
Selamat bertemu Agnor Malika ✨️
Buat yang nungguin, maaf ya kemaleman 😭

"Permintaan lo ada di kantong jaket gue."
Suasana lapangan tembak sore itu cukup sepi, Agnor yang telah memakai perlengkapan sempurna, lengkap dengan earplug dan kacamata safety, lihai memasukkan peluru ke dalam pistol.
"Gue juga punya bonus. Gue pastikan lo menang dalam sidang kali ini."
Senyum Jonathan terbit lebar. Hal paling ia sukai dari Agnor adalah kepercayaan dirinya, walau kadang nyerempet sombong. Namun, tak akan ada yang berani protes dengan kesombongan Agnor. Termasuk ia sendiri.
"Dilihat dari nada bicara lo, ada hal yang menarik dengan targetnya ya?"
Agnor membidik papan target, senyum separuhnya terbit. "Ya, sampai-sampai gue mau ngelubangin kepalanya."
Raut santai Jonnathan menghilang, itu ancaman serius. Agnor tak pernah main-main soal ancaman. "Thanks, bantuannya. Serahin sisanya ke gue, gue bereskan di pengadilan."
"Sudah seharusnya." Tangan Agnor hanya mengambang di udara, belum benar-benar ingin menembak. "Kalau nggak bisa tuntas jalur hukum, lo bisa hubungi gue lagi. Gue bantu."
Agnor sama sekali tak berpikir kalau dokter yang ia mata-matai selama tiga hari, ternyata melakukan hal illegal, memberi painkillers golongan narkotika ke pasien. Dan menjadikan itu sebuah bisnis.
Tentu saja Agnor meradang, ingin rasanya ia ambil pisau-pisau di ruang dokter itu dan memotong tangannya. Namun, Jonathan tak meminta hal itu padanya. Jadi, dengan amat sangat terpaksa. Agnor biarkan.
"Tentu. Thanks."
Memiliki Agnor di belakang layar firma hukum keluarga mereka adalah anugerah, namun juga bisa menjadi senjata makan tuan. Salah bertindak sedikit, puluhan rahasia yang Agnor kantongi bisa menjadi bom waktu menggemparkan public. Jonathan tak berniat main-main, bahkan Ayahnya yang masih menjabat sebagai pimpinan tertinggi di Xiphos Law Firm tak berkutik.
"Siap, Bang?"
Jonathan buru-buru mengumpulkan fokus yang sempat terpecah akibat memikirkan fakta menarik apa yang Agnor dapatkan. Ia ingin cepat kembali ke kantor dan melihat kejutan dari Agnor.
"Oke. Siap."
Kakak beradik itu fokus ke depan, mengangkat pistol, membidik sasaran tembak.
"Fire!"
Dor! Dor!
Suara tembakan terdengar menggema setelah perintah. Keduanya tak mengalihkan sedikit pun fokus dari target, saling berlomba menjadi yang pertama.
"Fire!"
Dor! Dor!
Setelah tembakan ke empat barulah Agnor menurunkan pistolnya. Memeriksa pistol, pelurunya telah habis. Demikian pun Jonathan, kedua berjalan menuju bidikan masing-masing.
"Dapat berapa, Ag?"
"10, 8, 9, 10." Terdengar tak puas sama sekali. "Lo berapa, Bang?"
"9, 7, 8, 9.'
"Lo kalah, kapan-kapan traktir gue makan ya?" Walau bukan kali pertama mengalahkan Jonathan, Agnor tetap senang. "Lain kali sering-sering mampir ke Shooting Range, jangan kebanyakan duduk di balik meja. Kemampuan lo jadi berkurang banyak."
"Gue sibuk bolak-balik pengadilan sama kantor pengacara, nggak sempat ke sini," kata Jonathan sambil melepaskan perlengkapannya. "Nanti malam lo ikut malam malam keluarga?"
Hancur sudah mood Agnor, lelaki itu menekuk wajahnya. Bisa-bisanya Jonathan membahas yang Agnor benci di saat ia masih menikmati kesenangan sesaat ini?
"Nggak!" Singkat, padat, judes. "Gue sibuk."
Selesai melepaskan perlengkapan Agnor, menjauh dari lapangan tembak. Amankan telinganya dari sasaran bom kata-kata dari Jonathan. Ia perlu mood bagus untuk mengerjakan program setelah pulang dari lapangan tembak.
"Mama bilang dia mau nemuin lo sama Veronica."
Jonathan memang lihai sekali menghempaskan suasana hati Agnor. Lihat saja senyumnya yang teramat lebar sambil menerima flash disk darinya.
"Jangan bahas-bahas Veronica sama gue."
Jonathan tertawa, menyenangkan sekali memang melihat raut wajah Agnor yang bisa berubah hitungan detik. Hitung-hitung hiburan untuknya yang kalah skor menembak tadi.
"Kalau lo nggak mau sama Veronica, Mama pasti bakal bawain kandidat baru buat kencan buta sama lo."
Agnor mengacak rambutnya. Otak liciknya mulai membuat perencanaan serius untuk mengusir perempuan-perempuan yang Mamanya bawakan untuknya. Buntu, ia tak menemukan satu pun.
"Buat lo aja, gue nggak tertarik."
"Gue sudah punya bini. Nggak minat mau poligami. Satu aja repot apalagi dua."
Inilah letak masalahnya. Kalau dulu, sebelum Jonathan menikah, sasaran Mamanya adalah Kakaknya. Sekarang, setelah Jonathan menikah, sasaran Mamanya hanya Agnor. Apakah orang tua itu tak punya kesibukan lain selain mencarikan jodoh untuknya?
Agnor sedang tak tertarik berumah tangga. Entah nanti, ia tak tahu.
"Makanya lo nyari pasangan supaya Mama nggak ngerecokin lo lagi." Jonathan menepuk pundak Agnor. "Cari pasangan sebelum Papa ikut turun tangan nyuruh lo kencan buta juga."
"Emangnya dia nggak punya kesibukan lain selain nyariin gue pasangan?"
Tawa Jonathan mengudara. "Menurut gue ya, kayanya Mama panik karna Bara yang sering digosipin gay sama keluarga kita sudah punya calon mau nikah. Dan sebagai orang yang juga sering ikutan ngejek Bara, Mama kena batunya. Kebetulan juga lo nggak pernah bawa perempuan ke acara keluarga, jadi lo sasaran empuk selanjutnya."
Bahu Agnor merosot turun. "Gue ke luar negeri aja kali ya?"
Jonathan mengangguk-angguk. "Ide bagus, kalau lo mau diamuk Papa."
Agnor adalah bayangan firma hukum mereka, kalau Agnor tak ada? Tentu firma masih bisa berdiri, hanya saja ada kasus-kasus khusus yang memerlukan Agnor turun tangan.
Dengan kata lain, Agnor Melviano ada Kartu As Xiphos Law Firm. Ayah mereka sangat menginginkan Agnor ikut terjun ke dunia hukum, tapi manusia pembuat onar itu memberontak, hingga Jonathan yang menjadi tumpuan utamanya.
Ponselnya yang bergetar beberapa kali, Agnor jadikan pelarian sejEnak dari pembahasan tak bermutu dengan Jonathan.
08xxxx
Halo, Agnor
Ini gue Malika, jangan lupa di save ya.
Agnor
Oke
Alis Jonathan yang masih setia berada di sisi Agnor itu mengerut. Terlebih ketika ia melihat langsung Agnor menyimpan kontak dengan nama 'Malika' di ponsel pribadi Agnor yang biasa ia gunakan untuk menyimpan kontak keluarga dan teman-temannya.
Sudah dipastikan Malika bukan klien, tapi siapa?
"Calon adik ipar gue?"
Agnor mendorong wajah Jonathan dari bahunya. "Sembarangan, dia adik teman gue."
Jonathan tersenyum jahil. "Adik teman ..." katanya dengan nada mengejek. "Namanya unik juga ya, Malika, kayak iklan kecap. Kok bisa namanya Malika?"
"Mana gue tahu."
"Ya siapa tahu aja kan entar lo tahu."
"Apa sih, nggak jelas."
Tak ingin Jonathan kian menjadi, Agnor dengan cepat berbalik menuju tempat motor sport-nya terparkir. Menjadikan Malika adik ipar Jonathan? Maaf saja, tidak ada dalam daftar keinginannya.
Lagi pula, ia akan dirujak Satria kalau berani mendekati Malika. Agnor masih ingin hidup damai.
Malika
Lagi sibuk, nggak?
Gue mau nanya boleh?
Agnor
Nggak
Malika
Nggak sibuk ya?
Agnor
Nggak boleh nanya, gue lagi sibuk di luar
Malika
Oh oke, kira-kira kapan gue boleh tanya ya?
Agnor
Nanti gue kabarin.
Kapan? Ya kapan-kapan.

"Udah ada kabar dari Agnor belum, Mal?"
"Belum, Ren."
Sampai jadwal bimbingannya di tetapkan, Agnor tak ada kabar. Malika sungkan lagi bertanya setelah Agnor mengatakan akan mengabarinya saat lelaki itu luang. Namun, kapan manusia sibuk seperti Agnor punya waktu luang?
"Tanya sekali lagi, Mal. Siapa tahu dia lupa."
"Gue nggak enak, Ren. Mungkin dia emang lagi sibuk."
Tak ada sedikit pun hari yang Malika lewati tanpa memeriksa aplikasi pesan, hanya untuk melihat, apakah Agnor ada menghubunginya?
Sudah hampir seminggu berlalu tak ada kabar. Haruskah Malika mendengarkan saran Iren? Tapi ia takut Agnor menganggapnya tak sabaran.
"Iya juga ya ... Apalagi dari awal dia memang nggak minat bantu. Kita nggak bisa maksa, kan?"
Perempuan yang hanya dibalut kaos dan celana panjang itu menghela napas berat. Ia memang berencana bertanya pada Agnor lagi, tapi jika seminggu berlalu. Untuk sekarang, ia akan menunggu.
"Seengganya, jadwal bimbingan gue sudah ada. Elo? Kapan bimbingan sama Ibu Kustini?"
Itu adalah kabar baik. Malika sudah pasti bimbingan dua hari lagi, bersamaan dengan mahasiswa lain yang satu dosen pembimbing.
Maka dari itu, Malika fokus menyusun proposal skripsi yang sekiranya bisa ia kerjakan, desain program ia desain semaksimal yang ia bisa. Sehingga nanti, ketika bimbingan dosennya tinggal mengoreksi.
"Gue? Entah, minggu depan mungkin?" suara Iren di seberang sana terdengar tak yakin. "Gue sudah pasrah, Mal. Beneran, pasrah. Gue kerjain sebisanya aja, deh. Nanti sharing hasil bimbingan sama Pak Rian ya, beliau kan katanya kalau ngebimbing detail."
"Aman kata, gue mah." Mobil Malika berbelok perlahan menuju kosan Felix. Ini hanya niat spontan selagi searah dengan jalan pulang. "Gue mau singgah bentar di kosan Felix, siapa tahu doi lagi selingkuh sama Sindi, tapi katanya sih tadi lagi ngumpul sama teman-temannya."
Ia juga telah membelikan Felix beberapa bungkus makanan ringan. Anggap saja kebaikan terakhir sebelum besok ia menjadikan Felix samsak tinju.
"Kalo ternyata dia bohong ngumpul sama teman-temannya dan berduaan sama Sindi gimana, Mal?"
"Engga, gue tadi ada video call bentar, dia beneran sama teman-temannya kok." Mobil hitam itu melipir ketika sampai di kosan dua tingkat berhalaman luas, beberapa mobil dan motor terparkir rapi. Malika hanya ingin mampir sebentar. "Tuh motor Felix ada di parkiran, dia beneran ada di kosan, Ren. Sudah dulu ya, gue mau turun."
"Sip, jangan lupa besok kabarin gue ya."
Besok Malika akan membawa Felix makan di tempat kerja Sindi, biarlah ia selesaikan masalahnya di sana. Sukur-sukur kalau Sindi dipecat sekalian. Malika sudah muak!
Telepon dimatikan dan Malika untuk sesaat terdiam. Telinganya samar-samar mendengar petikan gitar dan suara nyanyian laki-laki. Itu pasti teman-teman Felix.
"Senyum, Malika. Senyum."
Setelah itu ia turun dari mobil dengan membawa plastik putih berisi penuh camilan. Langkahnya terayun mantap menuju asal suara petikan gitar di teras kos yang tertutup oleh parkiran mobil.
Namun, senyum Malika luntur ketika melihat dua sejoli yang berpelukan mesra dipojok perkumpulan para lelaki. Petikan gitar terhenti, dan dua orang itu masih tak sadar situasi.
Bukan perselingkuhan itu yang membuat hati Malika seperti diremas-remas, tapi fakta kalau teman-teman Felix selama ini tahu perbuatan brengsek temannya.
"BAJINGAN!"
Kantong kresek berisi makanan itu Malika lempar pada dua sejoli yang masih sibuk berpelukan. Teman-teman Felix mundur, samar-samar Malika mendengar 'gue nggak ikut campur'.
Felix dan Sindi yang sibuk saling memangku itu terlonjak kaget, marah tentu saja dengan lemparan yang entah datang dari mana. Namun, saat mata mereka bertemu pandang dengan Malika. Kemarahan itu berubah seperkian detik layaknya ekspresi maling tertangkap basah.
"Begini ya kelakuan lo di belakang gue? Enak selingkuh? Enak punya dua cewek, jawab bangsat!"
Malika tarik kerah baju Felix, ia bawa ke tengah-tengah kursi mereka yang memang membentuk pola melingkar. Hanya Felix dan Sindi yang duduk di pojok, melipir dari keramaian untuk bermesraan.
"Kamu apa-apaan sih, Mal!" Felix murka, ia tak terima ditarik paksa oleh Malika. Dipermalukan di depan teman-temannya. "Aku cuman duduk berdua doang sama Sindi, apa salahnya sih?"
Pahit sakit hatinya Malika telan bulat-bulat, tak sudi ia menangis di depan Felix dan teman-temannya. "Lo pikir gue nggak tahu lo selingkuh sama Sindi? Lo pikir gue buta? Gue tahu, cuman gue diem."
Malika tertawa getir. Siapa pun sadar ia mati-matian menahan tangis. "Ternyata semakin didiemin lo semakin nggak tahu diri. Teman-teman lo juga sama brengseknya."
Mata Malika melirik sekitar. Ayo ngamuk, Malika. Ayo! Bisik batin itu ia telan bulat-bulat. Malika lelah sekali hari ini, ia tidak punya tenaga bahkan untuk mengamuk.
"Aku nggak selingkuh sama Sindi, Mal. Kamu salah paham." Felix berusaha meraih tangan Malika. "Aku memang dekat sama Sindi, tapi kami nggak selingkuh."
"Gue punya bukti-buktinya." Malika menepis tangan Felix. "Lo mau gue lempar bukti-buktinya ke muka lo hah?!"
"Mana buktinya?" Felix merengsek maju, berusaha memupus jarak dengan Malika tapi dengan cepat ditarik salah seorang temannya. "Mana bukti gue selingkuh, hah?! Lo memang dari dulu nggak suka sama Sindi, makanya nuduh-nuduh gue selingkuh, kan? Kalau mau putus bilang saja baik-baik, nggak usah nuduh-nuduh gue selingkuh."
"Hahaha, gue nuduh? Lo nggak sudah playing victim deh. Muak gue sama lo."
Inilah yang Malika takutkan, Falix sangat hebat berlagak seolah korban dan Malika adalah penjahatnya.
"Kalau lo muak sama gue, pergi dari sini! Gue juga muak liat muka lo!"
Byur!
Wajah memerah marah Felix kian meradang mendapat siraman kopi hangat dari Malika. Sedikit saja lebih panas, kopi itu pasti akan membuat kulit mukanya melepuh.
"CEWEK BANGSAT!"
"Lix, ingat Lix, dia cewek Lix."
Di saat tiga teman Felix ricuh menahan Felix untuk tak menerjang Malika, perempuan itu tetap tegak berdiri. Tangan Malika mengepal erat, berusaha untuk tak membuat kericuhan lebih besar karna beberapa penghuni kos mulai mengintip penasaran atas keributan yang mereka timbulkan. Tak peduli dengan segala macam pumpatan di mulut Felix, Malika tetap berkata, "Semoga, yang lo lakuin ke gue juga terjadi sama adik perempuan lo. Semoga lo dapat karma, berkali-kali lipat dari sakit yang gue dapatkan."
Setelah itu kaki Malika melangkah menjauhi kerumunan, Sindi yang melipir ke pinggir cepat bersembunyi di antara tubuh teman-teman Felix. Sayang sekali, padahal Malika ingin mencakar wajahnya.
Begini saja, kah?
Ini kah pembalasan yang Malika mau? Tidak. Bukan ini yang Malika harapkan. Ini bahkan tak mencapai setengah dari yang ia harapkan.
"Harusnya kalian ngasih gue peringatan dong kalau Malika datang ke sini. Lo duduk ngadep parkiran kan, Sa?"
Malika tertawa getir. Ia masih bisa samar-samar mendengar suara Felix yang memaki teman-temannya. Lelaki itu bahkan tak meminta maaf pada Malika. Sedikit pun tak ada rasa bersalah padanya.
Ia mengusap kasar air matanya setelah memasuki mobil. Jangan menangis Malika, jangan menangis!
Drrtt drttt
Agnor
Gue malam ini ke rumah lo, jadi mau nanya ga?
Malika
Jadi, gue masih di jalan pulang. Tungguin bentar ya.
Andai Malika tak singgah lebih dulu di kosan Felix sebelum pulang, ia pasti akan melompat-lompat bahagia menerima pesan dari Agnor.
Sekarang? Hampa. Entah ke mana hormon-hormon pemicu bahagianya menghilang.
"Sedihnya di pending dulu ya, Mal. Kita bimbingan dulu." Gadis itu mengusap-usap dadanya. Sesak. "Kalau mau nangis nanti ya, setelah nanya sama Agnor. Semangat!"
Sesedih apa pun ia saat ini, hidup Malika harus terus berjalan. Mobilnya melaju dengan kecepatan sedang, beberapa kali ia akan bengong, beberapa kali juga ia mengusap ujung matanya yang basah. Sungguh keajaiban Malika sampai rumah dengan selamat.
Agnor benar-benar ada di rumahnya, dua teman Satria yang lain juga ada di sana—Haikal dan Fras. Malika mengusap ujung matanya, bercermin menggunakan kamera depan ponsel, jangan sampai ia terlihat kacau.
Tarik napas, buang perlahan dari mulut.
Ia melihat Ayahnya juga ke luar dari rumah, dan berjalan menghampirinya, membuat kesedihan yang sempat bisa Malika tepis itu berkumpul lebih banyak. Sesak mengimpit dada.
"Satria, bantuin bawa belanjaan adik kamu, Sat!"
Malika membuka pintu mobil dengan senyum. Membiarkan ayahnya dan Satria bergerak menuju bagasi, tempat kertas-kertas, selotip dan pita belanjaan Malika tersimpan.
"Kenapa lo?" Ayahnya telah masuk lebih dulu membawa belanjaan Malika memasuki rumah. Sedangkan Satria, setia berjalan di samping Malika. "Bukannya harusnya lo bahagia ya hari ini bisa nanya-nanya sama Agnor. Noh, anaknya sudah nyampe sejak lima belas menit yang lalu."
Dengan sebelah tangan menenteng kantong kresek besar, sebelah tangan Satria yang bebas merangkul leher sambil menarik-narik pipi Malika. "Senyum dong! Senyuum, senyum Kacang Kedelai ayo senyum."
"Lo apaan sih!" Tangis Malika pecah. "Gue nggak suka tahu di cubit-cubit begini. Sakit tahu."
"Lah? Begitu doang nangis, cengeng. Nggak usah drama deh." Satria mencubit-cubit pipi Malika kembali. Cengengesan menertawakan tangis Malika yang ia pikir bercanda. Namun, ketika air mata itu jatuh mengenai telapak tangannya. Belanjaan yang Satria pegang kuruh ke halaman penuh rumput.
"Eh? Lo nangis beneran?"
Bagaimana cara Malika menceritakan semuanya pada Satria, Ayah, Ibu dan adiknya yang juga melihatnya menangis saat ini?
Terlebih bagaimana ia harus menemui Agnor setelah ini?
Rencana Malika berantakan, benar-benar berantakan.

Apakah rencana Malika benar-benar akan berantakan?
Kita liat nanti ya 🔥
Sampai jumpa bab depan
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
