
"Kenapa berantem?" Tanya Asha, tangannya mengelus pelan rambut Karang. Mereka saat ini ada di mansion keluarga Adityata. "Karang..."
Pemuda itu tak menjawab, malah semakin merapatkan kepalanya ke perut Asha. Enggan bercerita, ia juga lelah batin dan fisik karena harus membersihkan kantin yang porak-poranda sambil menahan diri untuk tidak melayangkan tinju ke wajah jelek Kian.
Asha yang mengerti hanya diam, nanti Karang akan bercerita juga. Asha memilih membuka handphone miliknya. Ia tersenyum melihat...
"Kenapa berantem?" Tanya Asha, tangannya mengelus pelan rambut Karang. Mereka saat ini ada di mansion keluarga Adityata. "Karang..."
Pemuda itu tak menjawab, malah semakin merapatkan kepalanya ke perut Asha. Enggan bercerita, ia juga lelah batin dan fisik karena harus membersihkan kantin yang porak-poranda sambil menahan diri untuk tidak melayangkan tinju ke wajah jelek Kian.
Asha yang mengerti hanya diam, nanti Karang akan bercerita juga. Asha memilih membuka handphone miliknya. Ia tersenyum melihat berita utama hari ini.
"Lho, nak Asha!" Seru wanita paruh baya yang sedang menuruni tangga. Pandangan Asha tertuju pada wanita itu. Ia melangkah pelan, senyum terpatri di bibir nyonya Adityata. "Kok gabilang kalo mau kesini? Tante bisa suruh pelayan buat makanan kesukaan kamu." Ujarnya senang, Asha tersenyum lembut.
Ia berdiri, menyingkirkan kepala Karang dari pahanya membuat Karang berdecak. Karang menatap tak suka wanita paruh baya itu.
Asha menyalami Gina, ibu tiri Karang. "Tante apa kabar? Makin kelihatan segar." Tanya Asha, membuat Tante Gina tersenyum tipis.
"Kamu bisa aja. Kamu juga makin cantik, pantes Karang gabetah dirumah." Ucap Gina sambil melirik Karang.
Karang berdecih, menarik Asha sehingga duduk disampingnya. Lalu merebahkan diri seperti semula, mengabaikan keberadaan Gina, ibu tirinya. Gina bersikap maklum, ia dan Karang memang tidak memiliki hubungan yang baik.
"Yaudah, tante pergi dulu. Mau ke kantor papanya Karang." Pamit Gina, Asha mengangguk sembari menyalami Tante Gina.
"Nanti kalau pulang hati-hati, nak." Nasihat Gina yang diangguki Asha.
Pandangan Asha mengikuti punggung wanita itu sampai tak terlihat lagi. Ia kembali fokus ke Karang, "sekarang udah bisa cerita atau belum? Soal kamu sama Kian." Tanya Asha, Karang mendongak. Menatap wajah Asha dari bawah, "dia duluan. Dia ngomong gabaik tentang kamu, aku mana tahan dengarnya, sayang."
"Emang dia bilang apa?" Tanya Asha lembut.
Karang menggeleng, "gaboleh. Kamu itu cuma boleh dengar kata-kata baik. Gaboleh dengar kata-kata jelek dari mulut jelek Jahanam itu." Ujar Karang, ia mengelus pipi lembut Asha.
Cantik, batinnya. Gadisnya yang selalu jadi yang tercantik dimatanya, hanya seorang Asha Sangkara.
"Tapi aku udah gamau lihat kamu berantem. Kalo sekali lagi kamu berantem, kamu pindah sekolah."
Mendengar nada lembut yang penuh intimidasi itu Karang mengangguk pasrah. Mana sanggup ia berpisah dari sang pujaan hati.
"Sayang."
"Hm." Jawab Asha. Ia menunduk, menatap balik Karang tanpa ragu.
"Besok acara pembukaan hotel baru Papa." Ucap Karang. Asha yang mengerti mengelus pipi Karang. "Kalau kamu mau dateng, aku temenin,"
"Tapi kalo ga, gapapa. Itu hak kamu." Sambung Asha, mengerti perasaan Karang saat harus bertemu dengan keluarganya di depan banyak orang.
"Thanks, my love."
________
"Ziva."
Gadis manis itu menoleh, mendapati mamanya yang dalam keadaan kacau. Ia segera menghampiri mamanya, bau alkohol yang menusuk membuat Ziva menghela nafas.
"Sini aku bantu." Ziva mengambil tas mamanya, lalu menuntun wanita usia tiga puluhan itu ke kamar yang langsung ditepis.
Rani, wanita berusia tiga puluh empat tahun itu memang pecandu alkohol. Ia menunjuk wajah Ziva dengan tubuh lunglai.
"Lo... "
Tamparan keras mendarat di pipi Ziva. "Anak sialan lo!" Umpat Rani, ia mendorong Ziva yang membuat gadis itu tersungkur.
"Kalo bukan karena lo, gue gaakan hidup kayak gini! Dasar anak sialan!" Racau Rani, ia berjalan gontai menuju kamarnya dengan susah payah. Sedangkan, Ziva memandang Mamanya dengan berkaca-kaca.
Tangannya mengepal, mencoba menahan air mata yang hendak turun. Ia berdiri, mengunci pintu villa yang ia sewa.
Langkah kakinya menuju kamar, menutup pintu kamar pelan. Airmatanya jatuh, tubuhnya luruh. Ia menggigit bibirnya, menahan isakan.
Ziva pikir, ia dan mamanya berlibur untuk memperbaiki hubungan di antara ibu dan anak itu.
Namun, ia salah. Mamanya malah memperkenalkan seorang pria tua berusia sekitar tujuh puluh tahun sebagai ayah barunya.
Ia menolak dan membuat beberapa kekacauan sehingga pria tua itu membatalkan rencana pernikahan dengan mamanya.
Yang berakhir seperti ini, mamanya yang mabuk-mabukan dan dirinya yang terluka lagi akibat perkataan mamanya. Sungguh menyedihkan.
Ia bisa mendengar racauan mamanya. "Asha... "
Dering ponsel membuat tangisannya berhenti, ia mengusap air matanya. Baby tiger, nama panggilan Asha semasa kecil. Ia menggeser icon hijau, lalu berusaha tersenyum walaupun Asha tak akan melihat wajahnya.
"Halo, Asha. Kenapa telepon jam segini?" Susah payah mengeluarkan suara, menahan isakannya.
"Gapapa." Jawab Asha dari seberang panggilan.
Ziva menggigit bibirnya, mendengar suara Asha ia jadi ingin menangis lagi. Dulu sewaktu kecil, ia akan melapor pada Asha jika habis dimarahi atau dipukul.
"Tidur. Gue temenin. Kalo mau nangis gausah ditahan." Setelah mendengar ucapan Asha, airmata Ziva kembali turun. Ia menangis lagi, entah bagaimana Asha bisa tahu kondisinya.
"Sha... Gue bukan anak sialan." Ujar Ziva susah payah. Tangisannya membuat Asha tersenyum kecil di seberang sana.
"Gue bukan... "
"Mama bilang gue anak sialan, Sha." Ucap Ziva sambil tersedu-sedu.
Diseberang sana, Asha mendengar tangisan Ziva sembari memandang bintang di balkon ditemani wine.
Ia hanya diam, tak memberi respon Ziva. Membiarkan gadis itu meluapkan perasaan sedihnya. Sesekali tersenyum mendengar Ziva mengadu.
Setelah hampir satu jam, sudah tak terdengar suara di seberang telepon. "Good night, little girl."
Ia mematikan sambungan telepon, lalu kembali menyesap wine. Membayangkan pertengkaran ibu dan anak itu. Ia sudah memperkirakan hal seperti ini terjadi.
"Life is'nt easy for everyone,"
Ia memandang langit yang tak nampak lagi satupun bintang. Terdengar guntur disusul petir, Asha tersenyum getir saat satu ingatan terlintas.
"...and me."
HAPPY READING
-frutaagum
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
