Chapter 2

1
0
Deskripsi

"Kenapa berantem?" Tanya Asha, tangannya mengelus pelan rambut Karang. Mereka saat ini ada di mansion keluarga Adityata. "Karang..."

Pemuda itu tak menjawab, malah semakin merapatkan kepalanya ke perut Asha. Enggan bercerita, ia juga lelah batin dan fisik karena harus membersihkan kantin yang porak-poranda sambil menahan diri untuk tidak melayangkan tinju ke wajah jelek Kian.

Asha yang mengerti hanya diam, nanti Karang akan bercerita juga. Asha memilih membuka handphone miliknya. Ia tersenyum melihat...

"Kenapa berantem?" Tanya Asha, tangannya mengelus pelan rambut Karang. Mereka saat ini ada di mansion keluarga Adityata. "Karang..."

Pemuda itu tak menjawab, malah semakin merapatkan kepalanya ke perut Asha. Enggan bercerita, ia juga lelah batin dan fisik karena harus membersihkan kantin yang porak-poranda sambil menahan diri untuk tidak melayangkan tinju ke wajah jelek Kian.

Asha yang mengerti hanya diam, nanti Karang akan bercerita juga. Asha memilih membuka handphone miliknya. Ia tersenyum melihat berita utama hari ini.

"Lho, nak Asha!" Seru wanita paruh baya yang sedang menuruni tangga. Pandangan Asha tertuju pada wanita itu. Ia melangkah pelan, senyum terpatri di bibir nyonya Adityata. "Kok gabilang kalo mau kesini? Tante bisa suruh pelayan buat makanan kesukaan kamu." Ujarnya senang, Asha tersenyum lembut.

Ia berdiri, menyingkirkan kepala Karang dari pahanya membuat Karang berdecak. Karang menatap tak suka wanita paruh baya itu.

Asha menyalami Gina, ibu tiri Karang. "Tante apa kabar? Makin kelihatan segar." Tanya Asha, membuat Tante Gina tersenyum tipis.

"Kamu bisa aja. Kamu juga makin cantik, pantes Karang gabetah dirumah." Ucap Gina sambil melirik Karang.

Karang berdecih, menarik Asha sehingga duduk disampingnya. Lalu merebahkan diri seperti semula, mengabaikan keberadaan Gina, ibu tirinya. Gina bersikap maklum, ia dan Karang memang tidak memiliki hubungan yang baik.

"Yaudah, tante pergi dulu. Mau ke kantor papanya Karang." Pamit Gina, Asha mengangguk sembari menyalami Tante Gina.

"Nanti kalau pulang hati-hati, nak." Nasihat Gina yang diangguki Asha.

Pandangan Asha mengikuti punggung wanita itu sampai tak terlihat lagi. Ia kembali fokus ke Karang, "sekarang udah bisa cerita atau belum? Soal kamu sama Kian." Tanya Asha, Karang mendongak. Menatap wajah Asha dari bawah, "dia duluan. Dia ngomong gabaik tentang kamu, aku mana tahan dengarnya, sayang."

"Emang dia bilang apa?" Tanya Asha lembut.

Karang menggeleng, "gaboleh. Kamu itu cuma boleh dengar kata-kata baik. Gaboleh dengar kata-kata jelek dari mulut jelek Jahanam itu." Ujar Karang, ia mengelus pipi lembut Asha.

Cantik, batinnya. Gadisnya yang selalu jadi yang tercantik dimatanya, hanya seorang Asha Sangkara.

"Tapi aku udah gamau lihat kamu berantem. Kalo sekali lagi kamu berantem, kamu pindah sekolah."

Mendengar nada lembut yang penuh intimidasi itu Karang mengangguk pasrah. Mana sanggup ia berpisah dari sang pujaan hati.

"Sayang."

"Hm." Jawab Asha. Ia menunduk, menatap balik Karang tanpa ragu.

"Besok acara pembukaan hotel baru Papa." Ucap Karang. Asha yang mengerti mengelus pipi Karang. "Kalau kamu mau dateng, aku temenin,"

"Tapi kalo ga, gapapa. Itu hak kamu." Sambung Asha, mengerti perasaan Karang saat harus bertemu dengan keluarganya di depan banyak orang.

"Thanks, my love."

                  ________


"Ziva."

Gadis manis itu menoleh, mendapati mamanya yang dalam keadaan kacau. Ia segera menghampiri mamanya, bau alkohol yang menusuk membuat Ziva menghela nafas.

"Sini aku bantu." Ziva mengambil tas mamanya, lalu menuntun wanita usia tiga puluhan itu ke kamar yang langsung ditepis.

Rani, wanita berusia tiga puluh empat tahun itu memang pecandu alkohol. Ia menunjuk wajah Ziva dengan tubuh lunglai.

"Lo... "

Tamparan keras mendarat di pipi Ziva. "Anak sialan lo!" Umpat Rani, ia mendorong Ziva yang membuat gadis itu tersungkur.

"Kalo bukan karena lo, gue gaakan hidup kayak gini! Dasar anak sialan!" Racau Rani, ia berjalan gontai menuju kamarnya dengan susah payah. Sedangkan, Ziva memandang Mamanya dengan berkaca-kaca.

Tangannya mengepal, mencoba menahan air mata yang hendak turun. Ia berdiri, mengunci pintu villa yang ia sewa.

Langkah kakinya menuju kamar, menutup pintu kamar pelan. Airmatanya jatuh, tubuhnya luruh. Ia menggigit bibirnya, menahan isakan.

Ziva pikir, ia dan mamanya berlibur untuk memperbaiki hubungan di antara ibu dan anak itu.

Namun, ia salah. Mamanya malah memperkenalkan seorang pria tua berusia sekitar tujuh puluh tahun sebagai ayah barunya.

Ia menolak dan membuat beberapa kekacauan sehingga pria tua itu membatalkan rencana pernikahan dengan mamanya.

Yang berakhir seperti ini, mamanya yang mabuk-mabukan dan dirinya yang terluka lagi akibat perkataan mamanya. Sungguh menyedihkan.

Ia bisa mendengar racauan mamanya. "Asha... "

Dering ponsel membuat tangisannya berhenti, ia mengusap air matanya. Baby tiger, nama panggilan Asha semasa kecil. Ia menggeser icon hijau, lalu berusaha tersenyum walaupun Asha tak akan melihat wajahnya.

"Halo, Asha. Kenapa telepon jam segini?" Susah payah mengeluarkan suara, menahan isakannya.

"Gapapa." Jawab Asha dari seberang panggilan.

Ziva menggigit bibirnya, mendengar suara Asha ia jadi ingin menangis lagi. Dulu sewaktu kecil, ia akan melapor pada Asha jika habis dimarahi atau dipukul.

"Tidur. Gue temenin. Kalo mau nangis gausah ditahan." Setelah mendengar ucapan Asha, airmata Ziva kembali turun. Ia menangis lagi, entah bagaimana Asha bisa tahu kondisinya.

"Sha... Gue bukan anak sialan." Ujar Ziva susah payah. Tangisannya membuat Asha tersenyum kecil di seberang sana.

"Gue bukan... "

"Mama bilang gue anak sialan, Sha." Ucap Ziva sambil tersedu-sedu.

Diseberang sana, Asha mendengar tangisan Ziva sembari memandang bintang di balkon ditemani wine.

Ia hanya diam, tak memberi respon Ziva. Membiarkan gadis itu meluapkan perasaan sedihnya. Sesekali tersenyum mendengar Ziva mengadu.

Setelah hampir satu jam, sudah tak terdengar suara di seberang telepon. "Good night, little girl."

Ia mematikan sambungan telepon, lalu kembali menyesap wine. Membayangkan pertengkaran ibu dan anak itu. Ia sudah memperkirakan hal seperti ini terjadi.

"Life is'nt easy for everyone,"

Ia memandang langit yang tak nampak lagi satupun bintang. Terdengar guntur disusul petir, Asha tersenyum getir saat satu ingatan terlintas.

"...and me."


HAPPY READING
-frutaagum

 

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Chapter 1
1
0
Lo, sih! Kalo bukan karena lo, kita ga perlu repot-repot bersihin gudang OSIS kayak begini! Hardik Gladys, Kelfin mendengus sebal.Ya kalo bukan karena congor lo yang lebar, kita udah ada dirumah sambil leha-leha, kampret. Gausah nyalahin gue segala, kali! Timpal Kelfin, tangannya yang memegang kemoceng membersihkan sela-sela rak yang kotor.Sementara Helda dan Farid hanya mengawasi mereka, tugas dari Asha karena bukan mereka yang ribut tadi. Cepetan, ah! Gue mau pulang, tahu! Kesal Helda yang membuat dia orang itu bungkam. Mereka sudah enggan dimarahi lagi, untung saja tadi Asha masih berbaik hati hanya dengan memberikan mereka hukuman seperti ini.Biasanya lebih menyengsarakan daripada ini.Asha kayaknya tadi capek banget, ya. Sampe kantong matanya gelap gitu. Celetuk Gladys, Helda menghela nafas. Mulut Gladys ini seperti tidak ada tombol 'pause'.Farid mengangguk, mungkin belajar buat Olimpiade. balas Farid, ia juga menyadari kalau Asha terlihat kelelahan atau kurang tidur.Tenaga lo buat ngomong mending buat nyapu nih lantai, daritadi ga selesai kerjaan lo! Cepet, biar gue bisa main. Gladys berdecak, menatap Kelfin sengit walaupun akhirnya diam dan fokus menyapu.Disisi lain, Asha memarkirkan mobilnya. Terlihat mansion mewah kediaman Asha. Ia memberikan kunci mobilnya pada bodyguard di dekatnya.Papa belum pulang? Tanyanya pada kepala pelayan. Belum, nona. Tuan Jean masih mempunyai urusan di London. Jawab Ludwig, pria berdarah Belanda yang mengabdikan diri untuk keluarga Sangkara.Kasih tahu papa buat pulang Rabu depan, aku mau ngerayain ulang tahun Mama sama-sama.Ludwig mengangguk, baik, nona. Saya sudah menyiapkan hal yang anda minta sebelumnya. Asha berdehem, lakukan seperti biasa. Besok aku mau lihat berita itu sudah menjadi headline dimana-mana.Asha berjalan menuju kamarnya, jangan ganggu aku sampai besok.Asha melempar tasnya ke arah sofa. Lalu mengambil beberapa kertas yang dimintanya pada Ludwig. Ia tertawa kecil, lalu meletakkannya lagi.Pandangannya kini tertuju pada handphone hitam miliknya. Ia mengambil handphone itu, membaca pesan dari nomor tak dikenal sembari berbaring.Really? Only this? Ucapnya meremehkan. Suara nyaring terdengar dari tas Asha. Ia berjalan mengambil tas miliknya. Asha mengambil ponsel berwarna pink pastel dengan layar bertulis, Ziva.Hello? What's?Kamu udah sampe rumah? Tanya Ziva, Asha mengangguk tanpa bersuara. Entah kenapa Ziva bisa tau jawabannya. Oke, deh. Tadi aku duluan soalnya ada acara keluarga. Ungkap Ziva.It's okay. Gue juga ada urusan dulu tadi. Ujar Asha, ia kembali merebahkan diri. Menutup matanya sembari menunggu Ziva berbicara.Besok aku gamasuk sekolah, jadi gausah jemput. Mama mau ajak aku ke luar kota, mungkin sekitar lima hari. Asha merespon dengan deheman.Have fun! Ujar Asha pelan.Sure. Yaudah, aku siap-siap dulu ya. Hati-hati selama aku gaada ya. Pesan Ziva sebelum akhirnya panggilannya ditutup olehnya sebab tak direspon Asha.Asha tidak tidur, hanya malas mengeluarkan suara. Ia memandangi langit-langit kamarnya yang berwarna jingga. Ia menatap kearah balkon, yang langsung mengarah ke pantai. Matahari terbenam, sesuatu yang tidak ia sukai. Tapi selalu ia tunggu.                      ____Asha!Panji, seksi keamanan OSIS. Ia mengatur nafasnya, hendak memberitahu Asha. Pacar lo berantem lagi, anjir! Itu kantin hancur karena mereka. Ujar Panji dengan nafas terengah-engah.Asha berdecak, lalu mengode Farid dan Kelfin. Mereka berdua menghela nafas sebelum akhirnya pergi. Tuh manusia kalo ga bolos ya bikin masalah mulu disekolah! Cetus Gladys, sembari memakan makanannya.Ini jam istirahat, biasanya Asha dan anggota inti OSIS memang menggunakan ruangan ini sebagai tempat istirahat. Namanya juga manusia sengklek. Kalo lo udah puyeng, mending sama gue aja, Sha. Tutur Zion wakil bendahara mereka.Dih! Pacar Asha mah mending keles, masih ganteng, kayanya kaya banget! Apalagi bodynya, beh! Komen Gladys, membuat Helda melirik Asha yang terlihat tak tertarik.Lah lo! Udah jelek, kayanya kaya aja, badan juga kayak anak teri! Mana pendek lagi! Sambungnya yang membuat Zion mendengus, tak bisa melawan karena kenyataan.Sayang!Semua orang diruangan menatap empat orang yang berada diambang pintu. Farid dan Kelfin melepas dia orang tersangka kegaduhan. Kalau kekacauan yang dilakukan orang ini, guru bahkan kepala sekolah sudah angkat tangan.Asha memandang dua pelaku itu. Suasana dalam ruangan yang menakutkan, Helda dan yang lain memutuskan keluar. Sementara pemuda yang berstatus pacar dari Asha duduk santai di depan sang gadis.Kenapa lagi? Tanya Asha, ia menyendokkan nasi goreng ke mulutnya.Kian, ketua basket SMA Karang Benua itu menunjuk pemuda bername-tag Karang yang sedang asik memandangi gadisnya.Dia duluan. Gue ga ngapa-ngapain, taunya di langsung nyerang gue. Tuduhnya, membuat Karang meninjunya lagi.Asha menghela nafas, Karang Adityata! Ucapnya lugas, membuat bogeman Karang tertahan. Karang menghempaskan Kian, lalu menyurai rambutnya. Sorry.Bersihin kantin! Kalo kalian berantem lagi, pulang. Kalian keluar dari SMA Karang Benua.Karang menunduk, kekasihnya ini kalau marah benar-benar menakutkan. Keluar!Karang melangkah keluar, menginjak kaki Kian yang masih terbaring di lantai. Kian menutup mulutnya, di situasi ini ia mana berani teriak walaupun sakit. Memang biadab, batin Kian.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan