Bab 1. Apartemen Bara (Gratis)

217
4
Deskripsi

Cuplikan.

Abang lo beneran nggak keberatan 'kan ngobatin gue?"

Bintang berdecak. "Lo tenang saja, meski kadang nyebelin, Abang gue orangnya baik kok."

////

Blurb.

"Bantuin ngebuktiin kalau Abang gue masih normal, Ay. Mau ya ... ya mau ya? Please, nggak bakal yang macam-macam kok caranya, lo tenang saja."
 

***

Kelaya, tak menyangka kegilaannya dengan sahabatnya kali ini malah membuat ia mau tak mau harus menikah dengan Bara. Lelaki matang, berprofesi sebagai dokter obgyn dan tak lain adalah kakak dari sahabatnya sendiri--Bintang.

***


 

"Badan lo tambah panas."

Kelaya hanya pasrah ketika Bintang kembali meletakkan telapak tangan di dahinya. Sahabatnya itu bahkan lebih panik ketimbang Kelaya yang demam.

"Kita mampir di apart Abang gue ya, Ay. Dia bilang dia ada di apart, tapi setengah jam lagi harus pergi ke rumah sakit." Bintang mengutak atik ponselnya sejenak. "Kita ke apart Abang gue ya. Dia bilang mau kok ngobatin elo."

Meta Kelaya terbuka, menggeleng pelan sebagai jawaban ajakan Bintang. "Nggak mau, gue mau pulang ke rumah saja."

"Di rumah lo nggak ada siapa-siapa anjir. Mending ke apart Abang gue dari pada mampir ke apotik." Bintang menyimpan ponselnya ke dalam saku. "Pak Maman, kita mampir di apartemen Bang Bara ya, Pak."

Permintaan Bintang tentu saja langsung di sanggupi oleh Pak Maman. "Siap, Non."

"Ngebut ya, Pak," pinta Bintang.

Sadar protesannya tak akan mempan, Kelaya akhirnya pasrah saja ketika lima belas menit kemudian mobil yang mereka tumpangi akhirnya berhenti dan sampai di tempat tujuan.

Pak Maman membukakan pintu belakang, membantu Bintang keluar dengan Kelaya. Lelaki paruh baya itu memegangi Kelaya untuk sejenak sebelum kemudian melepaskannya ketika Kelaya telah bisa berdiri dengan baik.

"Nggak usah dipegangin, Bin. Gue bisa jalan sendiri kok."

"Gue takut lo pinsan, Ay."

"Gue nggak sakit parah, gue cuman demam." Kelaya menjauhkan tangannya dari rangkulan Bintang.

Namun, bukan Bintang namanya kalau tidak keras kepala. Dia tetap bersikeras merangkul Kelaya hingga sahabatnya itu menyerah untuk melepaskan diri. "Di sekolah tadi, lo bilang lo pusing."

"Sudah nggak lagi."

"Sudahlah Non, kalau kata saya, Non Kelaya nurut aja sama Non Bintang. Muka Non Kelaya nggak bisa bohong kalau Non masih pusing." Pak Maman mencoba menengahi.

"Nah itu, bener apa yang Pak Maman bilang. Lo nggak usah bandel Ay, nurut saja sama gue. Gue sebagai bestie lo akan menjaga lo dengan sebaik-baiknya." Kali ini, Kelaya tak lagi mencoba menarik tangannya.Gadis itu akhirnya menurut saja di ketika Bintang membantunya berjalan masuki area apartemen.

"Kalau ada apa-apa, telpon Pak Maman ya, Non." Teriak Pak Maman di kejauhan.

"Siap, Pak!" jawab Bintang tanpa menoleh ke belakang.

Kelaya menghela napas, dia merasa seperti orang sakit parah, padahal dia tak sesakit itu. Nasib punya bestie yang suka berlebihan ya begini. Tapi ada untungnya juga sih, Bintang sangat peduli denganya. "Abang lo beneran nggak keberatan 'kan ngobatin gue?"

Bintang berdecak. "Lo tenang aja, meski kadang nyebelin, Abang gue orangnya baik kok."

Yah, Kelaya harap apa yang dikatakan Bintang benar. Karena menurut Kelaya yang jarang bertemu Bara—Meski kelewat tampan, Abang Bintang itu sedikit menyeramkan.

***

Kelaya gugup bukan main ketika Bara membukakan pintu apartemen untuk mereka. Lelaki matang berusia nyaris tiga puluh tahun itu telah terlihat rapi dengan kemeja berwarna biru langit, lelaki itu sudah pasti siap berangkat ke rumah sakit.

Tanpa berkata apa pun, setelah membukakan mereka pintu, Bara masuk lebih dulu, membiarkan Bintang menutup kembali pintu apartemen. Lalu, lelaki itu menuntun mereka memasuki salah satu ruangan—yang ternyata merupakan sebuah kamar. Kelaya awalnya ingin mundur, tapi Bintang mendorongnya masuk. Menyeret Kelaya untuk duduk di sisi kasur.

"Bin, sebenarnya gue nggak harus diobati di sini. Di sofa depan pun gue juga nggak masalah." Kelaya berbisik pelan, takut Bara yang tengah mengambil stetoskop itu mendengar perkataannya.

"Hm? Kenapa Ay?" Sepertinya Bintang tak mendengarnya.

"Nggak papa."

Bara mendekat, dan jantung Kelaya seolah ingin melompat dari rongga dadanya. Terlebih aroma maskulin lelaki itu menggelitik hidungnya. "Sudah sejak kapan kamu demam?"

Sebelum Kelaya menyahut, Bintang telah menjawab lebih dulu. "Sebenarnya sejak datang ke sekolah dia sudah demam Bang, tapi cuman demam ringan. Terus, dia maksain ikut mapel olahraga dan malah berakhir seperti ini," katanya panjang lebar. "Oh iya, dia juga ngeluh pusing, Bang."

Dalam hati, Kelaya bersyukur Bintang menjawab pertanyaan kakaknya. Sahabatnya itu kadang suka berperan seperti seorang ibu untuknya.

"Aduh, aku kebelet pipis." Tiba-tiba saja di tengah kegiatan Bara memeriksa Kelaya, Bintang nyeletuk. "Gue ke toilet dulu ya, Ay. Bang, titip sahabat aku ya, Bang."

Kelaya sempat memberikan tatapan protes pada Bintang yang siap meninggalkannya, tapi sahabatnya itu malah memberikan dua jempol. "Titip, Kelaya ya, Bang."

"Hm." Hanya itu balasan Bara.

Untuk sejenak, kamar itu hening setelah kepergian Bintang. Kelaya memalingkan wajah, agak tak sanggup bersitatap langsung dengan wajah Bara yang terlalu dekat dengannya. Beruntung, lelaki itu tak mengatakan apa pun, bahkan saat meresepkan obat untuk Kelaya, lelaki itu hanya diam.

"Sebaiknya kamu makan dulu sebelum minum obat, saya sudah pesankan bubur. Minta Bintang untuk mengambilnya ketika makanan itu sampai." Wajah Bara terlihat sedikit melembut ketika mengatakan hal itu. Lalu lelaki itu mengambil tas hitam di atas sofa. "Kamu boleh istirahat di sini sampai baikan. Saya akan pulang malam."

Setelah itu, Bara meninggalkan kamar begitu saja. Menyisakan Kelaya yang mematung menatap pintu kamar yang tertutup. Dalam hati Kelaya bertanya-tanya, kenapa Bara mengatakan hal itu? Kelaya tak perlu beristirahat di sini, dia akan langsung pulang begitu Bintang ke luar dari toilet. Ngomong-ngomong, kenapa sahabatnya itu begitu lama hanya untuk sekedar buang air kecil?

Mengingat betapa menawannya seorang Bara, Kelaya menyayangkan dalam hati.

"Abang gue itu gay, Ay. Dia nggak tertarik sama perempuan."

Begitu kata Bintang, beberapa bulan lalu ketika Kelaya iseng bertanya apakah Bara punya pacar? Jujur saja, ketika mendengar hal mengejutkan itu, Kelaya tak langsung percaya. Namun, karena Bintang beberapa kali curhat soal keluhan Mamanya yang selalu ditolak Bara ketika mengenalkan perempuan, sedikit banyak Kelaya jadi percaya apa yang Bintang katakan.

"Abang gue mana, Ay?" Pertanyaan Bintang membuyarkan lamunan Kelaya . Ia menekuk bibirnya melihat wajah tanpa dosa Bintang. "Dia sudah berangkat ke rumah sakit ya?"

"Lo berak ya?" Bukannya menjawab, Kelaya malah balik bertanya.

Bintang meringis, "Iya hehe, tiba-tiba gue sakit perut." Lalu ia mendekati Kelaya dan mengulurkan tangan. "Lihat obat yang dikasih abang gue dong, Ay."

Kelaya memberikannya.

"Ngomong-ngomong, gue tadi dengar, kata Abang gue lo disuruh istirahat di sini dulu ya sampai baikan baru boleh pulang?"

"Nggak begitu, Bin." Ingin rasanya Kelaya menyentil kepala Bintang. Bagaimana bisa perkataan Bara jadi melenceng jauh begitu? Telinga Bintang bermasalah sepertinya, atau sahabatnya itu hanya mendengar sepenggal-sepenggal dan menerjemahkan seenaknya perkataan Bara. "Abang lo bilang gue boleh istirahat di sini, kalau mau langsung pulang juga nggak papa."

Drtt drttt

Getar ponsel membuat Bintang mengambil ponselnya di saku seragam , membacanya sejenak sambil tersenyum kecil. "Dari Abang gue, katanya bubur lo bentar lagi sampai. Duh, nggak nyangka Abang gue perhatian sama lo Ay. Kalau begini, kita bisa iparan dong."

"Iparan pala lo, Abang lo nggak mungkin suka sama gue."

Bintang tergelak. "Iya juga sih, tapi ... meski nggak pernah tertarik dengan wanita, Abang gue juga nggak pernah dekat sama laki-laki, em, gue yakin lo paham maksud gue."

Tentu saja, Kelaya paham maksud Bintang. "Mungkin Abang lo nyembunyiin pacarnya," tebaknya asal.

Bintang memelotot. "Mungkin! Wah, kayaknya gue harus laporin ke Mama."

"Bin ... gue nggak serius."

Bintang nyengir lebar. "Bercanda, Ay."

Tak lama setelah itu bel apatemen berbunyi. Bubur untuk Kelaya telah sampai. Bintang menemani Kelaya menghabiskan buburnya sambil nenonton tv, gadis periang itu bahkan telah mengeluarkan beberapa buah dari kulkas Bara dan memakannya dengan lahap. Kelaya sempat mengajak Bintang pulang, tapi gadis itu menolak dan mengatakan tak akan pulang sebelum menghabiskan persediaan makanan Bara.

Kelaya mengalah, toh kepalanya masih pusing. Maka dari itu, ia merebahkan diri ke atas sofa. Niat hati mengistirahatkan diri setelah meminum obat dan menunggu Bintang kenyang. Namun, Kelaya malah ketiduran.

Bintang yang melihat Kelaya telah tertidur mendekat, memanggil beberapa kali, tapi tak ada sahutan. Bibirnya tanpa bisa dicegah tersenyum lebar, lalu ia mengambil ponselnya dan mengirim pesan.

Untuk Abang Gay

Bang, aku titip sahabat aku ya?
Dia tidur dan aku nggak tega buat bangunin.

Aku ditelpon Mama disuruh pulang, katanya penting.

Aku titip Kelaya ya, Bang ... Jagain baik-baik.

Bintang kembali mengantongi ponselnya dan menatap Kelaya.

"Maafin gue, Ay. Gue cuman sedang berusaha jodohin lo sama Abang gue. Jangan marah ya bestie ..."

Setelah itu, ia menyelimuti Kelaya dan pergi meninggalkan apartemen Bara. Ia sama sekali tak peduli kalau Kelaya bisa saja mengamuk karena telah ditinggalkan sendirian.

Dari Abang Gay

Oke.

 

🌼🌼🌼

 

Bersambung ….

Next cepat??

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Oh My Doctor
Selanjutnya Bab 2. Are You Okey?
181
3
Kamu sudah bangun rupanya.Suara maskulin itu menggelitik rungu Kelaya hingga ia salah tingkah untuk sesaat. Tangannya menggaruk kepala yang sama sekali tak gatal. Matanya menatap ke sembarang arah, pokoknya tatap apa pun selain mata Bara. Kelaya takut hilaf.Bang ... anu ... Bintang man—..
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan