Paduka Agnor Bab 14 dan 15

16
5
Deskripsi

Bab ini berisi 2 bab ✨️

Bab 14. Cara menenangkan Malika

Bab 15. Kita ini apa?

 

Happy reading semuanya 
 

post-image-67383e0847f3c.png

Bab 14. Cara Menenangkan Malika
"Gue curiga habis wisuda lo bakal nikah sama Agnor."

"Kecurigaan macam apa itu?"

Sidang proposal skripsi Iren telah selesai setengah jam lalu. Sekarang Malika tengah duduk bersantai di gezebo kampus dengan menikmati roti bersama Iren dan teman-temannya yang lain—yang sibuk berfoto tak jauh dari tempat Malika dan Iren duduk.

Seharusnya Malika bisa langsung pergi ke apartemen Agnor sekarang. Namun, gadis itu sengaja mengulur waktu agar bisa berleha-leha lebih lama.

"Ya lo liat aja sekarang, lo sama Agnor kaya orang pacaran. Eh bukan pacaran, suami istri maksud gue. Nggak tinggal serumah doang. Suami istri paruh waktu judulnya." Iren memasukkan proposal skripsi yang penuh dengan coretan revisi ke dalam totebag.

"Ngarang!"

Meski Malika telah mengatakan alasan masuk akal dibalik dirinya yang setiap hari mengantar makanan ke apartemen Agnor. Tetap saja, Iren tak bisa untuk tak menaruh curiga.

"Lo pernah mikir nggak Mal. Agnor yang begitu, nggak akan mungkin dengan suka rela narik elo masuk ke kehidupan pribadinya, apalagi ngasih atmnya ke elo, kalau dia nggak ada rasa sebelumnya ke elo."

Bagaimana pun Iren mencoba memikirkannya, terlepas dari simbiosis mutualisme antara Agnor dan Malika. Rasanya tetap tak masuk akal.

"Maksud gue ya Mal. Agnor ini, dia bisa nyewa chef pribadi, atau langganan katering tiap hari tanpa nyuruh elo buat masakin dia. Selama ini dia nggak ngelakuin itu, karna dia nggak mau doang. Udah."

Iren memperbaiki duduknya. Lamat menatap Malika yang juga mulai berpikir. "Sepengamatan gue ya ... ya walaupun gue pernah ketemu Agnor bisa dihitung jari, terus gue gabungin sama cerita elo yang bilang Agnor sukanya sarapan telor dadar ala kadarnya. Dia ini tipe orang yang makan cuman buat menyambung hidup doang. Dia nggak peduli dia makan apa yang penting kenyang. Padahal dia bisa bayar chef pribadi atau catering tiap hari, tapi dia nggak mau. Ya karna nggak mau aja."

"Iya juga ya ... padahal masakan gue begitu-begitu doang perasaan."

Iren menggeleng tak setuju. "Masakan lo enak banget, gue akui. Cuman maksud gue, kenapa Agnor yang setertutup itu, mau lo suka rela masuk ke kehidupannya. Masakin dia tiap hari, ngeladenin chating random lo, dan suka rela ngasih space buat lo di apartemennya dia. Lo mikir nggak sih, Mal?"

Malika menggaruk kepalanya. Ia tak pernah berpikir jauh sampai ke sana. Menurutnya, selama skripsinya aman. Sisanya ia tak akan ambil pusing.

"Begini Ren, menurut gue ya. Pertama, gue minta bantuan dia dan dia bantuin gue, jadi mau nggak mau, ya dia harus suka rela dong gue masuk ke kehidupannya dia."

"Bukan begitu maksud gue Malika." Iren gergetan. Otaknya yang sebelumnya sudah ngebul karna seminal proposal, makin ngebul dengan sifat tak peka sahabatnya. "Maksud gue—akhh, buntu otak gue."

"Begini ..." Iren menarik napas panjang, berpikir sejenak. "Maksud gue, kehidupan dia itu ... ya kehidupan pribadi dia. Bukan sekedar asal lewat doang. Bayangin dia ngasih atm ke elo, ngebiarin lo ikut makan siang sama dia, ngebiarin lo nyantai di balkon apartemennya dia. Itu sudah masuk ranah yang pribadi banget, Mal. Apalagi lo bantuin dia beresin apartemen."

"Bukan yang minta lo masakin, terus digojekin aja ke apartnya dia atau dititip satpam misal. Engga. Lo bilang, dia yang nawarin lo buat masak di apartemennya dia. Dia, Malika. Dia yang nawarin," kata Iren menggebu-gebu. "Dia menyambut baik niat lo buat masakin dia. Dia memfasilitasi elo. Lo pernah nggak sih mikir, yang dia lakuin itu adalah cara dia buat narik elo masuk ke kehidupannya dia. Dia nyari perhatian lo, Malika. Lo nyadar nggak sih?"

"Ah, nggak mungkin lah." Malika tidak ingin berharap. Apalagi dengan hal yang tak pasti. "Ini Agnor loh, Ren. Agnor. Si Vero aja dia nggak tertarik apalagi gue."

"Simple, tipenya dia bukan Vero, tipenya dia elo. Mau menurut lo Vero cantik banget pun, kalau dia nggak mau, ya dia nggak bakalan mau."

"Begitu? Tapi—masa sih? Kalo dia tertarik sama gue, kenapa waktu pertama kali gue minta bantuan dia. Dia malah nolak? Gue coba liat dari sudut mana pun, nggak ada tanda-tanda dia suka sama gue sebelumnya. Dia nggak jutek lagi ke gue ya setelah dia nolongin gue waktu itu, terus makin ke sini ya kaya teman aja. Nggak gimana-gimana."

"Nggak gimana-gimana apanya? Lo tiap hari ke apartemen dia itu sudah gimana-gimana namanya."

Malika tak bisa membantah.

"Menurut gue ya, mungkin sebelumnya dia emang ada ketertarikan ke elo, tapi cuman sekedar tertarik doang. Udah. Dia nggak punya alasan buat maju. Pertama, Abang lo bakal ngamuk, ke dua waktu itu lo masih sama pacar brengsek lo itu."

Mau tak mau Malika merenungkan perkataan Iren. Terlebih dengan dirinya yang saat ini sibuk berbalas pesan dengan Agnor, membuatnya berpikir.

Agnor yang sebelumnya di chat senin balasnya rabu, kenapa bisa se fast respons ini ya sekarang?

"Au ah, pusing gue Ren. Jangan bahas Agnor lagi, nggak bakal nemu jawabannya kalo nggak tanya yang bersangkutan langsung."

"Lo berani nanya langsung ga?"

"Ya pasti engga lah. Kalo ternyata dia nggak punya rasa ke gue dan berakhir ngejauhin gue, nasib skripsi gue gimana Ren?"

Iren menyandarkan kepala di pundak Malika sambil menepuk-nepuk lengan sahabatnya. "Rumit ya, Mal. Mending nggak usah ditanya deh. Mari fokus kerjain program, setelahnya baru pikirin belakangan."

"Mau ngerjain program besok, Ren?"

"Heh! Gue masih pusing ya. Jangan bahas-bahas program sama gue. Gue mau healing." Iren menegakkan kepalanya dari bersandar di pundak Malika. "Pulang yuk, gue puyeng kelamaan di kampus."

Menyadari dirinya yang setelah ini akan pergi ke tempat Agnor. Mau tak mau membuat Malika kembali berpikir. Agnor suka padanya? Masa sih?

***
 


Sampai apartemen Agnor pun, Malika masih memikirkan perkataan Iren. Bukan ia ingin memikirkannya, tapi ia kepikiran. Seberapa keras pun ia menyangkal, dengan keadaan tanpa teman bicara, otak Malika berisik.

"Hedeh, pusing gue." Ia memijit pelipisnya sambil bersandar di sisi lift. "Gue masak apa ya hari ini?"

Walau Malika telah mengatakan pada Agnor ia akan memasak udang hari ini, tetap saja Malika pusing memikirkan pendamping udangnya. Goreng kerupuk aja kali ya?

Sesampai di tempat unit apartemen Agnor, Malika perlu menarik napas dalam sebelum melangkah ke luar lift.

"Lo nggak beneran pacaran sama dia kan, Ag? Engga, kan? Masa lo mau sama cewe biseksual sih?"

Tidak, bukan keberadaan Veronica di depan unitnya Agnor yang membuat Malika berhenti melangkah. Melainkan kata biseksual. Kesalahpahaman itu masih berlanjut rupanya.

"Malika nggak akan berpaling ke cewe atau pun cowo kalau pacarnya gue. Jadi lo nggak usah mikirin hubungan gue."

"Agnor tunggu dulu!"

"Apalagi? Lo—oh, Sayang!"

Malika menggaruk kening, rencana putar baliknya berakhir gagal karna Agnor lebih dulu menangkap keberadaannya. Padahal Malika ingin melarikan diri, biarlah Agnor yang berurusan dengan Veronica, tapi karna sudah terlanjur ketahuan. Mau bagaimana lagi?

Veronica yang menangkap keberadaannya membelalak kaget. Menyambut kekagetan itu, Malika melambai ramah. "Halo, ketemu lagi ya kita," katanya dari kejauhan.

"Sudah lihat, kan? Gue nggak bisa makan siang sama lo. Gue sudah janji sama pacar gue." Lelaki yang hanya dibalut celana pendek di atas lutut itu menunjuk Malika dengan dagunya. "Nggak ada janji sama pacar gue pun, gue tetap nggak mau makan sama lo. Sayang cepetan jalannya!"

Sebentar, Malika baru sadar Agnor memanggilnya bukan dengan nama melainkan: Sayang?

Jangan-jangan Agnor memang suka sama dia, ya?

Tanpa menjawab, Malika berjalan cepat. Ia melepaskan jaketnya, menutupi tubuh tanpa baju Agnor dari pandangan Veronica. Sudah seperti pacar sungguhan belum Malika?

"Lo nggak punya temannya ya sampai-sampai harus ngajak cowok orang buat makan sama lo?" Sebelah tangan Malika menahan jaketnya agar tetap menutupi badan Agnor. Walau sebenarnya, jaket anti uv warna ungu tersebut sama sekali tak bisa menutupi badan Agnor sepenuhnya. "Gue cemburuan loh orangnya."

Veronica menyelipkan rambut panjangnya ke belakang telinga. "Gue disuruh mamanya, Agnor."

"Lo pikir gue peduli?" Malika mendorong Agnor untuk masuk ke dalam apartemen. Membiarkan pintu tersebut sedikit terbuka dengan dia yang berdiri menghadang Veronica. "Lo belum pernah liat gue ngamuk ya? Gue galak loh. Gue selama ini diam karna lo belum kelewatan aja. Dan hari ini lo sudah kelewatan."

Malika melipat tangan di depan dada, mengambil langkah maju, mempersempit jarak hingga Veronica mau tak mau melangkah mundur. "Pergi dari sini sebelum rambut panjang lo gue cabutin satu-satu." Ia kemudian meraih sejumput rambut Veronica. "Gue punya boneka barbie di rumah, jadi rambut lo cocok—"

"Jangan sentuh gue!"

"Sentuh dikit doang masa nggak boleh?"

Veronica refleks menutupi tubuhnya yang dibalut dress merah muda dengan kedua tangan. "Gue masih normal ya! Gue sukanya Agnor bukan suka sama lo!"

Sabar, Malika sabar ... Jambak boleh tidak sih? "Siapa juga yang suka sama lo?! Ngaca deh, lo nggak se wah itu sampai gue mau belok sama lo. Mending Agnor kemana-mana."

Lagi, Malika mengambil langkah maju. Rahangnya mengetat dengan tatapan tajam. "Pergi dari sini sebelum lo gue buat nggak baik-baik aja. Satu ... dua ..."

"Oke fine! Gue pastiin lo nggak akan pernah dapat restunya orang tua Agnor!" kata Veronica sebelum melangkah menjauh.

Malika hanya mengangkat bahu sambil melambai. "Bye, jangan ke sini lagi ya. Lo ganggu pemandangan soalnya."

Malika bernapas lega begitu Veronica melangkah kian jauh tanpa menengok ke belakang. Agnor ketemu gadis merepotkan seperti itu di mana sih? Menambah kerjaan Malika saja.

"Udah." Malika merebut jaketnya dari tangan Agnor yang setia berdiri di belakang pintu. "Lo nyuruh gue ngusir dia, kan?"

Lelaki itu mengacungi jempol. "Bagus."

"Ini terakhir kali gue ngusir dia ya, ke depannya gue males berhadapan sama dia."

Agnor mengekor Malika yang berjalan menuju dapur. "Kenapa?"

"Karna dia nyebelin. Apalagi?!" Malika membuka kulkas, mengambil salah satu kaleng minuman soda. Ia perlu mendinginkan amarahnya karna Veronica. "Masa setiap ketemu gue, dia selalu nuduh gue nggak normal. Ya kali, Ag?!"

"Bukannya elo duluan yang—"

"Lo belain dia?"

"Engga, gue cuman bilang faktanya."

"Itu namanya lo belain dia." Malika berujar kesal. "Au ah, hari ini selain tumis udang mau makan apa lagi?" Selesai menyeruput sodanya, Malika lanjut mengeluarkan udang dari freezer. "Kerupuk aja mau ga?"

"Mau."

"Oke, lo pakai baju sana."

Agnor tak menggubris, ia tetap berdiri di sekitar Malika. "Perlu gue bantu apa?"

"Nggak usah, lo cukup perlu pakai baju." Malika lanjut mengeluarkan sayuran dari dalam kulkas.

"Gue gerah, Mal. Nggak mau pakai baju."

Malika tak meladeni Agnor lagi. Ia lanjut merendam udang beku dengan air dingin, memotong tomat, cabe, per bawang an dengan mengabaikan Agnor yang setia berdiri di sekitarnya.

"Lo mau apa berdiri di sini, Ag?"

Masalahnya Agnor hanya mengenakan celana pendek di atas lutut, tanpa baju dengan roti sobek yang terpampang nyata ke mana-mana. Malika sudah menahan diri untuk tak menjatuhkan matanya di sana, tapi kenapa manusia satu ini malah berkeliaran di sekitarnya tanpa niat berpakaian sama sekali?!

Agnor menjawab santai. "Liat lo masak."

"Iya gue tahu, tapi nggak harus berdiri di samping gue juga." Malika menunjuk meja makan dengan pisaunya. "Duduk di sana gih."

"Kalau gue nggak mau duduk di sana emangnya kenapa?"

"Lo mengganggu konsentrasi gue."

"Masalahnya adalah mata gue kayanya minus Mal, jadi gue nggak bisa kalau ngeliat lo dari jauh. Nggak jelas," alasannya.

"Pakai kacamata Paduka ya ampun!" Malika berhenti mengiris bawang, kali ini ia memilih menarik tangan Agnor untuk menjauh dari area dapur. Ia membawa laki-laki itu ke ruang tamu dan menyalakan televisi. "Nah lo diem di sini."

"Sebentar." Begitu Malika siap menjauh, Agnor menahan tangan Malika. "Lo marah sama gue ya?" tanyanya penuh selidik.

"Engga. Perasaan lo doang kali." Tangan Malika ditarik, hingga dia sempurna berdiri di depan Agnor yang duduk di atas sofa.

"Tapi kok gue ngerasa lo marah sama gue ya?"

"Lo salah apa sama gue sampai gue harus marah emangnya?"

Tangan Agnor masih enggan melepaskan tangan Malika. "Engga ada sih."

"Ya udah."

"Tapi lo biasanya nggak masalah gue dekat-dekat sama lo." Genggaman Agnor mengerat ketika Malika berniat melepaskan tangan Agnor dari lengannya. "Lo marah karna nganggap gue belain Veronica ya?"

"Engga." Gengsi sekali Malika harus mengaku marah hanya karna hal sesepele itu?

"Gue sama sekali nggak niat belain dia--"

"Lo cuman ngomong faktanya." Malika menyambung perkataan Agnor. "Ya udah sih, salah gue juga yang bilang kalau gue suka cewe cantik. Bukan salah elo atau Vero. Salah gue."

Aduh, bagaimana cara menenangkan perempuan marah ya? Seharusnya Agnor tak mengatakan macam-macam tadi. Ia hanya ingin menjahili Malika, tak tahu kalau berujung membuat Malika kesal.

"Gue minta maaf."

Teman-temannya bilang, kalau perempuan mereka marah, apa pun masalahnya dan siapa pun yang salah. Cowok harus minta maaf duluan. Agnor tak percaya dia yang dulunya menentang pendapat tersebut malah minta maaf lebih dulu. Kalau teman-temannya tahu, Agnor pasti jadi bahan bulan-bulanan.

Terbukti sekarang raut wajah Malika melunak. "Kenapa jadi lo yang minta maaf? lo kan nggak salah."

Solusi kedua setelah minta maaf menurut teman-temannya adalah peluk.  Namun, Agnor pasti akan ditinju Malika kalau berani memeluk gadis itu, kan?

Kali ini Agnor kehabisan kata-kata. Ia mendongak, menatap Malika yang ternyata juga nenatapnya, lebih tepatnya, menatap perut Agnor.

"Oh ini ..." Belum sempat Agnor menjelaskan perihal tato di perutnya, Malika membuang pandang.

"Gue mau masak." Kemudian menjauh begitu saja.

Agnor mengacak rambut gondrongnya yang masih setengah basah. Ia mematikan televisi dan berulang kali melirik Malika di dapur. Biasanya ia suka hening, tapi keheningan bersama Malika itu beda.

Gadis itu biasanya bawel. Dan sekarang ketika tiba-tiba diam seperti ini rasanya ada yang kurang. Namun Agnor tak tahu cara supaya berhenti membuat Malika marah.

Lama ia duduk diam di sofa, lelaki itu akhirnya bangkit dengan banyak pertimbangan. Ia kembali berdiri di sisi Malika yang telah menuang masakannya ke dalam piring saji.

"Apalagi?" Tanya Malika, melirik sekilas Agnor di belakangnya.

Agnor tak menjawab. Namun, ia mantap memupus jarak dan memeluk Malika dari belakang

"Sorry," bisiknya yang sukses membuat Malika mematung.

post-image-67383e0a34436.png

Bab 15. Kita Ini Apa?


Malika memutuskan untuk tak memikirkan prasangka Iren yang hanya akan menambah beban pikiran tanpa penyelesaian. Mari fokus pada masa depan untuk menyelesaikan skripsi dan mencari resep baru untuk Agnor.

Kalau Agnor puas dengan masakannya, jalan menuju skripsi dengan nilai A akan semakin terang benderang ya kan?

Lagi pula, dibanding memikirkan perasaan Agnor, lebih baik memikirkan diri sendiri. Bagaimana jadinya kalau di tengah jalan Malika malah jatuh hati pada Agnor? Bukankah akan gawat?

Sekarang saja, lelaki itu berkeliaran tanpa pakaian di sekitarnya. Sopankah begitu?! Kalau Malika tergoda mengrepe-grepe roti sobek Agnor bagaimana?

Malika mengelus dadanya sambil menumis udang. Tahan—eh, sabar Malika sabar ...

Beberapa saat hening, Malika mati-matian berusaha untuk tak melirik Agnor yang duduk manis di ruang tamu. Namun, lelaki itu malah kembali mendatanginya, berdiri tanpa kata di belakang Malika yang telah selesai menuang masakan ke dalam piring saji.

"Kenapa?" tanyanya.

Agnor maunya apa sih? Malika tak akan pernah bisa memahami lelaki itu.

Sebelum Malika bertanya ulang, sebuah lengan kekar melingkar di perutnya. Memeluk longgar dengan dagu mendarat di bahu Malika, diikuti bisik rendah tepat di sisi telinganya.

"Sorry."

Satu detik Malika mematung. Ini terlalu tiba-tiba. Malika berhalusinasi nggak sih? Ya kan?

Apakah orang di belakangnya benar-benar Agnor?

Bug!

"Akh!"

"Aduh, maaf, maaf." Malika sama sekali tak bermaksud menyikut perut Agnor dengan sikunya. Tapi ia hanya ingin memastikan itu bukan setan jejadian. Ternyata Agnor beneran dong?!

Agnor memeluknya? Sekali lagi, MEMELUKNYA?! AGNOR?!

"Sakit ya, Ag?" Malika lekas membungkuk guna mengelus perut Agnor yang sebelumnya telah ia sikut. Ya ampun roti sobek, ya ampun! Ini namanya mengelus sekalian modus.

"Menurut lo?"

"Di mana yang sakit? Ini ya?"

Malika baru tahu kalau perut berotot laki-laki itu keras ketika dipegang. Duh, pengen ia raba-raba rasanya. Semoga Malika tidak ngiler melihat perut Agnor.

"Sudah-sudah, stop." Agnor mendorong kepala Malika menjauh. Ia merinding merasakan tiupan Malika di kulit perutnya. Sungguh tidak baik untuk situasi mereka yang hanya berduaan di apartemen. "Sudah ilang sakitnya."

"Masa? Coba gue liat lagi."

"Nggak usah."

Yaah ... Malika mengeluh kecewa dalam hati. Ia terpaksa menegakkan badan. "Ngomong-ngomong tato di perut lo motif apa ya?"

Berapa kali pun Malika mencoba menebak motif tato di perut Agnor ia tak menemukan jawabannya. Apakah itu bentuk kilat atau ... akar?

"Neo-tribal."

"Hah? Neo shibal?"

"Bukan shibal Malika, tapi tribal." Agnor membenarkan. "Gue sebenarnya juga gak terlalu tahu masalah motif tato, cuman perut gue punya bekas luka yang lumayan panjang." Lelaki itu menunjuk bekas luka di perut yang telah dilapis oleh tinta hitam. "Jadi gue minta ditato supaya bekas lukanya nggak kelihatan lagi."

post-image-67383e5ca14e0.jpg


 


Malika mengangguk-angguk sambil mengamati tato Agnor. "Bekas luka kenapa?"

"Kena ujung semen, yang tajamnya itu loh. Sudut tangga yang baru dibangun."

"Jatuh?"

"Iya, jatuh waktu main sama abang gue. Dulu banget, kapan ya? Waktu gue sd kelas lima kayanya."

"Luka sepanjang ini darahnya pasti banyak ya?"

"Lumayan." Agnor menanggapi santai. "Untung ga tembus ke perut. Jadi masih aman. Awalnya bekas lukanya lebih panjang dari ini, tapi lama kelaman hilang, sisanya yang ga mau hilang gue tato."

"Tapi kalau diliat sekilas sih ga kelihatan ada bekas lukanya ya."

"Iya, tapi kalau dipegang berasa."

"Masa?" Tanpa meminta izin lebih dulu. Tangan Mendarat di perut Agnor, meraba tato tersebut dengan telunjuknya. "Oh iya, ga mulus ya Ag. Ada teksturnya dikit."

Sebentar, Malika mau teriak dulu.

AAAAKHHHH, KEINGINANNYA KESAMPAIAN.

Ia kemudian menarik diri seolah yang ia lakukan adalah hal normal, tanpa peduli dengan Agnor yang terdiam atas tindakan spontannya.

"Duduk gih, gue mau ke toilet bentar."

Sesampainya di toilet, Malika berteriak tanpa suara sambil menggigit bajunya. Tangannya memegang perut Agnor! Tangannya ya ampun. Malika tidak ingin mencuci tangannya.

Saat melihat Agnor tanpa baju, Malika menyadari hal terbaik di tubuh Agnor selain lengannya. Pinggang. Puja puji pinggang Paduka!

"Huuh, tenang Malika tenang, tenaang." Gadis itu mengelus dadanya. "Tarik napas, buang ... oke, ayo kencing dulu."

***
 


Sepeninggal Malika, Agnor masih tak bergerak di tempatnya. Ia menatap perut dan pintu toilet bergantian. Bisa-bisanya tangan Malika mendarat di tubuhnya tanpa rasa canggung sama sekali?

Sekali lagi Agnor menatap pintu toilet yang tertutup. Ia menggeleng. "Dasar Malika."

Niat awalnya adalah kembali ke sofa. Namun, melihat penggorengan yang telah siap di atas kompor membuatnya berubah haluan. Selagi Malika di toilet Agnor berniat menggoreng kerupuk untuk mereka.

Lelaki itu santai menikmati waktunya sendiri, ia juga menyusun piring ke atas meja makan. Menatanya sedemikian rupa hingga terlihat bagus dipandang mata.

Lelaki itu mengangguk puas.

"Astaga naga Agnor!"

Apa yang salah? Oh! Kerupuknya!

Ia bergegas berlari menyusul Malika yang kalang kabut mematikan kompor dan mengangkat kerupuk yang telah cokelat dari dalam penggorengan.

"Kenapa goreng kerupuk pakai acara ditinggal sih, Ag?" tanya Malika. Tak ada sedikit pun nada marah di sana, Malika hanya kaget. "Kok bisa begini?"

"Tadi gue tinggal bentar buat nyiapin piring, terus—" Agnor menatap meja makan dan Malika bolak balik. "Gue pikir sempat saja gue tinggal bentar, soalnya dia ngembangnya lama waktu gue masukin ke minyak, jadi ..."

"Ga papa, ga papa." Malika sudah biasa dengan hal seperti. Satria dan ayahnya melakukan hal seperti ini berulang kali. "Ga papa, lo duduk aja."

"Ga marah sama gue?"

"Engga."

Malika menyalakan kompornya kembali.

"Serius?" Menurut pengetahuan Agnor, kata temannya, kalau perempuan bilang ga papa artinya ada apa-apa. "Nggak marah?"

"Engga." Sebelah tangan Malika mendorong Agnor menjauh dari area dapur. "Sana."

"Lo marah sama gue, kan?"

"Engga."

"Serius?"

"Beneran."

"Serius?"

Ya Tuhan ... Malika mengangkat spatulanya sambil berbalik menghadap Agnor. Wajahnya datar sambil menunjuk meja makan dengan dagu.

"Tuh kan lo marah."

"Karna lo nanya mulu makanya gue kesal." Malika jambak juga tuh rambut gondrong. Gemas dia. "Sana ih. Gue ga konsen kalau lo di sini."

Malika memunggungi Agnor kembali, melanjutkan kegiatan menggoreng kerupuk, kali ini ia tak benar-benar mengabaikan Agnor. "Kalau gue biasanya, coba dulu satu kerupuk. Kalau misalnya sudah mau ngembang di goreng artinya minyaknya sudah panas. Baru dimasukin agak banyakan. Jangan banyak-banyak juga, nanti kalau ngembang, nggak cukup wajannya."

Agnor mengambil satu langkah maju. Diam menyimak di sisi Malika.

"Ingatkan? Nanti kalau lo mau goreng kerupuk sendiri tapi gue nggak ada, lo harus ingat caranya begini."

"Lo kan bisa goreng agak banyakan, nanti simpan di toples."

Namun bukan itu yang Malika maksud. "Maksud gue, buat beberapa bulan yang akan datang. Kesepatan kita kan hanya sampai gue selesai skripsi. Setelah itu kita bakal hidup masing-masing."

Agnor mematung, ia membiarkan Malika mendahuluinya membawa kerupuk ke meja makan.

Hidup masing-masing ya?

"Paduka, ngapain lo berdiri di sana? Nggak mau makan?"

Bagaimana kalau Agnor tak ingin menghilangkan momen ini di masa depan?

Agnor telah lama membiarkan Malika berkeliaran bebas kemana-mana sesukanya. Berpacaran dengan si ini, kemudian berganti lagi, dan Agnor tetap membiarkannya. Hingga kejadian fatal terakhir membuatnya memutuskan menarik gadis itu dalam kehidupannya.

"Agnor."

Agnor tak memerlukan pasangan yang bisa memasak, ia hanya memerlukan seseorang yang bisa mengimbangi kegilaannya. Dan ia melihatnya dari sosok Malika.

"Jangan pernah berpikir mendekati Malika, lo itu monster."

Mohon maaf Satria ... namun, hanya monster inilah yang bisa memastikan Malika tetap aman. Terakhir ia lepaskan, Malika malah berakhir dengan seorang bajingan.

***
 


"Selesai kuliah, kita ke China yuk, Ren. Cuci mata liat cogan."

Suara Malika sedikit teredam oleh hembus kencang angin malam. Kegiatan wajib mereka saat pusing adalah mencari angin. Sekedar berboncengan memutari kota tanpa tujuan, singgah di beberapa tempat makan kemudian pulang ke rumah masing-masing.

Iren yang membonceng menyahut tak kalah nyaring. "Gue lebih pengen ke Itali, Mal. Cogannya ganteng juga."

"Tapi di China ada tempat khusus yang bisa pegang cowok Ren—"

"Heh maemunah nyebut." Iren menggeplak paha Malika. "Tapi gue juga mau, ke mana kita?"

"Nggak tahu gue, baru lewat fyp sekali. Bentar gue cek dulu. Kayanya gue save deh postingannya. Nah ketemu. Nih."

"Yang bener aja Mal, nggak bisa liat gue. Tunggu sampai rumah lo lah.

Obrolan tak berbobot itu bertahan hingga sampai di depan rumah Malika. Tanpa perlu melepaskan helm-nya Malika menyerahkan ponsel ke tangan Iren.

"Waaaw." Iren berbinar menatapi ponsel Malika. "Surga sekali. Bawa pulang satu bisa ga Mal?"

"Makanya ke sana coy. Self reward habis wisuda." Malika tertawa kemudian mengambil ponselnya dari tangan Iren. "Itali apa yang ini, ini aja ya? Banyak pilihannya. Ganteng lagi."

"Duitnya?"

"Duit masing-masing. Murahan ke China juga daripada ke Itali. Suka ngadi-ngadi lo. Gas ga?"

"Gas!"

Keduanya tertawa lagi. Entah ide spontan ini akan terlaksana atau tidak. Seringnya sih wacana. Sudah biasa.

"Gue pulang ya, Mal. Salam buat orang tua lo."

"Iyo, bye. Tiati ada mbak kun!"

"Jangan nakutin gue!"

Malika tertawa lagi. Begitu Iren menjauh, ia melangkah ke dalam rumah. Melewati Satria dan teman-temannya yang hari ini kembali berkumpul bersama setelah sekian lama.

"Ekhem, siapa yang ganteng Mal? Punya pacar lagi, lo?" Satria nyeletuk begitu Malika melewatinya dengan menenteng helm.

Bukannya menoleh pada Satria, tatapan Malika malah jatuh pada Agnor yang tengah mematikan rokok. Dua teman kakaknya—Haikal dan Fras pun ikut meoleh pada Malika akibat celetukan Satria barusan.

"Engga."

"Masa?"

Agnor menatap Malika lurus-lurus, hingga yang ditatap membuang muka. "Beneran, kalau gue punya pacar lagi, lo restuin ga?"

"Engga."

"Ga asyik lo." Malika melengos ke dalam rumah. Berlari meninggakan Satria yang kembali meneriakinya.

"Fokus skripsi aja lo, jangan pacar-pacaran!"

"Terserah gue!"

Malika segera berlari ke menuju kamar, kemudian diam-diam mengintip melalui jendela lantai dua. Agnor yang sebelumnya ia lihat mematikan rokoknya, kini menyalakannya lagi dengan pemantik api.

Ia tak tahu kalau hari ini Agnor akan ke rumahnya. Makan siang tadi, lelaki itu tak menyinggung masalah ini sama sekali.

Malika:

Kok lo nggak bilang kalau lo bakal ke rumah gue malam ini.
 


Malika dapat melihat Agnor meraih ponselnya di saku jaket, mengecek sebentar kemudian menoleh pada lantai dua. Lekas, Malika menutup tirai.

Agnor:

Ga tahu, ide dadakan Fras

Lo punya pacar beneran?

Malika:
Engga

Itu tadi cuman bahas ga penting
 


Agnor:

Oh

Masa Malika mengatakan topik obrolan ia dan Iren sebenarnya pada Agnor, nggak mungkin dong. Kalau Agnor ilfil padanya bagaimana?

Itu tak boleh terjadi. Malika bisa kehilangan nilai A impiannya.

Takut kehilangan nilai atau Agnor, Mal?

Gadis itu mengintip lagi dari jendela balkon. Agnor tak lagi memegang ponselnya. Lelaki itu tengah mengobrol dengan Haikal.

Agnor bukan siapa-siapa lo, Mal. Ngapain lo uring-uringan begini?! Malika ingin menggigit ponsel rasanya.

Lagian, Satria kenapa harus bertanya Malika punya pacar lagi di depan teman-temannya sih?! Cih, Malika akhirnya melempar ponsel ke atas ranjang dan memilih mengganti pakaian dengan baju lebih nyaman. Kaos kedodoran dan celana pendek sepaha.

Lagi, ia mengecek ponsel. Tak ada chat apa pun dari Agnor. Gadis itu akhirnya menengok ke bawah. Agnor juga tak ada di sana.

Malika:

Lo pulang duluan, Ag?
 


Agnor:

Engga, gue lagi numpang ke toilet rumah lo

Malika lekas bangkit dari rebahannya dan mengambil plastik berisi sampah yang belum penuh. Ia berlari ke lantai satu, berbelok menuju ruang tengah. Tempat toilet khusus tamu ketika datang berkunjung. Benar, Agnor ada di sana. Dengan kaos hitam dan celana jins. Tengah menatapi ponsel sambil bersandar di dinding sebelah pintu toilet. Rambut lelaki itu sama seperti biasa, dikuncir, beberapa helainya dibiarkan jatuh menyentuh leher.

"Agnor."

Lelaki itu mengangkat kepalanya. Menatap Malika yang berdiri tak jauh darinya. Kemudian tatapannya jatuh pada kantong plastik hitam di tangan Malika.

"Gue mau buang sampah." Lapor gadis itu tanpa Agnor bertanya.

Agnor menyimpan ponselnya ke saku celana. Bergerak menuju Malika. Hening mengisi mereka hingga Agnor tiba tepat di depan gadis itu, menatapnya sejenak sebelum menunduk.

Untuk sesaat Malika menahan napas ketika Agnor kian memupus jarak mereka. Namun, tebakan menyimpang Malika tak terjadi sebab tangan kirinya merasakan sentuhan tangan Agnor.

"Sini gue yang buang sampahnya."

Ketika Agnor siap menjauh, Malika malah menahan belakang baju lelaki itu. Alasan membuang sampah hanya sekedar alasan. Malika tak benar-benar ingin membuang sampah. Ia hanya ingin bertemu Agnor. 

Melihat laki-laki yang bertanya: lo punya pacar baru?

Memangnya, apa pentingnya Malika punya pacar atau tidak untuk Agnor? Apakah lelaki itu tak mau dicap sebagai orang ketiga di hubungan Malika? Begitu, kah?

"Kenapa, Malika?"

Malika tak menjawab. Ia hanya diam dengan menatap wajah Agnor. Gawat, sepertinya Malika luluh dengan pesona Agnor. Jantungnya berdetak heboh di dalam sana. 

"Anu--" Malika sebenarnya ingin menahan Agnor, tapi ia tak punya alasan. Akhirnya ia menggeleng dan melepaskan pegangan tangannya di ujung kaos lelaki itu. "Ga--"

Cup!

Bibir Agnor tiba-tiba mendarat di bibirnya. Bukan hanya Malika yang terkejut lelaki itu pun sama. Ketika Agnor berniat memundurkan kepala, Malika dengan segala kesadaran menarik rahang Agnor, menyatukan bibir mereka kembali.

post-image-67383e42aae56.png

Sampai jumpa bab depan semua 

Bye 💓

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Paduka Agnor
Selanjutnya Paduka Agnor Bab 16 dan 17
15
3
Bab 16. She KnowsBab 17. Stalker
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan