
INKULTURASI BUDAYA KARO DALAM GEREJA KATOLIK ST FRANSISKUS ASSISI BERASTAGI
Indonesia dikenal sebagai negara yang kaya akan keberagaman budaya, bahasa, dan agama. Salah satu bentuk nyata dari keragaman ini dapat dilihat di wilayah Berastagi, Sumatera Utara, yang merupakan daerah dengan penduduk mayoritas suku Karo. Suku Karo memiliki tradisi, bahasa, dan nilai-nilai budaya yang kuat dan telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat. Di sisi lain, Gereja Katolik, yang hadir di wilayah ini, memiliki ajaran dan praktik universal yang dibawa dari luar Indonesia. Agar dapat...
A.Keunikan dan Keragaman Budaya Karo

Kabupaten Karo terbentang di dataran tinggi sekitar Gunung Sinabung dan Gunung Sibayak, serta dataran tinggi Bukit Barisan. Tetangga terdekat Kabupaten Karo adalah Kabupaten Simalungun. Masyarakat suku Karo hidup berdampingan dengan puak-puak Batak lainnya yang juga berada di wilayah tersebut. Menurut cerita oral, orang-orang Batak berasal dari nenek moyang yang sama. Keturunan mereka menyebar dan membentuk klan-klan sendiri. Klan-klan yang merupakan keluarga besar puak Batak adalah Batak Toba, Simalungun, Mandailing, Phakpak Dairi, dan Batak Karo. Suku Karo adalah masyarakat petani karena didukung oleh faktor ekologi. Tanah pertanian di Kapubaten Karo sangat cocok untuk jenis tanaman sayur-mayur dan buah-buahan. Bahkan sayur mayur dan buah-buahan ini merupakan hasil utama pertanian masyarakat Karo, yang dikonsumsi oleh masyarakat Sumatera Utara.Sama dengan teori kebudayaan yang dimana budaya adalah sistem yang menghubungkan komunitas manusia dengan lingkungan ekologinya.Budaya yang di hasilkan itu tumbuh menjadi sebuah pedoman kehidupan suku karo sesuai dengan kepercayaan yang seiring waktu bertumbuh di tengah masyarakat karo.Rumah adat “si waluh jabu”, kebudayaan ini berasal dari lingkungan yang dimana dataran tinggi biasanya hutan lebih sering di temui daripada daerah pemukiman.Hal ini menjadikan pembentukan budaya seperti Rumah adat yang menggunakan semua bahan bahan dari hutan seperti kayu jati,bambu,pohon aren,dan lain-lain.Perkembangan ini mermabat ke setiap sisi kehidupan masyarkat karo yang menyebabkan kemajemukan budaya di daerah karo itu sendiri.
B. Relevansi Inkulturasi dalam Konteks Gereja Katolik
Inkulturasi memiliki relevansi penting dalam konteks Gereja Katolik, khususnya dalam upayanya menjembatani universalitas ajaran dengan keberagaman budaya lokal. Proses ini memungkinkan Gereja untuk lebih diterima oleh masyarakat setempat dengan mengadaptasi elemen-elemen budaya lokal seperti bahasa, simbol, dan tradisi, ke dalam praktik keagamaannya. Dengan cara ini, Gereja tidak hanya memperkuat ikatan emosional dan spiritual dengan umat, tetapi juga memperkaya liturgi Katolik melalui sentuhan budaya yang unik. Selain itu, inkulturasi berperan dalam melestarikan budaya lokal yang terancam oleh modernisasi, sekaligus menunjukkan bahwa gereja terbuka akan kehidupan masyarakat karo sekaligus sebagi bentuk penghormatan akan budaya lokal. Dengan menghadirkan ajaran agama dalam bingkai budaya yang relevan, Gereja mampu menciptakan ruang yang inklusif, harmonis, dan bermakna bagi umat setempat.Ruang ruang yang relevan ini mungkin menyebabkan ke tidak seimbangan antara budaya karo dan ajaran agama katolik yang juga memiliki pedoman khusus yang tidak bisa di intervensi.Seperti hukum kanonik Gereja, yang mencakup tata cara liturgi, pengelolaan Gereja, serta kehidupan sakramental, tidak dapat dilanggar atau diubah demi menyesuaikan budaya lokal.Namun hal ini tidak menjadi penghalang Gereja untuk terus berkolaborasi dengan budaya lokal.
C.Gereja Katolik St Fransiskus Assisi sebagai contoh Inkulturasi
Gereja Katolik Inkulturatif Karo Santo Fransiskus Asisi memiliki keunikan tersendiri, yaitu dengan adanya adaptasi bentuk bangunan terhadap nilai kearifan lokal yang ada di Kota Berastagi. Gereja paroki Berastagi ini didirikan dengan menerapkan elemen-elemen arsitektur Karo mengingat rumah Karo yang unik, kokoh, artistik, bersifat religius dan komunal, dan mengingat kenyataan bahwa sekarang rumah Karo sudah mulai hilang dalam kenyataan kehidupan sebagai rumah hunian. Gereja merasa perlu melestarikan nilai-nilainya yang agung mengingat tugas.Gereja yang luhur dalam menjunjung tinggi nilai-nilai budaya semua bangsa dan suku di dunia ini. Arsitektur tidak pernah terlepas dari adanya tiga aspek utama yaitu fungsi, bentuk dan makna, dalam hal ini makna dari fungsi dan bentuk arsitektur gereja Katolik dalam proses inkulturasi. Gereja ditujukan untuk mengantarkan kebenaran, keyakinan dan membawa para penganutnya kepada tindakan yang diharapkan sesuai hakekat agama Katolik, sehingga arsitektur gereja selalu menjadi simbol kesakralan, ekspresi konsep teologi, membawa makna atau berperan langsung dalam pembentukan sebuah makna bagi komunitas Kristen (Sutrisno 1993; Gavril 2012). Makna-makna ini tertuang baik dalam wujud arsitekturnya secara keseluruhan, maupun dalam elemen-elemen simbolik yang ada pada objek arsitekturnya (Sutrisno 1993).

Gambar 1. Gereja St Fransiskus Asisi Berastagi
Sumber: https://archdioceseofmedan.or.id/paroki-berastagi/
Gereja ini menjadi salah satu ikon di daerah Berastagi dimana Gereja ini sering di kunjungi Turis yang berkunjung ke daerah Berastagi atau sekitarnya.Gereja ini juga menjadi pendekatan Budaya karo yang lebih mudah di terima kalangan luar daerah yang mungkin kurang mengerti akan budaya karo.Gereja ini juga tetap menyesuaiakan penggunaan simbol,bahasa,dan tradisi dengan cara keagamaan katolik.
D.Pertukaran Elemen Budaya
Pertukaran budaya yang terjadi pada gereja ini berfokus pada bentuk,penggunaan simbol,dan bahasa yang digunakan.Pertukaran budaya yang terjadi berlangsung sudah cukup lama seperti penuturan narasumber bahwa gereja ini di gagas oleh Ir. Henry Lumban Gaol yang sebagai arsitek dari bangunan ini.Gereja ini melakukan peletakan batu pertama pada tanggal 19 Mei 2001 dan berdiri pada tanggal 20 Februari 2005 dengan jumlah umat 10.170 jiwa per 2022.Budaya.Seperti Kubah nya yang menyesuaikan dengan kubah rumah adat karo.

Penggunaan simbol juga menjadi salah satu ciri khas gereja ini dimana banyak simbol dan aksara aksara yang digunakan pada dinding-dinding gereja yang di sertai dengan pahatan pahatan gerejawi katolik seperti hosti perjamuaan kudus,santo santa,peristiwa-peristiwa alkitab,dan lain lain.Hal ini menjadi salah satu hal yang menonjol dari gereja ini karena di desain sedemikian rupa agar terus menunjukan eksistensinya tanpa kehilangan budaya masing masing. Penggunaan simbol-simbol ini menunjukkan bahwa gereja ini masih tetap mengghargai kehidupan-kehidupan masa lalu masyarakat karo yang dimana banyak masyarakat karo terdahulu menganut agama pemena.Simbol simbol ini tidak semata mata menjadi hiasan saja tetapi sebagai gambaran hidup masyarakat karo

jaman dulu yang lebih menekankan permasalahan kehidupan seperti: warna merah yang menggambarkan keberanian dan ke megahan,warna putih yang menggambarkan kesuciaan hati,kuning menggambarkan kekayaan,warna hitam yang menggambarkan jiwa kepemimpinan.Adapun arti pada semua ukiran ukiran di gereja ini secara garis besar bertujuan sebagai penolak bala dan ajaran ajaran yang bertujuan untuk menghindarkan manusia dari masalah masalah yang mungkin terjadi. Yang dimana masyarakat karo percaya bahwa setiap sisi kehidupan manusia pasti menemui masalah,disini lah peran simbol ini masuk sebagai penghubung masyarakat karo zaman dahulu dengan nenek moyang nya agar terhindar dari bala.Ukiran ini manjadi salah satu aspek kehidupan masyarakat karo dimana ukiran ukiran ini tercipta sesuai denga ekologi masyarakat karo yang berada di dataran tinggi.Tetapi ukiran ini tidak mengurangi nilai nilai gereja katolik pada saat ini.Masyarakat karo di sekitar gereja beranggapan bahwa ukiran ukiran ini hanyalah sebagai bentuk penghargaan gereja terhadap kehidupan sosial budaya masyarakat karo dari masa ke masa.Hal ini juga tidak mengurangi kesadaran masyarakat terhadap kebudayaan karo.Inkulturasi pada gereja ini juga terdapat pada penggunaan bahasa nya dalam misa tetapi biasa nya hanya terdapat pada nyanyian atau choir.Namun beberapa gereja katolik di desa lain di kabupaten karo menggunakan bahasa karo pada saat melakukan misa atau perayaan.Menurut penuturan Narasumber hal ini di karena berastagi menjadi salah satu sentra wisata kabupaten karo dimana gereja menyesuaikan hal ini agar ramah turis.Inkulturasi pada upacara keagamaan yang terjadi di gereja ini juga sesuai dengan teori kebudayaan yang ada,dimana masyarakat karo dari masa ke masa hidup dengan cara bertani dan berdagang.Hal ini juga menjadi pertukaran elemen yang signifikan seperti Misa syukur panen, misa ini di tujukan sebagai wujud syukur masyarakat karo atas panen yang berlimpah.Misa ini biasa nya di lakukan di ladang atau Jambur (balai musyawarah masyarakat karo).Selain itu penggunaan kain kain atau motif karo biasanya hanya di gunakan pada perayaan perayaan tertentu seperti Tahbisan Imam,Natal, dan Perayaan Paskah.
E.Pengaruh Inkulturasi Gereja Katolik St. Fransiskus Assisi Berastagi
Inkulturasi budaya di Gereja Katolik St. Fransiskus Assisi Berastagi membawa pengaruh besar dalam mempererat hubungan antara iman Katolik dan budaya Karo. Dengan mengintegrasikan elemen budaya lokal, seperti penggunaan bahasa Karo, simbol, dan musik tradisional dalam liturgi, Gereja menciptakan pengalaman religius yang lebih relevan bagi umat. Hal ini tidak hanya memperdalam spiritualitas umat tetapi juga memperkuat identitas budaya lokal di tengah modernisasi. Gereja menjadi ruang yang harmonis, di mana tradisi dan iman dapat berjalan berdampingan tanpa saling meniadakan. Selain itu, pengaruh inkulturasi ini menjadikan Gereja lebih diterima oleh masyarakat, karena praktik keagamaannya selaras dengan kehidupan sehari-hari mereka. Namun, proses ini juga menantang Gereja untuk menjaga keseimbangan antara ajaran universal Katolik dan adaptasi budaya, sehingga esensi iman tetap terjaga. Inkulturasi ini, pada akhirnya, tidak hanya memperkuat kehidupan spiritual umat, tetapi juga berkontribusi pada pelestarian budaya Karo.
Kesimpulan
Inkulturasi budaya Karo dalam Gereja Katolik St. Fransiskus Assisi Berastagi menunjukkan keberhasilan dalam menjembatani universalitas ajaran Katolik dengan keberagaman budaya lokal. Dengan mengintegrasikan elemen budaya seperti bahasa, simbol adat, musik tradisional, dan upacara keagamaan yang relevan dengan kehidupan agraris masyarakat Karo, Gereja menciptakan ruang religius yang inklusif dan bermakna. Proses ini tidak hanya memperdalam pengalaman spiritual umat tetapi juga melestarikan identitas budaya Karo di tengah modernisasi. Meski menghadapi tantangan dalam menjaga keseimbangan antara nilai-nilai universal Katolik dan adat lokal, inkulturasi ini membuktikan bahwa harmoni antara iman dan budaya dapat dicapai. Gereja St. Fransiskus Assisi Berastagi, melalui pendekatan inkulturatifnya, berperan sebagai penjaga tradisi sekaligus penggerak pembaharuan spiritual yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat lokal.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
