
Lyla tidak berminat menikah. Namun, siapa sangka ia harus terjebak dalam pernikahan dengan sahabatnya sendiri?
"You're a jerk, Hanan."
"And you're trapped with this jerk in a marriage, sweetheart."
©Claeria
CHAPTER 3
"Serius lo beneran dijodohin?" Lyla bertanya untuk kedua kali sebelum memindahkan ponselnya ke sebelah kanan dan menjepitnya di antara bahu dan telinga.
"Nggak usah diulang lagi, La. You heard me right— nggak usah ketawa, bisa nggak?" semprot Hanan dari seberang sana.
Sepulang dari makan malam bersama Joshua dan Jocelyn, Lyla mendapati Hanan mengiriminya pesan beberapa kali, mengatakan ia butuh teman bercerita. Maka, seperti biasa, Lyla mempersilakan pria itu untuk meneleponnya begitu ia sudah bersantai di kamar seperti sekarang ini.
Lyla sudah menduga Hanan pasti dipanggil pulang oleh orang tuanya karena membuat masalah, tetapi ia tidak menyangka pria itu akan berujung dijodohkan. Gadis itu tahu bahwa salah satu hal yang Hanan benci adalah diatur-atur. Apakah ini adalah karma yang menimpa Hanan setelah berulang kali mempermainkan hati wanita?
"Serves you right, lo sih ada-ada aja. Ngapain cari masalah sama anaknya klien bokap lo?" cibir Lyla, ia kini sudah berbaring di kasurnya dan menatap langit-langit kamar.
"Mana gue tahu dia anaknya klien bokap? Gue cuma kenalan dikit, terus ya lanjut jalan aja, makan, terus nonton bareng..."
"Bought her roses, told her she's pretty, kissed her, and took her home?" Lyla melanjutkan.
"And had fun sessions in the kitchen, but she was kinda meh," seloroh Hanan.
"Diem ngga?! Nggak usah kasih tahu bagian yang itu, ewww!" pekik Lyla. Hanan beruntung mereka saat ini sedang mengobrol via telepon. Kalau Hanan ada di depan Lyla, ia sudah pasti akan dicubit oleh gadis itu.
"Tapi seriusan deh, Han. It's kinda funny, actually. Seorang Hanan Johanssen? Dijodohin?" lanjut Lyla, berujung menahan tawa.
"Dibilangin nggak usah ketawa, awas nanti kualat sama gue!"
Lyla mengangkat bahu, "Abis nggak kepikiran aja, seorang Hanan yang nggak pengen nikah dan mau hidup bebas seumur hidupnya malah dijodohin."
Hanan mengerang di seberang sana. Lyla berani bertaruh pria itu pasti sedang mengacak rambutnya sendiri, kebiasaan Hanan kalau sedang melampiaskan rasa frustrasi. "Gue benci banget ide ini! I mean, gue bahkan nggak tahu cewek yang mau dijodohin sama gue ini orangnya kayak apa. Gimana kalau dia nyebelin? Posesif? Galak? Cengeng? Gue bakal tersiksa kalau seumur hidup harus menghabiskan waktu sama orang yang kayak gitu."
"Lo kan belum ketemu sama dia, siapa tahu nanti ternyata cocok."
Hanan terdiam sejenak. Lyla hampir saja memanggil namanya, guna memastikan mereka masih terhubung, sebelum Hanan tiba-tiba berseru ceria, seolah baru saja menemukan ide yang brilian.
"Apa gue nikah sama lo aja ya, La?"
"Hah?!"
"Kita udah sahabatan lama, udah saling kenal dan ngerti satu sama lain, keluarga juga udah kenal. Nggak perlu repot-repot kenalan dan penjajakan lagi. Lo nggak rese’, kita nyambung, dan lo tahan temenan sama gue selama dua puluh delapan tahun, pasti bisa lah lanjut seumur hidup. It’s a good idea!" Hanan menjelaskan penuh semangat.
"Lo udah gila, ya? Gue nggak kebayang kayak gimana capeknya ngeladenin lo setiap hari untuk seumur hidup gue," Lyla bergidik ngeri. Detik berikutnya ia menambahkan dengan volume kecil, hampir saja tidak terdengar. "Lagian gue juga belum kepengen nikah."
Hening sejenak sebelum suara Hanan kembali terdengar. "Masih, La? Belum kepengen nikah…"
"Ya gitu deh, belum menemukan alasan kenapa gue harus nikah dan belum ketemu orang yang tepat juga."
"Is it because of him?" tanya Hanan hati-hati.
Hening.
Tidak ada jawaban dari Lyla selama beberapa detik. Hanan menghela napas, meski tidak bisa melihat wajah Lyla, ia tahu gadis itu pasti sedang termenung sekarang. Hanan tidak suka ini. Pria brengsek itu masih saja punya pengaruh atas Lyla. Hanan bahkan tidak perlu menyebutkan namanya untuk bisa membuat Lyla terdiam seperti saat ini.
"Come on, La. It's been years," bujuk Hanan lembut.
"Gue— Jujur, gue nggak tahu, Hanan. Entah gue memang belum menemukan orang yang pas setelah dia, atau mungkin gue udah mati rasa sejak dia pergi," Lyla tertawa datar.
"La, hidup lo nggak seharusnya berhenti cuma karena satu orang yang bahkan nggak mikirin lo waktu ngelanjutin hidupnya. Lo membuang waktu lo yang berharga untuk dia," timpal Hanan.
Tok tok!
Lyla baru hendak membuka mulutnya ketika mendengar pintu kamarnya diketuk. Ia segera berbisik kepada Hanan di seberang sana. "Hanan, talk to you later. My mom's here..." Tidak menunggu balasan pria itu, Lyla memutus sambungan telepon.
"Lagi ngobrol sama siapa, La?" tanya Mama ketika Lyla sudah membukakan pintu dan mempersilakannya masuk.
"Biasa, Hanan," Lyla mengangkat bahu, kembali mengempaskan tubuhnya di atas ranjang.
Mama mengikuti Lyla dan duduk di tepi kasur. Ia melirik Lyla sebelum bertanya sembari mengamati ekspresi putrinya. "Hanan... Ada cerita sesuatu sama kamu, nggak?"
"Cerita apa, Ma? Kalau maksud Mama cerita tentang dia mau dijodohin, tadi dia cerita sama aku."
Mama mengangguk, mulutnya membentuk huruf ‘o’. Sebenarnya pertanyaan barusan hanya basa-basi. Ketika mendengar cerita tentang Hanan yang akan segera dijodohkan, Mama yakin bahwa hal itu akan mencapai telinga Lyla dalam waktu singkat. Namun, yang ingin Mama tanyakan sebenarnya bukan tentang Hanan, melainkan putrinya sendiri.
"Kamu… gimana, La? Hanan sudah mau dijodohkan, kamu sendiri sudah ada calon belum?"
"Mama kan tahu sendiri, aku sibuk sama Orphic,"rajuk Lyla.
"Yang namanya waktu itu kan bisa diluangkan, tergantung kamu mau atau tidak,"balas Mama.
Lyla membuang muka, enggan berkomentar lagi. Sesungguhnya, Mama benar. Kafe yang ia dirikan sejak lulus kuliah itu bukanlah alasan di balik rasa enggannya untuk menikah. Namun, itulah alasan paling aman yang Lyla punya. Kalau ia mengungapkan alasan sebenarnya, Mama pasti akan menceramahinya panjang lebar tentang cinta dan kehidupan.
"Kalau nanti Mama kenalin sama anaknya teman Mama, kamu mau coba nggak, La?"
Lyla memutar bola matanya malas. "Ma, nggak usah ikut-ikutan Tante Rika, deh. Jangan mentang-mentang Hanan mau dijodohin terus aku juga ikut jadi korban."
Sepertinya karma datang kepada Lyla secara instan. Beberapa menit yang lalu ia baru saja menertawakan Hanan karena akan dijodohkan, lalu sekarang ia juga akan menjadi sasaran berikutnya! Hanan pasti akan balas menertawakannya jika tahu soal ini.
"Kok korban sih? Ini kan maksudnya Mama baik mau kenalin kamu sama anaknya Tante Lili. Dia cuma beda tiga tahun sama kamu, sudah mapan, masih single,"Mama menawarkan.
"Aku harus bilang berapa kali kalau aku belum mau nikah, Ma? Kakak udah nikah, Mama dan Papa udah dapat cucu. Kenapa aku juga harus menikah?"
Lyla mendengus sebal. Dulu ia mengira kalau kakak laki-lakinya, Danny, sudah menikah dan memberikan Mama cucu, ia akan terbebas. Namun, ia salah. Mama justru semakin sering membombardirnya dengan pertanyaan kapan, kapan, dan kapan.
Mama menggeser posisi duduknya lalu merangkul bahu Lyla, berusaha menatap wajah putrinya yang kini memberengut. "Ini bukan masalah cucu, La. Mama tuh khawatir sama kamu. Kalau kamu nggak menikah, nanti di masa depan kamu hidup sama siapa? Nggak ada teman, hidup sendirian, memangnya enak seperti itu?"
"Banyak orang memilih hidup sendiri sekarang. Mungkin di masa depan panti jompo akan ramai?"
"Lyla!"
Gadis itu langsung mengatupkan bibirnya meski wajahnya sudah cemberut. Memangnya ada yang salah dengan argumennya barusan? Kenapa sih menikah seolah menjadi sesuatu yang harus dicapai oleh semua orang jika tidak ingin menjadi bahan cemooh di masyarakat? Menikah itu kan pilihan. Bersenang-senang dengan teman sebaya di panti jompo lebih baik daripada tersiksa seumur hidup bersama pasangan yang salah kan?
Mama menghela napas, nada suaranya kini kembali melembut. “Lyla ingat kan waktu Papa kena stroke? Waktu itu usaha Papa sama Mama merosot, Papa sempat stress, belum lagi kita harus menghadapi Papa yang mendadak nggak bisa beraktivitas seperti sebelumnya. We were broken that time. Tapi apa yang terjadi? Kita kuat menghadapi semuanya tuh. Karena apa? Karena kita keluarga, punya satu sama lain, saling menguatkan dan menjaga.”
Mama mengusap bahu Lyla sebelum melanjutkan, “Mama cuma pengen kamu itu nggak sendirian, ada temannya yang mendengarkan, yang saling menjaga.”
Melihat wajah Lyla yang semakin keruh, Mama akhirnya kembali merangkul Lyla, kali ini membujuknya dengan lembut. "Ayo dong, temuin dulu anaknya Tante Lili. Nggak harus jalan bareng atau pacaran, yang penting kenalan aja dulu. Ya?"
Yakin bahwa Mama tidak akan berhenti mendesaknya sampai ia mau dikenalkan, entah dengan anaknya Tante Lili, Tante Merry, atau siapapun itu, Lyla akhirnya menyerah. Helaan napas panjang lolos dari bibirnya sebelum ia menjawab.
"Ya udah, aku akan kenalan sama anaknya Tante Lili, tapi dengan satu syarat," Lyla mengacungkan jari telunjuknya, enggan menyerah. "Kalau ternyata aku nggak suka atau kami nggak cocok, Mama nggak boleh maksa ya?"
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
