
Selamat bertemu Agnor dan Malika ✨️
Happy Reading ✨️

"Kamu kasih apa sampai anak saya mau sama kamu?"
Ampun tante, saya cuman pacar bohongan. Semua sandiwara Malika pada Veronica di cafe waktu itu bisa hancur jika Malika menjawab demikian. Jadi, dia dengan percaya diri menjawab, "Nggak saya kasih apa-apa Tante. Saya juga ga tahu kenapa Agnor suka sama saya. Dia tiba-tiba aja bilang suka dan kami jadian deh."
Kalau urusan bersandiwara, serahkan pada Malika. Urusan logika pikir belakangan. Toh, ia tak perlu membuat ibu Agnor terkesan. Tak ada gunanya juga. Pun Agnor juga bukan pacarnya.
"Tapi hari ini saya bawain Agnor makanan." Malika menunjuk mobilnya dengan jempol. "Karna Agnor suka makanan berkuah, jadi saya masakin dia buat makan siang."
Raut penuh penilaian itu masih tak membaik, tapi Malika tak akan gentar di tempatnya. Ia mengembangkan senyum formal. "Ngomong-ngomong, nama saya Malika tante—"
"Saya nggak tanya."
"Saya juga cuman memperkenalkan diri. Nggak sopan rasanya kalau saya nunggu Tante tanya nama saya." Mama Agnor memelototinya. Selamat Malika, kamu masuk daftar hitam mamanya Agnor. "Maaf sebelumnya Tante, kalau Tante mau nanya lebih banyak. Kayanya nggak bisa sekarang, pertama kita masih di depan gerbang, terus harinya panas, saya takut Tante—"
"Kepanasan? Saya nggak masalah panas tuh!"
Malika melirik Veronica di samping mama Agnor, gadis itu sibuk menutupi diri dengan telapak tangan dari terik matahari. "Tapi Veronica kepanasan Tante. Jadi, sebaiknya kita ke dalam dulu."
Wanita cantik itu kontan menatap Veronica di sampingnya. Menghembuskan napas kesal kemudian berjalan memasuki mobil lebih dulu.
"Nggak usah sok tahu, deh." Veronica menurunkan tangannya. Ketus berkata pada Malika. "Gue nggak pernah bilang gue kepanasan."
"Ya, terus?" Mallika menoleh sekilas pada Varonica. "Gue yang kepanasan kalo gitu."
Malika berusaha mengabaikan Veronica dengan berjalan lebih dulu, tapi gadis itu malah mengejarnya. Berjalan di sisi Malika.
Meski Veronica memakai hiels, ternyata gadis di sisinya tetap lebih tinggi. Padahal Malika hanya memakai sendal jepit. "Jangan-jangan lo beneran suka gue ya?" tuduhnya.
Fitnah dari mana itu?! Malika menoleh horror pada Veronica. Ia tak bisa menyalahkan Veronica yang menduganya yang tidak-tidak. Semua itu bermula dari Malika sendiri, dialah biang keroknya. Sekarang, jangan bilang Veronica berpikir macam-macam hanya karna Malika bilang gadis itu kepanasan?
Padahal itu hanya akal-akalan Malika supaya bebas dari mama Agnor. Jangan bilang Veronica salah paham?
Malika berhenti melangkah, menoleh ke samping. Menunduk, tepat menatap mata Veronica. "Gue nggak suka lagi sama lo. Setelah gue liat-liat ..." Kalimat Malika menggantung sejenak. "Lo nggak secantik yang gue kira ternyata."
Setelah mengatakan itu ia berjalan lebih dulu. Meninggalkan Veronica yang mencak-mencak tak terima. Terserahlah, Malika tak peduli. Begitu Malika memasuki mobil, Veronica melewati mobilnya sambil mengibas rambutnya yang ikal panjang sambil mendengus kesal.
"Tuh anak punya masalah apa sih?" Malika geleng-geleng kepala seraya memasukkan mobilnya lebih dulu ke dalam gerbang, kemudian memarkir tepat di depan rumah bercat abu—di mana sang empunya telah ke luar rumah. Bergantian menatap dua mobil yang terparkir di depan rumahnya.
Untuk pertama kalinya, Malika melihat Agnor memakai celana pendek di atas lutut dipadukan dengan kaos oversize lengan pendek warna senada. Warna sama seperti biasa. Hitam.
Melihat Agnor yang terang-terangan menatap tak suka kehadiran ibunya. Untuk sesaat membuat Malika ragu turun dari mobil, apakah akan ada drama keluarga? Namun, ia harus bergegas supaya bisa melarikan diri dari situasi tak mengenakkan ini.
Alih-alih menyambut kedatangan ibunya, Agnor malah berjalan ke arah Malika yang telah turun dari mobil.
"Agnor! Kamu liat mama ada di sini, tapi kamu malah ke sana? Kamu lebih milih pacar kamu di banding Mama?"
Omg ... Mama tolong! Malika bergegas membuka pintu samping kemudi dan mengambil rantang susun yang ia amankan dengan sabuk pengaman.
Agnor tak peduli, ia tetap menghampiri Malika. Membantu gadis itu menahan pintu mobil.
"Agnor!"
"Lo ngapain di sini?" Malika berbisik. "Sana gih, nanti gue kena semprot mama lo lagi."
Tidak lucu kalau ada drama Malika kena jambak mamanya Agnor. Membayangkannya saja sukses membuatnya bergidik.
"Kamu masak apa, Sayang?"
"Agnor!" Tangan Agnor ditarik keras. "Kamu apa-apaan, sih? Nggak liat mama ada di sini? Mana sopan santun kamu? Seharusnya kamu lebih dulu menyambut Mama dibanding pacar kamu itu."
Agnor menarik napas dalam sebelum memutar tubuh menghadap mamanya. "Malika lebih dulu sampai, Ma. Dia bawa rantang, berat, nggak mungkin aku biarin dia repot sendirian. Lagian, Mama nggak perlu bantuan, kan? Ada sopir yang bukain mama pintu mobil, Malika sendiri, Ma."
Mengejutkan rasanya mendapati suara Agnor berbanding terbalik dengan raut wajah—tenang? Tangan Malika yang menenteng rantang itu mematung. Ia tak pernah melihat wajah Agnor setenang itu. Namun, entah kenapa, Malika lebih takut dengan Agnor yang ini. Atmosfer si sekeliling lelaki itu terasa mencekik.
"Apa susahnya ngambil rantang yang nggak seberapa itu sih, Ag? Dia bisa sendiri. Kamu seharusnya—"
"Mama," tegur Agnor tegas. Tak sedikit pun ia meninggikan intonasi suaranya. "Kalau mama ke sini cuman mau ngajak ribut, mending nggak usah."
"Ini rumah, Mama. Kenapa Mama nggak boleh ke sini?!"
Agnor tak langsung menjawab, wajah tanpa ekspresi itu melirik Veronica yang menciut bersembunyi di belakang mamanya. Setelah diam beberapa saat, ia mengangguk pelan.
"Benar, ini rumah mama. Jadi, mama bebas berbuat sesukanya." Salah satu sudut bibir Agnor tertarik tipis. Ia kemudian membuka kursi samping kemudi mobil Malika. "Masuk, Mal," perintahnya.
"Ini?" Malika mengangkat rantangnya.
"Bawa masuk juga."
Malika tak punya pilihan lain selain menurut. Ia duduk manis di kursi penumpang dengan rantang dipangku. Agnor memutari mobilnya tanpa pedulli mamanya yang terus memanggil, duduk di kursi kemudi, kemudian membawa mereka pergi dari rumah dua lantai cat abu tersebut.
Malika diam seribu bahasa. Ia membuang pandang ke luar jendela. Entah akan ke mana Agnor membawanya, ia memutuskan untuk tak bertanya. Setidaknya sampai Agnor aman untuk diajak bicara.
"Paha lo nggak panas?"
"Panas?" Malika yang sempat tenggelam dalam pikirannya dengan cepat tersadar. "Rantangnya? Engga kok, anget aja. Yang panas itu yang ini sama yang ini—" ia menunjuk rantang tingkat ke dua dan ke tiga. "—yang atas sama yang bawah anget dikit."
Jujur, Malika masih bertanya-tanya tentang bagaimana hubungan Agnor dengan orang tuanya. Sepertinya buruk.
"Kita mau ke mana?"
"Lo setelah ini mau ke kampus?" Agnor balik bertanya.
"Engga, gue setelah ini mau pulang."
Lelaki itu hanya mengangguk tanpa mengatakan apa-apa.
Berhubung hari ini suasana hati Agnor tak sebaik biasanya. Malika memutuskan untuk menjadi anak yang baik. Ia berjanji tidak akan memancing amarah Agnor. Menyeramkan rasanya melihat Agnor tanpa ekspresi seperti tadi. Hawa mencekamnya baru memudar setelah lelaki itu bertanya perihal pahanya.
Malika menyandarkan pipi di kaca mobil, menikmati perjalanan mereka yang mulai memasuki jalan raya. Beberapa kali ia akan melirik Agnor, menelisik raut wajahnya. Diam-diam menghembuskan napas lega begitu Agnor telah bersandar santai di kursi kemudi.
Tatapan Malika jatuh pada rambut gondrong Agnor yang hari ini juga diikat seperti biasa. Diikat sembarang hingga beberapa helainya jatuh mengenai leher dan rahang. Gatal rasanya tangan Malika ingin menyelipkan rambut-rambut nakal tersebut ke belakang teling. Side profile Agnor tak terlihat sempurna karna rambut-rambut itu.
"Ngomong-ngomong, gue minta maaf atas sikap mama gue tadi. Jangan diambil hati ya."
Buru-buru Malika memalingkan muka begitu Agnor menoleh padanya. Kembali berlagak sibuk menatapi sekitar sambil menyandarkan kepala di kaca. "Gue nggak sakit hati. Serius."
Agnor menoleh padanya lagi, mendapati sorot penuh tak percaya itu membuat Malika terpaksa menegakkan tubuh. "Beneran, gue nggak sakit hati. Ketar-ketir dikit doang. Lagian mama lo nggak ngomong macam-macam ke gue, mama lo cuman tanya, kok lo bisa pacaran sama gue? Itu aja."
"Terus lo jawab apa?"
"Gue jawab ga tahu. Lo duluan yang suka sama gue, terus kita jadian deh. Begitu."
"Mama gue percaya?"
"Engga." Malika terkikik, ia ingat jelas wajah mamanya Agnor yang seolah-olah berkata, kamu pikir saya akan percaya? "Tapi mama lo nggak nanya apa-apa lagi soalnya gue bilang Veronica kepanasan, jadi beliau terpaksa balik ke mobil terus jalan deh ke muka rumah lo. Ketemu lo, terus sisanya lo tahu ceritanya bagaimana."
Malika tak pandai bercerita, tapi semoga saja Agnor memahami ke blibetannya. Dilihat dari gestur kepala Agnor yang mengangguk kecil, akan Malika ambil kesimpulan kalau lelaki itu mengerti.
"Ngomong-ngomong, lo belum jawab pertanyaan gue. Kita mau ke mana?"
"Apartemen gue."
"Apartemen? Terus, kenapa lo ngasih alamat rumah yang di sana kalau lo tinggal di apartemen? Oh, karna lo lagi ada di rumah bukan di apart, ya kan?" Malika menjawab sendiri pertanyaannya. "Masuk akal, masuk akal."
Malika tak pernah menemukan kata Apartement dari hasil penyelidikan singkatnya mengenai Agnor. Apakah teman nongkrong Agnor juga tak tahu? Atau jiwa intel Malika yang kurang mempuni?
"Apartemennya baru gue beli, belum siap huni. Barang-barang gue juga belum gue pindahin. Rencananya gue mau pindahan minggu depan, tapi gue berubah pikiran. Kayaknya gue bakal tidur di sana mulai malam ini."
Tanpa perlu Malika bertanya, Agnor menjelaskan lebih dulu.
"Orang kaya mah bebas ya ..." Malika bergumam kecil sambil menatapi jalan raya. "Jadi, seterusnya lo bakal tinggal di apartemen?"
"Engga."
"Lah?"
"Apartemen cuman buat tempat tinggal sementara selagi nunggu rumah gue jadi. Pembangunnya baru tiga puluh persen, jadi gue perlu tempat tinggal sementara."
Mengingat pertemuan singkat antara Agnor dan mamanya. Malika sedikit mengerti mengapa Agnor memilih mencari tempat tinggal sementara, alih-alih tetap menetap di rumah orang tuanya.
"Jadi, lo sebelumnya tinggal sama orang tua lo?"
Malika ingin sekali memukul mulutnya yang lancang bertanya. Beruntung Agnor tak mempermasalahkan sama sekali. Lelaki itu dengan santainya menggeleng kemudian menjawab pertanyaanya.
"Engga, rumah yang gue tempati bukan rumah utama. Rumah itu sebelumnya difungsikan sebagai tempat pengasingan sebelum jadi tempat tinggal gue. Dulu waktu gue SMA gue sering dihukum dan tinggal di sana sendiri. Nggak ada pembantu, tempatnya sepi, jauh dari pusat pelayanan publik. Awalnya gue nggak suka, tapi ternyata di sana menyenangkan juga. Di sana tenang. Gue bebas."
Tak ada sedikit pun nada sedih dari cerita Agnor. Namun, Agnor mematahkan ekspektasi Malika yang pernah berpikir kalau Agnor adalah anak bungsu kesayangan. Tinggal sendiri tanpa siapa pun, tidakkan lelaki itu kesepian?
Mungkin tidak, karna sepertinya Agnor lebih suka sepi dibanding ribut dengan orang tuanya.
"Kayanya kalau gue jadi sodara lo, gue bakal dikirim ke sana setidaknya seminggu sekali." Malika tertawa kecil.
"Bukan seminggu sekali lagi, tapi tiap hari Mal." Sudut bibir Agnor tertarik sambil melirik Malika. "Lo suka bikin masalah. Untung waktu kuliah lo nggak pernah dapat surat cinta dari kampus."
"Heii." Malika menoleh tak terima. "Walau SMA gue sering bolos, setelah masuk kuliah gue nggak pernah bolos lagi. Gue sudah tobat. Masa depan gue bisa gonjang-ganjing kalau gue bikin masalah di kampus. Amit-amit."
Malika dulu berpikir, biarkanlah hidup mengalir apa adanya. Apa adanya apanya?! Kalau alirannya mampet di got bagaimana?
Setelah dewasa ia mau tak mau memikirkan masa depan. Anak kecil yang dulunya cukup meminta pada orang tua, kini mau tak mau harus berusaha sendiri memenuhi kebutuhan hidup. Jadi dewasa itu melelahkan rupanya.
"Gue juga nggak sepintar elo yang kalau bolos kuliah pun, lo masih bisa paham dan nilai lo masih aman."
"Tapi semester kemarin, IP lo empat, kan?"
"Tahu di mana lo?" Malika tak pernah bercerita pada siapa pun, selain ...
"Satria."
Gadis itu membuang pandang dari menatapi wajah Agnor. Lama-lama jantungnya bermasalah. "Semester tadi doang, sisanya nggak pernah, apalagi semester dua sama satu, nilai gue anjlok parah. IP gue baru membaik di semester tiga."
"Tapi gue salut lo bertahan sampai sekarang. Nggak mudah loh kuliah di Teknik Informatika, apalagi lo mahasiswa salah jurusan, kan?"
Hancur sudah kesenangan hati Malika di puji Agnor. Pasti mulut lemes Satria yang bercerita pada temannya perihal Malika yang sering mengeluh sebagai mahasiswa salah jurusan. Ia ingin mengamuk pada Staria, tapi jika ia lakukan, kakaknya akan tahu ia telah bertemu Agnor. Yang ada, Malika yang akan diamuk Satria.
"Bang Satria cerita apa lagi ke lo?"
"Nggak ada." Agnor mengangkat bahu dengan ekspresi menyebalkan.
Malika menyandarkan tubuh sambil memeluk rantang. "Cih. Dia pasti cerita macam-macam, kan? Apa katanya?"
"Itu doang, nggak ada lagi."
"Heleh, nggak percaya gue."
Agnor terkekeh.
"Nggak usah ketawa, nggak ada yang lucu," ketus Malika.
"Lo lucu."
Ambyar sudah jantung Malika. Namun, bibirnya menolak mati-matian untuk tersenyum. Sebagai gantinya, ia menampol bahu Agnor. "Sembarangan." Lalu membuang pandang ke jendela samping. "Gue nggak mau lagi ngomong sama lo."
Agnor tak menanggapi apa pun, ia hanya melirik Malika sambil mengulum senyum. Membiarkan keheningan mengisi mobil mereka hingga sampai di tempat tujuan. Namun, Malika tetaplah Malika. Gadis itu tak mungkin benar-benar bisa diam.
"Tempat parkirnya di sini, ya Ag?"
Kepala Malika celingak-celinguk menatapi sekitar. Mereka tidak berada tepat di depan apartemen, masih perlu waktu berjalan setidaknya lima menit untuk sampai ke gedung bertingkat tersebut.
"Engga, lo cuma nganterin gue doang, kan? Lebih mudah memutar di sini." Kepala Agnor memperhatikan spion, bersiap memutar mobil supaya Malika tak perlu repot-repot putar balik untuk pulang. Namun, baru setirnya berbelok suara perut Malika mengacaukan semuanya.
Agnor menatap jam tangan. Sudah masuk waktu makan siang rupanya. "Mau makan siang di apartemen gue?"

Yang sudah baca cerita Bara-Kelaya, pasti tahu bab ini akan mengarah kemana. Im so exited, omg 🤤
Apakah kalian sudah siap wahai pasukan?
See you, bab depan.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
