
Adik — from Family Universe ♡
Adik
from: family universe
…
Sejenak, Apo merenungkan kata-kata sang suami usai ia menghubunginya. Keraguan ada pada dirinya, hingga ia bertanya pada dirinya sendiri, "Apakah mungkin bagiku untuk mengandung anak kembali?" Memijat kecil kepalanya yang mulai terasa pusing. Apo tidak lagi ingin terjebak dalam ilusi yang memilukan. Logikanya seakan menolak keberhasilan kehamilan usia lanjut, mengingat kini ia berusia 37 tahun.
Atmosfer kamar yang hening, sesaat menggiring Apo pada kenangan kelam yang telah terukir dalam ingatannya selama lima tahun terakhir. Ingatan yang pahit, saat dirinya tergelincir dalam kamar mandi tanpa sengaja. Kehidupan kecil yang ternyata sudah tumbuh selama lima minggu itu, harus berakhir begitu saja. Bahkan saat itu, Apo sendiri tidak tahu dirinya tengah mengandung. Aliran darah yang merembes di sela-sela kakinya, membuatnya menyadari bahwa ada kehidupan lain di tubuhnya. Tidak ada tanda kehamilan yang terjadi, sehingga pada waktu itu Apo kurang bersikap hati-hati. Begitupun dengan Mile, yang sama ikut tidak menyadari sang suami tengah berbadan dua.
Kerenggangan rumah tangga sempat terjadi masa itu. Masing-masing merefleksikan diri. Rumah menjadi dingin, sebab oknum yang biasa berbagi kehangatan hanya berbicara seadanya.
Keadaan pun mulai berubah, saat suatu hari sang putri tunggal menghampiri Mile sambil menangis tersedu-sedu. Cherish yang pada saat itu berumur 14 tahun memohon dengan sangat pada Mile, guna menghibur Apo untuk tidak ikut terbelenggu dalam kesedihan.
"Hiks, Daddy.. ayolah,. Daddy harus bisa berbaikan dengan Papo~"
Sambil menangis, sang anak memohon pada Ayahnya yang duduk diam di ruang tengah.
"Disini yang sedih tidak Daddy saja, tapi Cece juga sama"
Di elusnya pucuk rambut hitam halus itu dengan sayang,
"Papo-mu masih butuh waktu, tunggu sebentar lagi, hmm?"
Tidak mudah pula bagi Mile menghadapi Apo yang memilih mendiamkan diri selama satu minggu sejak kehilangan calon buah hati mereka
Bukannya Mile tidak melakukan apapun, Mile masih merasa dirinya lalai, hingga merasa tak pantas untuk berhadapan lama dengan Apo. Mile tak sanggup bilamana harus melihat sang suami tercinta menangis dihadapannya.
"Sampai kapan, Daddy?" tanya sang anak dengan mata yang mulai memerah, "Cece takut... hiks. Apakah benar yang dikatakan oleh uncle Bas, bahwa ada adik untuk Cece di perut Papo?" Mile tidak menjawab, hanya mengusap perlahan air mata yang mengalir di pipi putrinya.
“Hiks, Hiks, tadi Cece paksa uncle Bas untuk bicara lewat telepon. Uncle Bas bilang, si adik sudah pergi? Apakah itu benar, Daddy?”
Sorot mata mungil yang kini berlinangan air mata itu membuat hati Mile teriris. Kerongkongannya seketika terasa kering. Kali ini, Mile mengangguk dengan wajah penuh penyesalan.
"Hiks.. jadi Papo begini karena si adik sudah tidak ada lagi ya, Daddy.." lirih Cherish sambil menangis sesenggukan. Mile tak tega melihatnya seperti itu, lalu meraihnya dalam dekapan hangatnya.
"Iya sayang."
"Mengapa Daddy tidak memberitahuku lebih awal? Hiks... Apakah karena Cece tidak ingin punya adik? Jadi Daddy dan Papo diam-diam saja?"
"Sstt... Tidak begitu, hmmm," Mile sambil mengusap lembut punggung putrinya. Badan kecil itu terus bergetar memikirkan skenario yang dibuatnya sendiri, dan semakin membuat Mile merasa bersalah.
“Kehamilan Papo terjadi tanpa kami rencanakan, sayang. Kami berdua bahkan tidak tahu hal itu. Daddy Papo tidak merahasiakannya darimu, sungguh..”
Kehati-hatian Mile dalam berhubungan memang dilakukan dengan sengaja sebab dirinya sadar akan ketidaksetujuan sang anak terhadap kehadiran sosok anak kedua. Perhatian dan kasih sayang yang akan berkurang menjadi jawaban sang anak saat ditanya mengapa tidak ingin memiliki adik. Padahal, tak mungkin dilakukan Mile dan Apo. Dipancing berbagai rayuan pun tak mempan, hingga keduanya bersepakat untuk melindungi perasaan Cherish. Dengan berat hati, Mile menyanggupi permintaan Apo untuk menggunakan pengaman saat berhubungan intim, dan bilamana sedang tidak pakai, Apo yang akan mengonsumsi pil pencegah kehamilan.
Mile dengan lembut menyeka air mata sang anak, "Sudah, sudah, sayang... sssst.. Sudah cukup menangisnya ya, nanti matanya bengkak"
"Tidak mauu.. Hikss.." ujar Cherish sambil bersiap-siap berdiri sambil menggandeng tangan Mile. “Daddy, ayo pergi ke kamar Papo.. Kita sama-sama minta maaf ya.. Hiks, ayo.. Cece merasa bersalah..”
"Ayo, Daddy," rengeknya mengajak Mile bangun dadi tempatnya, "Sekarang Cece tak masalah memiliki adik atau tidak, asalkan Papo tidak banyak diam seperti sekarang…"
Tanpa diketahui oleh siapa pun, Apo sebenarnya telah mendengarkan percakapan mereka di ruang tengah sejak awal. Tadinya, ia hendak mengambil segelas air, tetapi membatalkan niatnya ketika mendengar isakan tangis putrinya. Apo tersadar bahwa ia telah menjadi egois dalam menghadapi situasi ini. Seharusnya ia bisa lebih ikhlas dengan segala yang terjadi, dan tidak merenungkan dirinya sendiri. Justru dengan mengabaikan mereka, Apo tidak menghargai perasaan suami dan anaknya. Tidak hanya ja yang kehilangan, tetapi juga suaminya dan anaknya. Air matanya kian menetes manakala mendengar Cherish turut merasa kalut padahal anak itu tidak tahu apa-apa. Dengan hati penuh sesal, Apo dengan cepat memasuki kamar, menunggu mereka, turut meminta maaf, dan mencoba berdamai dengan keadaan.
…
"Pa… Daddy tadi bicara apa saja? Apa Daddy masih belum pulang?" Suara Cherish membuyarkan lamunan Apo. Anak gadisnya baru saja kembali dari kamar mandi.
"Ah.. Sebentar lagi sampai" jawab Apo dengan senyuman kecilnya, lalu meminta tolong pada sang anak. "Sayang, bisa tolong ambilkan test pack di lemari baju Daddy, letaknya di sebelah kanan bawah, dekat dengan celana"
Titah Apo tentu membuat Cherish ceria bukan main "Eh, PAPO INI HAMIL KAH?" Tanpa sadar, Cherish berkata dengan lantang.
"Astaga kakaa” Apo mengernyitkan alisnya mendengar suara putrinya yang nyaring. Cherish menyunggingkan senyumnya ke arahnya, menutupi mulutnya dengan tangan hingga Apo tak tahan menahan senyumnya. "Masih belum tahu, ini firasat Daddy-mu, itulah sebabnya Daddy menyuruh Papo untuk mengetesnya sekarang."
“Emm okay.. Wait ya, kaka cari dulu" Cherish berjalan ke arah lemari, meniti dalamnya dan akhirnya menemukan sebuah kotak putih dengan detail biru di atasnya. "Box ini Pa?" tanyanya.
"Mungkin?" Apo sendiri tidak yakin, namun karena sang anak menemukan di tempat yang sesuai petunjuk Mile, maka kemungkinan besar benar "Bawa saja kemari, sayang"
Tanpa menunggu lama, Cherish duduk dengan antusias di samping Apo. Saat kotak itu dibuka, ada isi yang tampak familiar untuk Apo, berisikan beberapa alat tes kehamilan yang sudah pernah digunakan (milik Apo dahulu saat mengandung Cherish), beberapa foto serta tiga alat tes kehamilan yang masih baru.
"Wah, banyak sekali," ujar Cherish dengan kagum saat melihat isi kotak tersebut. "Eh, ini foto USG siapa, Pa?" tanya Cherish menunjuk salah satu foto yang ada di dalam sana. Mengambilnya untuk melihat dari dekat.
"Itu kamu sayang" jawab Apo sambil tersenyum lembut. "Papo malah baru tahu kalau Daddy-mu menyimpannya di kotak ini"
"Ehmm gemesnya aku.." lirih Cherish saat melihat gambar-gambar dirinya ketika masih dalam kandungan sang Papa. Dia terhanyut dalam momen itu, dan bahkan tanpa sadar, iris indahnya berair "Daddy, ternyata bisa romantis juga, menyimpan kenangan seperti ini," ujar Cherish penuh haru.
"Tentu saja, sayang. Kehadiranmu adalah berkah besar bagi kami," kata Apo sambil mengusap lembut air mata Cherish. Cherish mengangkat wajahnya dan menatap Apo dengan penuh kasih, lalu beringsut di pangkuan sang Papa. Menelungkupkan kepalanya memeluk perut sang Papa.
"Pa... Terima kasih karena telah melahirkan kaka. Kaka bersyukur bisa dilahirkan dalam keluarga yang penuh cinta seperti kalian. Terima kasih atas kasih sayang dan cinta yang selalu kalian berikan..."
Cherish terisak pelan, "Hiks. Aku sangat mencintai Papo... dan Daddy juga."
Cherish menjadi melankolis, ia menangis di pelukan sang Papa.
Apo mengelus sayang rambut sang anak, menundukkan kepalanya untuk mengecup kepala putri semata wayangnya.
"Sudah menjadi kewajiban kami sebagai orang tua untuk merawat, membesarkan, menyayangi, dan mencintai kaka sepenuh hati. Bahkan, Papo yang seharusnya berterima kasih sama kakak karena telah tumbuh dengan baik, menjadi anak yang sehat, cerdas, dewasa, dan juga cantik seperti sekarang."
"Kaka sayang sekali sama Papo. Kaka akan lakukan apapun untuk melindungi Papo.. Maaf ya, kalau lalu-lalu sifat kaka nyebelin dan susah diatur Papo ataupun Daddy"
"Iya sayang, Papo juga sayang sekali dengan Kaka" kata Apo sambil mengusap lembut air mata Cherish.
Cherish kemudian memandangi perut Apo, "Pa, jika saja kaka bakal punya adik lagi, kaka janji akan selalu menyayangi dan melindunginya seperti kaka mencintai Papo dan Daddy." Tangannya lembut menyentuh perut sang Papa, "Kaka juga minta maaf, Pa jika dulu sempat egois dan tidak menginginkan adik."
Insiden terakhir kali itu menciptakan banyak sekali perubahan, khususnya pada sifat Cherish. Anak perempuannya menjadi jauh lebih dewasa dalam bersikap. Tidak lagi sering merengek, tidak keras kepala saat diberitahu, dan menjadi lebih komunikatif. Setahun setelahnya, Cherish bahkan meminta untuk disebut “kaka” dibanding “cece” panggilan kesayangan yang dibuat oleh Mile. Hal itu tentu mengejutkan Mile dan Apo sebagai orang tua, namun di satu sisi mereka juga bersyukur dan menganggapnya sebagai afeksi positif yang membuat keluarganya semakin harmonis dari hari sebelumnya.
"Hanya jadikan itu sebagai pembelajaran, sayang... Ada adik atau tidak, kami, sebagai orang tua, akan selalu menjadi orang tua kaka. Selamanya dan tak akan berubah."
"Hmm, iya, Pa..."
"Bangunlah sebentar, Papo perlu ke kamar mandi dulu... Daddy akan segera pulang." ujar Apo.
…
Menghela nafas panjang, Apo akhirnya mulai melakukan tes. Awalnya, ia merasa biasa saja, tetapi rasa cemas mulai menghampiri ketika ia menunggu hasil urine-nya. Apo merasakan dadanya yang mulai berdegup kencang dan kedua tangannya ikut mendingin. Sementara itu, di luar, Cherish juga menunggu dengan gugup. Berjalan mondar-mandir, berharap hasilnya baik. Air mata hampir mengisi pupilnya karena ikutan cemas.
Waktu berlalu sekitar 2-3 menit, dengan Apo yang tercekat saat mengambil alas tes itu. Penglihatannya memburam melihat hasilnya. Dengan tangan gemetar, ia mencoba memeriksa semua alat tes kehamilan untuk memastikan keakuratannya. Apo menghabiskan waktu yang cukup lama di dalam kamar mandi.
Ketika Mile masuk ke dalam kamar, Cherish segera berlari memeluknya dan memberitahu apa yang sedang terjadi. Mile menenangkan, mengelus punggung sang anak sambil berdoa dalam hati.
Saat pintu kamar mandi mulai terbuka, Apo muncul dengan wajah memerah, tampak seperti baru saja menangis. Langkahnya terhenti ketika ia bersitatap dengan sang suami. Dengan perasaan haru, Mile dan Cherish mendekati Apo dan memeluknya bersamaan, merasa sangat bahagia ketika mereka melihat anggukan dari pasangan hidupnya dan bisik gerak ranum merah tanpa suara.
"Phi mee,... aku hamil"
…
written by: flowotter
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
