
"Kamu sudah bangun rupanya."
Suara maskulin itu menggelitik rungu Kelaya hingga ia salah tingkah untuk sesaat. Tangannya menggaruk kepala yang sama sekali tak gatal. Matanya menatap ke sembarang arah, pokoknya tatap apa pun selain mata Bara. Kelaya takut hilaf.
"Bang ... anu ... Bintang man—"
.
.
Mata Kelaya mengerjap pelan menatap langit-langit berwarna putih. Beberapa detik berlalu, gadis itu tak bergerak sama sekali, sayup-sayup matanya mendengar gemercik air. Sebentar, gemercik air?
Masih dengan nyawa belum terkumpul sepenuhnya, Kelaya bangkit dengan ogah-ogahan. Badannya masih lemas dan ia sepertinya ketiduran di sofa—eh? Mata Kelaya kontan terjaga sepenuhnya ketika menyadari ia tak sedang berada di sofa. Ia kini berada di kasur—di kamar Bara.
Kenapa Kelaya bisa berpindah ke sini? Bintang memindahkannya? Ah, tidak mungkin.
"Bintang?"
Tak ada yang menyahut selain suara gemercik air dari kamar mandi. Bintang sedang mandi? Tidak mungkin, orang yang lebih sering mandi sekali sehari seperti Bintang rela mandi malam-malam.
"Bintang?"
Lagi-lagi tak ada jawaban. Kelaya mulai menebak-nebak, pikirannya bahkan telah melayang jauh. Bisa saja yang di kamar mandi itu Bara. Kakaknya Bintang itu pasti baru pulang dari rumah sakit dan mandi. Lalu yang memindahkan Kelaya ke kamar ini pun Bara—alasannya? Disuruh Bintang.
Kelaya menjentikkan jari. Ia bangga pada otak pintarnya.
Gadis itu turun dari kasur, ia akan mencari Bintang di luar. Sahabatnya itu pasti masih menonton dan makan-makan.
Ceklek
Kaki Kelaya yang baru turun dari tempat tidur mendadak membeku. Kepalanya kontan menoleh ke arah pintu kamar mandi. Benar saja, dengan rambut basah dan hanya dibalut handuk sebatas pinggang, Bara keluar dengan santai. Matanya bersitatap dengan Kelaya beberapa detik sebelum sang gadis lebih dulu memutus kontak mata.
Gila, gila, gila! Abangnya Bintang hot banget!
Meski hanya menatap sekilas, Kelaya masih sempat melihat otot-otot liat di tubuh Bara.
Duh, ganteng sih, tapi suka sesama batang!
"Kamu sudah bangun rupanya."
Suara maskulin itu menggelitik rungu Kelaya hingga ia salah tingkah untuk sesaat. Tangannya menggaruk kepala yang sama sekali tak gatal. Matanya menatap ke sembarang arah, pokoknya tatap apa pun selain mata Bara. Kelaya takut hilaf.
"Bang ... anu ... Bintang man—"
Tanpa aba-aba telapak tangan Bara mendarat di dahi Kelaya. Dinginnya telapak tangan Bara yang sehabis mandi membuat Kara mematung. Pun, wangi harum sabun dari tubuh Bara membuat Kelaya betah untuk berlama-lama menghirup aroma memabukkan itu.
"Bagaimana perasaan kamu?" Bara menatap tepat di mata Kelaya yang kini menatap matanya. "Sudah baikkan?"
Mencoba menormalkan jantungnya, Kelaya menjawab setenang mungkin. "Sudah mendingan Bang, makasih sudah diobatin."
Bara tersenyum kecil. Ia telah menarik tangannya kembali. "Sama-sama. Ngomong-ngomong, Bintang sudah pulang duluan, dia—"
"Pulang duluan?!" Kontan saja Kelaya memotong perkataan Bara. Dasar teman kampret! Tega sekali Bintang meninggalkannya di apartemen lelaki dewasa, berduaan pula, kalau tiba-tiba ada setan penggoda bagaimana? "Bintang pulang duluan, Bang?"
"Iya." Enteng sekali Bara menjawab. "Dia ditelpon Mama disuruh pulang, tapi dia nggak tega bangunin kamu," jelas Bara dengan singkat. Lelaki itu kemudian berjalan ke arah lemari, mengambil sembarang baju.
Kelaya yang awalnya mengikuti pergerakan Bara lekas memalingkan pandang. "Aku pulang juga deh kalau begitu." Lekas-lekas ia berdiri. Tidak mungkin Kelaya duduk tenang di kasur menunggu Bara memakai baju 'kan? Meski pemandangan itu menggiurkan, Kelaya memilih untuk melarikan diri demi keamanan jantung.
"Saya antar." Bara menoleh, menghentikan Kelaya yang siap membuka pintu kamar. "Kamu tunggu sebentar ya, setelah saya pakai baju saya antar kamu pulang. Jangan kemana-mana."
Kelaya sempat ingin protes, tapi melihat tatapan Bara yang agak menyeramkan, Kelaya akhirnya menurut.
Bintang 🌟
Woi, anjir, ngapain lo malah ningalin gue di apart abang lo?
Tak perlu menunggu lama, balasan dari Bintang datang.
Hehehe, abang gue pasti sudah bilang alasan gue ninggalin lo 'kan?
Karena nggak tega bangunin gue? Lo harusnya lebih nggak tega ninggalin gue sendirian di apart abang lo? Kalau gue kenapa-kenapa gimana? Abang lo laki ya Bin, kalo lo lupa.
Abang gue nggak suka cewek Ay, sudah tenang saja. Lagi pula ini ya, kayaknya dia sudah nggak nafsu lagi gara-gara keseringan liat punya cewek.
Hah?
Abang gue dokter obgyn, kalau lo lupa.
Kelaya menepuk dahinya. Ia benar-benar lupa.
Abang gue mana Ay?
Lo lagi sama Abang gue di kamar ya?
Sembarangan! Gue lagi si depan tv, nungguin abang lo ganti baju.
Katanya dia mau nganterin gue pulang Bin.
Padahal mah, nggak usah, gue bisa pulang sendiri pakai ojol.
Terima saja kali, Ay. Jarang-jarang loh abang gue baik.
Gue nggak tega, Abang lo pasti capek habis pulang kerja.
Dia nggak kenal kata capek Ay.
Udahlah, iyain saja.
Siapa tahu lo bisa pdkt sama Abang gue.
Pdkt dengkul lo!
Dia nggak bakal mau sama bocah kayak gue.
Coba saja dulu Ay, siapa tahu kita bisa jadi iparan.
Ogah, mending gue pdkt sama si anak baru. Peluang jadiannya lebih besar.
Masalahnya dia nggak tertarik sama lo.
Udahlah Ay, mending sama abang gue.
Lo nggak liat dia perhatian banget sama lo? Dia baik loh, peka banget lagi.
Bin ... seperti yang lo bilang, abang lo nggak suka CEWEK!
Gue nggak mau.
Gue ...
"Kelaya?"
Buru-buru Kelaya menutup ponsel ketika menyadari Bara tak jauh berada di belakangnya. Untuk sesaat ia terdiam melihat Bara yang tampak berbeda dengan kaos berwarna khaki dan celana putih. Sebelum-sebelumnya, Kelaya selalu melihat Bara menggunakan kemeja. Itu pun, mereka hanya bertemu tak sengaja, entah ketika Kelaya main ke rumah Bintang, atau ketika menemani sahabatnya itu mengantarkan makanan ke apartemen Abangnya.
Kalau dilihat-lihat, Bara tak tampak seperti pria dewasa berumur hampir kepala tiga. Dalam tampilan santai seperti ini, lelaki itu masih terlihat berumur dua lima-an. Tak lebih dari itu.
"Kelaya?"
"Oh, iya Bang?"
"Masih pusing?"
Saat Bara mendekat, refleks Kelaya memundurkan tubuh. "Sudah sehat kok, Bang. Eh tapi, sebenarnya Abang nggak usah repot-repot nganter aku Bang. Aku bisa pesan ojol."
"Kamu perempuan, nggak aman pulang naik ojol," tegas Bara. Lelaki itu bahkan telah lebih dulu menyambar kunci mobil sebelum Kelaya protes lebih banyak. "Saya saja yang antar kamu. Ayo."
Menyerah, Kelaya akhirnya melangkah patuh di belakang Bara. Sesekali matanya akan menetap kepala lelaki itu dari belakang. Ia tak pernah benar-benar memperhatikan Bara, tapi sekarang Kelaya sadar, perbedaan tinggi mereka ternyata kentara sekali. Kelaya bahkan hanya sampai dada Bara. Bagaimana bisa orang-orang tumbuh dengan cepat sedangkan Kelaya segitu-gitu saja? Bahkan Bintang lebih tinggi dari dirinya.
"Kel—"
"Aduh!" Sakin tak fokusnya, Kelaya berakhir menghantam dada Bara ketika lelaki itu berbalik tanpa aba-aba. Tangannya mengelus jidatnya yang terasa sakit, itu dada apa batu? Kenapa keras sekali?
Omelan dalam hati Kelaya terhenti ketika tangan lain mendarat di jidadnya. Menggantikannya mengelus dahinya yang sebenarnya sudah tak lagi sakit.
"Sorry, are you okey?" Sedikit menunduk, Bara mengelus dahi mulus Kelaya. Menyadari betapa kecilnya Kelaya membuat Bara sedikit membandingkan dengan Bintang--adik menyebalkannya yang beberapa jam lalu menitipkan bocah ini padanya. Apakah gadis ini benar-benar seusia Bintang? Kenapa ia kecil sekali?
Kelaya berkedip lambat lalu memalingkan wajah, membuat tangan Bara yang masih mengelus dahinya menggantung di udara.
"Udah nggak papa Bang, tadi aku melamun. Maaf."
Bara tersenyum kecil, sedikit gemas dengan gadis di depannya. Ia lebih sering menghadapi ke bar-bar an Bintang, berhadapan dengan Kelaya seperti memberinya angin segar. Mungkin, sebaiknya Bara punya adik baru lagi? Tapi Mamanya sudah terlalu tua untuk punya anak, nanti yang ada Bara yang di suruh cari istri. Itu masalah besar, dengan keadaan Bara saat ini, ia tak yakin pernikahannya akan berakhir baik-baik saja.
Menahan tangan ingin mengelus kepala Kelaya, Bara akhirnya menarik tangan gadis itu.
"Saya takut kamu jatuh, pegangan sama saya saja, ya?"
Kalimat itu sejatinya bukan pertanyaan, sebab selesai bertanya, Bara langsung menarik Kelaya keluar dari apartemennya. Lelaki baru melepaskan pegangan mereka ketika ponsel Kelaya berbunyi nyaring.
"Iya, halo Ma?"
"Sayang, kamu masih di rumah Bintang?" Suara Mama Kelaya terdengar lembut di seberang sana.
Teman Kelaya itu bisa dihitung jari dan yang paling akrab hanya Bintang. Bukan sekali dua kali lagi Papanya menjemput Kelaya dari rumah Bintang sepulang sekolah. Jadi kalau Kelaya belum pulang, orang tuanya pasti berpikiran Kelaya di rumah Bintang.
"Iya, Ma." Dalam hati Kelaya meminta maaf kepada Mamanya karena berbohong dan menyia-nyiakan kepercayaan Mamanya.
"Kamu menginap di rumah Bintang dulu ya? Mama Papa mau berangkat ke rumah sakit, nenek kamu jatuh di kamar mandi."
"Nenek masuk rumah sakit? Nene--"
"Nanti Mama kabari lagi ya sayang, kamu jangan khawatir nenek pasti akan baik-baik saja. Oh ia, titip salam untuk Mama Papa Bintang ya Sayang. Jangan ngerepotin mereka."
"Siap, Ma."
Panggilan di putus dan Kelaya menatap ponselnya dengan sedih. Ia harap neneknya baik-baik saja. Meski nenek tua itu kadang membuat Kelaya emosi, Kelaya tetep saja sayang.
Menyadari Bara yang masih setia menunggunya Kelaya menghela napas. "Nggak jadi pulang Bang. Aku--"
"Mau kamu nginap di sini?"
"Ya?"
Maksud Bara, lelaki itu menawari Kelaya menginap di apartemennya? Yang benar saja!
.
.
Kalau aku yang ditanya pasti jawab. Mauu 🤣🤣
Sampai jumpa bab depan …
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
