Bab 3. Bara Ady Pratama (Gratis)

185
9
Deskripsi

Selamat bertemu Bara dan Kelaya 

Kangen nggak?

...

..

.


"Kenapa lo malah nolak diajak nginap sama Abang gue sih, Ay?" tanya Bintang tak habis pikir. Secara, ini Bara loh, Bara ... Abangnya Bintang yang sering di bangga-banggain Mamanya dan jadi inceran para ibu-ibu arisan. Kenapa Kelaya malah menolak kesempatan bagus itu?

"Lah, kok lo malah tanya kenapa gue nolak, sih?" Kelaya lebih tak habis pikir lagi dengan respon Bintang ketika ia curhat mengenai Bara yang menawarinya menginap. "Jelas gue tolak lah, Bin. Kalau terjadi apa-apa sama gue gimana? Kalau pulang-pulang gue nggak perawan ting-ting lagi, gimana?"

Lebih tepatnya, bagaimana kalau Kelaya hilaf? Bara itu terlalu menggoda untuk dianggurin.

"Bagus dong."

Kontan saja Kelaya menoyor kepala Bintang. "Bagus dari mananya?!"

Bintang tertawa nyaring. Terlebih ekspresi ngeri yang ditampilkan Kelaya makin-makin membuatnya terbahak. "Ya bagus lah. Gue bakal dapat ponakan, plus ipar bestie sendiri."

Kelaya mendengus. Ia merebahkan badan di samping Bintang yang bersandar di headboard kasur. Kelaya telah selesai mandi dan memakai kaos milik Bintang. Perbedaan tinggi mereka yang lumayan membuat kaos oversize Bintang kian kebesaran ketika dipakai Kelaya. Bahkan sampai menutup setengah pahanya.

Beginilah nasib kalau menginap tanpa persiapan, Kelaya yang tak mungkin meminjam underware Bintang akhirnya memakai celana dalamnya lagi, minus bra. Kelaya tahu ini jorok, tapi ia terpaksa. Dan, berhubung tak baik tidur dengan memakai bra, jadi Kelaya tak mempermasalahkan payudaranya menggantung tanpa penopang. Paling yang melihat putingnya ngejiplak hanya Bintang. Tak masalah.

"Lo pengin banget ya, Bin kita iparan?" tanya Kelaya setelah beberapa saat hening. Pasalnya Bintang tak sekali dua kali nyeletuk ingin iparan dengan Kelaya. Sahabatnya itu sering berkata demikian, meski sambil tertawa dan dengan nada bercanda.

Yang ditanya malah cengengesan sambil membalas tatapan Kelaya. "Ya pengen lah, Bin. Siapa sih yang nggak mau iparan sama sahabat sendiri. Emang lo nggak mau iparan sama gue?"

Pertanyaan Bintang membuat Kelaya berpikir. Iparan sama Bintang, jadi istrinya Bara dong?

"Lo nggak mau begitu sama Abang gue? Abang gue ganteng loh Ay, nggak usah diragukan lagi kegantengan seorang Bara Ady Pratama. Nggak jarang cewe-cewe pura-pura sakit cuman ingin diobatin abang gue doang. Lah, elo? Malah mau ngehindar diobatin Abang gue. Aneh, deh."

Kelaya menghela napas, bukan tidak mau diobatin Bara. Dia hanya takut menganggu jadwal dokter tampan itu. Dan ngomong-ngomong soal Bara, lelaki itu tak kembali ke apartemen setelah mengantar Kelaya untuk menginap di rumah orang tuanya—orang tua Bara maksudnya. Lelaki itu menginap di sini.

"Begini ya Bin. Sejujur-jujurnya, sebagai seorang cewek normal, gue mau lah punya suami kayak Abang lo. Yang jadi masalah adalah Abang lo. Dia nggak suka cewek." Itu masalah besar yang sering Bintang keluhkan, bukan hanya Bintang. Orang tua Bara pun sering mengeluh hal yang sama. "Lo sendiri yang bilang dia gay."

Bintang memijit kepalanya yang tiba-tiba berdenyut.

"Bin, jangan-jangan Abang lo sebenarnya punya cewek, tapi dianya saja yang nggak ngenalin ke orang tua elo. Bisa jadi, kan?"

"Ay." Bintang menoleh dramatis. "Lo ngeraguin jiwa detektif emak gue? Satpam komplek punya pacar baru aja emak gue tahu. Apalagi masalah Abang Bara. Emak gue punya banyak teman di rumah sakit tempat abang gue kerja, jadi gerak-gerik Abang gue, mak gue pasti tahu."

Tubuh Bintang perlahan ikut rebah ke atas kasur. Bibirnya cemberut dan memeluk perut Kelaya. "Lo bantuin gue dong, Ay. Masa ia gue santuy-santuy saja sampai Abang gue ngenalin cowoknya ke rumah ini. Bisa jantungan emak bapak gue."

"Heh, sembarangan!" Bintang kalau ngomong suka nyeremin. "Sebelum abang lo benar-benar ke gep nggak senonoh sama cowok, abang lo masih berpotensi normal, Bin. Lo harus optimis."

"Begitu ya, Ay?" Kelaya mengangguk. "Kalau begitu, lo mau bantuin gue nggak Ay? Demi kebaikan bersama ini."

Alis Kelaya mengerut. Entah kenapa, ia berfirasat buruk. "Bantuin, apaan?"

"Hehe." Yang ditanya malah cengengesan. "Bantuin ngebuktiin kalau Abang gue masih normal, Ay. Mau ya ... ya mau ya? Please, nggak bakal yang macam-macam kok caranya, lo tenang saja." Di guncang-guncangnya tubuh Kelaya dengan nada penuh bujukan. "Gue nggak tahu lagi mau minta bantuan sama siapa, lo satu-satunya harapan gue, Ay. Mau ya ... please ... cuman ngetes doang kok, apakah abang gue ada ketertarikan dengan perempuan atau enggak, nggak lebih dari itu, Ay."

Bujukan Bintang tak langsung berhasil. Kelaya malah menatapnya penuh curiga.

"Please ... nggak bakal aneh-aneh kok Ay."

"Nggak yakin gue, Bin."

Bibir Bintang cemberut, kecewa. "Gue janji nggak bakal aneh-aneh. Kalau aneh-aneh lo boleh nolak kok."

Kali ini, perkataan Bintang berhasil membuat Kelaya tertarik. "Beneran?"

"Iya. Bantuin gue ya ... besok."

"Besok?!"

"Iya, mau kapan lagi? Besok minggu, Abang gue pasti ada di rumah. Nggak baik nunda-nunda, lebih cepat lebih baik."

Kelaya mengangguk. Mau bagaimana lagi? Ya sudahlah, kalau aneh-aneh, dia akan menolak. Toh besok orang tua Bintang juga ada di rumah, jadi tidak mungkin Bintang berani aneh-aneh.

"Yey, makasih Ay." Pelukan Bintang di tubuh Kelaya pun mengerat. Bibirnya tersenyum lebar dengan wajah berseri-seri. Satu langkah menjadikan Kelaya sebagai ipar semakin dekat. Bintang tak akan menyia-nyiakan kesempatan emas ini. Ah, Bintang tak sabar menunggu besok tiba.

***


"Bin ... lo nggak mau nemenin gue ke dapur nih?"

Tengah malam, perut Kelaya keroncongan. Makanan terakhir yang masuk ke perut Kelaya adalah bubur pesanan Bara tadi sore. Jadi wajar kalau Kelaya tiba-tiba terbangun di tengah malam karena lapar. Ia berniat membuat mie dan minta ditemani Bintang.

Sebenarnya sih, Mamanya Bintang sempat menawari Kelaya untuk makan malam ketika sampai di rumah sahabatnya itu. Namun, karena Bintang dan orang tuanya sudah malam lebih dulu, jadi Kelaya harus makan berdua dengan Bara. Merasa canggung, Kelaya mundur teratur.

"Nggak bakal ada hantu Ay. Rumah gue nggak berhantu," jawab Bintang dengan mata terpejam.

Kelaya juga tahu itu. Tapi tetap saja dia takut tengah malam sendirian di dapur. Kalau tiba-tiba ada putih-putih berdiri di ujung meja gimana?

Setelah menarik napas dalam, meyakinkan hati, Kelaya memutuskan untuk turun dari tempat tidur. Kakinya terayun ragu menggapai pintu kamar. Berulang kali menatap Bintang yang tampak kembali tidur pulas.

Ya sudah lah, mau bagaimana lagi. Demi dapat tidur, Kelaya akhirnya berlari menuju dapur setelah menutup pintu kamar. Tidak menengok kanan kiri hingga kakinya mengerem mendadak saat melihat seseorang berdiri menatapnya.

"Kelaya?"

Itu Bara. Tanpa baju, hanya mengenakan celana kaos panjang. Lelaki itu tengah meletakkan piring ke atas meja makan yang langsung bersebelahan dengan dapur. Remangnya cahaya dapur membuat tubuh Bara tak terlihat jelas dalam pandangan Kelaya.

"Kelaya?"

Kalau saja Bara tak memanggilnya lagi, Kelaya pasti telah melarikan diri.

"I-iya, Bang. Ini aku, Kelaya." Kaki Kelaya seakan memaku lantai. Maju ragu, mundur juga tak bisa. Malu rasanya kalau tiba-tiba putar balik setelah ketahuan Bara. Untunglah, Bara yang menyadari kecanggungan itu kembali bersuara hingga memecah keterpakuan Kelaya.

"Kelaya?" Lelaki menatap Kelaya lurus-lurus. "Kenapa kamu malah diam di situ? Nggak jadi ke dapur?"

"Abang tahu aku mau ke dapur?" Itu adalah pertanyaan bodoh.

"Saya liat kamu berlari kemari, kalau nggak ke dapur, mau ke mana lagi?"

Tolong tenggelamkan Kelaya. Malu banget rasanya!

Gadis itu merapikan rambut berantakannya dengan sembarang. Untung saja rambut Kelaya diikat sebelum tidur, jadi penampilannya tidak terlalu malu-maluin ketika bertemu Bara secara tak terduga seperti ini.

"I-iya Bang, aku mau ke dapur." Memberanikan diri, Kelaya melangkah mendekat. Jantungnya jumpalitan tak karuan, berdebar gugup. Padahal Bara hanya berdiri diam. "Maaf ya Bang kalau aku ganggu makannya Abang, aku cuman mau rebus mie sebentar—"

"Kamu lapar?" Pertanyaan itu kembali membuat Kelaya berhenti melangkah, kini tepat berhadapan dengan Bara. Tak ingin bertatapan langsung dengan mata Bara, Kelaya memalingkan wajah. Tak sengaja menatap meja makan. Ah, ternyata Bara membuat spaghetti. "Kamu mau spaghetti juga?"

Buru-buru Kelaya menggeleng. "Enggak, Bang. Aku mau rebus mie saja."

Baru saja Kelaya ingin melangkah, menjauhi Bara, perutnya berbunyi nyaring. Pipi gadis itu memerah seketika. Ia meringis.

Bara terkekeh. Kepalanya menggeleng pelan lalu menarik tangan Kelaya dan mendudukkannya di kursi. "Makan saja, saya bisa buat yang baru."

"Tapi—Bang."

"Saya belum terlalu lapar, kamu makan saja duluan." Meski tak ada nada mengancam sama sekali. Kelaya menurut. Tak enak juga terus menolak niat baik Bara. Terlebih lelaki itu telah menjauhinya, kembali berkutat dengan kompor dan pisau dapur.

"Makasih, Bang." Bara hanya berdehem singkat sebagai respon dari ucapan Kelaya. Mata lelaki itu sepenuhnya fokus pada masakannya kembali. Bahkan, ia tak melirik Kelaya sedikit pun.

Dari tempatnya duduk, Kelaya dapat melihat jelas Bara yang tengah memasak. Bagaimana lelaki itu mengiris bawang, merebus spaghetti, bahkan menumis bumbu-bumbu. Meski kerap kali salah fokus pada punggung Bara yang tampak menggiurkan, lebar, kokoh dan berotot—pasti sangat nyaman untuk tempat bersandar—Kelaya memperhatikan Bara dengan tenang sambil memakan spaghetti buatan lelaki itu.

Enak. Kelaya tak menyangka Bara pandai memasak.

Emang lo nggak mau iparan sama gue?

Di tengah kunyahannya, pertanyaan Bintang kembali terngiang. Ditatapnya kembali punggung polos Bara yang membelakanginya.

Kelaya menghela napas, dalam hati ia membatin. "Gue mau sih Bin. Yang jadi masalah, abang lo mau nggak punya istri gue?"

Bara seorang dokter, sudah pasti setiap hari ia bertemu wanita cantik tak terhitung jumlahnya. Kalau para perawat, dokter dan bidan saja tak ada yang nyangkut di hati Bara. Bagaimana Kelaya yang hanya remahan rengginang ini?

Selesai makan, Kelaya mencuci piring dalam diam. Sesekali ia akan melirik Bara yang tengah menuangkan spaghetti ke atas piring. Ketika Bara beranjak membawa pergi piringnya ke meja makan, Kelaya membersihkan dapur dengan telaten. Ia juga mencuci semua peralatan masak—meski Bara terus melarangnya.

Ketika Kelaya selesai membersihkan dapur, Bara hampir menghabiskan makannya.

"Aku duluan ke kamar ya, Bang. Makasih masakannya. Spaghetti buatan Abang enak," puji Kelaya tulus.

Bara mengangguk singkat. "Iya, senang kalau kamu suka sama masakan saya."

"Duluan, Bang." Lekas Kelaya berbalik.

"Em, Kelaya ..."

Tak jadi, suara rendah Bara otomatis membuat Kelaya berbalik. Bara menatapnya singkat sebelum mengalihkan pandang lebih dulu. Menunduk, seraya mengaduk spaghetti tanpa minat. "Pakaian kamu ... lain kali perhatikan pakaian kamu sebelum ke luar kamar. Saya sih tak masalah ... kalau ada orang lain bagaimana?"

Refleks Kelaya menunduk, sedetik setelahnya ia kontan menutupi dadanya dan berbalik. "I-iya, Bang. Maaf, Bang."

Terlanjur malu, tanpa berpikir lebih banyak Kelaya melarikan diri dengan cepat. Dalam hati ia menyumpah serapah. Bagaimana bisa Kelaya melupakan fakta kalau ia tengah memakai kaos Bintang—tanpa bra. Putingnya ngejiplak.

Malu banget!

Sepertinya Kelaya tak bisa membantu Bintang besok. Ia tak sanggup lagi bertemu Bara. Maluuu!

***

Ada yang ingin menggantikan posisi Kelaya?

.

Spam next disini

.

Bara

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Oh My Doctor
Selanjutnya Bab 4. Menjalankan Misi
170
13
Stop it, Kelaya. Bara menggeram. Bangkit dari duduknya dan menarik Kelaya berdiri. Dengan tenaganya yang besar, tak memerlukan banyak usaha agar Kelaya berdiri di depannya.Dalam hati Kelaya meringis. Semua tak sesuai rencana awal. Air sirupnya malah tumpah meleset dari paha Bara ke selangkangan lelaki itu. Kabar buruknya, tangan kurang ajar Kelaya malah mendarat di sana tanpa menunggu persetujuan darinya lebih dahulu...Sampai bertemu dengan Kelaya lagi, semoga suka ✨✨
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan