan tanpa disadari, Runa mulai merasa semakin tenang mendengar detak jantung Cay yang teratur. Matanya mulai terpejam dan perlahan tertidur dalam pelukan hangat pria itu. Sebelum sepenuhnya terlelap, Cay sempat berbisik di telinga Runa, "Can we stay like this a bit longer?"
Runa, yang setengah mengantuk, hanya menjawab, "As long as you want," sebelum akhirnya benar-benar jatuh tertidur dengan senyuman kecil di bibirnya.
__________
PART 8 | THROUGH HIS EYES
Pagi itu, Cay terbangun dengan perasaan aneh. Sinar matahari sudah mulai masuk melalui celah gorden, tapi suasana kamar masih gelap dan hening. Cay meraba-raba ruang di sebelahnya, dan yang dirasakannya hanyalah kasur kosong. Runa sudah nggak ada di sampingnya.
Cay mengerjapkan matanya, perlahan bangun, dan mendapati Runa sedang mengendap-endap di sudut kamar, terlihat mencari-cari sesuatu. Tangannya meraba-raba meja kecil di dekat TV. Gadis itu terlihat sangat hati-hati, seperti nggak ingin menggangu, tapi jelas terlambat—Cay sudah bangun.
"Run?" suara Cay terdengar serak karena baru bangun tidur.
Runa tersentak, terlihat kaget dan sedikit panik. Gadis itu berbalik cepat, ekspresinya seperti anak kecil yang ketahuan sedang berbuat sesuatu yang dilarang mamanya. "Eh, udah bangun, Cay?" tanyanya gugup.
Cay mengangguk lalu duduk di kasur. "Lo nyari apa? Hape?"
Runa menggeleng cepat. "Nggak... gue, tuh... mau balik ke kamar... Kesiangan nggak, sih, kalau mau sarapan?" suaranya terdengar panik dan buru-buru, matannya kini menemukan letak ponselnya yang ternyata ada di atas nakas sebelah Cay. Runa segera bergerak mendekat ke sana lalu meraih benda itu.
Cay sedikit bingung melihat sikap Runa yang canggung. Semalam mereka begitu dekat—cenderung intim. Tapi pagi ini, Runa berbeda. Terburu-buru, seperti ingin terbebas dari sesuatu. Tapi Cay tetap berusaha biasa saja. "Masih sempat kok, sampai jam setengah sebelas. Kalau gitu balik deh siap-siap sarapan, gue juga mau siap-siap. Ketemu di resto?"
Runa mengangguk tanpa pikir panjang, tersenyum tipis. "Oke. ketemu di resto. Gue balik duluan, ya."
Cay hanya membalas dengan anggukan, dan dalam hitungan detik, Runa sudah keluar dari kamar, menutup pintu di belakangnya. Gadis itu meninggalkan Cay yang masih duduk di tepi kasur, merasa ada yang ganjil tapi belum bisa point out hal apa.
Satu jam kemudian, Cay sudah siap dan berjalan menuju restoran hotel. Perutnya mulai terasa lapar, dan dia menantikan momen sarapan bersama Runa. Restoran hotel Plataran Bromo tampak nyaman pagi itu. Cahaya matahari masuk melalui jendela besar, meja-meja sudah dipenuhi oleh tamu lain yang juga sedang sarapan.
Cay duduk di sudut ruangan, matanya sesekali melirik ke arah pintu masuk, menunggu kedatangan Runa. Setiap kali ada tamu yang masuk, Cay berharap melihat Runa muncul dengan senyum khas dan gaya santainya. Tapi, menit demi menit berlalu, dan Runa belum juga datang.
Setelah hampir setengah jam menunggu, Cay mulai merasa ada yang aneh. Restoran sudah mulai sepi dan waktu sarapan hampir habis. Cay mencoba menelepon Runa, tapi nggak ada jawaban. Nada sambung di ponselnya terus berbunyi tanpa diangkat, membuat lelaki itu semakin cemas.
"Lagi ngapain coba itu anak?" pikirnya. Apa dia tidur lagi gara-gara kecapekan? Cay mencoba positif.
Setelah menunggu lebih lama lagi tanpa tanda-tanda kedatangan Runa, Cay akhirnya memutuskan untuk pergi menyambangi kamar gadis itu, Cay khawatir takut terjadi apa-apa. Dia berjalan cepat menuju kamar Runa, pikirannya mulai dipenuhi dengan berbagai kemungkinan.
Sampai di depan kamar Runa, Cay langsung tahu ada sesuatu yang salah. Pintu kamar Runa terbuka sedikit, dan trolley housekeeping ada di depannya. Dia menyelonong masuk dan mendapati dua pegawai hotel sedang membersihkan kamar Runa. Kamar itu sudah rapi. Tempat tidur sudah dibenahi dengan sempurna, bantal-bantal tertata rapi, dan nggak ada satu pun barang milik Runa yang tersisa. Semuanya sudah rapi, seperti nggak pernah ada orang yang menginap di sana.
"Selamat pagi, Pak! Ada yang bisa kami bantu?" sapa salah seorang dari mereka.
"Tamu kamar ini udah check out?" tanya Cay.
"Betul, Pak."
"Ada yang tahu kapan?" Cay mulai panik.
"Mohon maaf Bapak, kami kurang tahu, kamar sudah kosong tadi saat kami sampai."
"Oke, makasih." Panik, Cay keluar dari kamar dan berjalan cepat menuju resepsionis. Pikirannya kalut—Runa nggak ada di restoran, kamarnya sudah kosong, dan barang-barangnya juga nggak ada. Sambil berjalan, Cay terus mencoba menelepon Runa, tapi tetap nggak ada jawaban.
Sampai di resepsionis, Cay langsung mendekati staf yang bertugas. "Sorry, Mbak... tamu yang ada di kamar 2036 atas nama Aruna udah check-out, ya?" tanyanya, nada suaranya sedikit terburu-buru.
Resepsionis mengangguk sopan. "Betul, Pak. Ibu Aruna tadi sudah check-out. Maaf, Bapak dari kamar nomor berapa?"
Cay merasa dadanya sesak. "Udah lama? Naik apa dia?"
Resepsionis tersenyum, tapi menggeleng. "Maaf, kami tidak bisa memberikan informasi tamu ya, Pak, karena alasan privasi."
Cay terdiam sejenak, berusaha mencerna apa yang barusan didengarnya. Runa sudah pergi. Nggak pakai pamit, nggak pakai titip pesan, nggak pula menjawab teleponnya. Cay bahkan nggak tahu apa Runa sudah kembali ke Jakarta, atau masih di sekitar Banyuwangi.
Dan yang paling membuatnya frustrasi adalah... mereka belum sempat membicarakan apapun soal mereka, soal yang terjadi kemarin, atau yang akan terjadi ke depannya.
Pikiran Cay mulai sibuk dengan berbagai kemungkinan. Apakah Runa pergi karena kecewa? Apakah Cay salah melakukan sesuatu? Pagi tadi, Gadis itu memang terlihat sedikit canggung, tapi secara umum, Runa memang tipe orang yang cukup canggung. Tadi mereka berpisah dengan janji akan sarapan bersama, dan semalam, segalanya terasa hangat dan dekat. Tapi sekarang, Cay kebingungan dan merasa seperti baru dikhianati.
Cay mencoba menganalisis situasi. Mungkin sikapnya selama ini nggak terlalu jelas dan membuat Runa jengkel? Atau, sebaliknya, mungkin Cay terlalu menekan dengan kedekatan mereka, hingga membuat Runa merasa terdesak dan mundur perlahan? Lelaki itu terus memikirkan berbagai alasan kenapa Runa pergi tiba-tiba seperti ini.
Apakah Runa sebenarnya nggak ingin ada hubungan lebih? Apakah Runa hanya ingin sesuatu yang casual, dan Cay malah membuatnya terlalu intens? Semua pikiran itu berputar-putar di kepalanya, membuatnya semakin gusar.
Cay meraih ponselnya lagi, berniat untuk menghubungi Runa sekali lagi. Tapi kali ini, jari-jarinya berakhir mengambang, dia pikir kalau Runa pergi nggak pakai penjelasan apa-apa, mungkin itu adalah caranya untuk bilang kalau gadis itu nggak ingin punya urusan lagi dengan Cay.
Kalau memang dia nggak mau gue hubungin lagi, gue harus ngerti, pikir Cay. Cay sadar bahwa memaksa untuk mendapatkan penjelasan dari Runa mungkin hanya akan memperburuk situasi. Runa jelas-jelas memilih untuk pergi tanpa memberitahu, dan itu berarti Cay harus menghormati keputusannya.
Tapi tetap saja, perasaan itu berat. Semalam semuanya terasa begitu baik, begitu dekat. Dan pagi ini yang terjadi sama sekali nggak sama.
Cay berdiri di lobi hotel, ponselnya masih di tangan, tapi sekarang tanpa niat untuk menghubungi Runa lagi. Dia tahu, apapun yang terjadi setelah ini, dia harus membiarkan Runa membuat pilihannya. Bahkan kalau itu berarti mereka nggak akan bertemu lagi selamanya.
__________
PART 9 | UNFINISHED BUSINESS
Dering ponsel Runa terdengar di saat gadis itu sedang sibuk memarkir mobilnya. Tanpa melihat layar, dia tahu siapa yang menelepon—Wanda. Hari ini belum ada pesan atau suara ribut Wanda yang mengganggu Runa, padahal merecoki Runa selalu ada di jadwalnya sehari-hari.
"Happy second anniversary, Nda!" Runa menyapa riang sambil mengangkat rem tangan, mobilnya sekarang terparkir rapi. Sudah dua tahun sejak pernikahan spektakuler sahabatnya itu, sebenarnya Runa sudah berniat untuk menghubunginya duluan, but Runa is just being Runa.
Di seberang telepon, Wanda terdengar tertawa senang. "Thanks, Runaaa! Eh, anyway, gimana, gimana? Today hari pertama ngampus, kan?"
"Iya nih, gue baru aja sampai."
"Seru pasti kelas weekend, tuh, isinya banyak yang seumuran kita dan kece-kece juga. Enjoy while it lasts, Run!"
Runa mendengus, "tujuan gue kuliah lagi bukan itu kali, Nda! Gue itu—"
"—nggak tahu mau cari apa lagi makanya akhirnya sekolah," ejek Wanda seolah kata-kata ini sering keluar dari mulut Runa. "Soalnya udah berhasil depak gue jadi manager duluan, jadi nyari-nyari tantangan lain."
Runa tertawa kecil, "itu tahu!"
"Nyebelin."
"Kalo gue wajar masih nyari-nyari tujuan lagi, lah kalo lo mau cari apa lagi coba, Nda? Bapak lo udah tajir, laki lo sekeluarga-keluarganya juga. Sebentar lagi mau liburan a la orang kaya di Seychelles. Jadi manager di perusahaan konsultan mah harusnya nggak ada di bucket list lo. Gue jadi lo sih bucket list gue isinya nailing Sirsa Padasana, beli Birkin langsung di butik, bikin charity event bareng high-end local brand—"
"Lo ini bikin gue kedengaran kayak anak cakep otak kosong!"
"I'll be anak cakep otak kosong if I were you, capek tahu keseringan mikir."
"Then be me!" Wanda tertawa keras dengan nada menyebalkan.
Runa tersenyum mengingat gimana hubungan mereka berkembang dalam dua tahun terakhir. Setelah kejadian rehearsal dinner tempo hari—saat Runa berada di samping Wanda yang panik—hubungan mereka berubah menjadi lebih dekat. Mereka benar-benar saling memahami, saling membutuhkan. Wanda yang dulunya terasa jauh dan ribet, sekarang adalah sahabat yang paling akrab dengan Runa—walaupun tentu aja masih juga ribet.
Percakapan tentang pekerjaan, hubungan, bahkan topik receh dan meme-meme populer jadi bumbu dalam persahabatan mereka. Runa sadar Wanda sebenarnya orang yang hangat dan peduli, begitu pun Wanda yang sebenarnya butuh seseorang yang memahami dirinya. Hal-hal itu yang mereka bisa lengkapi satu sama lain. Runa akhirnya berani membawa orang lain masuk ke hidupnya, curhatnya kini nggak cuma cerita one-way ke Sashi—oh, of course she still texts her sister. Sampai kapanpun.
Setelah mereka saling mengucapkan selamat tinggal, Runa bergegas keluar mobil dan berjalan cepat menuju auditorium tempat nanti kelasnya berlangsung. Karena Runa ambil kelas akhir minggu, waktu belajarnya jadi cukup panjang, dari jam delapan pagi sampai jam lima sore. Runa tahu betul kepalanya akan berasap waktu pulang nanti, tapi benar kata Wanda, she needs to enjoy it while it lasts. Kapan lagi kutu kasur seperti Runa bisa beredar di luar setiap akhir minggu kalau bukan buat ke kampus?
Sampai di auditorium, Runa melihat beberapa wajah yang sudah dikenalnya dari acara pembukaan tahun ajaran baru minggu lalu. Salah satu kenalannya, Mayra, melambaikan tangan dari kejauhan.
"Aruna! Sini duduk bareng gue!" seru Mayra.
Runa tersenyum lebar dan berjalan menghampiri. "Udah lama banget gue nggak bangun pagi hari sabtu, gila!"
Kepala Mayra melunglai dengan dramatis ke atas meja, "kayaknya nyawa gue juga belum ngumpul semua ini."
"Lo sempat baca-baca materi dulu, nggak? Gue nggak, loh!"
"Urgh! Tell me about it! Semalam aja gue ngelembur sampai jam sepuluh, Run."
Runa tertawa, "kita nih sekolah lagi buat apa, sih?"
Mayra ikut tertawa sambil mengangkat kedua bahunya, "tau deh!"
Kelas mereka mulai ramai, ruang auditorium perlahan hampir terisi penuh dengan para mahasiswa sibuk berbicara dan membuka-buka modul kelas mereka. Namun saat obrolan Runa dan Mayra mulai seru perkara mau makan apa siang nanti, suasana ramai obrolan di kelas tiba-tiba berubah, Runa menoleh ke depan dan mendapati dosen mereka yang sudah masuk ke ruangan sedang sibuk menunduk menghubungkan laptop dan proyektor.
Oh iya, siapin modul! Niat sekolah nggak sih, Run?
"Good morning, all!" suara sang dosen akhirnya terdengar dari depan ruangan. Runa yang masih sibuk membolak-balik modul langsung terhenti karena mendengar suara yang terasa familier. Dia tertegun, mencoba mengingat dari mana ia pernah mendengar suara itu. Tanpa berpikir panjang, gadis itu mendongak untuk melihat dosen yang lagi berbicara di depan.
"Jadwal pengajar ditukar ya, teman-teman! Harusnya Overview sampai Corporate Valuation dipegang Prof. Kuntoro, tapi karena beliau ada seminar sampai bulan depan di Belanda, jadi untuk first half of the semester jadi saya yang pegang. Kita akan ketemu sampai sebelum midterm, dan setelah itu materi sisanya baru Prof. Kun yang pegang."
Di sana, pria itu berdiri tegap di depan layar proyektor yang menampilkan namanya, Dr. Chairil Baladraf, PhD.
Runa kembali membuka modulnya, mencari-cari jadwal kuliah, materi, dan pengajar kelasnya. Dari awal modul tersebut sampai ke tangannya, Runa belum sempat buka, apalagi baca-baca. Satu-persatu dia perhatikan nama lecturer-lecturer yang ada, di sana tentu saja ada nama Cay, persis seperti nama yang terpampang di depan kelasnya.
Runa menahan napas. Rasanya seperti ada sesuatu yang menghantamnya tiba-tiba. Itu dia. Cay. Chairil Baladraf.
Pikiran Runa langsung melayang ke dua tahun lalu saat pertama dan terakhir kali bertemu dengan Cay. Sejak saat itu, takdir mereka belum pernah bersilangan, Cay seakan hilang dari hidup Runa, begitu juga sebaliknya. Dan sekarang, Cay berdiri di hadapannya, di auditorium ini, sebagai dosen yang mengajarnya. Dadanya berdegup kencang, rasa kaget, bingung, dan mungkin sedikit cemas mulai bercampur aduk.
Kok dia bisa di sini? Iya gue tahu dia terakhir lagi ambil S3, tapi kok bisa ended up di sini? Usaha bokapnya gimana? Dia nggak apa-apa akhirnya jadi ambil path ini?
Cay menatap ke arah para mahasiswa di depannya dengan ekspresi tenang, seolah nggak ada yang aneh. Ada banyak orang, dia nggak mungkin lihat gue di kelas ini. Apa jangan-jangan dia udah tahu sebelumnya? Kalau tahu, dia kaget nggak ya? Dia benci nggak ya sama gue karena gue udah pergi begitu aja? Runa mencoba menenangkan dirinya walau ujung-ujungnya malah semakin panik, perasaannya terlalu kacau buat bisa berpikir jernih.
Runa nggak bisa berpaling. Nama di layar proyektor itu terus terpampang jelas, wajahnya masih sama, pembawaannya, bibirnya yang merah dan tebal, matanya yang bulat namun teduh... Tiba-tiba, kenangan tentang perjalanan ke Bromo, ciuman intens mereka, dan momen-momen lainnya kembali menghantui pikiran Runa. Dadanya sesak.
"Lo kenapa, Run?" bisik Mayra, memperhatikan perubahan ekspresi di wajah Runa.
Runa menggeleng cepat. "Nggak apa-apa."
Dalam hati, Runa tahu ini bukan hanya kejutan biasa. Ini adalah pertemuan yang nggak pernah dia bayangkan—dan sekarang, dia harus menghadapi kenyataan bahwa Cay, pria yang pernah mampir dan sekejap menjadi harapan yang langsung ditepis, ada di depannya. Runa seketika teringat dengan kata-kata terakhir dari Cay sebelum Runa terlelap, dan jawaban Runa setelahnya nggak ubahnya dari kebohongan semata.
Apa yang akan terjadi setelah ini? Runa nggak tahu, tapi satu hal yang pasti, perasaannya terhadap Cay, meski sudah lama terkubur, kini kembali muncul ke permukaan.
Sas, mayday! |
__________
for those who read it, HEY GUYS! THANK YOU SO MUCH FOR STAYING UNTIL THE END!!
hahaha
iya nih, ini chapter terakhir alias tamat wk
yang pernah baca ceritanya pearsnpearls kayaknya paham sih we always end our stories this way, i'm one of them so that explains 🤡
i might write more about cay and runa (i might also not) but their story asanya mah bisa banget dilanjutin. so if you're on it, follow my instagram atau twitter atau akun ini yah, nanti kabarnya bakal dari sana.
thanks again for reading (if any of you exists wk) love ya!
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰