
Bagian 1: Hutan dan Pohon-Pohon di Kepalanya
[Perspektif Hutan lebih dominan]
Bagian 1
Ransel lekat menempel punggung, tidak ada koper, tidak ada tas besar berisi pakaian, Hutan hanya membawa dirinya yang kelelahan karena harus membuat beberapa iklan produk client-nya, yaitu para seleb-seleb media sosial. Ia kemudian tertidur di pesawat, nyaris sepanjang-panjangnya perjalanan tujuh belas jam dari Seoul ke Los Angeles. Di dalam ranselnya hanya berisi satu shirt putih, satu celana dalam, satu celana pendek cokelat, dan berkas-berkas perceraian yang sepenuhnya sudah dikirim dari Indonesia oleh kroninya. Ponsel ada di saku jaket, melekat dengan Power Bank, sedang paspor ada di belakang saku jin kiri.
Lorong apartemen sepi, hening sonor sekali mungkin karena sudah tengah malam. Ia mengerjakan projek klien di studio sampai pagi buta bersama tim, bergegas ke bandara setelahnya, kemudian lelap di pesawat ketika matahari masih separuh matang. Tahu-tahu sekarang sudah malam di Los Angeles, mengecek waktu dengan ponsel, ternyata pukul dua belas lewat dua belas menit. Pintu rikuh dan dingin menatapnya, Hutan bertanya-tanya apakah sopan sembarangan masuk meskipun ia masih ingat password kamar ini, sedang ia belum mengabarkan Bei bahwa presensinya sudah jejaki LA. Bei bisa saja kaget kalau ia tiba-tiba masuk.
Hutan embuskan napas kasar, kantuk seratus baksis langis sebab ia sudah tidur terlalu lama—perutnya sampai terasa agak kurang mengenakan. Ia kemudian membiarkan tulang jari tengahnya menyentuh pintu, memberi ketukan sebanyak tiga kali, dan menunggu. Kepalanya pening cepat memikirkan pertemuan ini dengan Bei. Terakhir bertemu, tentu sembilan bulan lalu. Sehari tepat setelah ia dan Bei memutuskan minggat dari Jakarta dan membeli satu unit apartemen di Alta Vista. Menghapus gunjingan keluarga besar yang terhormat dari telinga sehari-harinya.
Memikirkan itu, tentu Hutan kembali merasa jantungnya berdedai-dedai tidak beraturan. Bermimpi menyelesaikan tesisnya di ITB dan melanjutkan pendidikan di Binghamton, rasanya terlalu mencekik ketika rasian itu terhapus dari pucuk hidungnya. Sekonyong-konyong badai bernama Murbei tandang pada hidupnya, secara tidak sopan mengadar ke rumah tanpa sepengetahuannya, membuat kedua orang tuanya memendam rasa kecewa yang dalam. Hutan membuat keputusan baru dengan cepat, tekanan-tekanan kehidupan ia hadapi dengan sisa kewarasan. Meninggalkan Murbei di sini sendirian adalah manifestasi nyata rasa bencinya pada perempuan itu—keputusan Bei tentu berisiko, jadi biarkan si Nona Tidak Punya Otak itu menanggungnya.
Hutan masih ingat bahwa Bei bukan siapa-siapa di hidupnya selain teman satu angkatan berbeda jurusan yang kebetulan bertemu dalam satu projek sama. Ia yang bekerja pada bagian Departement of Post-Production dalam sebuah Production House di Jakarta, kemudian bertemu dengan Bei untuk membuat film dokumenter tentang dampak perusahaan tambang. Melangsungkan program magister Hubungan Internasional, Bei memang berkonsentrasi pada studi mengenai International Security. Perempuan itu lantas bersama tim peneliti melakukan riset mengenai tambang dan Human Security, yang akhirnya dijadikan acuan dari film yang digarapnya.
Film Dokumenter itu sukses besar, bahkan tayang di bioskop di beberapa kota Indonesia. PH-nya sampai dapat penghargaan HAM kategori Hadiah Khusus, meskipun setelah itu produser, sutradara, dan jurnalis mendapat beberapa ancaman dan teror dari perusahaan yang merasa citranya runtuh atas penguakkan fakta dalam film. Bei yang bukan seorang jurnalis, tidak pernah takut untuk turun ke lapangan, mencari bukti-bukti selama setahun penuh, menjadi bagian penting dalam proses pembentukkan film ini kendati sosoknya justru tidak mencolok karena permintaannya sendiri.
Perempuan itu merangkai teori, menggabungkan temuan lapangan dengan kecanggihan otaknya menganalisis tentang keamanan manusia. Tambang memang berbahaya, dampak-dampak itu, andai saja tidak dilihat secara detail dengan pemahaman Bei, tentu tidak akan terasa ilmiah dan realistis. Orientasi Bei yang selalu condong pada kemanusiaanlah, yang membuat film dokumenter ini dipuji-puji oleh masyarakat.
Bei mendapat begitu banyak pujian, termasuk darinya. Hutan tidak menyangkal itu, ia cukup kagum dengan Bei. Meskipun ya, tentu saja tidak bertendensi pada hal-hal romantis.
Malam di mana perayaan itu dilakukan, ia mulai mengobrol intens dengan Bei. Perempuan itu cerewet, tidak sepertinya yang pendiam dan bicara kalau penting saja. Bei cukup humoris, semua staff PH mengenal perempuan itu, dan mereka senang atas kehadiran Bei. Ia dan Bei kemudian menjadi teman mengobrol sampai akhirnya berlanjut jadi friend with benefit. Tidak begitu sering, ia dan Bei melakukan sex, kira-kira enam sampai tujuh kali dalam kurun waktu satu semester. Bertemu akhir bulan kalau sedang luang dan sama-sama jenuh.
Puncak masalahnya adalah ketika Bei mengizinkannya ejakulasi di dalam dengan alasan sedang tidak masa subur, lalu tahu-tahu spermanya menciptakan seorang anak manusia secara tidak sengaja. Hal itu jelas tolol. Hutan sadar ia menahan napas ketika mengingatnya. Menggeleng pelan, ia memandangi lagi pintu apartemen yang diam saja, kaku di hadapannya. Kemudian ia mengetuk pintu agak kencang lagi sebanyak tiga kali, menunggu sambil kepalanya kembali terlena pada pikiran menyebalkan.
Latar belakang Bei yang agak tertutup membuat Hutan murka ketika perempuan itu beralasan melakukan semuanya karena desakan keluarga. Sudah begitu dengan tidak tahu dirinya Bei mau pergi bersamanya kemana pun karena sudah tidak ada keluarga lagi yang mau menerima si Nona Tidak Punya Otak itu. Pernikahan pun akhirnya terjadi atas paksaan Bei yang berkongkalikong dengan keluarganya. Dengan berat hati, ibunya yang paling ia cintai harus merelakannya menikah dan pergi dari Jakarta untuk memulai hidup baru.
Kemudian Bei akhirnya ia pindahkan ke LA, sedang ia sendiri membangun PH di Seoul, berkarir dalam bidang entertainment, kadang-kadang menjual lagu garapannya sendiri pada perusahaan ternama untuk debut-debut boy atau girl group. Hidupnya berjalan mulus kecuali itu tentang Bei yang merecokinya setiap saat mengenai jabang bayi yang hidup tanpa restu siapa pun kecuali perempuan itu sendiri. Hutan merasa kesal sekarang, tetapi di saat yang bersamaan ia begitu semangat untuk memberikan berkas-berkas perceraian pada Bei. Ia tidak sabar lepas dari seorang Sedelinggam Murbei.
Keputusannya sudah sangat bulat. Dipikir-pikir satu-satunya orang yang mau mempertahankan bayi itu hanya Bei, ia dan keluarganya bahkan pernah memberikan opsi untuk digugurkan selagi masih sangat muda usia kandungannya. Tetapi entah mengapa, Bei bisa bernegoisasi dengan keluarganya dan akhirnya perempuan itu bisa mencapai titik ini; menyandang gelar sebagai istri dari seorang Hutan Kelenggara. Semua benar-benar tidak adil. Hutan tidak diberi kans menyampaikan pendapat, ia begitu senyap dalam pengambilan keputusan atas hidupnya sendiri.
Kenop pintu tiba-tiba bergerak pelan, Hutan dengan datar memandangi kusik laun itu. Sedikit celah terlihat, sangat sedikit, sampai akhirnya sebelah mata mengintip dari sana. Mata merah dan sembap yang seolah-olah memastikan bahwa ia bukanlah sebuah bahaya. “Hutan?” Suara tanya terdengar ke rungu dengan cepat, hutan mendesah malas.
“Buka pintunya, gue aus pengen minum,” setelah kata-kata itu terlanting dari bibirnya, Hutan baru mendapati Bei mundur untuk membukakan pintu dengan lebar. Ia berjalan cepat masuk tanpa menoleh pada Bei, tanpa menyapa, dan segera masuk ke kamarnya sendiri yang tidak terkunci. Meletakkan ransel di atas kasur berseprai putih, ia kemudian membuka sepatu juga jaket, lantas bergegas mengambil minum ke dapur. Tetapi baru sampai kakinya di dekat sofa, daksanya terdiam. Ia gegau.
“Itu, minumnya di bawah, bisa ambil sendiri gak?” Suara Bei yang pelan dan tidak semangat berlabuh cepat pada rungunya. Perempuan itu berdiri di depan kulkas yang sudah terbuka lebar, seraya menunjuk sesuatu pada bagian bawah. Hutan mengerjapkan mata kemudian menelan ludah cepat ketika okularnya secara jantang menangkap Bei dengan perut super besar sampai daster yang dikenakan perempuan itu mengetat. Demi Tuhan, Hutan tidak berekspektasi akan melihat seorang Sedelinggam Murbei yang berani, berisik, dan selalu terlihat bebas seolah tidak diikat aturan mana pun, berdiri di hadapannya sambil memegangi pinggul dengan kaki agak mengangkang.
“Sorry, perut gue lagi sakit banget jadi susah buat bungkuk. Lo ambil sini airnya di bawah tuh,” Bei memberi instruksi, dan tanpa banyak bicara Hutan mendekat pada perempuan itu. Mengambil air mineral tanggung dingin pada rak terbawah kulkas. Setelah itu tanpa aba-aba Bei menutup kulkasnya, memegangi pinggul lantas berjalan mengangkang ke arah sofa sambil melanting tanya, “lo kok gak ngabar mau pulang? Gue kira tadi orang jahat.”
Hutan diam sebentar, mengendana bagaimana Bei memijat-mijat pinggul sambil berjalan pelan seolah bayi di perut sana begitu membatasi gerak-gerik. Bei yang dulu selalu mewarnai rambutnya suka-suka, kini total jadi hitam kelam, digulung asal sampai helai-helainya di sekitar pelipis dan telinga menjerambai nakal. Ketika perempuan itu berbalik ke arahnya, Hutan dapati bibir merah padam Bei membengkak, mata pun nampak sembap, gurat lelah terlukis jelas di permukaan roman perempuan itu. Hutan melayas pertanyaan Bei, dan justru bertanya balik, “lo abis nangis?” yang segera Bei tanggapi dengan alis naik bingung.
“Oh, itu, Dede bayinya agak susah diatur. Jadi gue gak bisa tidur, gak nyaman. Capek dari kemaren begini mulu. Sakit juga. Jadi ya udah nangis aja, ya mau ngapain lagi.” Bei dan seluruh sifat santuy perempuan itu yang kadang bikin Hutan terheran-heran. Hutan diam, memegangi botol air sambil tidak melepas pandangan dari gerakan Bei yang susah payah duduk di sofa. Desahan-desahan nyeri terlontar tidak ditutup-tutupi, ia kaku di atas kakinya sendiri dapati Bei meringis terus-terusan bahkan untuk gerakan kecil. Wajah kuyu perempuan itu membuatnya bingung harus bereaksi seperti apa, tetapi ia sendiri menyadari bahwa sesuatu yang janggal tumbuh dalam dadanya—apakah itu rasa iba, atau hal lain, masih belum bisa diidentifikasi.
Bei berhasil duduk, menyandarkan punggung pada sofa seolah tidak bisa terlalu lama menopang dua daksa. Kemudian pergerakan yang Hutan kira terlihat agak spontan, terjadi; Bei mengusap-usap perut besar itu penuh sayang sambil bernapas kelelahan. Jelas Hutan semakin kaku. Sebab selain aneh, ini fenomena yang terjungkar dari ekspektasi. Bei yang Hutan kenal sangat-sangat berisik dan tidak mau berhenti bicara, kerjaannya melanting humor bapak-bapak yang garing tetapi selalu bisa mengundang tawa rekan kerja di PH. Di Chat pun, Bei tidak berubah sembilan bulan ini, tetap absurd dan menyebalkan, menggampangkan persoalan kehidupan dengan kata-kata yang Hutan yakini dirangkai tanpa pertimbangan.
Hutan tidak pernah merakit si Murbei, di kepalanya, sebagai seorang manusia waras yang bisa mementaskan gurat kelelahan, apalagi menangis. Pernah suatu kali ada insiden yang Hutan dengar dari tim riset, katanya Bei kecelakaan motor dan hal itu berimbas pada patahnya jari kelingking perempuan itu. Lantas yang terjadi justru Bei menjadikannya lelucon bodoh seperti, “jangan-jangan jari kelingking gue udah capek gue pake ngupil mulu, jadi dia mematahkan dirinya sendiri,” alih-alih merasa sedih dan trauma. Jadi, ia tidak bisa menahan diri sekarang ini, ketika Bei bernapas dari mulut seolah-olah sedang menetralkan rasa sakit.
Apa … hamil memang sesakit itu rasanya?
“Lo ngapa dah ngeliatin gue kek gitu? Baru pertamakali liat orang hamil, ya?” Pertanyaan Bei menyadarkan Hutan dari pikiran yang menumpuk di kepala. Ia melangkah mendekat tanpa menjawab pertanyaan Bei, lantas berdiri di sisi sofa di mana perempuan itu duduk bersandar. Ia memandangi ibu hamil itu untuk setelahnya mengajukan tanya, “dia cewek atau cowok?” yang kemudian agak Hutan sesali karena Bei justru kembali menaikan alis, seolah tercengang dengan pertanyaannya. Tetapi tanpa protes, Bei justru tengadah padanya, semakin dalam menatap tepat di mata.
“Emang gak bisa nebak? Berarti lo gak tau mitosnya ya?” tanya Bei serius.
“Mitos apa?”
“Kalo perutnya mancung ke depan gini, anaknya cowo. Kalo ke samping anaknya cewek.” Jawaban Bei membuat Hutan menautkan alis bingung. Bagaimana ia bisa tahu orang yang hamil mancung ke depan dan orang yang hamil lebar ke samping? Baginya semua orang hamil itu buncit, dan tidak ada derivasi konklusi lain. Tetapi kebingungan itu dengan segera hilang dari otak, ia kembali mengajukan tanya setelah memperhatikan perut Bei yang besar.
“Berarti dia cowok?” Bei mengiyakan pertanyaan Hutan dengan anggukan dan senyum kecil, Hutan jelas bisa merasakan jantungnya tiba-tiba berdentum agak kencang saat hal itu terjadi. Bukan. Bukan karena ia terpesona dengan senyuman Bei yang baginya biasa-biasa saja, tetapi karena perempuan itu memancarkan gurat bangga pada eskpresi roman di sana. Seolah bocah di dalam perut itu adalah sesuatu yang sangat dinanti Bei, yang memberikan begitu banyak hal pada perempuan itu—Hutan tidak bisa menerkanya, tapi kira-kira seperti itu. Bei memasang tatapan penuh cinta sambil mengusap-usap buntalan besar di balik daster tidur. Anak itu, pasti adalah sesuatu yang Ajaib bagi seorang Sedelinggam Murbei, kan? Kalau tidak, sekumpulan kasih dan cinta tidak akan berdedak-dedak kumpul di bola mata perempuan itu yang kuyu dan lelah.
“Dede bayinya pasti berisik kayak gue. Sekarang aja nendang-nendang terus, dia aktif banget. Kadang-kadang sampe kewalahan,” informasi itu dijelaskan dengan binaran tulus dari kedua mika tipis berkaca milik Bei. Hutan yang berdiri tidak tegap di dekat perempuan itu bisa melihat jelas semua hal pada si ibu hamil. Bei yang kurus tetapi berperut besar, Bei yang rambutnya kini hitam kelam, Bei yang bibirnya merah dan lembap, Bei yang punya frekles krim di semenjana pangkal hidungnya, Bei yang terus mengusap-usap perut besar, dan Bei yang sesekali meringis seolah bayi di dalam daksa sana kerap menendang-nendang. Hutan benci rasa penasarannya yang mencagun disebab apa yang netranya tangkap ini. Rasanya baru kali ini ia tidak bisa menahan-nahan diri. Ia bahkan menyesal ketika menyadari bokongnya sudah ikut duduk di sisi Bei, menyerong pada perempuan itu; pada perut yang buncit sampai pusarnya tercetak di daster. Hutan tahu darahnya berdesir, tapi ia tidak tahu kenapa itu terjadi.
Untuk beberapa saat Hutan hanya terus memandangi serius perut Bei. Menyadari senyap yang merangun memenuhi ruangan, ia akhirnya mengalihkan perhatiannya pada wajah Bei yang kuyu. Bawah mata perempuan itu agak menghitam, sembap, kerlip semangat yang selama ini selalu terpancar seperti manusia paling gesit sudah benar-benar hilang, dikonversi oleh garis pandang lembut, sejenis tatapan yang tidak pernah Hutan bayangkan bisa mengokupasi netra Bei. Yang ia sendiri merasa salah tingkah mendapatinya.
“Gue boleh pegang?” lantas di antara debar jantung kurang ajar di balik dadanya, Hutan tetap tidak bisa menahan diri untuk ini. Bei memandangnya dengan mata merah, berkaca-kaca, tetapi tersenyum kemudian.
“Boleh. Dede bayi mungkin bakalan seneng ketemu ayahnya,” jawaban Bei membuat Hutan merinding, bahkan kekehan Bei yang jenaka tidak bisa membuat bulu romanya tunduk. “Maksudnya ayah biologisnya, hehe. Gausah ngerasa terbebani.” Hutan mengerjap sebentar untuk setelahnya berdeham canggung. Napasnya jadi berat entah mengapa, bahkan ketika ia mengulurkan tangannya pada perut Bei, jari-jarinya gemetaran. Demi Tuhan ini memalukan, tetapi ia tidak bisa menahan efek semua ini. Kata ‘ayah’ yang Bei lontar barusan membuatnya sesak—bayi itu, bayi di balik kulit tipis perut seorang Murbei, yang terus menedang-nendang ibunya, adalah hasil dari spermanya yang bertamu pada rahim. Bayi itu muncul karena bagian dari dalam dirinya menjadi formula utama. Ada darahnya mengalir pada makhluk itu. Hutan sadar dadanya menyempit, entah apa yang memenuhinya.
Ketika telempapnya benar-benar singgah pada permukaan perut, dengan gegau ia menariknya kembali. Tidak bisa menahan diri, ia menatap Bei panik.
“Kenapa?” Bei juga ikut panik.
“Dia langsung gerak-gerak.” Jawabannya disusul tawa kecil Bei sampai dua kelopak perempuan itu menyipit membentuk lengkungan tulus. Hutan masih berusaha menetralkan rasa panik di dalam dirinya sampai Bei menarik tangannya, membawa telempapnya kembali mengadar pada perut buncit, dan ketika ia merasakan gerakan lagi, Bei menahan tangannya untuk tetap di sana. Hutan sadar ia melemas ketika semua ini terjadi. Jantungnya merayakan ketololannya dengan irama yang terburu-buru, darah berdesir di kaki, pipinya tiba-tiba panas. Sesuatu benar-benar bergerak di telempapnya, kuat sekali seperti tendangan. Entah sampai berapa kali, kemudian diam. Bei melepas tangan dari pergelangannya, tetapi telapaknya sendiri tidak mau pergi dari sana. Ada perasaan aneh seolah-olah ia menunggu gerakan lainnya terjadi.
Seolah memahami hal itu, Bei menyingkirkan tangannya dari atas perut perempuan itu. Dan tanpa diduga-duga, si perempuan Murbei bergerak menaikkan daster tidur sampai perut buncit itu terpampang tanpa dihalangi apa pun. Hutan menganga. Ia bahkan tidak bisa melihat celana dalam Bei karena perut besar itu sepenuhnya menutupi. Buntalan itu terlihat seperti melon raksasa, menguasai seluruh teritori tubuh Bei yang kurus. Hutan bisa dengan jantang memandangi urat-urat halus di perut sana, pusarnya mencuat keluar seolah-olah terdorong oleh seluruh penguhi di dalam perut, ada garis panjang berwarna cokelat muda yang melintang vertikal dari bawah pusar sampai bawah perut. Hutan benar-benar lemas, ia bingung kemana usus, lambung, dan seluruh isi perut disimpan kalau ada bayi di dalamnya.
Di tengah seluruh ledakan bertubi-tubi itu, Bei bersuara pelan sambil memberikan usapan dengan telunjuk di perut bagian bawah sebelah kiri, “kalau lagi diem, diusap-usap begini nanti dia gerak sendiri. Kayak yang, dia tau ada orang di luar mau interaksi. Tapi untuk sekarang, coba lo usap-usap sebelah kanan. Karena usia kandungannya udah 36 Minggu, jadi dia kepalanya udah muter gitu. Dia udah tahu kalau sebentar lagi mau keluar dari sini. Yang gerak tadi itu kayaknya tendangan, rasanya kuat banget.” Hutan menelan ludah mencerna seluruh informasi itu. Ia bingung. Begitu banyak pertanyaan berlalu lalang di kepalanya, tetapi tidak bisa ia lanting selain justru mengikuti Bei mengusap perut bagian kanan. Sentuhan kulit dengan kulit yang membuat kepalanya agak pening.
“Lo tau gak sih? Kadang gerakan dia bikin geli dan gatel, kayaknya itu rambut dia deh. Dokter bilang rambut Dede Bayinya udah tumbuh,” Bei menjelaskan saja tanpa menghiraukan jantung Hutan yang berdegup tidak punya etika, membuat keributan, rasanya menyesakkan. Dede bayi di dalam sini sudah punya rambut, ya? Apakah dede bayi tahu bahwa di luar perut ibunya, dunia yang jahat ini tidak menginginkan kehadirannya? Apakah dede bayi tahu bahwa seseorang yang sekarang sedang menikmati pergerakkannya ini bukanlah orang yang mengharapkan kehidupannya? Apakah dede bayi tahu bahwa Hutan datang untuk setelahnya pergi? Hutan menatap lekat-lekat perut buncit ini, rasa sakit meruah cepat memenuhi dadanya.
“Pas dia nendang-nendang, perasaan lo gimana?” Hutan penasaran, ia mengajukan tanya tanpa melepas pandangan dari perut Bei. Tangannya dengan berani berkelana kemana pun, sebelah kanan, sebelah kiri, ke bawah, ke atas, mencari-cari gerakan lain. Ia sendiri tidak tahu pergerakan kecil bayi di dalam perut bisa membuatnya ketagihan.
“Hm, agak ngilu-ngilu gitu. Susah jelasinnya,” Bei menjawab pendek. Hutan tidak puas tetapi tidak protes, ia tetap memberikan belaian-belaian lembut pada perut besar Bei, sesekali mendapat respon dari dede bayi, lalu merasa lega entah mengapa. Saat sedang asik dengan perut, Bei tiba-tiba memanggilnya.
“Kenapa?” Hutan tegakkan duduk, tangannya tidak mau lepas dari perut.
“Lo bakalan marah gak kalau tau dede bayinya mirip lo?” pertanyaan aneh yang telak menusuk-nusuk dadanya. Hutan diam sebentar, kepalanya berputar-putar menciptakan pening. Apakah ia akan marah? Kalau Bei tanya ini lewat chat kemarin-kemarin, ia mungkin akan marah, dan barangkali pekerjaannya akan terbengkalai karena mood rusak. Tetapi sekarang, Hutan bahkan tidak tahu bagaimana caranya memantik tantrum. Ia tidak tahu bagaimana mengembalikan rasa jengkel yang sebelumnya berduyun-duyun melangsir di seluruh peredaran darahnya, bahkan ketika ia sudah berdiri tepat di pintu apartemen ini barusan. Hutan tidak tahu. Ia harusnya memang marah, tetapi daripada menjawab pertanyaan Bei, ia justru balik bertanya.
“Emang lo udah tau mukanya?”
“Ada poto USG-nya, mukanya mirip lo. Tapi pas lahir bisa berubah sih, bayi kan gitu. Tapi ya idungnya lo banget gue liat-liat.” Hutan menggigit bibir sebentar, kemudian menanggapi, “gue boleh liat?” yang mana itu mengundang Bei mengangguk santai. “Ya bolehlah, masa gak boleh. Ada di kamar gue tapi, gue ambil dulu.” Hutan menekan bahu Bei yang bergerak memisahkan diri dari sandararan sofa. Ia mendengar begitu banyak tarikan napas dan ringisan di setiap gerakan Bei, jadi ia menahan perempuan itu, dan membiarkannya untuk tetap duduk. Ia sendiri kemudian bangkit, seraya bilang, “gue aja yang ambil. Ada di mananya?”
“Keliatan banget di atas nakas.”
Tanpa menyahut, Hutan segera melangkah ke arah kamar Bei di dekat dapur, bersebelahan dengan kamarnya sendiri. Ia kemudian masuk dan mematung seolah jantungnya baru saja jatuh menggelinding ke kolong ranjang. Napas tercekat, kepalanya kosong. Hutan berusaha bernapas tetapi rasa sesak memenuhi dadanya. Ia melihat sesuatu, di antara pintu kamar mandi yang terbuka, ada tali tambang dengan simpul gantung menjerambai begitu inosen. Tidak ada angin yang menggerakkannya, tambang itu diam saja seolah menanti kematian. Apa Bei benar-benar sengaja menggantung benda itu di sana untuk hiburan atau ada hal lain? Hutan mengepalkan tangannya, tentu karena ia tahu tambang dengan simpul menggantung seperti itu bermakna lebih dari sekadar tali biasa.
Murbei, apa perempuan itu akan melakukannya atau sudah melakukannya, Hutan merasa kepalanya berdenyut nyeri memikirkan itu. Ia kemudian melangkah pada nakas, mengambil sebuah lembar foto USG yang tersempil di sela klip dan surat hasil pemeriksaan. Ia memandang gambar berlatar hitam itu sambil menggigit bibir, wajah dede bayi memang sudah terlihat cukup jelas, Bei benar, hidungnya begitu mirip dengannya, dan bahkan juga bibirnya. Dede bayi meringkuk seolah perut Bei terlalu kecil untuknya, Hutan tidak bisa melakukan apa pun saat ini kecuali memandang gambar dan tali tambang bergantian.
Hutan berusaha memutar otak mengingat baris-baris Chat yang Bei kirimkan padanya sembilan bulan ini. Ia mencari tanda di mana Bei terlihat depresif, tetapi ia tidak menemukannya. Bei tetap seperti dirinya sendiri yang banyak bicara, melanting humor, dan menanggapi permasalahan dengan santai. Tidak ada indikasi-indikasi yang menunjukkan Bei sekit sepertinya. Ia bahkan mengalami penurunan berat badan drastis sebulan setelah pernikahan, kemudian tiap ibunya menelepon untuk sekadar tanya kabar, ia merasa sakit kepala, pikirannya selalu berlabuh pada masa depan suram setelah cuti dari program magister dan berhenti menggarap tesis untuk membangun PH di Korea. Ia sulit mengontrol emosi, dan pada tahap tidak mau melakukan apa pun selain tidur, akhirnya ia memutuskan pergi ke terapis. Tiga bulan setelahnya, ia mulai rela tentang semua kehancuran, kecuali itu kalau Bei mengiriminya chat dan memintanya pulang.
Hutan tidak tahu bahwa Bei akan melakukan hal seperti itu; menggantung seutas tali di pintu kamar mandi yang terbuka. Ketika terapisnya mengatakan ia mengalami anxiety pada tahap severe—karena ia seringkali berkeringat dingin, gemetaran, dan bernapas pendek ketika duduk di kursi studionya dan mengingat semua rencana masa depannya sebelum Murbei datang—ia tetap tidak pernah berpikir untuk mati. Daripada mati, lebih banyak kepalanya memikirkan bagaimana ia bisa menyingkirkan Bei dari hidupnya, menata kehidupan baru, dan kembali pada rencana awal. Terkadang kecemasan kambuh ketika permasalahan di PH muncul, sebab tidak semudah itu merancang PH dari nol, meskipun tim-nya rata-rata adalah teman dekat profesional. Tetapi hal itu selalu bisa ditangani dengan obat-obatan ringan, tidur panjang, dan bersepeda. Serusak apa pun mentalnya, ia tidak pernah berinisiatif mengikat ventilasi pintu kamar mandinya dengan tali dan membuat simpul gantung di sana. Jadi, ketika ia akhirnya justru terduduk lemas di sisi ranjang Bei yang harum seperti detergent, itu tentu hal yang wajar, kan? Bei barangkali sudah benar-benar gila.
Hutan tidak berani melakukan apa pun selain diam terduduk, berusaha bernapas dengan benar, dan memandang foto USG dengan tatapan sedih. Ia kemudian memandang lagi tali tambang tebal itu, dan membayangkan bila harus bertemu Bei dengan cara yang tidak lazim, pikiran jelek itu segera dibuangnya dengan gelengan cepat. Tenggorokan yang tercekat kemudian ia basahi dengan sedikit ludah, setelahnya ia bangkit berdiri, melangkah gontai keluar kamar.
Di sofa, Bei bersandar saja, mengusap-usap perut telanjang dengan penuh sayang. Daster yang digulung menumpuk di bawah payudara, terjepit di antara perut besar. Rambut Bei yang digulung sembarangan, memberi kesan keibuan pada perempuan itu. Impresi-impresi mustahil. Dulu ia bahkan berasumsi bahwa Bei adalah tipikal perempuan penganut child free. Manusia gila seperti Bei, yang tentu juga memiliki sejuta ambisi, kini harus terduduk berhadapan dengan televisi mati, sambil membawa bobot bayi di dalam perut, dan merasa tidak nyaman dalam posisi apa pun. Hutan selama ini tidak mau tahu tentang perempuan itu. Ia jelas telah melakukan kesalahan, kan?
Sambil menjepit lembar USG dengan jari telunjuk dan jempolnya, Hutan kembali duduk di sisi Bei. Perempuan itu tidak mengangkat kepala dari sandaran sofa, hanya menoleh sedikit dengan tatapan sayu, kelelahan. Tangan perempuan itu tidak berhenti memberi belaian lembut di perut, lantas tersenyum ketika dapatinya sudah kembali.
“Lama banget, ngapain?” Pertanyaan Bei tidak langsung Hutan jawab. Hutan justru duduk menyerong menghadap perut besar Bei, kemudian memandangi bergantian antara perut hamil dan gambar dede bayi di tangannya. Ia tidak bisa menahan diri untuk melanting tanya kemudian.
“Kenapa lo pasang tali tambang di kamar? Lo mau bunuh diri?” Mungkin itu terkesan terlalu cepat menyerang inti, tetapi jujur saja Hutan tidak tahu bagaimana harus menyikapi seorang Murbei. Bei tidak terlihat sakit, tidak menunjukkan tanda-tanda seperti itu selain secara fisik terlihat sangat kurus, dan tatapan sayu lelah tidak bisa ditutup-tutupi. Sisanya Bei bukan tipe orang yang bisa Hutan perlakukan dengan lembut, setelah sepanjang-panjangnya pernikahan ini tujuan Hutan hanya ingin menyingkirkan perempuan itu dari hidupnya. Hutan jelas tidak bisa secara tiba-tiba menunjukkan perasaan bersalah, meskipun ya—ia tidak mau menyangkalnya—bahwa perasaan itu memang ada.
Hutan beralih pada wajah Bei yang tetap begitu saja, hanya diadisi dengan senyum kecil. Perempuan itu kemudian mengulurkan tangan untuk menyentuh rahangnya, beberapa detik, untuk setelahnya menariknya pelan. “Itu bekas kapan hari. Mungkin pas kandungannya masih 20 Minggu-an. Terus tiba-tiba perut gue gede, dan gak bisa copot itu. Takut jatoh. Susah gerak karena dedenya udah 2 kilo lebih kata dokter.”
Dan Hutan hanya bisa memandang perempuan itu lurus setelah mendengar penjelasan barusan. Telinganya berdengung membayangkan Bei membawa dede bayi naik ke atas bangku, menghampiri tambang, dan kemudian entah apa yang terjadi. Hutan juga mau tahu kenapa Bei tidak jadi melakukannya, apakah itu karena dede bayi yang menangis di dalam perut? Apa dede bayi bisa menangis di dalam perut? Hutan menahan sesak dengan mengulum bibirnya sendiri. Ia lantas mengusap perut Bei, dan menciumnya lembut satu kali. Mengundang Bei merespon, “Eh? Ngapain?” yang tentu ia abaikan.
Hening berlalu, dan Hutan masih sibuk memberikan usapan lembut. Kalau dede bayi merespon, ia merasa ketagihan dan mau terus mengganggu. Lantas di antara hening, Bei akhirnya bersuara, “Hutan, gue serius soal bunuh diri itu. Waktu itu usia kandungannya 20 Minggu, dan gue ngerasa sedih setiap hari. Mungkin karena emang ibu hamil sensitif banget. Gue banyak sedih, nyaris setiap detik. Ah males ceritainnya, sedih pokoknya. Tapi ya gitu, setelah berkali-kali mau ngelakuin itu selalu gak jadi gara-gara takut. Kek gue udah coba-coba masukin kepala ke situ, dan udah coba juga gantung diri tanpa jatohin kursi, tapi rasanya sakit banget, jadinya ya gak jadi. Gak tahan. Rasanya kecekek tuh sakit banget gak bisa napas. Terus, ya udah. Gak jadi. Gak usah kasian sama gue. Kita tetep bisa cere kok. Jangan iba ke gue, ya.”
Hutan terdiam. Mungkin, seseorang yang banyak bercanda seperti Bei pada dasarnya cuma menyembunyikan rasa sakit itu dalam-dalam, menimbunnya supaya tidak seorang pun tahu. Kalimat Bei yang tidak begitu terdengar nada sedihnya, tetap kapabel membuat Hutan merasa sesak. Dede bayi pasti marah kalau tahu kehadiran bocah itu, adalah perpaduan antara spermanya, dan sel telur ibunya. Sperma dari seseorang yang tidak mau tahu perasaan orang lain. Sperma dari seseorang yang mengatakan hal-hal menyesakkan pada seorang ibu hamil. Sperma dari seseorang yang bilang Bei adalah manusia yang cuma mau melihat segala hal dari satu perspektif, sedang ia sendiri melakukkanya sembilan bulan tanpa absen. Dede bayi … pasti malu punya ayah sepertinya, kan? Ah, sejak kapan ia bersedia jadi ayah?
TBC
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰