
Mari berkenalan dengan couple baru ini. Happy reading 🩷
Sebenarnya, cover cerita ini agak melenceng vibesnya dari pasutri baru ini.
Kenapa aku bilang melenceng? Kalian akan tahu jawabannya setelah baca bab ini.
Happy reading
***
*
"Lo mau gue laporin sama, Arash ya Ly?"
"Laporin aja, sok atuh. Dia ga bakal marah." Lily menyandarkan ponsel ke atas sisi tumpukan buku di atas meja. "Cuman manjat gini doang mah ga bakal kenapa-kenapa."
Sosok Kayla di layar ponselnya tampak protes. "Gue ga minta lo manjat, gue cuman mau minta lo singgah sebentar buat beli mangga di dekat perempatan sekalian lo jalan ke rumah gue."
Lily mengangkat bahu tak peduli, perempuan itu berjalan menuju sisi kiri rumah tak lama setelahnya ia datang bersama tangga kayu. Mengintip sebentar ke layar ponsel lalu tersenyum tanpa dosa pada Kayla.
Posisi Kayla yang diletakkan pada meja--tepat berada di bawah pohon mangga tersebut dapat melihat Lily dengan jelas.
"Lo ngidamnya ga asik, Kay. Biasanya ibu hamil itu minta mangga langsung dari pohonnya, lo malah minta dibeliin, gimana sih? Yang lain dong, yang agak menantang begitu." Lily memulai menyandarkan tangga di bawah pohon mangga, mengatur sedemikian rupa hingga aman untuk dinaiki.
"Semprul!"
Lily tergelak. "Lagian ya, mangga muda belakang rumah gue jelas lebih seger dibanding yang dijual abang-abang. Orang langsung dipetik dari pohonnya."
"Masalahnya Ly, batang pohonnya pasti licin sehabis ujan. Nanti lo jatuh, gue lagi yang kena."
"Aman, kata gue." Lily memperbaiki earphone di telinganya sebelum mulai memanjat tangga. "Lagian, mangganya ga tinggi-tinggi amat. Kalo jatuh palingan keseleo."
Lily tak berbohong, dahan pertama pohon mangga tersebut hanya sebatas kepalanya, naik tanpa tangga pun sebenarnya bisa-bisa saja. Tapi berhubung batangnya licin sehabis ujan, demi mempercepat waktu, Lily memilih naik menggunakan tangga.
"Palingan lo bilang? Turun ga lo!"
"Emoh! Mending lo diem deh Kay, gue ga bisa konsentrasi." Tak sampai dua menit, Lily sudah berdiri manis di dahan pertama. Lalu naik lagi ke dahan berikutnya, mencari tempat paling aman. Lalu mulai memetik mangga. "Pokoknya lo tenang aja, Kay. Demi calon ponakan gue yang cantik, batang pohonnya pun gue bawa sekalian kalo bisa."
"Halah, bisa aja lo." Suara Kayla kembali terdengar setelah sekian menit diam. "Tiga saja, Ly. Ga usah banyak-banyak, udah. Turun lo turun."
"Kaya lo liat aja gue udah ngambil berapa." Usai mengambil sembilan mangga dan menjatuhkannya di rerumputan, Lily bergerak turun dengan hati-hati.
"Turun, Ly turun."
"Nih gue turun, aelah!"
"Ga kelihatan."
"Belum nyampe di tangga, sabar bumil."
Kayla bernapas lega saat Lily menuruni tangga, sepupunya itu mengacungkan jempol ke arah Kayla. "Pegangan, Ly," peringatnya.
"Dikit lagi nyampe tanah, lompat juga ga papa kali."
"Jangan nekat deh." Wajah Kayla memenuhi layar ponsel, memastikan Lily turun dengan selamat. Namun, tepat di tangga terakhir Lily yang sibuk menertawakan wajah khawatir Kayla itu terpeleset. Niat hati Lily ingin berpegangan pada tangga agar tak jatuh, tapi apalah daya, tangga tersebut malah ikut jatuh menimpanya.
"LILYYY!" Kayla berteriak histeris. "LILYYY! LY LO, LO—LO GAPAPA? DUH GA MUNGKIN GA PAPA, GUE KE SANA GUE KE SANA BENTAR GUE GUE NYARI OJOL ATAU OH GUE MINJEM MOTOR TETANGGA—"
Lily mengumpat dalam hati. Hari sial itu memang tidak ada di kalender. Rekor panjat pohonnya sedari kecil sudah tak terhitung, tapi kenapa hari ini ia sial sekali?
"Gue masih hidup, Kay." Perempuan itu mendorong tangga dari atas tubuhnya dengan susah payah. "Lo ga usah ke sini, gue ga papa."
Namun, Kayla yang panik tak lagi mendengar perkataannya. Lily yakin Kayla pasti sudah ada di rumah tetangganya. Perempuan itu mengusap pelipisnya—eh? Kenapa basah?
"Lah, kok bedarah?" Lily bangkit dengan cepat, sekali lagi menyentuh pelipisnya. "Darah beneran ..." gumamnya masih tak percaya.
Lalu pandangannya jatuh pada tangga yang tergeletak di sisi kiri badan, tidak salah lagi, pelaku pelipisnya bocor pasti karna sudut tangga kayu ini.
"Dasar jahat!" Perempuan itu menendang kecil tangga tak bersalah tersebut.
Untunglah di antara semua anggota badannya, sepertinya hanya pelipis yang bermasalah serius. Sisanya, hanya sakit—yang masih bisa ditahan.
"Kay ..." Nihil, Kayla sudah tak ada di layar ponsel, meski begitu panggilan video call tersebut masih tersambung, bedanya kali ini hanya menampilkan sofa tanpa siapa pun di depannya.
Sementara menunggu Kayla muncul kembali, Lily membawa ponselnya masuk ke dalam rumah. Lupakan mangga-mangga muda tersebut, ia akan memungutnya saat pelipisnya sudah terselamatkan dengan baik.
Baru sampai dapur, terdengar grasah grusuh dari ponsel Lily. Kayla kembali muncul di layar ponsel.
"Ly—astaga! Kepala lo bedarah Ly, mau ke rumah sakit ga? Gue otw sebentar lagi. Mau ngambil jaket bentar."
"Lebay." Lily meraih tidur, mengambil banyak-banyak, lalu mengusap darah yang mengalir ke sisi pipinya. "Cuman robek dikit, Kay."
"Robek dikit apanya?! Kita bawa rumah sakit ya, Ly. Siapa tahu perlu di jahit." Layar ponsel terus menampilkan Kayla yang bergerak entah kemana, sudah pasti menjari jaket yang ia sebutkan.
"Sembarangan!" Lily tiba-tiba takut mendengar kata dijahit. "Cuman ngelupas dikit doang kulitnya, nih udah ga keluar lagi darahnya."
Kayla meneliti ponsel sejenak, lalu tiga detik berlalu perempuan itu meringis. "Tisunya sudah penuh darah, Ly. Kira ke RS, ya, ini gue udah ngambil jaket. Otw gue, lima belas menit nyampe."
Lily langsung panik. "Jangan, lo kan ga bisa nyium bau knalpot, nanti lo mual-mual di jalan gimana? Yang ada lo yang dirawat di rumah sakit bukan gue. Gua ga papa."
"Ga, gue ke sana pokoknya!"
"Jangan, gue bilang." Lily meraih tisu selanjutnya, mengganti tisu yang sebelumnya sudah penuh darah. "Lo diam di rumah aja, ga usah kemana-mana, gue bisa ko ngobatin ini sendiri. Lecet dikit doang, mah. Kecil. Kalo lo yang ke sini, baru dua menit di jalan, terus mual lo pasti kambuh, siapa yang susah? Lo juga, gue juga kepikiran. Udah diam di rumah aja. Nanti mangganya gue anter agak sore."
Wajah Kayla meredup, hanya perlu beberapa detik setelah ocehan panjang Lily selesai untuk wanita hamil itu menangis. "Tapi lo luka karna gue, kalo bukan—"
"Shhtt! Bukan karna lo kali, ini murni kecerobohan gue. Ga usah nangis."
Bukannya berhenti, tangis Kayla makin menjadi-jadi.
Kepala Lily mendadak pening, bukan karna tangis Kayla, tapi ia baru merasakan pelipisnya berdenyut nyeri. "Sudah dulu ya, Kay. Gue matiin dulu VC-nya, nanti gue VC lagi setelah gue bersihin dan perban lukanya."
Kayla mengangguk. "Kalo perlu apa-apa, telpon gue ya, Ly, gue siap satu kali dua puluh empat jam."
"Siap bumil cantik, sudah ya. Jangan nangis lagi, nanti anak lo sedih juga. Babay."
Video call berakhir dan Lily masih sibuk menekan pendarahan di pelipisnya. Perempuan itu membuka kamera ponsel, menatapi kekacauan yang ia buat di wajahnya.
"Aduh, perih banget, nyut nyutan."
Bohong kalau Lily bilang, perkara luka dipelipisnya hanya perkara kecil. Ia yakin, luka terbukanya hampir tiga sentimeter. Dan itu mimpi buruk bagi Lily.
Tiga menit berlalu, pendarahan di pelipis Lily tak kunjung berhenti, akhirnya perempuan itu memutuskan untuk pergi ke rumah sakit. Lily tak mungkin pergi menggunakan motor dengan keadaan kacau seperti itu, maka dari itu pilihan terakhir adalah memesan gocar. Lagi pula, tempat yang ia tuju dekat dan tidak mungkin terjebak macet.
Perempuan itu menghela napas, mengambil sweater dan dompet, lalu pergi ke halaman rumah dengan tergesa-gesa.
***

Aduh!
Lily baru sampai di rumah sakit saat menyadari banyak panggilan tak terjawab dari Arash. Fiks, pasti ulah Kayla!
Mau ditaruh di mana muka Lily kalau Arash tahu dia luka karna tertimpa tangga? Lily belum siap bertemu Arash. Namun, Lily tak punya pilihan selain mengatakan posisinya sedang dimana.

Kacau!
Bagaimana respon Arash nanti? Apakah ia akan marah karena Lily mengganggu pekerjaannya? Suaminya itu pasti masih di kampus saat Kayla menghubunginya, kalau Arash sedang mengajar bagaimana? Lily mengacaukan semuanya.
"Tahan ya, Ka. Mau nangis juga ga papa kok."
Lily bukan ingin menangis karna lukanya yang tengah dijahit, toh dokter sudah melakukan pembiusan lokal. Hanya saja, ia kesal sekali dengan kesialan hari ini. Tadi pagi ia dapat PR Revisi bejibun dari ibu editor, dan seakan hal itu belum cukup untuk mengacaukan harinya. Sekarang Lily malah berakhir di rumah sakit.
Ia yang biasanya hobi mengoceh mendadak menjadi pendiam, beruntung Arash datang setelah lukanya selesai diperban. Dan suaminya itu langsung sibuk mengurus administrasi rumah sakit. Untuk sesaat, Lily bebas dari kecanggungan bersama Arash.
Namun, entah karna dirinya yang gugup bertemu Arash, waktu yang dihabiskan suaminya itu untuk mengurus Administrasi serasa amat singkat, belum selesai Lily mempersiapkan diri, Arash sudah datang menjemputnya di ranjang pasien. Lily bergegas turun, ingin berterima kasih pada Arash, tapi lelaki itu lebih dulu bertanya.
"Bisa jalan, Ly?"
Meski nada bicaranya lembut, tatapan Arash tak seramah biasanya. Ucapan terima kasih dan maaf Lily untuk lelaki berkemeja abu itu tertelan kembali ke tenggorokan.
"Bisa, Mas."
Arash hanya mengangguk. Setelah itu tak ada percakapan apa pun antara keduanya, diamnya Arash serta aura lelaki itu yang tampak tak bersahabat membuat Lily ikut bungkam. Perempuan itu baru berani buka suara saat mobil yang mereka tumpangi tiba di pekarangan rumah.
"Makasih, Mas. Maaf ngerepotin," ucapnya tanpa berani menatap ke samping.
Arash tak langsung menjawab, tangan lelaki itu yang masih bersarang di setir mobil tampak mengerat hingga urat-urat tangannya tampak menonjol. Lily menggigit bibir, tidak salah lagi, Arash pasti marah padanya.
"Kenapa harus dari Kayla?" lirihnya, tapi masih di dengar Lily.
"Kenapa saya harus tahu kabar kamu dari Kayla?" Kepalanya tertoleh, mata elang itu seakan bisa mengoyak isi kepala lawan bicara. "Apa susahnya menghubungi saya, Ly? Bukankah saya suami kamu?"
Lily menjerit dalam hati. Ya Tuhan tolong, ternyata orang ramah itu, kalau marah bisa semenyeramkan ini.
Dan selama delapan bulan pernikahan, hari ini, untuk pertama kalinya, Arash marah padanya.
To Be Continued.
..
Sampai ketemu lagi bab depan
..
Tebak, Arash karakternya gimana?
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
