The Tales of Lonalliar: Negeri Para Peri dan Pasukan Kegelapan (BAB II: Perjalanan Singkat ke Kota Metamorphville)

2
0
Deskripsi

Lonalliar, sebuah dunia di mana harmoni dan cinta kasih pernah menjadi bagian dari kehidupan yang penuh kerukunan dan sukacita. Negeri-negeri indah dengan hutan yang dipenuhi nuansa magis, pegunungan bersalju, lautan yang membentang luas, pulau-pulau tropis, dan berbagai keindahan alam lainnya, yang dihuni oleh aneka ragam ras bangsa yang hidup berdampingan dalam damai—peri, elf, manusia, dwarf, dan makhluk-makhluk lainnya. Namun, semua itu berubah ketika Ordo Annioberia, kelompok yang dipimpin...

BAB II

PERJALANAN SINGKAT KE KOTA METAMORPHVILLE

 

Pagi itu, kota Kalliope terasa sedikit berbeda dari suasana malam sebelumnya. Cahaya matahari yang masih malu-malu menembus celah dedaunan, menciptakan pola cahaya dan bayangan yang menari di sepanjang jalan berbatu. Kicauan burung dari berbagai sudut pepohonan berpadu dengan suara gemerincing lonceng angin yang tergantung di dahan-dahan pohon, menghasilkan harmoni alami yang begitu menenangkan. Embun pagi masih menggantung di ujung kelopak bunga mawar di taman kecil depan rumah Sabriele, berkilauan seperti permata yang ditaburkan oleh alam. Beberapa kristal kecil yang tergantung pada ornamen penangkap cahaya matahari, yang tergantung di beberapa ranting dan dahan pepohonan, mulai berpendar samar, membiaskan cahaya dalam warna-warni yang begitu memikat.

Jalanan di sekitar rumah Sabriele mulai hidup dengan suara langkah kaki dan derap roda kereta kuda yang berlalu-lalang, menandakan bahwa aktivitas pagi mulai menggeliat. Aroma tanah yang masih basah oleh embun bercampur dengan wangi berbagai jenis bunga yang bermekaran, menciptakan kesan magis yang menyelimuti suasana pagi. Sesekali terdengar deburan ombak dari pesisir perairan yang berada hanya beberapa langkah saja dari area pemukiman.

Namun, di antara semua keindahan pagi itu, ada sesuatu yang menarik perhatian—sesuatu yang terlihat magis. Dari kejauhan, tampak sesosok bayangan transparan berwarna merah muda melayang dengan anggun di antara pepohonan. Ia bergerak dengan kecepatan yang hampir tidak kasat mata, seolah menjadi bagian dari angin yang berbisik di antara dahan-dahan. Sosok itu semakin mendekat, hingga akhirnya berhenti tepat di depan pagar kecil rumah Sabriele. Begitu cahaya pagi menyentuhnya, wujudnya menjadi lebih jelas—seorang dryad, roh pohon yang anggun dengan kulit yang tampak seperti serat kayu halus dan rambut yang terbuat dari anyaman akar serta kelopak bunga yang bermekaran di sekujur tubuhnya. Pakaian alaminya jelas terbuat dari untaian daun dan bunga yang tampak selalu segar, mengikuti pergerakan angin setiap kali ia bergerak.

Di bahunya tergantung tas selempang dari serat tanaman yang tampak lembut namun terkesan kuat. Di dalam tas tersebut, terselip beberapa gulungan perkamen yang terbuat dari daun atau kulit kayu kering, masing-masing terikat dengan tali tipis yang dihiasi segel lilin unik. Dryad itu tidak mengetuk, tidak menunggu izin, ia hanya melayang dengan tenang dan langsung menembus pintu rumah Sabriele—seolah kayu dan materi padat lainnya bukanlah menjadi penghalang baginya untuk bergerak maju.

Di dalam rumah, ruangan masih diselimuti ketenangan khas pagi hari yang damai. Aromaterapi dari bahan kayu dan bunga kering di beberapa sudut rumah, bercampur dengan udara segar alami yang menyusup melalui jendela celah-celah jendela maupun pintu, menciptakan keharuman khas yang membakar semangat untuk memulai hari. Tampak seorang dryad yang anggun tadi melayang-layang di sekitar ruang keluarga, di mana sebuah meja kayu berdiri kokoh di tengah ruangan. Dengan gerakan bagaikan menari di atas angin, ia meletakkan beberapa gulungan perkamen di atasnya, menyusunnya dengan rapi sebelum berbalik dan keluar kembali—tanpa suara, tanpa jejak—sunyi senyap dan tidak menciptakan kegaduhan apa pun.

Namun, yang terjadi selanjutnya lebih menakjubkan. Begitu dryad itu mencapai area pekarangan depan rumah, tepatnya di bawah pohon tua yang menjulang tinggi di seberang rumah, sebuah portal berbentuk lingkaran perlahan terbuka di udara. Cahaya hijau keemasan yang berkilauan di sepanjang tepiannya, menciptakan pusaran energi yang bergetar lembut. Tanpa ragu, dryad itu melangkah masuk, dan dalam sekejap, portal itu menutup kembali, meninggalkan keheningan yang hanya diiringi suara hembusan angin yang bertiup lembut di antara dedaunan.

Tak lama kemudian, dari arah tangga di dalam rumah Sabriele, terdengar suara langkah kaki yang ringan. Ibu Sabriele tampak turun dari lantai dua, tampak anggun mengenakan gaun berwarna biru pastel dan mantel hitam. Ia kemudian menatap meja kayu di ruang keluarga, lalu tersenyum kecil seolah-olah sesuatu yang ia tunggu-tunggu akhirnya tiba.

 

“Oh, tampaknya dryad baru saja datang. Banyak sekali surat untuk kita hari ini!” seru ibu Sabriele yang tampak antusias.

 

Suara ibu Sabriele menghidupkan suasana yang tadinya tenang di dalam rumah. Ia kemudian berjalan mendekati meja kayu dan mulai memeriksa satu per satu gulungan perkamen yang tersusun rapi itu. Jemarinya dengan luwes membuka beberapa di antaranya, membaca isinya sekilas sebelum berpindah ke yang lain. Namun, tiba-tiba gerakannya terhenti. Tatapannya melekat pada salah satu gulungan perkamen yang berbeda dari yang lain—lebih besar, lebih berat, dan segelnya berwarna perak berkilauan, dihiasi segel lilin dengan berukiran api dan burung phoenix.

Ia menatap segel itu cukup lama, seolah ada sesuatu yang menggetarkan hatinya. Udara di sekitar seakan menjadi lebih ringan. Perlahan, ia menghela napas dalam-dalam sebelum membuka gulungan surat tersebut yang ternyata dari suaminya, Elderon Silverflame.

 

Lianne, aku tidak jadi pulang minggu ini, masih banyak pekerjaan menumpuk di sini yang perlu diselesaikan. Perdana Menteri memintaku untuk segera mengurus kekacauan yang terjadi di daerah perbatasan. Bagaimana dengan Sabriele? Apa kau sudah mulai mendaftarkannya ke Frostywillow Institute? Ingat bulan depan awal semesternya dan pendaftaran akan berakhir lusa. Nanti aku kabari lagi dan sampaikan pelukan hangatku untuk putri kita tercinta. 

 

Salam sayang,

 

Elderon Silverflame

 

Ayah Sabriele adalah seorang pria tampan dari bangsa peri campuran dengan perawakan tinggi dan berisi. Ia bekerja di Kementerian Hubungan Antarbangsa sebagai asisten pribadi menteri. Pekerjaannya cukup vital dan mewajibkannya untuk berada di ibu kota sehingga ia kerap kali hanya pulang ke Kalliope pada saat akhir pekan saja.

Setelah menggulung kembali surat dari suaminya itu, ibu Sabriele mengalihkan perhatiannya ke surat lain yang terlihat mencolok. Ia kemudian mengambil surat tersebut dan segera membuka gulungannya dengan hati-hati. Surat berbahan perkamen dengan aroma seperti bunga melati yang disegel menggunakan akar pohon dan stempel lilin berukiran kristal permata itu ternyata dikirimkan oleh kepala sekolah Frostywillow Institute.

 

Yth. Ny. Lianne Silverflame,

 

Kami selaku pengurus Frostywillow Institute ingin memberitahukan bahwa Sabriele Silverflame telah resmi terdaftar sebagai siswi di sekolah kami. Sebagai informasi, semester akan dimulai awal bulan depan. Kami menyertakan daftar perlengkapan yang harus dibeli dan dipersiapkan sebelum memulai program belajar-mengajar di sekolah asrama kami. Berikut kami juga lampirkan tiket kapal pesiar Frostywillow Cruise untuk menuju sekolah kami.

 

Hormat kami,

 

Profesor Nisla Crystalgust

NB: Diamond Unicorn

 

Setelah selesai membacanya, ibu Sabriele menggulung kembali perkamen tersebut. Ia pun mengambil lampiran perlengkapan sekolah Sabriele untuk membacanya sekilas—berisikan daftar buku-buku, seragam, tongkat sihir peri, dan brang lainnya yang perlu dibeli. Setelah itu, lampiran perlengkapan sekolah serta tiket kapal pesiar menuju Frostywillow Institute, yang tersemat dalam surat tersebut, dan dimasukkannya ke kantong pakaiannya. Ia tampak terdiam sejenak, seakan-akan berpikir, lalu ia membereskan surat-surat yang ada di atas meja tersebut dengan cepat.

 

“Wah, ternyata cukup banyak juga perlengkapannya!” gumamnya sembari menghela napas. “Omong-omong, sepertinya sinar matahari sudah mulai menyapa kota. Apa Sabriele sudah bangun?” lanjutnya sambil berjalan menuju anak tangga untuk ke kamar anaknya.

Ibu Sabriele melangkah dengan tenang menaiki anak tangga, membiarkan jemarinya menyusuri pegangan kayu yang terasa hangat. Cahaya pagi menembus jendela kecil dengan kaca patri di ujung lorong, menciptakan bayangan lembut berwarna-warni di sepanjang dinding. Saat tiba di depan kamar putrinya, ia menarik napas sejenak, menikmati ketenangan pagi sebelum akhirnya mengetuk pintu dengan pelan dan membukanya.

Begitu masuk, ia disambut oleh kehangatan ruangan yang dipenuhi aroma bunga lavender, yang tertata rapi di dalam vas bunga besar, di sudut meja rias. Tirai berwarna putih susu masih tertutup, menahan sinar matahari yang mulai mengintip dari balik jendela. Dengan anggun, Ibu Sabriele melangkah menuju jendela dan menarik gorden itu perlahan. Cahaya dari sang surya langsung menyusup masuk, menerangi kamar dengan kelembutan yang hangat.

Ia menoleh ke arah ranjang dan tersenyum melihat putrinya masih meringkuk dalam selimutnya. Wajah anak gadisnya tampak damai seperti bidadari kecil yang tengah terbuai dalam mimpi indah. Dengan langkah yang anggun, ia mendekat dan duduk di tepi ranjang, lalu dengan lembut membelai rambut lembut putrinya.

 

"Sayang… sudah pagi," bisiknya dengan suara selembut hembusan angin pagi.

 

Sabriele menggeliat pelan, tetapi masih enggan membuka matanya. Ia hanya menggumam kecil dan menarik selimutnya lebih erat. Bahkan, ia mencoba menghindari sinar matahari yang mulai menghangatkan wajahnya.

 

Ibu Sabriele tertawa kecil. "Hmm… apakah putri kesayangan ibu masih ingin tidur meskipun sinar matahari sudah datang menjemputnya?" tanyanya dengan nada menggoda.

Mendengar candaan tersebut, Sabriele akhirnya membuka sedikit matanya, lalu tersenyum kecil. "Ibu… aku masih mengantuk," gumamnya dengan suara serak khas bangun tidur.

Ibu Sabriele menggelengkan kepala, lalu menunduk mendekati putrinya. "Tapi hari ini indah sekali, Sayang. Lihatlah, sinar matahari ingin mengajakmu bermain," katanya sambil menunjuk ke arah jendela. “Kau tidak ingat ya hari ini kita akan pergi ke Metamorphville?” tanya ibunya dengan lembut, mengingatkan putrinya tentang rencana yang telah disepakati tadi malam.

 

Sabriele perlahan mengucek matanya, lalu duduk sambil meregangkan tubuhnya. Cahaya pagi menyentuh wajahnya, membuat matanya yang berbinar tampak semakin bersinar. Ia menghela napas panjang, lalu memberikan tersenyum manis ke arah ibunya. "Baiklah… aku bangun," ujarnya.

 

“Segeralah mandi dan gunakan pakaian terbaikmu ya. Ibu akan menyiapkan sarapan untuk kita dulu di dapur,” seru ibu Sabriele sembari melangkah ke arah pintu, kemudian keluar dari kamar putrinya itu.

 

Ibu Sabriele tampak menuruni anak tangga dengan anggun, membiarkan ujung gaun birunya yang lembut sedikit menyapu kayu yang mengkilap. Udara pagi masih berhembus segar dari celah-celah pintu dan jendela, serta sinar matahari yang masuk melalui kaca patri pada pintu bermotif bunga menciptakan pola indah di lantai. Ia tersenyum kecil, menikmati ketenangan sejenak sebelum akhirnya melangkah menuju dapur.

Dapur itu masih dalam keadaan rapi, seperti malam sebelumnya. Panci dan peralatan masak tersusun rapi di rak, dan aroma teh mawar yang tersisa di dalam ketel masih samar-samar tercium. Meja makan pun terlihat tertata rapi seperti saat makan malam sebelumnya. Taplak hijau pupus yang lembut masih membalut meja dengan indah. Di tengahnya, sebuah rangkaian bunga segar dan lilin panjang menghiasi, menciptakan suasana yang lebih hangat.

Sementara itu, di lantai atas, Sabriele sudah sepenuhnya terbangun. Setelah menggeliat beberapa saat di tempat tidurnya, ia melompat turun dan berjalan menuju kamar mandi. Air dingin menyentuh wajahnya, membantunya bangun dan menghilangkan sisa-sisa kantuk yang ia rasakan. Rambut yang sedikit berantakan segera ia rapikan dengan cepat, lalu ia menatap bayangannya di cermin dan tersenyum. Ia kemudian mulai membersihkan diri untuk bersiap-siap menuju ibu kota seperti yang telah direncanakan sebelumnya.

Selagi putrinya menyiapkan diri, dengan cekatan, Ibu Sabriele mulai mempersiapkan bahan-bahan untuk sarapan pagi. Ia berencana untuk membuat panekuk, keahlian yang sudah bertahun-tahun ia kuasai. Tanpa ragu, ia membuat adonan dengan resep spesial yang pastinya disukai oleh keluarganya.

Tidak perlu lama, adonan yang ia siapkan telah tercampur dengan sempurna. Ia kemudian menuangkan adonan panekuk tersebut ke dalam penggorengan khusus panekuk yang telah dipanaskan. Aroma wangi dari adonan rasa vanila yang ia tengah masak menyebar ke seluruh ruangan—pastinya menggugah selera siapa pun yang menciumnya.

Dengan lincah, ia membolak-balik panekuk dengan sempurna, memastikan kedua belah sisi matang dengan baik. Ia terus mengulangi tahapan tersebut beberapa kali hingga setumpuk panekuk keemasan tersusun rapi di atas piring saji. Tak lupa ia letakkan beberapa buah rasberi untuk menemani panekuknya itu.

Namun, ada satu hal istimewa yang tertangkap pada pagi itu—suatu sentuhan kecil dari keajaiban yang sungguh menarik. Dengan lembut, ibu Sabriele mengambil tongkat sihir perinya dari dalam saku dalam mantelnya. Tongkat sihir peri tersebut terbuat dari tangkai bunga mawar merah, dililit akar tanaman, dan dihiasi kristal ametis dan kelopak bunga mawar merah di ujungnya.

 

“Wahai alam semesta, berikan energimu,” ucap ibu Sabriele lirih. “Fiestiemeyzaa,” lanjutnya sambil mengayunkan tongkat sihirnya ke arah meja makan. Cahaya lembut berpendar saat ia mengayunkan tongkat sihir perinya itu dengan anggun.

 

Piring-piring yang kosong perlahan melayang, menata dirinya sendiri di atas meja makan. Cangkir-cangkir teh dan peralatan makan lainnya pun berputar ringan di udara sebelum akhirnya mendarat dengan sempurna. Bahkan, botol sirup madu terbuka sendiri dan menuangkan takaran yang pas di atas panekuk tanpa tumpah sedikit pun—suatu pemandangan magis yang memikat siapa pun yang melihatnya.

 

“Wah, cukup rapi untuk hari ini!” ungkapnya seraya mengagumi pekerjaannya. Setelah cukup puas dengan apa yang dilakukan, ia kemudian memasukkan kembali tongkat sihir perinya ke kantong dalam mantelnya.

 

Tak lama kemudian, Sabriele turun dengan langkah ringan, mengenakan blus putih yang bersih dan rok merah kotak-kotak yang berkibar lembut setiap kali ia bergerak. Rambut pendeknya yang hitam berkilau tergerai dengan indah, dihiasi jepit rambut merah berbentuk hati yang membuatnya tampak semakin manis. Aroma panekuk vanila yang menggoda langsung menyambutnya begitu ia tiba di ruang makan, membuat perutnya yang sejak tadi bergejolak semakin tak sabar untuk melahap masakan ibunya itu.

Mata Sabriele terlihat berbinar saat melihat meja makan yang tertata rapi dengan taplak hijau pupus yang lembut. Di tengahnya, sebuah vas kecil berisi bunga segar menambah kehangatan suasana. Ia tersenyum lebar saat melihat setumpuk panekuk keemasan yang mengeluarkan aroma wangi yang menggugah selera, ditemani mangkuk kecil berisi sirup madu dan beberapa buah rasberi di sisinya. Tak hanya itu, ada pula beberapa potong keju yang tertata rapi di piring dan segelas jus stroberi berwarna merah muda yang tampak segar.

Ia berjalan mendekat ke meja makan dengan penuh antusias sambil terus menghirup aroma lezat yang memenuhi ruangan. Dengan penuh semangat, ia menarik kursinya dan duduk di atasnya. Ia tampak sangat siap untuk menyantap hidangan yang sudah menggoda perutnya yang telah lapar.

 

“Pagi Sabriele, kamu tampak cantik hari ini, nak. Ayo makan sarapanmu!” seru ibu Sabriele dengan senyum yang merekah di bibir berlipstik merah mudanya.

“Terima kasih, bu. Menu pagi ini enak sekali, ada panekuk kesukaanku!” ujar Sabriele penuh semangat dengan senyuman yang lebar.

Ibu Sabriele tertawa kecil, lalu duduk di hadapan putrinya. “Tentu saja, sayang. Apapun untuk gadis kecilku,” katanya sambil menuangkan teh bunga kamomil ke dalam cangkir porselen berukir bunga.

Sabriele memasukkan potongan panekuk ke dalam mulutnya dan mengunyah dengan nikmat. Ia menutup matanya sejenak, menikmati kelembutan adonan dan aroma vanila yang memenuhi indra pengecapnya. “Mmm… Ini benar-benar enak!” pujinya.

Ibu Sabriele terkekeh kecil. “Wah, itu suatu pujian yang menyentuh,” katanya sambil menyeruput tehnya dengan anggun.

Sabriele kemudian mengambil gelas jus stroberinya dan mengangkatnya tinggi-tinggi. “Kalau begitu, kita harus bersulang! Untuk pagi yang indah dan sarapan yang luar biasa!” serunya penuh semangat.

Ibu Sabriele pun ikut mengangkat cangkir tehnya dan tersenyum. “Untuk pagi yang indah, dan hari yang penuh kebahagiaan!” balasnya.

 

Mereka berdua saling tersenyum dan mendentingkan gelas serta cangkir mereka dengan lembut. Suara dentingan kecil terdengar di antara mereka, menambah keceriaan suasana. Mereka kemudian menyeruput minuman mereka masing-masing dengan saling bertatapan.

 

“Tapi, bu, pasti ada sedikit sihir di dalamnya, kan? Karena rasa semua masakan ibu selalu lebih enak!” goda Sabriele sambil mengambil garpu dan pisau untuk memotong sepotong panekuk.

Ibu Sabriele tersenyum, kemudian menyeruput teh hangatnya dengan anggun. “Mungkin rahasianya bukan pada sihir yang digunakan, tetapi karena ibu membuatnya dengan penuh cinta,” ujarnya sambil mengedipkan sebelah kiri matanya.

Sabriele memasukkan potongan panekuk ke dalam mulutnya. Raut wajahnya terlihat berseri dengan senyuman lebar saat mengunyahnya. “Aku yakin ada sihir di sini! candanya.

Ibu Sabriele tertawa pelan sambil menatap wajah putrinya. “Kalau sihir seperti itu ada, ibu akan sangat terbantu,” balasnya.

 

Mereka kemudian lanjut menyantap hidangan sarapan yang tersaji di atas meja makan. Sabriele yang terlihat sangat lapar, melahap setiap makanan yang ada dengan lahap. Sementara itu, ibunya tampak menikmati panekuk yang ia masak dengan lebih anggun sambil sesekali menyeruput teh kamomil dari cangkirnya.

Tak lama setelah itu, mereka berdua tampak hampir menyelesaikan santapan sarapan mereka sambil bercengkerama. Mereka menikmati setiap gigitan terakhir dari panekuk vanila yang lembut, jus stroberi yang menyegarkan, dan keju yang gurih. Meja yang sebelumnya penuh dengan makanan kini terlihat hampir kosong, hanya menyisakan aroma makanan yang masih menggantung di udara.

 

Sabriele meletakkan garpunya sambil menghela napas penuh kepuasan. "Aku kenyang sekali!" serunya dengan mata berbinar, kedua tangannya mengusap perutnya yang penuh.

Ibu Sabriele tertawa kecil, lalu meneguk sisa tehnya sebelum meletakkan cangkirnya dengan anggun. "Apa kamu sudah selesai, Sabriele?" tanyanya sambil mengeluarkan tongkat sihir perinya dari kantong dalam mantelnya. 

“Sudah, bu!” jawab Sabriele riang.

"Kalau begitu, kita harus segera berangkat," ujar ibu Sabriele, kemudian beranjak dari kursinya. "Tapi sebelum itu, tolong panggilkan kereta kuda terbang. Ibu harus merapikan meja dan piring ini terlebih dahulu. Kali ini ibu akan menggunakan sihir. Tak ada waktu untuk mengerjakannya tanpa bantuan sihir, kan?" lanjutnya, lalu tertawa kecil.

Senyum jahil merekah di bibir Sabriele. "Ibu selalu bilang ingin mengerjakan semuanya tanpa sihir, tapi lihatlah sekarang," godanya.

Ibu Sabriele menggelengkan kepala sambil tersenyum., lalu mengacungkan tongkat sihir perinya ke arah meja makan. "Wahai alam semesta, berikan energimu… Muydieotomaana!" serunya. Udara di sekitar mereka terasa bergetar lembut saat mantra tersebut diucapkan dengan suara yang hampir seperti bisikan angin.

 

Seketika, cahaya lembut keunguan melesat dari ujung tongkatnya, menyelimuti seluruh meja makan. Piring, cangkir, dan peralatan lainnya mulai melayang satu per satu, bergerak dengan anggun menuju mesin pencuci piring yang terbuka secara otomatis. Sisa-sisa remah roti dan tetesan jus menghilang dalam sekejap, seakan terserap oleh udara. Meja pun kembali bersih seperti semula dalam hitungan detik, seolah-olah tak pernah digunakan.

 

Sabriele, yang sedari tadi mengamati dengan penuh kekaguman. "Luar biasa! Aku tidak akan pernah bosan melihat sihir ini!" pujinya sambil bertepuk tangan kecil.

"Sihir itu tidak semerta-merta digunakan dan harus dipakai dengan bijak," ujar ibu Sabriele lembut. "Sekarang bergegaslah, minta dryad memanggilkan kereta kuda untuk kita!" pintanya.

 

Sabriele segera bangkit dari kursinya dan berlari kecil menuju pintu masuk utama rumah mereka. Begitu melangkah keluar, ia disambut oleh semilir angin pagi dan aroma bunga yang semerbak. Ranting pepohonan di depan rumah mereka bergoyang lembut, beberapa dedaunan tampak berjatuhan seperti menari di udara.

 

Dengan suara lembut, ia tampak memanggil dryad yang sepertinya masih berada di dalam pohonnya, "Magnolia, aku butuh bantuanmu!"

 

Tiba-tiba, dari dalam batang pohon muncul sesosok dryad dengan rambut panjang berwarna merah muda yang menjuntai seperti kelopak bunga magnolia. Matanya yang berwarna merah muda menatap Sabriele dengan penuh kelembutan. Dengan lembut ia melayang ke arah Sabriele yang berdiri di depan pintu masuk rumah.

 

"Kami membutuhkan kereta kuda terbang. Ibu dan aku akan pergi ke Metamorphville," ujar Sabriele dengan sopan.

 

Dryad tersebut mengangguk dan mengangkat tangannya yang ramping untuk memberikan isyarat bahwa ia akan segera melakukannya. Dengan anggun, ia meninggalkan Sabriele untuk terbang ke arah jalanan. Beberapa saat kemudian, portal cahaya muncul dan dryad itu kemudian masuk ke dalamnya tanpa keraguan. Dalam sekejap portal tersebut langsung menghilang dan menyisakan hembusan angin beraroma bunga yang segar.

Tak lama kemudian, dari kejauhan terdengar suara gemerincing lonceng kecil. Dari balik awan, sebuah kereta kuda megah berwarna keemasan melayang turun dengan anggun. Ditarik oleh seekor pegasus putih bersayap indah dan kokoh, kereta kuda itu tampak berkilauan di bawah sinar matahari pagi. Kereta kuda tersebut terus turun secara perlahan sebelum akhirnya mendarat dengan presisi, tepat di depan rumah Sabriele.

 

Di kursi kusir, seorang gnome tua berjenggot putih tebal duduk dengan penuh wibawa, mengenakan mantel biru tua dan topi tinggi yang hampir menutupi matanya. Dengan suara berat namun ramah, ia berseru, "Selamat pagi, Nona cantik! Siap untuk perjalanan hari ini?"

Sabriele berbalik badan dan melihat ibunya yang sudah berdiri di ambang pintu. "Kereta sudah tiba, Bu!" seru Sabriele antusias.

"Kalau begitu, mari kita berangkat," balas ibu Sabriele dengan penuh semangat.

 

Sabriele segera berlari kecil menghampiri kereta kuda yang berhenti di depan rumahnya. Ia kemudian segera naik ke atas kereta kuda tersebut dengan hati-hati. Ia duduk di area penumpang yang terlihat cukup lega dengan jendela berukuran besar yang memungkinkannya mengamati situasi di luar dengan leluasa.

Sementara itu, ibunya tampak berada di depan pintu masuk rumah. Ia telah mengganti mantelnya yang menjadi berwarna kuning bermotif bunga mawar putih, dilengkapi dengan topi berwarna senada yang bertengger di kepalanya. Setelah memastikan rumahnya telah terkunci dengan aman, ia berjalan menuju kereta kuda, kemudian masuk ke dalam kereta kuda mewah itu.

 

“Selamat pagi, saya Duraz Bitterbuckle, siap mengantar Anda. Ke mana tujuan Anda, Nyonya?” tanya pengemudi kereta kuda terbang tersebut dengan ramah.

“Pollenwood!” jawab ibu Sabriele dengan ramah sambil memeriksa isi tas jinjing kecil yang ia pangku.

 

Sang kusir mengangguk dengan penuh keyakinan. Ia kemudian mulai menggerakkan tali kendali yang membuat pegasus di depannya mengibaskan sayapnya yang kuat. Dengan satu hentakan ringan, mereka mulai berjalan perlahan, meninggalkan rumah mereka yang perlahan mengecil di kejauhan.

 

Angin segar, yang masuk melalui jendela yang sedikit terbuka, menyapu wajah Sabriele dan membuat jantungnya berdebar penuh kegembiraan. Ia menoleh ke ibunya dan tersenyum lebar. "Ini akan menjadi petualangan yang menyenangkan!"

Ibu Sabriele tersenyum. "Tentu saja, sayang. Metamorphville adalah kota yang penuh keajaiban, dan hari ini, kita akan merasakannya bersama!" responsnya sambil mengusap telapak tangan putrinya dengan lembut.

 

Pegasus menarik kereta kuda tersebut dengan lebih kencang, hentakan kakinya dan kepakan sayapnya yang kuat menggetarkan tanah sebelum akhirnya melayang lembut di atas permukaan. Roda-roda emasnya yang sebelumnya menyentuh tanah kini berputar tanpa hambatan. Sayapnya yang besar dan berkilauan terus mengepak dengan ritme yang semakin cepat, menciptakan pusaran angin yang menerbangkan dedaunan kering di sekitar mereka. Cahaya matahari pagi memantul di bulu putihnya yang bersih, membuatnya tampak seperti makhluk surgawi yang menakjubkan.

 

Dari atas langit, pepohonan hijau terbentang seperti permadani luas, sungai berkilauan seperti pita perak yang membelah daratan, lautan yang membatasi kota tampak tenang bagaikan kolam kristal yang memanjakan mata, dan bangunan-bangunan tampak seperti miniatur yang tertata rapi. Sabriele menghela napas panjang, merasakan udara segar yang terus menerpa wajahnya dengan lembut. Sesekali ia melihat burung-burung dan serangga yang ikut terbang bersama mereka. Bahkan, dari kejauhan pun terlihat beberapa kereta kuda terbang lainnya yang juga melintas di antara awan-awan.

Sementara itu, pegasus terus mengepakkan sayapnya dengan penuh keanggunan, membawa mereka semakin tinggi melewati gumpalan awan putih yang lembut seperti kapas. Langit biru terbentang luas tanpa batas, dan sinar matahari yang hangat membuat perjalanan itu terasa seperti berada di negeri awan. Suasana di atas langit jauh lebih hening dan penuh dengan pemandangan yang memesona.

Dari jendela di kereta kuda tersebut, terlihat jelas pemandangan kaki langit kota Kalliope yang tampak seperti negeri dongeng. Wilayah dari kota besar ini dipenuhi bangunan megah dan kastil yang berdiri kokoh dengan hamparan taman yang sangat rimbun dan cantik di setiap sudutnya. Pagi itu matahari memancarkan sinar yang sangat cerah dan hangat, membuat para makhluk bersayap pun ikut beterbangan dengan riang di langit kota yang biru bagaikan. Tampak juga beberapa prajurit yang terbang menggunakan sayap imajiner mereka yang turut meramaikan lalu lintas udara.

 

“Sepertinya ini hari yang sibuk bagi semua makhluk di kota ini,” celetuk ibu Sabriele sembari mengawasi sekeliling.

“Begitu damai dan bahagia melihat berbagai makhluk hidup berdampingan di kota ini,” timpal sang kusir sambil menavigasi kereta kudanya dengan penuh keluwesan.

 

Kereta kuda terus melesat dengan pasti, melewati gumpalan awan yang terlihat lembut bagaikan busa. Pegasus yang menariknya mengepakkan sayap kokohnya dengan anggun, membuat perjalanan terasa begitu mulus. Sesekali sang kusir menurunkan ketinggian dari kereta kudanya sebelum naik kembali lebih tinggi. Angin yang berhembus lembut membawa berbagai aroma yang bercampur aduk—wangi vanilla dan kayu manis pada roti panggang yang berasal dari rumah-rumah atau kedai-kedai kecil, semerbak harum bunga-bunga yang tercium bagaikan parfum, serta aroma air laut yang menyegarkan.

Setelah melewati langit kota Kalliope, kereta kuda terbang yang membawa Sabriele dan ibunya kemudian memasuki hamparan hutan yang luas. Hutan tersebut merupakan perbatasan antara kota Kalliope yang Metamorphville. Dari atas langit, hanya terlihat pepohonan hijau yang rimbun, menutupi seluruh area hutan yang disebut hutan Bloomae itu.

 

“Sekitar lima belas menit lagi kita akan sampai tujuan, Nyonya,” ujar sang kusir.

“Baik. Nanti turunkan kami di seberang Pollenwood saja,” balas ibu Sabriele sembari menyiapkan beberapa koin perak dari dalam tas jinjingnya untuk membayar jasa kereta kuda terbang yang mereka naiki.

 

Tidak terasa, setengah perjalanan telah mereka tempuh. Kereta kuda terbang terus melesat dengan cepat melewati langit di atas hutan Bloomae. Tidak jauh dari posisi mereka saat ini, benteng kota Metamorphville mulai terlihat dengan puluhan menara yang mengelilingi area masuk kota tersebut. Tidak seperti kota Kalliope, dari kejauhan, ibu kota terlihat jauh lebih megah dan rimbun. Terdapat banyak bangunan-bangunan yang berdiri kokoh, serta taman-taman dan kolam-kolam cantik yang tersebar, mengelilingi istana kerajaan yang begitu megah dan tampak mewah. Arsitektur dari ibu kota tersebut terlihat begitu modern namun masih menunjukkan sentuhan sejarah dan tata kota yang benar-benar rapi yang menyatu dengan alam secara harmonis dan terlihat begitu indah.

Sang kusir pun terus memacu pegasusnya dengan kecepatan yang stabil. Kini mereka berada semakin dekat dengan wilayah perbatasan antara hutan dan ibu kota yang tampak dijaga ketat oleh puluhan atau bahkan ratusan prajurit yang tersebar di berbagai titik. Karena berada semakin dekat dan akan segera memasuki kota, sang kusir pun mulai mengibarkan bendera berwarna biru tua yang merupakan warna dari kota Kalliope untuk menginformasikan kepada penjaga di sekitar benteng kota untuk memberikan akses kepadanya untuk memasuki wilayah ibu kota.

Dari salah satu menara, seorang prajurit tampak mengibarkan bendera berwarna hijau yang memberikan isyarat bahwa kereta kuda terbang yang dinaiki oleh Sabriele dan ibunya boleh melintas di atas wilayah udara kota. Prajurit itu tampak mengibarkan bendera tersebut dengan penuh semangat, dan beberapa prajurit lain yang berada di menara lain juga tampak melakukan hal yang sama untuk memberikan izin kepada siapa pun yang akan melintas ataupun masuk ke dalam wilayah ibu kota kerajaan Faespringland tersebut.

Dari dalam kereta kuda terbang yang dinaiki Sabriele, lanskap kota ini dikelilingi pegunungan Kirckwick yang dipenuhi berada di area hutan Bloomae yang lebat. Tidak hanya itu, ibu kota kerajaan ini juga memiliki sebuah danau super besar bernama Thurberry, yang mengelilingi kota sehingga seakan-akan wilayah Metamorphvile berada di suatu pulau di tengahnya. Beberapa air terjun juga tampak di sekitar batas luar kota yang mengalirkan air yang terlihat jernih melalui sungai-sungai yang saling terhubung.

Kini, sang kusir mulai menerbangkan kereta kuda terbangnya dengan cukup rendah dan mulai memasuki wilayah benteng kota. Pegasus yang menarik kereta kuda tersebut terus membawa mereka semakin masuk ke dalam kota, melewati area pertokoan kecil yang masih terlihat tenang. Jalan-jalan berbatu yang membentang di bawahnya belum terlalu ramai, hanya terlihat beberapa pemilik toko yang mulai mengatur dagangan mereka, menyapu trotoar, dan menyalakan lentera di depan kedai masing-masing. Pusat dari bangsa peri metamorph ini benar-benar merupakan tempat yang penuh keindahan dan keajaiban yang bercampur dengan kedamaian dan keramahan dari para penduduknya.

Setelah itu mereka memasuki area yang lebih padat dengan bagunan-bangunan yang berukuran lebih besar dan luas. Di antara deretan bangunan bergaya klasik dengan jendela kaca besar dan papan nama berukir indah, terdapat satu toko yang menarik perhatian—Hollytwill, sebuah butik yang terkenal dengan koleksi busana dan aksesori magisnya. Toko itu hanya beroperasi dari sore hingga malam hari. Meskipun saat ini masih tertutup rapat, papan namanya yang berkilauan seakan sudah menyiapkan keajaiban yang menanti para pengunjung saat matahari mulai tenggelam.

Di sepanjang jalan utama, beberapa penduduk terlihat berlalu-lalang, sebagian besar adalah para pekerja yang hendak memulai hari mereka. Seorang peri metamorph lelaki tua dengan jubah panjang berjalan sambil membawa tumpukan buku tebal, sementara di sekitarnya beberapa yang lainnya tampak berjalan membawa koper kecil atau tas kerja mereka. Seorang pemilik kedai teh tampak sedang mengatur meja-meja kayu di luar tokonya, sementara seorang peri metamorph perempuan muda berambut keperakan tengah menyapu dedaunan yang berguguran di depan pintu sebuah toko alat musik. Semuanya terlihat sibuk dengan aktivitas dan pekerjaan mereka masing-masing.

Dari dalam kereta kuda terbangnya, Sabriele memperhatikan semua itu dengan penuh rasa ingin tahu. Sorot matanya berbinar melihat kehidupan kota yang perlahan mulai menunjukkan jati dirinya sebagai sebuah ibu kota yang padat. Sesekali ia melemparkan senyuman ke arah anak-anak kecil yang menyapanya dari bawah saat kereta kudanya melewati mereka.

 

“Kota ini begitu hidup. Aku suka melihat suasana ketika orang-orang memulai harinya,” serunya sambil mencondongkan kepalanya ke jendela kereta.

Ibu Sabriele tersenyum lembut. “Setuju, sayang. Pagi adalah waktu yang istimewa. Setiap orang mempersiapkan harinya dengan harapan dan semangat baru,” ujarnya sambil turut menatap ke luar jendela. “Dan sebentar lagi, kita akan segera sampai di Pollenwood.” lanjutnya sambil mengacungkan jari telunjuknya ke arah depan.

 

Pollenwood, tempat tujuan mereka, terletak kurang lebih dua kilometer lagi dari posisi mereka sekarang. Pertokoan itu dikenal sebagai tempat yang sering dikunjungi oleh para penduduk kota Metamorphville, bahkan kota-kota lainnya di Faespringland, untuk berbelanja kebutuhan sekolah, rumah tangga, dan lainnya. Bangunan yang luas ini bukan sekadar pertokoaan biasa—di dalamnya menyimpan banyak barang yang dijajakan dengan tata ruang yang begitu klasik, bahkan terlihat seperti memasuki sebuah kota di dalam kota yang penuh keajaiban.

 

--------

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya The Tales of Lonalliar: Negeri Para Peri dan Pasukan Kegelapan (BAB III: Petualangan Kecil di Pertokoan Pollenwood)
2
0
Lonalliar, sebuah dunia di mana harmoni dan cinta kasih pernah menjadi bagian dari kehidupan yang penuh kerukunan dan sukacita. Negeri-negeri indah dengan hutan yang dipenuhi nuansa magis, pegunungan bersalju, lautan yang membentang luas, pulau-pulau tropis, dan berbagai keindahan alam lainnya, yang dihuni oleh aneka ragam ras bangsa yang hidup berdampingan dalam damai—peri, elf, manusia, dwarf, dan makhluk-makhluk lainnya. Namun, semua itu berubah ketika Ordo Annioberia, kelompok yang dipimpin oleh Ratu Annioberia, seorang penyihir hitam yang muncul dengan ambisi untuk menguasai dunia dan mengubah tatanan dunia yang dikuasai oleh kekuatan kegelapan.Beberapa negeri dari berbagai ras bangsa telah jatuh ke tangan mereka. Negeri-negeri yang dulu penuh dengan kedamaian dan toleransi antarbangsa kini hancur atau dikuasi penuh oleh kelompok mereka. Bahkan, para warga mereka memutuskan untuk menjadi pasukan kegelapan yang bertekuk lutut di bawah kekuasaan sang ratu dari bangsa penyihir hitam. Mereka yang menolak untuk bergabung harus berhadapan dengan maut atau mencari suaka di negeri atau wilayah lainnya. Kedamaian yang pernah ada kini hanya menjadi kenangan.Ini adalah sebuah petualangan epik di mana pertempuran, pertumpahan darah, pengkhianatan, persahabatan, cinta kasih, misteri, dan rahasia yang tersembunyi akan terungkap. Dan hanya mereka yang cukup kuat yang akan bertahan. Semuanya hanya menunggu waktu untuk mengungkapkan akhir dari kekacauan yang terjadi di Lonalliar. NB: Selamat membaca! Perlu diketahui untuk TIDAK melakukan penyebaran karya ini secara ilegal dan melakukan tindakan yang bertentangan dengan hak cipta. Segala aktivitas yang berkaitan dengan pelanggaran tersebut akan ditindaklanjuti sesuai hukum yang berlaku.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan