Dear Stranger (Part 1 - 5) (Gratis)

5
0
Deskripsi

Danish Ganendra, seorang lelaki yang ingin selalu hidup meski tidak memiliki tujuan hidup, dipertemukan dengan Amora Byantara, gadis yang menginginkan sebuah kematian.

Amora berbeda dengan gadis lainnya. Menurut Danish, selain berbakat dalam hal menulis roman picisan, Amora tidak memiliki kelebihan lain. Cantik? Kecantikan Amora terlalu standar jika dibandingkan dengan wanita lain. Akan tetapi, dari semua kekurangan Amora yang terlihat di mata Danish, entah kenapa Danish justru ingin mengenal lebih...

PROLOG

Danish berlari sekuat tenaga di trotoar. Napasnya memburu, keringat membanjiri dahi dan seluruh tubuhnya. Sesekali ia menoleh ke belakang, memastikan berandalan yang mengejarnya sudah tertinggal jauh di belakang. Ya, jangan lupa jika Danish Ganendra merupakan pemegang rekor pelari sprint terbaik semasa sekolah.

Danish memutuskan untuk berhenti berlari, tepat saat seorang gadis berambut panjang masuk ke mobil, dan Danish tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini. Tubuh kekar lelaki itu menerobos masuk dan duduk di sisi pemilik mobil.

"Apa yang kau lakukan di dalam mobilku?" tanya si gadis, memasang wajah tidak bersahabat.

Danish tahu siapa gadis itu. Amora Byantara, wajahnya pernah beberapa kali muncul di layar kaca TV karena novel yang dirilisnya selalu mendapat predikat best seller.

"Keluar kau!" Nada suara Amora naik satu oktaf.

Danish menyibak rambut. Ia tidak mungkin keluar sekarang. Dengan gerakan cepat, tangannya meraih pisau lipat dari balik saku jaket. Detik selanjutnya, pisau itu sudah beralih ke leher Amora.

"Hey, Nona!" Lelaki itu mendesis sembari menodongkan pisau lipat ke leher Amora. "Tenang saja, aku tidak akan melukaimu asalkan kau menurut padaku. Aku bukan orang jahat. Hanya saja, aku sedang terdesak. Jadi, biarkan aku menumpang di mobilmu. Jika tidak, pisau ini akan menembus lehermu."

"Kau pikir aku takut mati?" Amora tertawa. "Ah, sayang sekali. Tiga puluh detik yang lalu aku baru saja berpikir bahwa kau malaikat maut yang ditugaskan untuk mencabut nyawaku tanpa harus bernegosiasi."

Danish menggertakkan gigi. Gadis macam apa yang ada di hadapannya? Amora bahkan tidak gemetar merasakan dinginnya ujung mata pisau yang bersiap merobek lehernya. Apa Amora kebal terhadap benda tajam sehingga tidak perlu mencemaskan keadaan dirinya? Atau mungkin ... Amora adalah gadis yang selalu menunggu dan menginginkan kematian?

"Kenapa tidak kau bunuh aku sekarang?" Amora berucap datar. Raut wajahnya tidak menunjukkan ekspresi.

Tidak, Danish menggeleng. Pisau ini tidak akan mampu memaksa Amora. Shit! Kenapa Danish harus ditakdirkan sebagai lelaki yang tidak bisa melukai wanita? Gadis di hadapannya menginginkan kematian, seharusnya Danish tidak perlu sungkan menusuk urat nadi di leher Amora, lantas Danish bisa menguasai mobil ini dan ia selamat dari kejaran para berandal.

Danish pun memutuskan untuk menyimpan pisau di balik saku jaket kulit yang dikenakannya. Kemudian, ia mencondongkan tubuh ke arah Amora. Napasnya yang hangat menyapu ujung telinga gadis itu, lalu ia pun berbisik, "Aku tahu rahasiamu. Kau terlibat skandal perselingkuhan dengan seorang dokter."

Amora tidak menjawab. Kedua tangannya mencengkeram kemudi mobil erat-erat, matanya menerawang kegelapan malam di sudut jalan.

"Aku memiliki video saat kalian berkencan di hotel." Danish melanjutkan bisikannya.

"Kami tidak pernah berkencan."

Jari-jari kokoh Danish meraih helaian rambut yang terjatuh di wajah Amora, lantas menyelipkan rambut itu ke balik telinga. "Jangan sampai mereka tahu, ternyata selama ini dirimu sendirilah tokoh antagonis di dalam roman picisan yang kau tulis. Kau mempertaruhkan nama baik Dokter Andre, Nona."

"Aku tidak mengenal siapa dirimu, kita hanya orang asing, tetapi detik ini aku sangat ingin membunuhmu." Gadis itu menoleh.

Kedua pasang mata itu saling beradu pandang dalam jarak yang begitu dekat. Mata elang Danish begitu mengintimidasi, sedangkan mata sayu Amora bersorot kemarahan. Danish menyentuh dagu Amora. "Sayangnya aku tidak bisa meladenimu berduel. Aku tidak suka berbuat kasar pada wanita. Cepat jalan! Waktumu hanya tiga detik!" Danish menekankan nada di ujung kalimat.

Amora menepis tangan Danish. Tanpa perlu bertanya lagi, ia menginjak pedal gas mobil. Membawa orang asing yang entah kenapa ia harus menuruti perintahnya. Yang ia tahu, ia hanya perlu menyelamatkan 'perselingkuhannya' dengan Dokter Andre.

Mobil melaju kencang di atas jalanan beraspal, menembus kegelapan malam. Satu hal yang tidak mereka tahu, bahwa pertemuan mereka akan menjadi awal sebuah titik balik bagi kehidupan Danish dan Amora. Meskipun Danish tidak tahu kenapa Tuhan harus mempertemukannya dengan Amora. Danish Ganendra, lelaki yang ingin selalu hidup meski tidak mempunyai tujuan hidup, bertemu dengan Amora Byantara, gadis yang menginginkan sebuah kematian.

***

PART 1

Danish melirik gadis berambut panjang di sisinya. Bibir gadis itu mengatup rapat, nampaknya masih menyimpan sebuah kemarahan terhadap Danish. Jalanan tidak terlalu padat, sehingga memudahkan Amora dalam mengemudi.

Oke, harus Danish akui bahwa Amora cukup lihai mengemudikan mobil. Tidak, sebenarnya tidak terlalu lihai. Ehm, bagaimana Danish harus mengatakannya? Ceroboh. Yup, kata ceroboh lebih tepat disandang oleh Amora. Lihatlah bagaimana gadis itu menginjak pedal gas hingga mobil meluncur dengan kecepatan tinggi, berkali-kali menyalip mobil lain dan hampir saja menyerempet sepeda motor.

Danish menaikkan sebelah sudut bibir, tersenyum sinis. Wow, sepertinya Amora memang senang menantang maut. Belum habis Danish mengumpat dalam hati, ketika melewati sebuah tikungan ia melihat sebuah truk dari arah yang berlawanan meluncur dengan kecepatan tinggi dan lajunya tidak stabil. Jika tidak segera menghindar, truk itu pasti akan menabrak mobil Amora.

Tanpa pikir panjang, Danish menjulurkan tangan dan membanting stir ke kiri. Beruntung, Amora dengan sigap menginjak pedal rem sehingga mobil berhenti tepat sebelum menabrak pohon.

"Shit!" umpat Danish. Kalau saja ia tidak mengenakan sabuk pengaman, tubuhnya pasti sudah terlempar ke depan. "Aku masih ingin hidup, Brengsek!"

"Turun!" perintah Amora dingin.

Danish menoleh pada Amora sembari menaikkan kedua alis. "Aku pikir kita belum sampai di tujuan."

"Tujuan? Aku bahkan tidak tahu di mana tujuanmu. Kau bisa melanjutkan perjalanan dengan taksi."

"Untuk sementara waktu aku butuh tempat persembunyian. Bawa aku ke apartemenmu."

"What? Kau gila? Kau pikir aku mau menyembunyikan kriminal sepertimu?"

"Hei, Nona! Sudah kubilang aku bukan orang jahat. Mereka mengejarku karena ingin membunuhku."

"Kau pikir aku peduli? Dan maaf, aku tidak semudah itu mempercayai orang asing."

Danish berdecak. Oke, ia mengerti kenapa Amora tidak mempercayainya. Ingat, Danish tiba-tiba menyerobot masuk ke mobil dan menodongkan pisau di leher Amora. Lalu, memberikan ancaman agar gadis itu membawanya pergi.

"Kalau begitu kau bisa memeriksa kartu identitasku." Danish mengambil dompet dari saku celana dan mengeluarkan kartu identitasnya. "Danish Ganendra. Simpan itu sebagai jaminan. Jika aku berbuat jahat padamu, kau bisa melaporkannya pada polisi."

Amora memeriksa kartu identitas milik Danish, kemudian mengembalikannya. "Tolonglah, aku tidak ingin berurusan denganmu."

"Oke. Jadi, menurutmu medsos mana yang cocok untuk memposting video kencanmu dengan Dokter Andre?"

"Kau mengancamku lagi?"

"Aku tidak punya pilihan lain."

"Aku bahkan tidak sepenuhnya percaya kau tahu mengenai hubunganku dengan Dokter Andre. Bagaimana jika pertemuan kami hanya sebatas pasien yang berkonsultasi dengan dokter?"

Danish tertawa. Tatapannya terarah pada lampu di tepi trotoar. Jari-jari kokohnya bergerak menyugar rambut. "Seminggu yang lalu, di sebuah café. Dua hari berikutnya, di restoran bintang lima. Sehari yang lalu, di apartemenmu. Yup, pertemuan dokter dan pasien yang begitu intens, itu maksudmu?"

"Kau sangat mengerikan, Danish! Apa selama ini kau membuntutiku?" Amora menggigit bibir bawahnya.

"Sorry." Terdengar helaan napas berat. "Seseorang membayarku untuk itu. Lebih tepatnya bukan membuntutimu, tetapi menyelidiki wanita simpanan Dokter Andre."

"Siapa yang membayarmu?"

"Kau tidak perlu tahu. Sekarang pilihan ada di tanganmu. Bawa aku ke apartemenmu dan kau aman, atau turunkan aku di sini dan videomu akan tersebar."

"Astaga, kenapa aku harus berurusan dengan berandalan sepertimu." Amora menggertakkan gigi. Detik selanjutnya, ia kembali mengemudikan mobil dan kembali ke lajur yang benar.

Tubuh tegap Danish bersandar di kursi mobil. Tangannya sibuk menggeser layar ponsel, memeriksa beberapa video di galeri. Tentang video yang dimaksud, Danish tidak berbohong. Seminggu belakangan ini, ia memang membuntuti Dokter Andre atas permintaan seseorang.

Awalnya, Danish tidak menyangka bahwa ia memergoki Dokter Andre berkencan dengan Amora, seorang penulis novel yang sedang naik daun. Rupanya, Amora pandai berkamuflase untuk menutupi kelakuan buruknya. Ironis, bukan?

***

Apartemen milik Amora tertata rapi. Terdiri dari dua kamar lengkap dengan kamar mandi, dapur, dan ruang tamu. Ruangan yang didominasi oleh warna putih itu tidak memiliki terlalu banyak dekorasi. Hanya ada satu pigura terpajang di dinding, menampakkan foto Amora bersama beberapa orang artis yang menjadi pemeran dalam film hasil adaptasi novel best seller-nya.

Di sudut ruang tamu, terdapat sebuah boneka Teddy Bear berukuran kecil. Di sisi kiri boneka nampak pot kaktus mini jenis Astrophytum, bentuknya menyerupai buah belimbing. Di sudut yang lain, Amora meletakkan aquarium bulat berkapasitas sekitar 8 liter untuk memelihara ikan cupang berwarna putih berekor pink.

"Berapa jam kau akan bersembunyi di sini?" tanya Amora.

Danish mengalihkan tatapan dari aquarium, menatap gadis yang sedang menyandarkan tubuhnya di dinding. "Tidak untuk hitungan jam. Mungkin beberapa hari atau minggu."

"Heh, kau pikir apartemenku hotel?"

"Katakan saja berapa tarifnya per hari. Kau punya dua kamar, 'kan? Tenang saja, aku memiliki uang lebih dari cukup bahkan seandainya aku ingin membeli apartemen milikmu."

"Kalau begitu kenapa kau tidak mencari unit apartemen lain dan membelinya, bukan malah bersembunyi di sini."

Danish mengibaskan tangan di depan wajah, lalu beranjak dari sofa. "Aku tidak punya banyak waktu. Sudahlah, jangan banyak bicara. Tunjukkan saja di mana kamarku. Aku ingin beristirahat."

"Tidak ada kamar untukmu. Kau tidur di ruang tamu."

Bukan Danish namanya jika ia bersikap patuh. Dia lelaki yang keras kepala dan tidak mau mendengarkan orang lain. Maka, dengan santai ia mendekat pada Amora dan mengacak rambut di puncak kepala gadis itu.

Amora mendelik, sementara Danish tertawa renyah. "Biar aku cari kamarku sendiri."

Benar saja, lelaki itu bergerak menuju pintu kamar dan membukanya. Begitu dilihatnya dekorasi kamar yang serba pink ala para gadis, Danish menggeleng. Itu jelas kamar milik Amora. Ia pun masuk ke kamar lain.

Berbeda dengan kamar milik Amora, ruangan bercat biru itu di desain dengan gaya maskulin. Sebuah ranjang queen size dengan sprei abu-abu berbahan linen terhampar di atasnya. Di dinding sebelah kanan terpajang sebuah wall art berupa lukisan sepasang sayap bercorak hitam dan putih. Sepertinya Danish akan betah tinggal di kamar ini.

"Desain kamar yang tidak terlalu buruk," gumam Danish. Ia membuka jaket kulit dan melemparnya ke atas tempat tidur.

"Lelaki pemaksa!" Amora berseru di ambang pintu. "Tidak bisakah kau menghargai tuan rumah?"

"Dan kau, tidak bisakah menghargai tamu? Aku tidak merampok, tidak juga menyakitimu. Sudah kukatakan tadi, aku menyewa kamar ini."

"Aku keberatan, dan hanya memberimu waktu 1 jam di kamar ini. Setelah itu, kau harus pergi." Amora menatap Danish geram.

Danish menggertakkan gigi. Ia mengambil lima lembar uang pecahan seratus ribuan. Tubuh kekarnya yang hanya terbalut kaos singlet warna putih, melangkah mendekat. "Ini cukup? Sisanya aku transfer, berikan saja nomor rekeningmu. Aku menyewa kamar untuk satu bulan ke depan."

"Aku tidak butuh uang dan tidak akan menyewakan kamarku."

"Sampai berapa lama kita akan terus berdebat? Aku bisa saja menghancurkan reputasimu hanya dalam hitungan detik. Ingat itu baik-baik. Dengan atau tanpa persetujuanmu, aku tidak akan pergi dari kamar ini."

"Brengsek!"

"Hei, Nona. Ternyata wanita cantik sepertimu bisa mengumpat juga?"

"Aku bisa saja memanggil security dan—"

Dengan gerakan cepat, Danish mendorong Amora ke dinding dan mengurung gadis itu dengan kedua lengan kekarnya. Wajahnya merunduk, berbisik tepat di telinga Amora, "Aku memiliki batas kesabaran, Nona. Jangan membantahku jika ingin hidupmu baik-baik saja."

Amora mencoba mendorong tubuh Danish, tetapi usahanya gagal. Tubuh kekar dengan otot-otot yang tersembunyi di balik kaos putihnya itu tetap bergeming di tempatnya.

"Aku tidak mengenalmu. Kau orang asing yang tiba-tiba saja berdiri di hadapanku dan mengacaukan kehidupanku. Demi Tuhan, aku sangat membencimu!"

Danish tersenyum sinis, menyentuh dagu lentik Amora. Wajah gadis itu memerah dan matanya berkaca-kaca. "Jangan terlalu membenciku, Nona. Karena terkadang, sesuatu yang kita benci suatu saat akan berubah menjadi sesuatu yang sangat kita cintai."

Napas Amora nampak terengah-engah menahan emosi. Ia menepis tangan Danish, kemudian berlalu dari hadapan lelaki itu. Beberapa detik kemudian, terdengar suara bantingan pintu di kamar sebelah.

Danish mengembuskan napas kasar. Peduli apa dengan gadis yang sedang merajuk itu? Yang paling penting, sekarang ia memiliki tempat persembunyian. Amora, urusan belakangan. Danish sudah terbiasa menghadapi gadis yang sedang merajuk seperti Amora. Danish hanya perlu bersikap manis dan ... sedikit rayuan, mungkin?

Yeah, lihat saja bagaimana gadis itu bersedia menjadi wanita simpanan seorang dokter muda. Sepertinya Danish hanya perlu menjentikkan jari dan dia akan dengan mudah menaklukan Amora.

Lagipula, gadis mana yang bisa menolak pesona Danish? Meski Danish tidak pernah serius dalam menjalin hubungan dengan seorang wanita, tetapi selama ini tidak ada seorang wanita pun yang pernah menolak kehadiran Danish. Amora juga seharusnya demikian, bukan?

***

PART 2

Kedatangan Danish dalam hidup Amora, persis seperti mimpi buruk yang sangat mengerikan. Bagaimana tidak, lelaki tidak dikenal itu tiba-tiba menyerobot masuk ke mobil dan menodongkan pisau ke leher Amora. Tidak sampai di situ, Danish juga membuat pengakuan bahwa sudah satu minggu lelaki itu membuntutinya.

Amora harap mimpi buruknya cukup sampai di situ, tetapi harapannya kosong karena ternyata Danish memaksa untuk menyewa kamar apartemen. Oh, astaga! Kejadian buruk apa lagi yang akan terjadi ketika Amora harus tinggal satu atap dengan berandal itu? Amora harap Danish tidak akan mengusik hidupnya.

Semalam Amora tidak bisa tidur, khawatir jika diam-diam Danish mencongkel pintu dan menyelinap masuk ke kamarnya. Bagaimana jika si brengsek itu berbuat yang tidak-tidak? Melecehkan Amora, misal. Beruntung, kekhawatiran Amora tidak terjadi. Lewat tengah malam akhirnya ia tertidur dengan tangan menggenggam vas bunga yang akan digunakan untuk memukul Danish seandainya lelaki itu mengganggunya.

Dan pagi ini, Amora bisa terbangun dalam keadaan baik-baik saja. Amora menghela napas sembari meletakkan hair dryer ke atas meja rias. Sebuah keajaiban karena lelaki berandal di kamar sebelah menghargai privasi Amora, setidaknya untuk saat ini.

Setelah menyisir rambut panjangnya yang sedikit bergelombang, Amora memutuskan untuk keluar dari kamar. Perutnya terasa lapar dan ia baru ingat bahwa semalam ia melewatkan makan malam. Oke, mungkin semangkok sereal dan susu cukup untuk mengisi lambung.

"Selamat pagi, Amor!" Suara baritone dari arah pantry terdengar sangat ceria.

Amora melebarkan mata, tidak percaya pada penglihatannya. Danish berada di depan kompor, spatula di genggamannya sangat kontras dengan tato di lengan kirinya. Aroma harum omelet menyebar ke seluruh ruangan.

"Aku hanya menemukan telur dan sosis di kulkas. Jadi aku pikir omelet cukup untuk mengenyangkan perut kita." Danish menyeringai lebar.

Kita? Amora melongo. Terlihat seperti seorang suami yang sedang membuatkan sarapan untuk istrinya. Manis, bukan? Tidak! Amora tidak boleh terkesan, ini pasti hanya trik Danish untuk mengambil hatinya. Argh! Sebenarnya apa tujuan Danish?

"Kau mengacaukan dapurku," ucap Amora dingin. Tentu saja Amora bersikap seolah Danish benar-benar membuat kekacauan, meski dapur masih terlihat rapi.

"Tenang saja, nanti aku akan merapikannya lagi." Danish meletakkan spatula, lantas menghampiri Amora dan menyentuh kedua pundak gadis itu. "Duduklah, sebentar lagi sarapan siap."

Dengan lembut, Danish menuntun Amora ke meja makan, menarik sebuah kursi dan mempersilakan Amora duduk di sana. Setengah berlari, tubuh tinggi tegap lelaki itu kembali ke pantry. Mengangkat omelet dari permukaan pan dan mematikan kompor.

Amora bertopang dagu, matanya tidak lepas dari Danish yang sedang memotong omelet di atas cutting board menjadi beberapa bagian. Rupanya, selain pandai menodongkan pisau ke leher seorang gadis, jari-jari kokoh itu juga lihai memainkan pisau dapur layaknya seorang chef professional.

"Aku jamin rasanya enak. Aku sudah belajar membuat omelet sejak berusia 10 tahun." Danish meletakkan dua piring omelet di atas meja, satu untuk Amora dan satu untuknya.

"Aku tidak bertanya."

"Sewaktu tinggal di panti asuhan, aku sering membantu koki di dapur."

Amora memutar bola mata jengah. Jadi sekarang Danish mulai mengarang kisah sedih seolah dia seorang yatim piatu agar Amora mengasihaninya? Maaf saja, Amora sama sekali tidak ingin mempercayai orang asing di hadapannya.

"Hentikan omong kosongmu." Amora mengambil sendok dan garpu, memotong omelet dengan kasar.

"Hei, meski tampangku seperti preman, tetapi aku tidak suka berbohong. Aku menyukai kejujuran meski terkadang kejujuran itu menyakitkan." Danish menyodorkan semangkok saos asam manis ke dekat Amora.

Sendok di tangan Amora menggantung di udara. Tersenyum sinis dan berucap, "Jadi, kau ingin memberitahuku bahwa kau seorang yatim piatu agar aku bersimpati padamu?"

"Siapa bilang? Aku tidak mengatakan yatim piatu. Kedua orang tuaku masih hidup."

Amora urung menyendok omelet, entah kenapa kisah hidup Danish terdengar menarik. Sekalipun ia bersusah payah menahan diri untuk tidak memperlihatkan ketertarikannya, toh pada akhirnya bibirnya refleks mengajukan pertanyaan. "Jadi?"

"Mereka membuangku 1 jam setelah aku dilahirkan."

Hening sesaat. Keduanya saling bertatapan. Danish dengan matanya yang meredup tetapi menyiratkan sebuah kekecewaan, dan Amora yang semakin ingin tahu kelanjutan kisah itu.

"Lalu?"

"Saat aku sudah berusia 15 tahun, mereka datang dan menginginkanku kembali. Menjijikkan, bukan?" Danish tertawa dan menunduk sembari mengiris sosis dengan kasar. "Argh, seharusnya aku tidak menceritakan masa laluku pada orang asing. Lupakan saja kalau begitu."

"Kisahmu sama sekali tidak membuatku lantas mengasihanimu. Aku harap kau secepatnya pergi dari sini."

"Hah, mulai lagi. Tidak bisakah untuk beberapa hari ke depan jangan membicarakan itu?" Danish menuang teh dari ke dalam cangkir putih ber-ornament bunga dan memberikannya pada Amora.

Amora menatap ragu. Minuman hangat itu mengepul menguarkan aroma khas teh melati. "Kau mencampurkan sesuatu ke dalamnya?"

"Jika teh ini mengandung racun, maka kita kita akan mati bersama-sama." Kali ini Danish mengambil cangkir baru dan menuangkan teh dari teko yang sama, menyesapnya tanpa keraguan sedikit pun. "Berhenti berpikir negatif tentangku."

"Sampai kapan pun aku tidak akan mempercayaimu."

"Apa yang kau takutkan? Jika ingin membunuhmu, sudah aku lakukan sejak di mobil semalam. Atau kau takut aku melecehkanmu?" Danish menatap mata Amora sejenak. "Sorry to say, gadis kurus dan berdada rata sepertimu sama sekali tidak bisa membangkitkan gairahku."

Amora menggertakkan gigi. Danish berani menghinanya? Kurang ajar! "Kau pikir aku tertarik pada berandalan sepertimu? Maaf saja, kekasihku jauh lebih menggoda dibandingkan lelaki brengsek sepertimu."

"Bangga menjadi wanita simpanan?"

"Oh, astaga! Harus berapa kali kukatakan, hubungan antara aku dan Dokter Andre hanya sebatas pasien dan dokter. Lagipula aku sudah memiliki kekasih. Jadi, berhenti berpikir aku seorang wanita simpanan."

Danish mengedikkan bahu. "Sementara ini aku hanya mempercayai yang aku lihat. Atau mungkin … selain Dokter Andre kau juga memiliki banyak kekasih lain? Wow! Tidak kusangka wajah lugu yang kau perlihatkan ternyata hanya topeng."

Amora menggeser piring di hadapannya, menyingkirkan sisa omelet dengan malas. Ia kehilangan nafsu makan. Ocehan Danish mendadak membuatnya kenyang. Entah dari planet mana Danish berasal. Ingin rasanya Amora menendang pantat lelaki itu hingga terlempar kembali ke tempat asalnya.

"Kehadiranmu di sini membuatku serasa berada di neraka," dengus Amora. Matanya menatap Danish tajam.

Sementara itu, yang ditatap justru bersikap santai, menikmati potongan omelet terakhir, dan menghabiskan isi teh di dalam cangkir. Danish sama sekali tidak memperlihatkan rasa bersalah. Ah ya, bahkan meminta maaf pun tidak.

"Neraka atau surga, itu tergantung dari perspektif mana kau melihat. Di sini aku sudah mencoba bersikap baik, tetapi kau selalu saja menganggapku berniat jahat padamu."

"Bagaimana aku tidak berpikir kau—"

Ucapan Amora terpotong ketika secepat kilat Danish beranjak dari kursi dan membanting sebuah gelas. Amora hampir saja terlonjak oleh suara berisik saat gelas kaca beradu dengan lantai dan hancur berkeping-keping.

Mata Amora terpejam ketika Danish mengambil sebuah pecahan kaca dan menodongkannya di leher gadis itu. "Ini yang ada dalam pikiranmu, 'kan?" desis Danish. "Aku, lelaki berandal yang menyandera seorang gadis. Kau tidak menyukai sikap baikku? Sekarang katakan, apa yang kau inginkan."

"Menjauhlah dari kehidupanku." Suara Amora terdengar gemetar. Ia merasakan perih di lehernya ketika dengan gerakan perlahan, Danish menggeser pecahan kaca, menyisakan segaris luka tipis di sana.

"Bahkan jika aku harus membunuhmu saat ini, aku tidak takut. Aku beberapa kali tertangkap polisi karena tindak kriminal, tetapi tidak sampai satu jam, aku selalu dibebaskan. Kau tahu kenapa? Karena orang tuaku memberikan jaminan."

"Kalau begitu, bunuh aku sekarang." Amora memberanikan diri untuk membalas tatapan tajam Danish.

Danish berdecak dan tersenyum sinis. Tubuh tegapnya merunduk, mendekatkan wajahnya dengan Amora. Tangannya kembali menggoreskan pecahan kaca di leher gadis itu. Amora meringis sembari menggigit bibirnya.

"Membunuhmu, sesuatu yang mudah, Nona. Tetapi sayangnya aku tidak tertarik melakukan itu."

"Why?"

"Aku lebih tertarik untuk menyelam di kedalaman matamu dan mencari tahu, kenapa mata abu-abu itu selalu menyiratkan sebuah luka?" Danish melempar pecahan kaca di tangannya. Bibir sensual dengan kumis tipis yang melintang di atasnya, tersenyum lembut. "Kita sama-sama memiliki luka masa lalu. Mungkin saja kita bisa saling menyembuhkan?"

Sesaat, Amora hampir saja takluk oleh kelembutan Danish. Beruntung, detik selanjutnya ia mendapatkan kewarasannya kembali. Danish pikir Amora akan bersimpati setelah lelaki itu mengatakan tentang luka masa lalu? Bulshit! Amora tidak akan pernah mempercayai lelaki berandal itu.

Samar-samar, cairan merah mulai nampak di telapak tangan Danish. Tangannya terluka oleh dua sisi tajam pecahan kaca ketika beberapa saat lalu ia menggenggamnya.

Pun dengan Amora yang merasakan lehernya terasa perih. Perlahan, ia menyentuh luka tipis berupa dua goresan kecil di sana. Kenapa Danish hanya memberikan luka kecil untuknya? Kenapa tidak membunuh Amora saja?

"Aku tidak akan meninggalkanmu sendirian, Amor. Setidaknya sampai aku memastikan, tidak ada lagi luka menganga yang menyakitimu." Danish meraih sehelai tisu dari atas meja, kemudian mengusap setitik darah di leher Amora. "Aku tidak suka melihat wanita terluka."

Dan Amora hanya bisa mematung ketika Danish mengusap kepalanya dengan lembut. Argh! Sandiwara apa yang tengah dimainkan Danish? Kenapa lelaki itu terlihat begitu misterius dengan sikap yang selalu berubah-ubah? Terkadang manis, dan di lain waktu terlihat menakutkan.

***


 

PART 3

Sungguh, Danish tidak memiliki niat untuk melukai Amora. Akan tetapi, gadis keras kepala itu membuat kesabaran Danish habis. Yeah, biarkan saja Amora berpikir apa pun yang dia mau. Menganggap Danish berandalan? Danish tidak peduli.

"Jangan membantahku jika kau ingin baik-baik saja." Danish menempelkan plester luka di leher Amora.

Gadis itu meringis menahan perih. "Aku tidak bisa memahami jalan pikiranmu. Kau yang melukai, kenapa sekarang harus mengobatiku?"

"Artinya aku lelaki yang bertanggung jawab." Danish menutup kotak P3K dan memeriksa leher Amora, memastikan lukanya sudah tertutup dengan sempurna. "Maaf, aku terpaksa melakukannya."

Amora hanya mengangkat bahu, bibir tipisnya cemberut, cukup menjelaskan bahwa ia lelah menghadapi Danish. Tubuh ramping itu beranjak dari kursi dan masuk ke kamar. Beberapa menit kemudian, gadis itu kembali keluar dengan sweater rajut berwarna hitam serta syal abu-abu melingkar di leher. Polesan lipstik tipis menyempurnakan penampilannya.

"Kau mau pergi?" tanya Danish.

"Hem, apa aku juga perlu izin padamu?" sindir Amora dengan suara datar.

"Aku akan menumpang mobilmu lagi. Aku harus pergi ke suatu tempat."

"Tarifnya seratus ribu per kilometer."

"Kau pikir aku tidak punya uang?" Danish mengambil sebuah kartu debit platinum dari dalam dompet dan melemparkannya ke atas meja. "Ambil itu, gunakan semaumu."

Bibir tipis Amora mengerucut. Memeriksa kartu debit, dahinya berkerut pertanda sedang memikirkan sesuatu. Yeah, tepat seperti dugaan Danish, Amora memasukkan benda tipis itu ke tas kecil yang tersampir di pundaknya. Uang mampu membungkam mulutnya, mungkin itu pula alasan Amora bersedia menjadi selingkuhan Dokter Andre.

"Aku yang menyetir." Danish menyambar kunci mobil di atas meja setelah menarik ritsleting jaket di tubuh berototnya. "Beritahu tujuanmu."

"Meet and greet di toko buku." Amora menyebutkan nama salah satu mall terbesar di Jakarta.

"Oke. Aku akan turun di persimpangan jalan dekat gedung tua."

***

Danish mengembuskan asap rokok ke udara. Kedua lengannya bersandar di pagar pembatas rooftop. Berdiri di atas puncak gedung tua, menyaksikan kendaraan mengular di jalanan ibukota. Angin sepoi-sepoi menerbangkan rambutnya yang mulai berantakan.

"Kenapa seminggu ini kau tidak menghubungiku? Dan kau kabur dari apartemen? Aku mencarimu ke sana tetapi kosong." Suara lembut seorang wanita memberondong Danish dengan deretan pertanyaan.

Danish menoleh sembari menjentikkan jari di ujung rokok, seketika abu terjatuh dan berterbangan menciptakan polusi. Nama gadis berambut pendek itu Keysha. Tubuhnya ramping, dengan wajah oval dan hidung yang terlihat mungil.

"Aku melarikan diri dari kejaran anak buah Edward," sahut Danish.

"Edward? Dia masih dendam atas kematian adiknya?"

"Sebelum aku mati, dia akan terus mengejarku."

"Kenapa kau tidak meminta bantuan ayahmu untuk menyelesaikan masalah ini?"

"Dan menjadikanku seorang pengecut? Aku bisa menyelesaikannya sendiri."

"Nyawamu yang akan menjadi taruhannya." Keysha meletakkan telapak tangannya di atas punggung tangan Danish. Poni di dahinya berterbangan tertiup angin.

"Aku menyukai permainan ini. Kita lihat saja, antara aku dan Edward, siapa yang akan mati terlebih dahulu."

"Danish ...." Keysha menggenggam tangan Danish erat-erat. Suaranya terdengar serak seolah tidak setuju pada ucapan lelaki bertubuh tinggi tegap di sisinya. "Jangan bermain-main dengan kematian."

Danish tertawa, menarik tangannya dari genggaman Keysha. "Kau lupa berapa kali aku selalu lolos dari kematian? Keberuntungan selalu berpihak padaku. Dan aku yakin, Edward tidak akan bisa membunuhku."

Terdengar helaan napas kasar. Keysha menutup wajah dengan kedua telapak tangan, tidak sanggup membayangkan kemungkinan buruk yang bisa saja terjadi. Selama ini, tidak ada seorang pun yang bisa lolos dari kejaran Edward, siapa pun yang berani melawan ketua gangster tersebut, maka hidupnya akan berakhir mengenaskan.

"Tidak perlu mencemaskanku. Kau tahu bagaimana aku selalu berhasil melewati hidup yang begitu keras? 25 tahun ini, aku bisa bertahan hidup. Jadi, apalah artinya Erward? Bagiku dia hanya sebutir debu di atas lautan." Danish membuang puntung rokok ke lantai dan menginjaknya hingga padam.

"Oke, tapi aku harap kau selalu berhati-hati. Erdward lawan yang tangguh."

"Tentu saja."

Keysha membenarkan posisi roknya yang tersibak oleh angin. Tubuh rampingnya bersandar di pagar pembatas rooftop dan menatap Danish. "Jadi, kenapa seminggu ini kau tidak memberikan laporan tentang wanita simpanan kakak iparku?"

"Aku belum menemukannya," ucap Danish. Tentu saja ia hanya berdusta. Untuk sementara ini ia harus menyimpan rahasia, mengingat ia masih membutuhkan apartemen Amora untuk bersembunyi.

"Sungguh? Selama ini kau sangat hebat untuk urusan membuntuti seseorang."

"Aku sudah membuntuti kakak iparmu, tetapi dia tidak pernah terlihat berkencan dengan wanita. Beberapa kali kulihat dia hanya bertemu dengan pasien di café. Menurutku tidak ada yang istimewa."

"Benarkah? Lalu kenapa kakakku sering mencium aroma parfum wanita di baju Kak Andre?"

Danish menepuk pundak Keysha perlahan. Jujur, ia merasa bersalah karena harus menyembunyikan fakta. Ah, tapi ia tidak punya pilihan lain. Lagipula, ia juga harus menyelidiki lebih jauh apakah Amora benar-benar terlibat perselingkuhan dengan Dokter Andre, atau ada hal lain yang membuat mereka harus bertemu secara intens. Huft, gadis misterius.

"Tenang saja, aku akan mengawasi kakak iparmu. Jika menemukan sesuatu yang mencurigakan, aku akan melaporkannya padamu."

"Thanks, Bro! Jika kau berhasil menemukan wanita simpanan itu, aku akan menambah bayarannya."

"Santai saja, Key."

"Ah ya, kau sudah sarapan?"

"Hem … aku sudah sarapan omelet." Danish kembali mengambil sebatang rokok dan meletakkannya di antara kedua bibir.

"Bagaimana jika kita minum kopi saja?"

Danish menyulut rokok dengan korek api. Diliriknya jam di pergelangan tangan kirinya. "Tidak bisa. Setelah ini aku masih ada urusan."

"Baiklah," gumam Keysha, kecewa. "Kalau begitu aku pergi sekarang."

"Oke."

Tatapan Danish kembali terarah pada puluhan mobil yang terjebak kemacetan, ia membiarkan Keysha pergi dari sisinya. Derap langkah flat shoes yang dikenakan gadis itu terdengar lambat. Kemudian, suara lelaki lain terdengar menyapanya. Itu suara Randy, teman dekat Danish.

"Keysha menyukaimu." Randy menyodorkan satu kaleng bir pada Danish.

Danish tertawa singkat, mengambil kaleng minuman. Terasa dingin. "Dia terlalu baik untuk kupermainkan."

"Brengsek. Jadi mau sampai kapan kau bermain-main dengan wanita?"

"Sampai aku bosan membenci wanita."

Randy membuka kaleng bir dan meneguknya. "Hanya karena ibumu pernah membuangmu sewaktu bayi, lantas kau menyamaratakan semua wanita. Itu tidak adil, Brengsek!"

"Mau bagaimana lagi? Kebencianku terhadap wanita terlanjur mendarah daging."

"Heh, aku menyumpahimu suatu saat kau akan mencintai seorang wanita, tetapi wanita itu tidak menginginkanmu. Saat itu kau akan merasakan bagaimana sakitnya tidak bisa mendapatkan wanita yang kau cintai."

"I don't care. Lagipula itu tidak mungkin. Aku tidak sepertimu yang memimpikan kehidupan indah bersama wanita dan anak-anak yang kau sebut sebagai keluarga bahagia."

"Jadi, sebenarnya apa tujuan hidupmu?"

Danish menghisap asap rokok dalam-dalam. Asap putih itu seketika masuk melewati tenggorokan dan mengisi paru-parunya. Di saat yang sama, ia mengembuskan asap tipis tepat di hadapan Randy sampai lelaki itu terbatuk kecil.

"Aku tidak memiliki tujuan hidup."

"Kau benar-benar gila. Jika tidak memiliki tujuan hidup, kenapa kau melarikan diri dari Edward? Kenapa tidak menyerahkan diri dan membiarkannya membunuhmu? Bukankah itu lebih baik?"

"Tidak begitu konsepnya, Bodoh!" dengus Danish. "Aku ingin tetap hidup meski tidak punya tujuan hidup."

"Lucu sekali." Randy menghabiskan isi kaleng, lalu melemparnya ke tempat sampah. Seekor kucing liar yang sedang tertidur pulas, melonjak kaget dan menatap tong sampah dengan waspada. "Lalu sekarang kau tinggal di mana? Tidak mungkin pulang ke rumah ayahmu, 'kan?"

"Aku menyewa kamar di apartemen seorang gadis."

"Pacar barumu?"

"Bukan. Hanya orang asing yang kebetulan menjadi penyelamatku."

"Dia cantik?"

Danish meninju bahu Randy dengan gerakan pelan. "Yang ada di pikiranmu hanya wanita cantik."

"Dari gelagatmu, bisa aku tebak kalau dia gadis yang cantik."

"Sayangnya tidak. Tubuhnya saja kurus dan berdada rata. Dan wajahnya, aku menilainya enam setengah. Intinya, dia gadis membosankan dan kejam."

"Oh ya?" Dahi Randy berkerut, menatap mata Danish tajam. "Kita sudah lama berteman, aku tahu kapan kau berkata jujur ataupun saat kau bohong."

"Kali ini aku tidak bohong, Brengsek!" Danish mengibaskan tangan di depan wajah. "Mau minum kopi bersamaku?"

"Kopi? Oke."

"Lima belas menit. Waktuku tidak banyak. Setelah ini aku harus menjemputnya."

"Menjemputnya? Terdengar seperti kekasih yang possessive."

"Apa yang kau bicarakan, Bodoh! Tentu saja aku harus menjemputnya. Sementara ini aku tidak memiliki akses untuk masuk ke apartemennya. Dia hanya kujadikan sebagai alat."

"Oke, apa pun katamu, aku pikir kau harus berhati-hati jika tidak ingin terlibat perasaan dengannya."

"Yang kau maksud cinta? Tidak akan, gadis kejam seperti dia bukanlah seleraku."

"Kita lihat saja nanti." Randy menaikkan sebelah sudut bibirnya, tersenyum menggoda.

Danish tergelak, berpura-pura menempeleng kepala temannya. Kemudian, keduanya berjalan beriringan menuju anak tangga. Melangkah menuju café tidak jauh dari gedung tua. Sekali lagi, Danish memeriksa pergelangan tangannya, memastikan jika ia tidak akan terlambat menjemput Amora di toko buku.

***

PART 4

Danish tersenyum sinis melihat barisan pengunjung toko buku. Para budak cinta yang terkagum-kagum pada tokoh fiksi ciptaan Amora. Hah, sebegitu antusiasnya mereka sampai-sampai rela mengantre demi mendapatkan tanda tangan sang penulis. Apa istimewanya sebuah coretan di halaman pertama novel? Bagi Danish, itu tidak berbeda jauh dengan coretan yang bisa dibuat oleh siapa pun.

Look at them, bahkan sekalipun beberapa di antara mereka harus saling dorong dan kaki tidak sengaja terinjak, tetapi mereka tidak pantang menyerah. Tetap berdiri di sana dan mengikuti instruksi karyawan toko agar berbaris dengan rapi. Lihat gadis kurus yang baru saja digendong karena pingsan? Astaga, itu antrean tanda tangan atau antrean sembako?

"Seberapa bagus novel karyanya?" Danish menepuk bahu gadis yang berdiri di antrean paling belakang.

Gadis itu terkesiap. Mata sipitnya berbinar menatap Danish. Seperti biasa, wajah berhidung mancung milik Danish seringkali membuat para gadis terpesona. "Sangat bagus. Kak Amora pandai menarik pembaca ke dalam dunia cerita. Kau belum pernah membaca novelnya?"

"Aku tidak berselera membaca roman picisan seperti itu."

"Bukan sekadar roman picisan." Gadis berkepang itu nampak bersemangat melanjutkan ucapannya. "Novel ini juga bercerita tentang keluarga dan persahabatan."

"Hanya itu keistimewaannya?"

"Tentu tidak. Yang paling istimewa, Kak Amora selalu pandai menciptakan karakter tokoh yang tampan sehingga kami bisa menghalu kalau mereka suami online kami." Gadis itu tertawa renyah.

Danish mendengus. Penulis dan pembaca sama gilanya.

"Ummm ... kau tahu?" Gadis itu kembali bicara. "Lelaki tampan sepertimu persis seperti yang ada dalam tokoh novel."

Danish menyugar rambut, kemudian berlalu setelah gadis itu mengerlingkan sebelah mata. Ia menghampiri rak buku berlabel best seller, dan mengambil salah satu novel berjudul 'Wanita dan Setangkai Mawar'.

Danish tidak tertarik membaca. Namun, entah kenapa cover novel yang memperlihatkan gambar tangan seorang wanita menggenggam setangkai mawar, sangat menarik perhatian Danish. Setitik darah dalam genggaman itu nampak memiliki arti yang mendalam. Sampul ini tidak hanya menggambarkan isi buku, tetapi seolah Amora ingin menceritakan luka dalam dirinya secara tersirat.

Ingat bagaimana Amora yang tidak pernah takut pada kematian? Gadis itu terluka. Sangat dalam. Dan tidak tahu harus berlari ke mana. Tidak mengerti harus bersandar pada siapa. Percayalah, Danish bukannya sok tahu, tetapi ia melihat sorot luka di mata Amora.

***

Tepat pukul 11.00, sesi book signing selesai. Danish membuntuti Amora berjalan menuju basemant mall. Menjaga jarak beberapa meter, Danish mampu melihat dengan jelas Amora berkali-kali memeriksa ponsel dan langkahnya semakin tergesa. Membuat janji temu dengan seseorang?

Dugaan Danish benar. Seorang lelaki berpakaian kasual dengan topi dan masker yang menutupi sebagian wajahnya, berdiri tegak di sisi mobil Amora. Jika dilihat dari postur tubuhnya yang tinggi tegap, bisa dipastikan dia Dokter Andre. Yup! Pertemuan gelap itu lagi! Astaga, gadis nakal!

Danish bersembunyi di balik tiang penyangga bangunan, mengawasi gerak-gerik sepasang kekasih gelap itu. Kali ini, mereka masuk ke mobil milik Amora. Entah apa yang mereka lakukan di dalam sana. Satu menit, tidak ada tanda-tanda mereka mengakhiri perjumpaan mereka. Mobil masih dalam keadaan menutup.

Lima menit kemudian, Danish mulai jenuh. Ia nekat keluar dari tempat persembunyian dan setengah berlari menghampiri mobil dan mengetuk kaca jendela mobil. "Nona Amora!"

Kaca jendela perlahan terbuka sebagian, Amora melotot pada Danish. "Siapa kau?"

"Aku tertinggal sesi book signing. Boleh aku minta tanda tanganmu?" Danish menunjukkan novel 'Wanita dan Setangkai Mawar'.

"Aku sedang buru-buru. Maaf, seharusnya kau meminta tanda tanganku di sesi book signing tadi."

"Tadi, ya? Sebenarnya aku sejak tadi sedang menunggu seseorang di sini. Aku menyewa kamar apartemennya, tetapi aku belum memiliki akses masuk ke sana. Dia harus memberi tumpangan, jika tidak, sepertinya meng-upload beberapa video akan sangat menyenangkan."

Andre yang sejak tadi terdiam, mencondongkan tubuh dan menatap Danish tajam. "Sorry, Bro! Amora tidak mau memberikan tanda tangannya."

"Wow, lelaki ini kekasihmu?" Danish menunjuk Andre dengan ujung dagu. "Wait, sepertinya aku tidak asing dengannya."

"Oke, aku akan menandatanganinya sekarang." Amora mengalihkan tatapannya pada Andre. "Kak Andre, kau bisa pulang sekarang? Aku baik-baik saja."

"Kau yakin? Aku ingin mengantarmu pulang."

"Tidak perlu. I'm fine. Setelah ini aku langsung pulang dan beristirahat."

"Oke. Aku pergi setelah kau menandatangani novelnya." Andre mencondongkan tubuh dan berbisik di telinga Amora. "Dia terlihat bukan lelaki baik-baik."

Amora mengangguk. Tanpa berbasa-basi ia mengambil novel dari tangan Danish dan menggoreskan tanda tangannya di halaman pertama. "Kau bisa menunggu temanmu di pintu keluar. Di sini pasti sangat membosankan."

"Thanks." Danish mengambil novelnya dan melambaikan tangan sebelum berlari meninggalkan mobil Amora.

Tidak perlu menunggu lama di pintu keluar, mobil Amora melintas dan berhenti di depan Danish. Lelaki itu bergegas masuk dan duduk di samping Amora.

"Kau benar-benar tidak bisa membuat hidupku tenang meski hanya sedetik," gerutu Amora sembari menginjak pedal gas.

"Tidak bisakah sehari saja kita tidak bertengkar? Aku hanya berusaha menyelamatkanmu. Kau bertemu Dokter Andre di tempat seperti ini, bagaimana jika banyak yang curiga pada kalian?"

"Setiap detik kita selalu saja memperdebatkan hal yang sama. Please, Danish! Jangan mencampuri urusanku, oke? Jika kau bersedia untuk tidak menggangguku, maka aku pun tidak akan mengganggu privasimu, dan kau boleh tinggal di apartemenku untuk satu bulan ke depan."

Tawaran yang menggiurkan, tetapi membuat Danish merasa dilema. Bagaimana ini? Di satu sisi, ia sangat membutuhkan tempat persembunyian. Namun, di sisi lain ia merasa bersalah pada Keysha karena harus berbohong padanya. Seharusnya saat ini Keysha sudah tahu siapa wanita simpanan kakak iparnya.

Katakan, apa menyembunyikan fakta termasuk sebuah kejahatan? Danish tidak membenarkan sebuah perselingkuhan, tetapi untuk kali ini ia tidak punya pilihan lain. Bukan karena Danish egois, menyembunyikan kebenaran demi keselamatan nyawanya. Ada satu alasan yang membuat Danish ingin tetap berada di sisi Amora. 'Wanita dan Setangkai Mawar'. Luka itu bukan hanya ilusi, melainkan sesuatu yang nyata.

Yah, Danish melihatnya dengan jelas. Amora dengan lincah memainkan stir mobil. Bagian lengan sweater rajut milik gadis itu digulung hingga ke siku, menampakkan bekas luka sayat di pergelangan tangan kirinya. Masalah apa yang dialami Amora sehingga ia sampai melukai dirinya sendiri?

"Luka di tanganmu—"

"Kecelakaan saat aku masih kecil," potong Amora dengan suara datar.

"Oh ...." Danish menautkan alis. Ia tahu Amora berbohong. Bekas luka memanjang itu terlalu rapi untuk dikatakan sebagai kecelakaan. Dan suara datar yang hampir tercekat beberapa detik lalu, secara tersirat telah memperlihatkan sebuah kejujuran.

"Berhenti bertanya apa pun tentangku."

"Ketika aku ingin berharap tetapi takut kecewa, pada akhirnya aku memilih terluka."

Amora menginjak pedal rem, mobil berhenti mendadak. Menoleh pada Danish dengan wajah masam.

"Aku hanya mengutip salah satu kalimat di halaman pertama novelmu," ucap Danish. Ia menunjuk novel di atas dashboard. "Apa kau memang hobi mengerem mendadak? Hei, tindakanmu itu berbahaya. Motor di belakang hampir saja menabrak mobilmu."

"Apa kau memang hobi mencampuri privasi orang lain?"

"Tidak. Tentu saja hanya denganmu. Kau menyimpan rahasia, dan tanpa kau sadari, kau telah menarikku ke dalam lingkaran kehidupanmu. Oke, kalau kau keberatan, aku akan mundur perlahan dan menjauh dari privasimu. Meski kita tinggal seatap, tetapi kita akan melangkah di jalan yang berbeda."

Amora tidak menjawab, tidak pula menanggapi dengan gelengan maupun anggukan kepala. Gadis itu memutuskan untuk menarik gulungan sweater hingga bekas luka di pergelangan tangannya kembali tertutup. Lalu, mobil kembali melaju, meski keduanya kini saling terdiam, sibuk dengan pikiran masing-masing.

***


 

PART 5

"Aku memesan pizza untuk makan malam. Kau mau?" Danish meletakkan 1 box pizza berukuran medium di atas meja makan.

"Aku tidak lapar."

Danish berdiri di ambang pintu, mengawasi gadis yang sedang duduk di sofa ruang tamu. Sejak tadi gadis itu sibuk berkutat bersama novel tebalnya. Jika dilihat dari nama pengarang yang terpampang di cover, Amora membaca novel terjemahan.

"Kau sudah kurus, untuk apa diet? Tidak takut nanti tubuhmu hanya tinggal tulang?"

"Berisik!" Suara Amora terdengar parau, ia mengambil sehelai tisu dan mengusap matanya yang basah.

Amora menangis? Astaga, seberapa sedih kisah dalam roman picisan itu sehingga mampu menguras air mata pembacanya? Bagi Danish, itu sangat konyol. Sepertinya kapan-kapan Danish harus mencoba membaca novel yang dibaca Amora agar ia bisa menangis.

Yeah, Danish bahkan tidak ingat kapan terakhir kali ia mengeluarkan air mata. Mungkin beberapa tahun yang lalu saat ia bertemu kedua orang tua kandungnya. Dan setelah itu ia bersumpah tidak ingin menangis lagi. Air matanya terlalu berharga untuk meratapi alur kehidupan.

"Kulkasmu kosong. Seharusnya kau menyimpan sayur-sayuran dan buah-buahan. Jangan terlalu sering memakan makanan instan. Itu tidak sehat."

"Aku sakit pun itu tidak ada urusannya denganmu."

"Ah ya, aku lupa jika kau sudah bosan hidup."

"Bisakah kau berhenti bicara? Kau mengganggu konsentrasiku." Amora kembali fokus pada buku bacaannya.

Danish mendengus. Baguslah kalau Amora tidak mau pizza, artinya Danish tidak perlu berbagi makanan dan ia akan kenyang dengan menu makan malamnya. Barangkali Amora merasa kenyang hanya dengan membaca huruf-huruf di lembaran kertas. Hah, wanita memang sulit dimengerti.

Aroma khas pizza menguar memenuhi ruangan saat Danish membuka box. Pizza bertoping beef, jamur, bawang bombay dan paprika, sangat menggugah selera. Danish mengambil sepotong dan memakannya. Perpaduan antara adonan roti yang lembut, sauce, topping dan keju mozzarella, menyatu memberikan rasa nikmat.

Danish baru saja mengambil potongan ketiga saat bel pintu berbunyi. Dari sofa, Amora berteriak, "Kau memesan apa lagi?"

"No! Aku tidak memesan apa pun."

Amora tersentak, bergegas melempar novel ke atas meja dan berlari menuju pintu. Mengintip melalui door viewer, lalu menghampiri Danish dengan panik. "Mamaku datang. Cepat sembunyi!"

Danish urung menyuap pizza, menatap Amora malas. "Aish ... apa masalahnya? Katakan saja aku menyewa kamar di sini."

"Tidak bisa begitu! Mama tidak boleh tahu aku tinggal seatap dengan seorang lelaki. Cepat sembunyi."

"Oke, aku masuk." Terpaksa Danish meninggalkan pizza favoritnya. Tubuh tegap Danish melangkah menuju kamarnya, tetapi Amora terlebih dulu menarik Danish dan mendorongnya hingga masuk ke kamar gadis itu.

"Bersembunyi di kamarku, Bodoh! Mama sering beristirahat di kamar yang kau tempati!"

"Hei, ponselku ada di sana!"

"Aku akan mengambilkan barang-barangmu!"

Amora tidak menghiraukan Mia—ibunya—yang sudah berkali-kali membunyikan bel dan berteriak memanggilnya. Terburu-buru Amora mengambil ponsel dan jaket milik Danish dan memberikannya pada lelaki itu.

"Ingat, jangan keluar dari kamar." Amora memberi peringatan. "Jika sampai ketahuan mama, aku tidak akan memaafkanmu."

"Oke, aku mengerti."

Amora mendengkus. Seperti biasa, Mia datang dalam keadaan kacau. Rambut ikalnya berantakan, dan saat wanita itu melangkah melewati Amora, tercium bau alkohol yang begitu menyengat.

"Mama mabuk," ucap Amora dengan dingin.

Mia melambaikan tangan di depan wajah. Senyum tipis menghiasi wajah ayunya. Meski sudah berusia 47 tahun, tetapi wanita itu masih memiliki wajah putih mulus. Perawatan yang menghabiskan uang puluhan atau bahkan ratusan juta, membuat Mia terlihat lebih muda dari usianya.

"Sedikit." Mia mengempaskan pantatnya ke atas sofa. Jari-jari lentiknya bergerak lincah merapikan rambut. "Aku mengantuk, beri aku waktu untuk beristirahat, oke?"

"Pria muda mana lagi yang membuat Mama kacau seperti ini?"

"Aku hanya sedang pusing, Amora. Berhenti menginterogasiku."

"Kenapa Mama tidak pernah mengerti? Pria-pria muda itu hanya mempermainkan Mama."

"Kau yang tidak mengerti!" Nada suara Mia naik satu oktaf. "Kau tidak pernah tahu bagaimana rasanya berada di posisi Mama!"

Di dalam kamar, Danish mampu dengan jelas mendengar pertengkaran Amora dan Mia. Mereka terus berdebat dan tidak ada seorang pun yang mau mengalah. Tentang Amora yang tidak suka Mia menjalin hubungan dengan lelaki-lelaki yang berusia lebih muda dari ibunya. Dari sana Danish bisa menyimpulkan, Amora adalah korban broken home.

"Ma, baru beberapa hari yang lalu aku mentransfer uang ke rekening Mama. Mama menghabiskannya untuk lelaki yang bahkan tidak mencintai Mama?" Suara Amora terdengar serak. Saat ini air mata pasti sudah menggenang di pelupuk mata gadis itu.

"Kau keberatan? Papamu masih memberikan jatah bulanan untukmu, 'kan? Apa salahnya kau berbagi denganku?"

"Kalau saja Mama tidak memilih bercerai dengan Papa!"

Danish tertegun saat membuka laci nakas. Terdapat beberapa silet yang masih ter-packing rapi, tetapi salah satu di antaranya terdapat percikan darah yang sudah mengering. Dugaan Danish benar, Amora melukai dirinya sendiri.

"Jangan membahas hal itu lagi! Wanita mana yang rela dimadu? Kau masih terlalu kecil untuk memahami! Kau egois, Amora! Kau ingin aku kembali pada papamu hanya karena kau ingin hidup bahagia, tetapi pernahkah kau memikirkan kebahagiaanku?"

"Ma ...."

"Sudahlah, aku mengantuk. Kita bicara besok pagi."

Danish tersenyum sinis. Wanita itu mengatakan putrinya egois, tanpa ia sadari bahwa dirinya sendirilah yang egois. Wajar bukan, jika seorang anak menginginkan kedua orang tuanya hidup bersama?

Dulu, semasa kecil saat masih tinggal di panti asuhan, Danish pernah mendambakan hal yang sama. Ya, sebelum akhirnya sepasang suami istri datang menjemput dan mengatakan Danish adalah anak mereka. Detik itu juga keinginan Danish berbalik seratus delapan puluh derajat. Danish lebih memilih hidup sendiri ketimbang harus kembali pada orang yang pernah menelantarkannya.

Pintu kamar terbuka, Amora muncul dengan wajah basah oleh air mata. Melihat Danish, Amora bergegas menyusut cairan bening di wajahnya dengan telapak tangan. Berlagak sok kuat di hadapan Danish. Percayalah, Danish mengerti bagaimana perasaan gadis itu.

"Bagian tubuh mana yang ingin kau sayat? Mungkin aku bisa membantumu?" Danish memainkan sebuah silet di tangannya.

"Mamaku tidur di kamar sebelah. Untuk saat ini kau bisa menginap di hotel. Kembalilah saat mama sudah pergi." Amora menarik napas dalam-dalam. "Jangan sentuh barang-barangku, letakkan di tempat semula."

"Melukai diri sendiri tidak akan menyelesaikan masalahmu. Luka di hatimu tidak akan sembuh, ditambah luka fisik yang kau buat sendiri. Lucu sekali." Danish mengambil semua silet dari laci nakas dan memindahkannya ke tempat sampah.

"Danish!"

"Benda-benda itu tidak seharusnya disimpan di kamar ini."

"Jangan mencampuri urusanku."

"Kau menginginkan kedua orang tuamu kembali bersama. Itu tujuan hidupmu, 'kan? Lalu kenapa kau menginginkan kematian sebelum tujuanmu tercapai?"

"Jangan sok tau."

Danish menarik tubuh Amora dan mencengkeram pundaknya erat-erat. "Look at me. Meski kematian sering mengincarku, tetapi aku selalu berusaha untuk tetap bertahan hidup meski aku tidak memiliki tujuan hidup."

Gadis itu mendongak, mata sayunya menatap Danish putus asa. "Kau tidak tahu apa-apa tentangku."

"Ya, aku memang baru mengenalmu. Tapi sayangnya, kau terlalu polos. Seperti lembaran buku yang terbuka, mudah untuk dibaca."

"Danish ...."

"Kau terluka. Sendirian. Yang kau butuhkan teman, bukan benda tajam." Danish menangkup kedua pipi Amora. "Kita tidak bisa terlalu banyak bicara di sini. Mamamu bisa mencurigai keberadaanku. Bagaimana jika kita keluar untuk menghirup udara segar?"

"Entahlah." Amora menggeleng ragu.

"Aku bersedia mendengar semua keluh kesahmu. Jangan memendam kesedihan seorang diri. Oke?"

"Pergilah, aku akan tetap di sini."

"Dan bermain dengan silet lagi? Come on, untuk kali ini saja, percayalah padaku. Aku pastikan kau akan merasa tenang setelah melampiaskan perasaanmu. Let's go! Kita keluar sekarang."

"Tapi-"

"Tidak ada tapi-tapian."

"Danish-"

"Trust me!"

"Tapi ke mana kita akan pergi?"

"Ke suatu tempat. Tenang saja, aku menjamin keselamatanmu. Kau akan kembali pulang dalam keadaan utuh."

Amora tidak membantah lagi. Ia membiarkan Danish menariknya keluar dari apartemen. Gadis itu mencengkeram lengan Danish erat-erat.

Trust me! Dua kata yang terngiang-terngiang di telinga Amora. Entah kenapa kalimat itu terasa begitu menenangkan. Seolah orang asing itu telah menjanjikan sesuatu yang akan menyembuhkan luka-luka di hati Amora.

***

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Dear Stranger
Selanjutnya Dear Stranger (Part 6 & 7)
2
2
Oke, tunggulah sampai suatu saat kau merasakan debaran aneh bernama cinta.Tidak akan pernah.Berani taruhan? Siapa takut? Jika suatu saat ada seorang gadis yang membuatku merasakan debaran sialan bernama cinta, aku akan memberikan nyawaku untuknya.***Notes :Pembelian paket harganya lebih murah dibanding pembelian per part. Nantinya, untuk yang sudah membeli paket ataupun membeli semua part, kalian bisa klaim Pdf full chapter + ekstra part. Caranya, cukup DM aku aja dan sebutkan email akun yang digunakan untuk pembelian.Kalau masih ada yang belum jelas, bisa tanya-tanya dulu ya.. Thanks 😘😘😘
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan