Cinta di Persimpangan (Bab 1-5) GRATIS

0
0
Deskripsi

Sehari menjelang hari pernikahan Tiara dengan Rajendra, Bagas, tunangan Tiara mendadak muncul. Dia membawa sesuatu yang dijanjikan akan diberikan menjelang hari pernikahan mereka yang batal 3 tahun lalu. 

Kini, Tiara bimbang, ke mana harus memberikan hatinya. Pada Rajendra yang membantunya kembali tegak berdiri? Atau pada Bagas, cinta pertamanya?

**

Bukan salahku jika waktu itu aku tak datang. Musibah bisa terjadi pada siapa saja. Namun ketika aku kembali dan meminta cintamu, apakah bisa kudapatkan...

Bab 1

Bukan Pacar

 

“Kamu nyadar nggak sih, Ra? Kamu itu sama sekali nggak kayak perempuan yang mau menikah.”

 

Karin menggelengkan kepala sambil berdecak. Kedua tangannya lincah menjahit bagian lengan kebaya yang menurutnya masih belum rapi. Sementara mulutnya sibuk mengomel. Di hadapannya, Tiara yang sedang membaca sambil menunggu Karin membetulkan kebayanya mendongak ketika mendengar ucapan tersebut. Dia menelengkan kepala, bingung. Tak ada angin tak ada hujan, Karin menceramahinya.

 

“Maksud kamu apa, Rin?”

 

“Ya ampun, Ra. Di mana-mana orang mau nikah tuh kelihatan sayangnya, tahu! Kamu sama Rajendra… nggak ada mesra-mesranya.” Karin tertawa kecil. “Terutama kamu, tuh. Dingin, kayak kulkas! Nggak kelihatan ngasih perhatian lebih.” 

 

“Memangnya harus mesra begitu?” Tiara cemberut. Dia melirik Rajendra yang sedang duduk sambil membaca ponselnya di ruang tunggu, menunggu Tiara mengurus kebaya pengantinnya. Setelah Tiara, baru giliran Rajendra mencoba setelan jas pengantinnya. Tiara yakin Rajendra tidak mendengar perbincangan mereka. 

 

“Ya nggak harus. Lucu aja sih, lihat kalian berdua. Kayak bukan pacar. Kuperhatikan kamu seperti ada jarak sama Rajendra. Padahal, Rajendra tuh kelihatan banget sayangnya sama kamu, Ra.” 

 

Akhirnya Karin selesai menjahit. Sebenarnya ada pegawai yang bisa dimintanya memperbaiki kebaya itu. Namun kali ini, kliennya istimewa. Kalau tidak diperbaiki oleh tangannya sendiri, rasanya ada yang kurang. Untuk kesekian kalinya Karin meneliti hasil jahitannya. Sudah rapi.

 

Karin mengulurkan kebaya yang baru dibetulkan itu pada Tiara. Sebagai teman, sekaligus desainer pakaian pengantin mereka, Karin sudah beberapa kali bertemu mereka berdua. Mereka bukan orang asing baginya karena berasal dari SMA yang sama beberapa tahu lalu. Hanya saja, baru-baru ini mereka lebih intens bertemu. 

 

“Ah, perasaan kamu saja, Rin. Kamu kan tahu, aku dan Rajendra tuh memang sahabat dari dulu. Mana ada mesra-mesranya,” elak Tiara.

 

“Iya sih, tapi sekarang kan sudah jadi calon suami istri. Nggak apa kali sekali-sekali kelihatan mesra. Panggil “sayang” atau apa kek. Atau…,” kata Karin mengambang. Dia menahan senyum. 

 

“Atau apa?”

 

“Mesranya nanti saja kali ya, waktu kalian sudah menikah. Sebentar lagi lho, Ra. Ciee…,” goda Karin membuahkan cubitan dari Tiara di lengannya. Namun demikian, Karin malah tertawa-tawa. 

 

“Apa-apaan sih, Rin?” Sontak pipi Tiara terasa panas. 

 

Karin tertawa-tawa. Untung saja, ruang tunggu dan ruangan Karin dipisahkan sebuah kaca. Jika tidak, mungkin candaan mereka terdengar oleh Rajendra. 

 

“Buruan, gih, coba kebayanya!” usir Karin menghentikan tawa mereka.

 

Tiara segera keluar dari ruangan Karin lalu masuk ke dalam fitting room. Di dalam ruangan itu, dia mengenakan kebaya buatan Karin tersebut dengan hati-hati. Tiara mematut diri di cermin sebentar. Tubuhnya semampai bahkan terlihat lebih ramping dalam balutan kebaya.

 

Puas melihat bayangan tubuhnya di cermin, dia keluar fitting room. Dia ingin menunjukkannya pada Rajendra dan Karin. Ketika dia menyibakkan tirai penutup ruangan tersebut, Rajendra dan Karin tampak sedang mengobrol. Rajendra langsung menoleh, menatapnya dengan mata berbinar. Ditatap begitu oleh Rajendra, membuat Tiara jengah. Dia lalu mengalihkan perhatiannya pada cermin yang ada di dekat Karin, kembali mematut diri di sana.

 

“Gimana, Raj?” tanya Tiara sambil memutar badan, menghadap pada Rajendra. Kebaya putih dihiasi manik-manik di tepinya itu terlihat simpel tapi tetap elegan. Tiara menyukainya. Namun, entah mengapa, hatinya masih terasa resah. Sepertinya, pernikahan ini tidak semestinya terjadi.

 

“Cantik. Seperti biasa,” komentar Rajendra tak henti menatap Tiara. Baginya kebaya apa pun cocok di tubuh Tiara di tubuhnya yang proporsional. Tak salah memilih Karin sebagai desainer pakaian pengantin mereka. Karin mengerti betul kemauan Tiara. 

 

Tiara merengut kesal.

“Maksudku gaunnya, Raj. Bukan aku,” runtuknya.

 

Rajendra terkekeh. Wajah Tiara makin menggemaskan jika ngambek. 

“Sudah sesuai keinginanmu kan? Yang penting kamu suka.” Rajendra memastikan. “Siapa dulu yang bikin.”

 

“Ish, kamu, Raj. Mau muji yang bikin kebaya atau yang makai?” sindir Karin membuat tawa Rajendra kembali berderai. “Nih, buruan coba dulu.” Karin memberikan setelan baju pengantin Rajendra. Rajendra segera masuk ke fitting room.

 

Tiara menghela napas, memandang sekali lagi kebaya itu. Ketika Rajendra keluar dari fitting room, pandangannya beralih pada Rajendra, yang sudah mengenakan setelan pengantinnya.

 

“Jasnya gimana? Sudah pas? Enak dipakainya?” 

 

Fitting kali ini mereka lakukan untuk terakhir kalinya. Seminggu lagi, gaun dan jas berwarna putih itu akan mereka pakai di hari pernikahan mereka. Semuanya harus sudah siap saat itu.

 

Tiara melirik Rajendra. Dia terlihat tampan. Meski begitu, Tiara tak pernah mengatakannya langsung padanya walaupun mereka sudah cukup lama dekat. Mana mungkin mengakuinya? Rajendra lebih seperti sahabatnya ketimbang kekasih. Rajendra teman SMA Tiara hingga mereka lulus. Saat lulus Rajendra melanjutkan kuliah di kota lain. Mereka jarang berkabar karena kesibukan yang berbeda. Keduanya baru bertemu lagi sekitar 2 tahun lalu.

 

“Sudah pas. Nggak kelihatan seperti mau praktik kan, Sayang?” tanya Rajendra mencoba membuat Tiara tertawa. Pancingannya berhasil, Tiara yang dari tadi terlihat gelisah, jadi tertawa mendengarnya.

 

“Hush, jas bagus seperti ini kok disamakan dengan jas dokter,” omel Tiara sambil merapikan kerah jas Rajendra. “Dasar, sembarangan.”

 

“Bukan begitu maksudku…,” ralat Rajendra, lalu menoleh pada Karin yang sedari tadi menanti mereka fitting dengan sabar. “Maaf ya Karin, aku hanya mau buat Tiara tertawa. Dari beberapa hari lalu dia nggak senyum. Memangnya mikirin apa sih? Mau menikah jangan terlalu stres. Nanti cantiknya hilang.”

 

Karin ikut tertawa mendengar canda Rajendra.

“Kalian berdua terlihat serasi,” kata Karin, sambil mengedipkan sebelah mata pada Tiara. “Cantik dan tampan. Mudah-mudahan lancar ya pernikahan kalian.”

 

Tiara menyerahkan kebayanya pada Karin.

 

“Aku packing ya, sekalian sama punya Rajendra,” ucap Karin memberi kode pada pegawainya untuk membantu. Sigap salah seorang pegawai Karin datang untuk mengambil alih pakaian tersebut.

 

Telepon genggam Rajendra berdering tepat ketika pegawai Karin selesai membungkus rapi baju pengantin mereka berdua.

 

“Dari siapa?” tanya Tiara ingin tahu.

 

“Biasa. Rumah Sakit. Aku angkat dulu ya.”

 

“Kan setelah ini kita mau ke toko perhiasan,” protes Tiara.

 

“Iya, tenang. Aku ingat kok,” sahut Rajendra. “Halo….” Rajendra mengangkat telepon sambil berjalan ke dekat pintu butik, menjauh dari Tiara yang sedang memastikan semua yang dikemas oleh pegawai Karin sesuai dengan pesanan. Ada beberapa baju lain yang mereka bawa pula. Baju-baju untuk keluarga Rajendra dan Tiara, mereka sudah fitting beberapa hari sebelumnya. Namun Tiara minta detail baju seragam untuk keluarga ditambahkan.

 

Setelah semua selesai, Tiara memperhatikan Rajendra yang masih bicara di telepon genggamnya. Di sebelah Rajendra, terdapat etalase besar. Tiara bisa melihat luar melalui etalase itu. Sebuah motor berwarna hitam yang diparkir di seberang jalan, menarik perhatiannya. Jantung Tiara seolah berhenti berdetak. Motor itu mengingatkannya pada seseorang. Tiara buru-buru mendekat pada etalase, ingin memastikan penglihatannya masih berfungsi dengan baik. 

 

**

Bab 2

Siapa Dia?

 

Mata Tiara mencari-cari pengemudi motor itu. Siapa tahu masih di dekat-dekat butik. Namun tak terlihat sesosok orang pun. Tepat ketika Tiara hampir melangkah lagi, mendekat pada etalase, Rajendra menarik tangannya. Tiara terpaksa mengikuti.

 

“Kenapa?”

 

“Sudah rapi semua, kan? Yuk, kita ke toko perhiasan. Masih banyak yang mesti diurus,” ajak Rajendra.

 

“Eh… bukannya tadi ada panggilan dari rumah sakit? Praktikmu gimana?” Tiba-tiba, Tiara tak ingin pergi. Dia masih penasaran dengan motor tersebut.

 

“Sudah beres. Aku sudah bilang aku tidak praktik hari ini.”

 

“Kok kamu masih dihubungi?”

 

“Mereka yang lupa bilang pada pasien sehingga menerima pendaftaran. Biarkan mereka yang mengurusnya. Masih ada waktu buat mereka mengabari pasien. Yang penting hari ini aku cuma mau sama kamu,” ujar Rajendra sambil mengerling pada Tiara. 

 

Tiara tersenyum. Mempersiapkan pernikahan dengan Rajendra membutuhkan kesabaran. Waktunya sangat padat. Meski lelah, Rajendra terlihat senang. 

 

Karin datang membawa setumpuk kardus berisi pakaian yang sudah dikemas. 

 

“Biar Lia yang bantu masukkan ke dalam mobil,” kata Karin sambil memberi isyarat pada pegawainya. “Ra, sekalian aksesorisnya ya. Semuanya sudah lengkap.”

 

“Makasih banyak ya, Rin,” ucap Tiara sambil memeluk Karin.

 

“Sama-sama. Ingat ya pesanku tadi,” bisik Karin pada Tiara. “Kalau sudah nikah nanti, jangan pelit-pelit ngasih perhatian.”

 

Spontan Tiara mendelik, sehingga membuat Karin menahan senyum.

“Raj, nyetirnya hati-hati. Jangan ngebut. Inget, kamu bawa calon istrimu,” goda Karin lagi.

 

Sementara Tiara mencubit lengan Karin untuk kedua kalinya, Rajendra tertawa hingga barisan giginya yang rapi terlihat. Dia hanya melambaikan tangan dari dekat pintu, sibuk membawa kardus-kardus itu bersama Lia, pegawai Karin.

 

Karin menyenggol lengan Tiara.

“Lihat, kamu beruntung, Ra. Calon suamimu sangat menyayangimu.”

 

Tiara hanya tersenyum tipis. Ya, banyak orang yang mengatakan hal yang sama. Sayangnya, hati Tiara masih menganggap Rajendra sebagai sahabat.

 

**

 

Mereka berdua keluar butik, lalu masuk ke mobil Rajendra yang diparkir tepat di depan butik. Motor itu masih ada di situ, seolah menunggunya. Entah mengapa Tiara merasa ada yang memperhatikannya. Tiara menoleh, tapi tak ada seorang pun. Dia berusaha mengabaikan perasaannya, meski sudah beberapa hari Tiara merasa ada yang mengikuti. 

 

Di dalam mobil, Rajendra mulai menyalakan mesin, lalu memastikan AC menyala. Udara sangat panas. Jika bukan dalam rangka mempersiapkan acara pernikahan, Rajendra memilih berada di Rumah Sakit yang jelas-jelas ruangannya nyaman dan dingin. Meski demikian, bersama Tiara tentu jauh lebih menyenangkan. 

 

Ketika Rajendra memundurkan mobil, Tiara memandang ke luar jendela. Motor yang tadi dilihatnya masih ada di sana. Sayangnya, tak ada seorang pun terlihat. Tiara melihat ke sekitar. Di tempat tersebut ada pusat perbelanjaan, biasanya jalanan ramai. Kali itu lengang. Mungkin karena masih siang.

 

Rajendra melirik Tiara yang berkali-kali melihat luar jendela. Sejak dari butik tadi, Rajendra merasakan Tiara tak banyak bicara. Rajendra melihat jam tangannya. Sudah waktunya makan siang.

 

“Kita makan dulu ya. Kamu mau makan apa, Sayang? Pilih saja yang kamu suka. Aku cemas lihat kamu kelihatan makin kurus,” suara Rajendra membuat lamunan Tiara buyar.

 

“Oh… eh, apa ya? Apa saja deh,” jawab Tiara.

 

“Nggak ada makanan yang namanya “apa saja”. Rajendra membalasnya gemas. Sambil mengarahkan laju mobilnya ke jalan raya, dia sibuk berpikir rute mana yang akan ditempuh.

 

“Seperti biasa saja, deh,” putus Tiara.

 

“Resto seafood? Yang di pinggir pantai itu?” Rajendra memastikan.

 

“Iya. Buruan ya, Pak. Sudah lapar, nih,” gurau Tiara.

 

Rajendra tertawa berderai sampai bahunya terguncang. Benaknya langsung memetakan rute menuju tempat tersebut.

 

“Siap, Bos!”

 

Tiara diam-diam menatap Rajendra. Seorang dokter, tampan, dan penyayang. Tiara yakin, Rajendra idaman banyak perempuan. Namun, dia menjatuhkan pilihannya pada Tiara. Diam-diam, Tiara bersyukur bertemu Rajendra pada saat yang tepat. Sayangnya, walau seisi dunia merestui mereka berdua, Tiara masih meragukan keputusannya. 

 

Tiara kembali melamun sambil berharap semakin dekat hari pernikahannya, dia menjadi semakin mantap. Tiara risau mendengar perkataan Karin tadi. Begitu jelaskan perasaannya pada Rajendra semata hanya perasaan sayang sebagai teman? Benarkah dia kurang perhatian pada Rajendra?

 

“Kok diam?” tanya Rajendra memecah keheningan. “Ada yang kamu pikirkan?”

 

Tiara tergagap, tak menyangka akan mendapatkan pertanyaan tersebut. Dia menggeleng.

 

“Aneh nggak sih, dulu kita sahabat. Sekarang kita mau nikah,” kata Tiara membuka percakapan. “Kata Karin, aku mestinya lebih perhatian padamu.” Tiara bicara tanpa bermaksud mengadu. Dari dulu, dia merasa nyaman bercerita pada Rajendra.

 

“Dia bilang begitu?”

 

Tiara mengangguk. Rajendra tersenyum, lalu menatap Tiara sekilas. Dia tahu, ada resah terlihat di mata Tiara. Wajar jika masih mengingat masa lalu. Namun Rajendra tidak ingin ingatan itu menghalangi langkah mereka.

 

“Nggak ada yang nggak mungkin kalau Allah menghendaki. Kamu udah cukup perhatian kok. Memangnya kamu belum yakin memilih aku?”

 

Tiara cepat-cepat menggeleng. Rajendra tak boleh tahu isi hatinya yang sebenarnya. Dia tak ingin merusak kebahagiaannya.


Rajendra tertawa lagi.

“Wajar kalau kamu cemas. Calon pengantin biasanya begitu.”

 

“Tahu dari mana?’

 

“Kakak-kakakku. Waktu mau menikah mereka luar biasa senewen.”

 

Tiara terdiam sambil memainkan tasnya. Seharusnya memang tak ada yang perlu dirisaukan. Tak ada yang kurang dari hubungan mereka. Rajendra punya minat yang sama dengannya. Sama-sama suka membaca buku. Dia juga selalu siap mendengarkan curhatan Tiara. Keluarga mereka berdua merestui. Semua tampak baik-baik saja.

 

“Sayang,” panggil Rajendra. “Kamu tenang saja. Aku yakin kamu pilihan terbaik. Belum pernah aku merasa sesayang ini pada seorang gadis. Insya Allah semuanya akan berjalan lancar.”

 

Tiara tersenyum tipis, tanpa mengatakan apa pun. Andai saja dia bisa mengatakan hal yang sama pada Rajendra. 

 

Ketika mobil Rajendra melaju, pikiran Tiara tidak lagi bersama Rajendra. Tiara berusaha mengusir pikiran yang datang dari masa lalunya. Namun, semakin Tiara tidak mau memikirkan, yang ada di benaknya justru semakin tak mau pergi. Malah, Tiara semakin risau.

 

**

 

Tiara dan Bagas tidak tahu, sepasang mata kelam memperhatikan mereka dari tadi. Tangannya mengepal kuat karena geram, menyesali nasib yang tak berpihak padanya. Dia bersembunyi di balik sebuah pohon yang berukuran cukup besar tepat di samping motornya diparkir. Dari tempat itu, dia bisa mengamati lebih leluasa tanpa seorang pun tahu keberadaannya.

 

Sudah beberapa hari dia tak pernah alpa membuntuti Tiara dari saat keluar rumah. Hatinya resah, ingin sekali dia menyapa Tiara, tetapi belum menemukan saat yang tepat. Dia hanya ingin bertemu Tiara seorang diri, bukan dengan orang lain. Sementara Tiara lebih sering pergi bersama orang lain.

 

Dia berjanji akan mencari tahu apa yang dilakukan Tiara dengan lelaki itu di butik tersebut.

 

**

Bab 3

Restu

Tiara berdiri di depan sebuah rumah sederhana. Rumah satu lantai dengan pohon-pohon rimbun di depannya. Cat pagarnya mengelupas. Namun tak mengurangi kerinduan Tiara akan rumah tersebut. Dia memejamkan mata, menghirup dalam-dalam udara di sekitar, seakan dengan bersikap seperti itu, kerinduannya terobati. Jemari Tiara menarik pintu pagar rumah, matanya langsung menemukan pintu rumah terbuka lebar menyambut kedatangannya. Ya, Tiara memang sudah mengabarkan rencana kedatangannya pada sang empunya rumah.

 

“Masuk, Nak,” sapa pemilik rumah sambil menyunggingkan senyum.

 

Tiara menyalaminya dengan takzim. Lalu mereka masuk bersama.

Butuh waktu cukup lama bagi Tiara untuk memutuskan pergi ke rumah perempuan itu. Sebelumnya, Tiara beberapa kali berkunjung, hanya untuk berbincang. Sekadar menjalin silaturahim, selayaknya pada kerabat yang usianya jauh lebih tua. Semua yang ada di ruang tamu rumah sederhana itu masih sama persis seperti dulu. Foto-foto dan penataan ruangnya pun masih sama.

 

Tiara tidak akan lupa wajah perempuan itu. Seorang perempuan tua yang tangguh. Dialah orang yang membesarkan seorang anak lelaki sendirian, karena suaminya meninggal saat anak mereka masih berusia lima tahun. Garis-garis usia makin tampak di wajahnya. Sebagian helai rambut tak sengaja menjuntai dari kain penutup kepalanya yang sederhana. Tiara bisa melihat warna helaiannya memudar, tak lagi berwarna hitam pekat. Namun demikian, sisa kecantikan masa mudanya masih tampak di wajahnya.

 

Dari balik kacamatanya, perempuan yang dipanggilnya dengan sebutan Ibu itu menatap Tiara. Sorot matanya penuh kasih. Bersamanya, seperti menemukan telaga bening yang airnya menyegarkan setelah berjalan sekian lama. Beberapa tahun lalu, Tiara terkadang mampir ke rumah ini saat dia butuh bercerita. Jika pada Mama, Tiara merasa dilindungi, pada Ibu, Tiara merasakan teduhnya hati. 

 

“Ibu bukannya tidak suka kamu datang ke sini, Nak,” kata perempuan itu. Renta begitulah kesan yang ditangkap Tiara dari terakhir kali melihatnya bersama sang anak.

 

Tiara menunduk. Ada sesak di dalam dada. Sulit untuk tidak lagi berharap semua kejadian yang lalu itu benar terjadi. Apalagi perempuan di hadapannya. Pasti sulit baginya berpisah dengan anak tunggalnya itu. Namun bagaimanapun dia berusaha tegar.

 

“Kamu harus belajar melepaskan. Lanjutkan hidupmu. Masa lalu boleh dikenang, tapi jangan sampai membuatmu terkekang, Nak,” kata perempuan itu sambil menyajikan secangkir teh manis. 

 

Teh manis buatannya rasanya pas. Tidak terlalu manis dan tidak terlalu hambar. Warnanya pun tidak pekat. Dari dulu masih tetap sama. Mungkin karena terbiasa membuat teh manis yang sama untuk almarhum suaminya dulu. Lalu setelahnya untuk anak lelakinya. Tiara memaklumi, hanya itulah yang bisa dilakukan untuk mengenang orang-orang tercintanya.

 

“Iya, Bu. Tiara akan berusaha,” ucapnya pelan. “Makanya Tiara ke sini, Bu. Mau minta restu Ibu. Insya Allah, Tiara akan menikah dua bulan lagi.”

 

“Siapa nama calon suamimu?” 

 

“Rajendra, Bu,” lirih suara Tiara mengucapkannya. “Dia dokter, yang membantu pemulihan Tiara waktu… itu.” Sesak hati Tiara makin menjadi. Tak sanggup menyebut nama seseorang yang sempat terlintas di benaknya saat mengingat masa lalu.

 

Perempuan tua itu mengangguk, matanya menerawang sejenak. Mungkin dia pun tak kuasa menghalau suatu masa yang tiba-tiba melintas di pikiran.

 

“Insya Allah, pasti Ibu restui, Nak. Mudah-mudahan kamu bahagia. Ibu yakin dia lelaki yang baik, meski Ibu belum pernah bertemu dengannya. Ibu percaya pilihanmu. Kapan-kapan ajaklah ke sini untuk berkenalan dengan Ibu.”

 

Mata Tiara membulat mendengar perkataan Ibu. 

“Boleh, Bu?” tanyanya ragu.

 

“Tentu saja boleh. Kenapa tidak?” Senyum Ibu mengembang seketika. Lalu dia mengambil napas panjang sebelum bicara lagi. “Kalau saja Ibu punya anak banyak…,” bisiknya seperti bicara pada diri sendiri.

 

Tiara mengangkat wajah, memperhatikan wajah perempuan itu. Mata dan hidungnya mirip sekali dengan putranya. Bagaimana rasanya hidup sendiri selama tiga tahun belakangan? Tiara tak bisa membayangkan. Ibu dan anak pasti punya ikatan batin yang istimewa. 

 

“Seperti apa dia?”

 

Tiara memaksakan senyum di bibirnya, demi membuat Ibu merasa senang. Namun pada akhirnya, keraguan yang malah terucap dari mulutnya tanpa bisa dicegah.

 

“Dia… sangat menyayangi keluarga Tiara. Tiara yakin dia memang baik, Bu, tapi….”

 

Ibu menyelidik wajah Tiara, seolah ingin tahu yang tersembunyi di hatinya.

 

“Tapi apa, Nak? Kamu masih ragu?”

 

Benar-benar telak. Tiara tak sanggup menjawab.

 

“Mau sampai kapan kamu meyakinkan hati, Nak?” 

 

Tiara diam. Pertanyaan itu begitu menghujam hatinya. Sampai kapan? Entahlah. Dia sendiri tak tahu mengapa selalu membandingkan kedua lelaki yang pernah datang dalam hidupnya tersebut. 

 

“Dengar kata Ibu. Cinta tidak selalu muncul duluan. Terima dia, kelak kamu akan mencintainya sebesar cintamu yang dulu,” ujar perempuan itu bijaksana.

 

Perempuan itu, ibu dari Bagas, lelaki yang dulu pernah dicintainya. 

 

**

            

“Apa yang membuat Mama dulu mau menerima Papa sebagai suami?” tanya Tiara ingin tahu. 

 

Mama, perempuan yang melahirkan Tiara 30 tahun lalu itu menghentikan kegiatannya merangkai bunga. Sebuah kegiatan yang ditekuninya belakangan ini selain merawat tanaman hias. Sebagai seorang istri dari lelaki yang memiliki jabatan cukup tinggi di sebuah instansi, dia cukup sibuk mengatur waktu berlari di antara berbagai mendampingi kegiatan Papa. Mama tidak bekerja formal, melainkan memiliki bisnis kerajinan tangan. Merangkai bunga dan merawat tanaman hias, merupakan kegiatan yang membuat pikirannya rileks setelah penat berkegiatan seharian.

 

“Kenapa kamu ingin tahu?” Mama menyembunyikan senyumnya. Dia bukan perempuan yang ekspresif. Namun di balik sikapnya itu, Tiara tahu, Mama menyayanginya. Beliaulah yang pertama kali akan membelanya jika terjadi sesuatu. Bahkan jika Papa marah padanya.

 

“Pingin tahu saja. Mama kan belum pernah cerita soal itu,” kilah Tiara. Sejujurnya, ada sesuatu yang mengganggu pikirannya menjelang rencana pernikahan. Usia Tiara sudah lebih dari cukup, tapi tidak juga merasa mantap untuk menikah.

 

“Mama dan Papa kan dulu tidak saling kenal. Menikah karena dijodohkan. Kami baru saling menyayangi setelah menikah,” jelas Mama.

 

“Kenapa Mama yakin bisa mencintai lelaki yang belum Mama kenal?” kejar Tiara.

 

Mama meletakkan gunting yang dipegangnya, lalu duduk di sisi Tiara sambil meluruskan punggungnya yang penat. Tubuh Mama kecil mungil. Tiara mewarisi sebagian dari fisik Mama yang berdarah Jawa. Mata bulat dan kulit kecokelatan. Hanya saja tubuhnya lebih tinggi.

 

“Karena Mama yakin, ridho orangtua itu doa,” kata Mama tenang. “Lagipula, Mama lihat Papa orang yang baik.”

 

“Dari mana Mama tahu, kan Mama baru kenal?”

 

“Dari banyak orang tentunya, Nak. Eyang nggak mungkin mempercayakan putrinya pada lelaki yang belum dia ketahui asal usulnya,” ujar Mama sambil tersenyum. “Kamu juga akan merasakan, dari hatimu.”

 

Batin Tiara berkelana, pada sosok Rajendra yang biasa dipanggilnya Raj. Keluarga Rajendra sangat baik padanya. Mereka keluarga yang hangat. Rajendra adalah bungsu dari tiga bersaudara. Kakak-kakaknya perempuan. Mereka sangat menyayanginya. Bahkan Rajendra tak segan membelikan sesuatu setiap kali pergi bersama Tiara, untuk keluarganya. Sikapnya manis dan penyayang. 

 

Apa lagi yang diragukannya? Semesta seolah merestui mereka menikah. Jika pada keluargannya Raj bisa bersikap seperti itu, dia pun pasti punya banyak cinta untuknya, kelak ketika mereka menikah. 

 

**

Bab 4

Sebelum Besok Tiba

 

Tinggal besok. Namun, hati Tiara tidak terasa lebih siap dari hari sebelumnya. Malah sebaliknya, makin dekat harinya, dia makin gelisah. Kalau boleh, ingin rasanya menunda hari pernikahan. Sayangnya, mengulur waktu bukan hal yang bisa dilakukan lagi. Tiara terjepit di antara keinginan dua keluarga, keluarga Rajendra, calon suaminya dan keluarga Tiara sendiri. Lagipula, dia sudah tidak bisa menemukan alasan yang masuk akal untuk mengundur rencana pernikahan ini, setelah sebelumnya berkali-kali beralasan.

 

Rajendra baru saja pulang bersama keluarganya, ketika Tiara masuk ke kamarnya. Di rumah Tiara masih tersisa beberapa kerabat terdekat. Mereka mulai berpamitan pada Mama dan Papa. Acara Midodareni yang baru digelar oleh keluarga Tiara selesai sejam yang lalu. Awalnya Tiara sudah menolak acara ini, karena menurutnya bukan acara yang penting. Menikah cukup ijab qabul saja. Namun, Papa dan Mama yang dibesarkan dalam budaya Jawa yang kental, menginginkan acara ini dilaksanakan. 

 

“Tante pamit ya, Ra,” ujar Tante Rinda melongok dari pintu kamar. “Cantik sekali keponakan Tante ini,” pujinya.

 

“Tante bisa saja,” jawab Tiara. Tante Rinda adalah adik bungsu Mama, orang yang tahu betul tentang Tiara. Waktu kecil, Tiara sering dititipkan pada Tante Rinda jika Mama sedang sibuk. Ini kali kedua Tante Rinda datang ke rumahnya untuk persiapan pernikahan, setelah pernikahan yang lalu gagal terlaksana. Seperti de javu.

 

Tante Rinda menatap mata Tiara. Dia tahu, tidak mudah bagi Tiara untuk memutuskan pernikahan ini. Belum pernah melahirkan seorang anak membuatnya menganggap Tiara seperti anak sendiri. Dia bahkan tahu persis yang terjadi di malam Midodareni tiga tahun.

 

“Jangan cemas. Semua akan baik-baik saja,” kata Tante Rinda lagi. “Rajendra lelaki yang baik, pilihan yang tepat.”

 

Tiara mengangguk. Sekalipun Tiara tidak meragukan kabaikan hari Rajendra. Hanya saja, kenyataan itu tidak membuat kecemasannya berkurang. Hatinya selalu diliputi pertanyaan, benarkah dia mencintai Rajendra? Namun, semua perhatian dan kasih sayang yang diberikan Rajendra padanya, membuatnya tidak bisa mengelak ketika lelaki itu melamarnya kesekian kali.

 

“Aku antar ke depan ya, Tan. Makasih sudah datang malam ini.” Tiara beranjak dari duduknya.

 

“Eh, nggak usah, Ra,” cegah Tante Rinda. “Nggak baik pengantin keluar rumah. Tuh, Om Radit sudah nunggu di luar.” Tante Rinda menunjuk suaminya yang sedang melambai pada mereka berdua. 

 

“Ih, Tante, kata siapa? Itu kan cuma mitos,” sahut Tiara.

 

“Sudahlah, bukan hal yang sulit kan buat diikuti? Kamu hanya perlu di dalam rumah sampai besok, kok.”

 

“Ya sudah, Tante. Hati-hati ya.” Akhirnya Tiara menurut. Dia melepas Tante Rinda sampai di depan ruang tamu. Suasana di luar sudah mulai sepi. Tim wedding organizer dan bahkan sudah pulang. Mama dan Papa sudah masuk ke kamar mereka. Om Radit mendekatkan mobil ke pagar depan rumah.

 

“Ra! Ada yang cari kamu,” teriak Om Radit.

 

Tiara bergegas keluar. Di teras, dilihatnya Om Radit dan Tante Rinda sudah berada di dalam mobil.

 

“Siapa, Om?” tanya Tiara sambil mengingat-ingat, siapa tamu undangan yang tadi tidak dilihatnya. Mungkin dia terlambat datang.

 

“Nggak tahu. Tuh, di sana. Tanya aja Pak Maman,” kata Om Radit menunjuk seberang rumah Tiara. Pak Maman yang disebut Om Radit, adalah sopir Papa yang sudah lama bekerja pada mereka. Sudah sepuh dan kadang pikun.

 

“Pak Maman saja yang urus, Om,” teriak Tiara sambil melambai-lambaikan tangan sampai mobil Om Radit menghilang dari pandangan.

 

Bukannya menemui, Tiara malah memutuskan masuk ke dalam kamar. Gerah rasanya badannya, dalam balutan kebaya yang ketat. Lagipula, sudah hampir pukul 10 malam. Tiara mengira, salah satu kenalan Papa dan Mama. Tiara tidak merasa perlu menemui kenalan orangtuanya.

 

Baru saja Tiara menutup pintu kamar dan mengganti baju, ponselnya berdering. Tiara melirik nama yang muncul di layar. Rajendra. Hanya dia, orang yang bisa menenangkannya, selama tiga tahun belakangan sejak suatu peristiwa buruk terjadi padanya. Buru-buru Tiara mengangkat ponselnya.

 

“Aku nggak bisa tidur menunggu besok,” ucap Rajendra sambil tertawa di seberang sana.

 

Tiara ikut tertawa. Ternyata bukan hanya dia yang merasa gelisah. Bedanya, yang membuat mereka gelisah bukan hal yang sama.

 

“Tidurlah. Kamu pasti capek. Tadi sebelum acara, ada jadwal praktik, kan.” 

 

“Iya. Tapi pikiranku nggak bisa diajak istirahat,” kata Rajendra lagi. “Sayang…, tunggu ya, ada kejutan buat kamu.”

 

Sebelum Tiara bertanya kejutan apa yang dimaksud, tiba-tiba pintu kamarnya diketuk.

 

“Non, ada titipan buat Non Tiara.”

 

“Sebentar ya,” ujar Tiara pada Rejendra. Tiara membuka pintu kamarnya sedikit. Bik Tinah membawa sebuah kotak kado kecil dan rangkaian bunga mawar merah. “Dari siapa, Bik?” tanya Tiara.

 

“Nggak tahu, Non. Pak Maman yang menerima.”

 

Tiara menerima kotak itu, lalu kembali berbicara pada Rajendra.

“Maaf, ada gangguan. Si Bibik datang, bawa titipan dari… entah siapa. Atau… jangan-jangan dari kamu ya?” selidik Tiara. Rajendra suka memberikan kejutan-kejutan, walau bukan di hari ulang tahun Tiara. 

 

Suara tawa Rajendra yang renyah kembali terdengar.

 

“Ya sudah, kamu lihat saja sendiri. Mudah-mudahan kamu suka. Bye, Sayang,” kata Rajendra.

 

Bye,” balas Tiara pendek. Sudah hampir dua tahun mereka dekat sebagai kekasih tapi hingga saat ini, Tiara belum bisa menyebutnya Rajendra dengan panggilan sayang. Dia berharap, kelak bisa membalas cinta Rajendra sebesar yang diterima.

 

Tiara tersenyum melihat bunga mawar merah tersebut. Seperti yang diduga, dari Rajendra. Tiara penasaran, apa yang dikirim Rajendra bersama bunga itu? Sebuah kotak kecil berwarna hitam dengan pita berwarna perak. Kadang, Tiara berpikir Rajendra terlalu memanjakan. Kesibukan Rajendra sebagai dokter sudah cukup padat. Namun, itu tidak membuatnya lupa memperhatikan Tiara.

 

Tiara membuka kotak kecil itu. Seketika jantungnya berdegup. Sebuah gelang mutiara berwarna putih, persis seperti yang pernah dijanjikan seseorang dari masa lalunya. Kenapa Rajendra memberi gelang ini? Tiara bergegas membuka selembar kertas yang diselipkan di dalam kotak itu. 

 

Tiga tahun lalu, aku berjanji memberimu gelang mutiara dari Papua sebelum hari pernikahan. Maaf, baru bisa menepatinya sekarang.

            

Napas Tiara mendadak pendek-pendek. Dia gemetar. Dia berlari ke luar rumah, menemui Pak Maman yang baru akan menutup gerbang.

 

“Pak, kado yang barusan, dari siapa? Mana orang yang mengantar?” tanyanya buru-buru.

 

“Laki-laki, Non… sepertinya sudah pulang dia. Naik motor gede warna hitam. Tadi sempet nunggu Non keluar di sini,” ujar Pak Maman menunjuk samping gerbang.

 

“Ya ampun, Pak… kenapa nggak bilang?” sesal Tiara. Belum sempat Pak Maman menjawab, Tiara melesat keluar gerbang, melanggar perintah Tante Rinda untuk tidak keluar rumah.

 

Mata Tiara mencari-cari seseorang yang digambarkan Pak Maman. Hati kecilnya berharap, lelaki itu masih ada di depan rumah. Namun, di jalanan depan rumahnya tidak tampak apa pun. Bahkan, mobil catering saja sudah pergi. Ada sesal di hatinya karena tidak segera menemui tamu tersebut tadi. Tiara membalikkan badan, kembali ke rumah. Tiba-tiba dia merasa bodoh karena mengharapkan hal yang mustahil. 

 

Tepat ketika Tiara menarik pegangan pintu gerbang rumahnya, cahaya lampu menyorotinya. Tiara menoleh sambil memicingkan mata. Cahaya itu berasal dari motor yang mendekat. Ketika sudah dekat, Tiara baru tahu bisa melihat jelas sosoknya. Pengendara motor itu membuka helm, memandang Tiara penuh kerinduan. Mata bulat Tiara melebar. Dia terpaku melihat lelaki di depannya!

 

“Ra, kamu masih sama seperti yang kukenal dulu,” gumamnya.

 

“Bagas…,” bisik Tiara nyaris tak terdengar. “Bagaimana bisa….” Kalimat yang hampir keluar dari mulut Tiara tertahan di ujung lidah.

 

“Selama ya… atas pernikahanmu besok. Aku ikut bahagia,” kata lelaki itu terbata-bata.

 

Bibir Tiara bergetar, lalu terdengar isakan tangis. Tanpa bisa ditahan, dipegangnya tangan lelaki itu kuat-kuat. Lelaki, yang pernah mengisi hatinya bertahun-tahun lalu. Lelaki yang dinyatakan hilang, beberapa hari menjelang pernikahan mereka, tiga tahun lalu.

 

**

Bab 5

Tiga Tahun Lalu

 

Ketika Bagas tidak mengelak dari tangan Tiara yang menggenggam jemarinya, Tiara mengerjapkan mata berkali-kali. Dia takut yang terjadi sekarang hanya mimpi. Nyatanya, sosok Bagas tetap ada di hadapannya.

 

“Beneran ini kamu?” tanya Tiara meyakinkan sambil melihat tanda lahir di leher.

 

Bagas mengangguk.

 

“Sebenarnya aku tidak mau mengganggu pernikahanmu besok, Ra. Aku hanya ingin, kamu tahu yang sesungguhnya terjadi,” jelas Bagas sambil menyisir rambut dengan jemarinya.

 

“Oya? Apa maksudmu datang di malam sebelum pernikahan hanya untuk menjelaskan?” runtuk Tiara kesal. “Mana mungkin itu tidak menggangguku.”

 

“Maaf, Ra…, kamu nggak akan mengerti jika tidak mendengarkanku. Nggak apa. Mungkin sebaiknya aku pergi saja. Aku tidak akan mengganggumu lagi, Ra,” katanya sambil memutar kunci motornya.

 

“Jangan!” pekik Tiara. “Aku harus dengar apa yang terjadi padamu 3 tahun lalu.”

 

Bagas memandang Tiara.

“Naik,” katanya menunjuk boncengan motornya.

 

Sesaat Tiara bimbang ketika wajah Rajendra mendadak melintas. Namun hati kecilnya menang. Dia memilih mengikuti naluri.

 

Tiara tidak terlalu ingat yang terjadi setelahnya. Dia terlalu bingung sehingga tak bisa jernih berpikir. Yang pasti, setelah itu, mereka berdua duduk di sebuah kafe, memesan minuman kesukaan masing-masing. Berhadap-hadapan. 

 

Alih-alih mengingat bagaimana tadi dia bisa seperti seekor kucing yang mau saja mendatangi orang yang memberinya makan, Tiara terpana. Bagas terlihat lebih kurus dan lebih dewasa dari terakhir kali Tiara lihat. Namun, itu tak mengurangi kerinduan padanya. Tiga tahun berlalu, rasa cintanya pada lelaki itu belum luruh sepenuhnya. 

 

Lalu mengalirlah cerita Bagas, tiga tahun lalu menjelang hari pernikahan mereka. Tiara, dan Bagas, yang waktu itu sedang mempersiapkan pernikahan mereka. Pekerjaan Bagas sebagai seorang Engineer di sebuah proyek pertambangan membuatnya tidak bisa sering-sering bertemu Tiara. Apalagi, dia belum lama bekerja. Bahkan, demi bisa mengambil cuti panjang, Bagas memilih untuk pulang ke Jakarta hanya 3 hari menjelang hari pernikahan.

 

Jika bisa memilih, Tiara akan meminta Bagas datang lebih awal. Persiapan pernikahan membuatnya sedikit tertekan. Ternyata, banyak hal yang mesti dilakukan dan terkadang tidak semuanya bisa diputuskan sendiri. Tiara ingin Bagas ada bersamanya untuk mengurus semua itu. Namun untuk berkomunikasi saja susahnya bukan main. Perbedaan waktu merupakan salah satu kendala dalam hubungan mereka. Selain jarak, tentunya.

 

“Aku janji, nanti setelah hari pernikahan, kita akan punya waktu lebih banyak untuk bersama,” tegas Bagas waktu Tiara mengeluh.

 

“Makanya buruan dong, pulang,” rengek Tiara melalui video call

 

“Sabar, Sayang. Aku pasti pulang tepat waktu. Sudah siap semua nih, lihat,” jawab Bagas gemas sambil menunjukkan tas ransel yang akan dibawanya besok.

 

“Segitu doang bawa barangnya?” 

 

“Ya iyalah, kan nanti balik ke sini lagi sama kamu,” kata Bagas yakin.

 

“Bener ya, besok pulang. Jangan mundur terus dari jadwal.” 

 

“Bener, janji,” kata Bagas. 

 

Senyum Tiara pun mengembang, membayangkan kekasihnya akan segera tiba di Jakarta. Dia tak tahu, takdir menuntunnya ke jalan lain yang tidak pernah disangka.

            

Keesokan harinya, Bagas menepati janjinya pada Tiara. Pagi-pagi dengan bersemangat, dia berangkat. Sebelumnya, Bagas bahkan sudah memastikan seuntai gelang mutiara yang dijanjikan pada Tiara sudah tersimpan aman di dalam tasnya. Untuk menuju bandara, Bagas naik heli bersama beberapa temannya. Jika tidak, maka butuh waktu lebih lama untuk mencapai bandara. Medan yang mereka cukup sulit dilalui mobil.

 

Bagas tak sabar menanti saat bertemu Tiara. Berulang kali dia melihat jam tangan saat menunggu helikopter yang akan membawa mereka. Sampai-sampai, teman-temannya yang mengetahui bahwa Bagas akan menikah beberapa hari lagi, tak henti menggodanya.

 

“Jangan lupa balik ke sini, setelah nikah, Gas,” kata Adit, salah seorang temannya yang bersama-sama akan kembali ke Jakarta.

 

Bagas tertawa, membayangkan kembali bersama Tiara cukup membuatnya senang.

 

Helikopter yang mereka tunggu datang terlambat beberapa menit dari perkiraan. Pilotnya mengatakan ada sedikit masalah, tapi sudah teratasi. Mereka tak terlalu menghiraukannya, masih cukup waktu sebelum pesawat mereka terbang. Cepat-cepat mereka masuk ke dalam helikopter tersebut.

 

“Eis, elo jangan duluin calon pengantin, Dit. Biar calon pengantin biar milih tempat duduk duluan,” celetuk Rama mengingatkan ketika Adit yang buru-buru duduk di depan, dekat pilot.

 

“Iya iya, maaf,” kata Adit mengalah, lalu memberikan tempat duduk favorit mereka semua pada Bagas.

 

Bersama Adit, Rama, dan pilot, mereka pun terbang. Seperti biasa, Bagas memilih duduk di samping pilot, tempat yang membuatnya lebih leluasa melihat pemandangan. Namun, kurang lebih setengah perjalanan terjadi sesuatu yang tidak terduga. Rama yang duduk di belakang Bagas yang pertama kali menyadarinya.

 

Cap, bau apa ini?” katanya sambil mengendus-endus. 

 

Adit spontan menoleh ke belakang.

“Ada yang terbakar!” serunya panik.

 

Cap, balik saja, cap!” teriak Bagas pada pilot.

 

Namun, sebelum mereka sempat berbuat sesuatu, helikopter yang mereka tumpangi meluncur turun. Pilot berusaha mengendalikan ketinggian, tapi semakin dia berusaha, justru helikopter makin oleng.

 

Terdengar Rama membaca-baca doa apa pun yang dia ingat. Tepat ketika helikopter menukik tajam, Bagas membuka pintu. Dia nekat melompat turun! Entah apa yang ada di pikirannya saat itu. Dia hanya berpikir, jika helikopter meledak, dia mungkin bisa selamat dengan melompat. Pohon-pohon di sekeliling mereka tampat tidak terlalu jauh jaraknya dari tempatnya berpijak.

 

Suara ledakan terdengar memekakkan. Telinga Bagas pekak. Asap membumbung ke angkasa, kepulannya sangat tebal di sekitar Bagas hingga tak terlihat apa pun. Lalu hening seketika. Bagas tak tahu yang terjadi selanjutnya, karena dia tak sadarkan diri. 

 

**

 

Setelah cerita itu tuntas diceritakan Bagas, hening sejenak di antara mereka. 

 

Tiara menghela napas panjang mendengar cerita Bagas, menatap mata Bagas dalam-dalam.

“Kamu mau tahu apa yang terjadi padaku?” kata Tiara.

 

Bagas menunduk, tanpa dibilang pun dia sudah bisa membayangkan. Bagas membiarkan Tiara menceritakan apa yang terjadi padanya saat itu. Mungkin itu bisa melegakan perasaan Tiara. Masih banyak yang ingin Bagas ceritakan. Tapi dia memberikan giliran pada Tiara terlebih dahulu.

 

Tiara ingat di saat kecelakaan itu terjadi, dia sedang menanti-nanti kedatangan Bagas. Dia bersama Mama sudah di bandara 1 jam sebelum jadwal pesawat Bagas landing, untuk menjemput. Namun hingga saat itu tiba, pesawat tak kunjung datang. Sampai akhirnya telepon genggamnya berdering, sebuah nomer dengan kode area Papua. Nomer telepon itu  yang pernah dihubungi Tiara ketika tidak bisa menghubungi Bagas karena sinyal telepon genggamnya kurang bagus. Tiara mengangkatnya dengan kesal, menduga Bagas menunda kepulangannya karena pekerjaan.

 

“Bagas? Ada apa lagi?” semprot Tiara begitu telepon tersambung.

 

“Maaf, Bu…, mau mengabarkan. Helikopter yang ditumpangi Pak Bagas mengalami kecelakaan….”

 

Suara di ujung telepon sayup-sayup terdengar. Hal terakhir yang Tiara ingat adalah suara Mama yang memekik memanggil namanya. Lalu dunianya menjadi gulita.

 

“Berhari-hari lamanya kami berusaha mencarimu,” ucap Tiara sambil menangis. “Tak ada yang tersisa dari helikopter itu. Hampir semuanya hangus terbakar. Aku masih berharap kamu ditemukan dalam keadaan hidup. Tapi sampai Tim Penyelamat menutup pencarian, tidak ada satu pun yang ditemukan.”

 

Bagas mengusap air mata Tiara. Di balik tubuh tegapnya, perasaan Bagas sungguh halus. Tinggal hanya berdua dengan ibunya membuatnya tak tega melihat seorang perempuan menangis, walau bukan karena kesalahannya.

 

“Ceritaku belum selesai,” tukas Bagas.

 

Pelan, Tiara mengangguk memberi kesempatan pada Bagas untuk bicara.

 

**

 

 

 

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Cinta di Persimpangan (Bab 6-10)
1
0
Hai, terima kasih sudah membaca karyaku. Tinggalkan komen yang santun ya. Semoga kalian suka cerita ini. **
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan