Celine (Babysitter Kesayangan Tuan Aksara) bab 3-5

1
0
Deskripsi

Bab 3


“Maaf, Tuan. Saya tidak tahu kalau Tuan pulang jam makan siang. Saya belum masak. Di dapur hanya ada sop ayam sisa makan Denim. Supnya masih utuh, hanya saya ambil sepotong ayam dan sayurnya saja. Apa mau saya ambilkan?”

“Saya habis makan.”

“Saya ijin masuk sebentar, Tuan. Saya mau buatkan susu Denim. Sudah jadwalnya minum susu,” ucap Celine. 

Gadis itu melangkah masuk ke dalam rumah. Sedangkan Aksara masih duduk di gazebo dengan Denim di pangkuannya. Dilihatnya gadis itu. Untuk wanita seumuran dia, tubuhnya sudah mulai terbentuk dengan sempurna.

“Mikir apaan saya?” umpat lelaki itu kepada dirinya sendiri. Untuk pertama kalinya, ia memuji seorang wanita selepas peninggalan istrinya. 

“Papa, Papa,” ucap Denim dengan riang. Bocah kecil itu tampak berbicara dengan suara cadelnya yang lucu.

Aksara menggendong Denim ke dalam, di mana lelaki itu dibuat takjub dengan rumahnya yang bersih. Ia memang sangat selektif dalam pemilihan asisten rumah tangga. Ia sering mengumpat dan mencebik tatakala ada bagian rumah yang kotor atau tak sreg dengannya. Sikap perfeksionis yang selalu ditampilkan membuat Aksara kesusahan mencari asisten rumah tangga. Paling lama itu pun seminggu atau dua minggu. Terkecuali mbok Inah yang menjabat hingga tahunan. Wanita berumur dengan tubuh yang sedikit gemuk itu adalah asisten Tanisa istrinya, yang terus ikut sampai Tanisa menikah dan melahirkan anaknya. Ia yang paling betah dengan umpatan dan makian dari Aksara, hingga akhirnya hari kemarin turut meminta ijin pulang. Hanya ada Celine yang mengurus rumah dan anaknya.

“Maaf, Tuan, anda sudah ada di sini? Ini jam tidurnya Denim. Saya mau ajak dia ke kamarnya,” ucap Celine santun.

“Dek Denim, kita mbuk yuk! Tidur siang sama tante yuk!” ucap gadis itu dengan nada anak kecil. Sontak Denim yang hanya berkenalan beberapa jam itu mengulurkan tangan menuruti perintah babysitter barunya.

"Apa ingin dibuatkan sesuatu sebelum saya menidurkan Denim, Tuan?"

“Tidak, urus saja anak saya dengan baik.”

“Baik, Tuan. Saya permisi,” ucap Celine menundukkan kepala hormat dan mengayunkan langkah msuk ke dalam kamar Denim. Ruangan cukup luas dengan dinding bergambar tokoh superhero masuk dalam pandangan gadis kecil itu. Ia merebahkan anak asuhnya dan meraih susu formula yang ia buatkan tadi. Diberikannya minuman tersembut, sambil ia ikut tidur miring di sebelahnya. Sebagai gadis muda, celine sangat menjiwai perannya. Ia terlihat sangat keibuan dan sangat mencintai anak asuhnya tersebut. Begitupun dengan Denim yang sepertinya menyayangi babysitter barunya.

Celine terlihat begitu menyanyangi Denim. Begitupun anakku yang trlihat bahagia bersamanya. Apa saya harus memecat gadis kecil itu?”  batin Aksara sambil menatap anak dan babysitterya. Ia yang tengah berdiri di ambang pintu hanya bis atersenyum mendapat pemandangan seperti itu.

Celine yang mengenakan rok pendek, ujung bajunya tersingkap. Kaki putih tanpa noda kini masuk ke dalam netra Aksara. Darahnya berdesir. Jantungnya berdetak tak pada semestinya. Entah mengapa ia merasakan sengatan listrik yang bertahun-tahun lamanya tak pernah ia rasakan. Bahkan, aksara sempat berpikir kalau ia sudah tak normal karena tak bisa merasakan getaran apapun kepada wanita. Terkecuali dengan gadis kecil yang dilihatnya sekarang.

“Tidak, itu tidak mungkin,” ucapnya lirih. 

Bagaimana bisa Aksara menyukai gadis yang lebih tepat dianggap dia sebagai anak?

“Mungkin saya hanya merasa takjub saja melihat ia bisa mengurus Denim dengan baik. Iya, itu hanya sebatas rasa kagum,” ucap Aksara lirih menolak apa yang dirasakan.

“Tuan aksara ada di sana? Maaf,” ucap Celine tergugu. Dengan cepat ia merapikan bajunya, termasuk ujung pakaian yang tersingkap. 

“Denim baru saja tidur, Tuan. Ada yang bisa saya bantu?” Celine berdiri, memberi ruang kepada Tuannya untuk bersama Denim.

“Saya ingin berbicara sebentar denganmu.”

“Baik, Tuan. Mohon maaf, kita di luar saja, takut istirahat Denim terganggu.”

“Baiklah.”

***

“Buatkan saya teh hangat.”

“Baik, Tuan.”

“Jangan terlalu banyak gula.”

“Baik, Tuan.”

Aksara yang duduk di kursi makan terus menatap babysitter anaknya. Dapur terbuka yang terakses langsung dengan ruang makan, membuat apapun yang dilakuakn si sebrang sana terlihat begitu jelas. Celine mendidihkan air dan mulai mengisi cangkir dengan kantung teh dan sedikit gula. Air panas dituangkan dan diaduknya dengan sendok kecil.

“Kenapa hanya satu?”

“Maaf, Tuan. Apa Tuan mengajak teman?” tanya Celine lugu sambil menatap sekitar.

“Tambah satu untuk kamu. Saya tidak bisa minum sendiri sedang lawan bicara tidak melakukan hal yang sama.”

“Baik, Tuan.” Lagi-lagi tanpa sanggahan, Celine menuruti perintah. Ia kembali ke dapur dan membuat satu cangkir teh kembali.

“Kenapa berdiri saja disitu?" tanya Aksara menatap babysitter anaknya yang hanya mematung di sebelah kursi.

“Duduklah!”

“Saya, Tuan?”

“Iya, siapalagi?”

“Tapi, Tuan. Ini ....” lelaki itu menarik lengan Celine dan memintanya duduk di kursi sebelahnya. 

Untuk sesaat dunia seperti berhenti berputar, ada sesuatu rasa aneh yang dirasakan di antara keduanya.


Bab.4

“Eh, maaf,”ucap Aksara melepas pegangan tangannya. Dari sentuhan dua kulit itu menghadirkansengatan yang menjalar di semua organ tubuhnya.

“Gak papa, Tuan.Ada perlu apa Tuan dengan saya?”

“Orang tuamudi mana? Kenapa diusiamu yang sedini ini sudah bekerja? Kamu gak melanjutkan sekolah?”tanya Aksara dengan rentetan kalimat bak kereta api.

“Maaf, Tuan.Boleh pertanyaannya satu-satu saja? Saya bingung harus menjawab yang mana dulu.”Gadis itu menggeser letak teh hangatnya. Tangannya menumpuk di depan meja sepertisiswa yang hendak mendengarkan pelajaran dari gurunya. Ia terlihat begitu sopan.

“Orang tuamudi mana?”

“Mereka sudahmeninggal semenjak saya masih sekolah dasar, Tuan.”

“Maaf.”

“Gak apa, Tuan.”

“Kamu punyasaudara? Kakak?”

“Saya hanyapunya adik, Tuan. Saat ini mereka sedang duduk di bangku sekolah dasar.”

“Mereka?”

“Iya, Tuan.Adik saya dua. Mereka kembar.”

“Selama inikalian tinggal dengan siapa?”

“Kami tinggaldi rumah peninggalan ayah dan ibu, Tuan. Kami bertiga."

“Untuk makan?”

“Saya bekerja.Sebelum di sini saya sudah bekerja menjadi buruh cuci.”

Aksara manggut-manggut.Pertanyaan dasar yang mengisi otak kepalanya kini sudah terjawab sudah. Ia mulaimengaduk minumannya dengan kancung teh yang masih menggantung dicangkir. Terdengar dentingan dua benda tersebut ketika mulai beradu.

“Tehnya diminum!Keburu dingin.”

“Terima kasih,Tuan.”

Gadis itu hendakmenyeruput minumannya. Namun, untuk sesaat ia berhenti. Pikirannya terus berkelana.

“Kenapa? Apakamu gak suka teh?”

“Saya sangatsuka, Tuan. Tapi, adik-adik saya di rumah hanya minum air putih. Tidak pernah minumminuman manis.”

“Mereka punyapenyakit diabetes?”

“Bukan, Tuan.Tapi ….” Celine menggigit bibir bawahnya, tampak ragu untuk berucap. “Di rumah jarangada gula, Tuan. Terkecuali ada tetangga yang selametan orang meninggal.”

Gadis itu tertawa kecil .

“Apa hubungannya?”

“Di desa saya,kalau ada orang yang meninggal, keluarganya akan kirim doa untuk almarhum, denganmembagi sembako ke tetangga sekitar.”

Aksara hanyamanggut-manggut. Ia merasa salah besar jika harus memecat gadis belia ini. Tumpuan hidupnya sangat berat untuk gadis sekecil ini.

“Terima kasihbanyak sudah menerima saya bekerja di sini, Tuan. Saya juga minta maaf telah beraniduduk di kursi ini semeja dengan, Tuan.”

“Bersikaplahbiasa saja. Silakan diminum tehnya. Saya berjanji, akan mengirim sembako dan jajanuntuk adik-adikmu kampung.”

“Terima kasihbanyak, Tuan.”

Gadis itu memegangtangan Aksara dan mencium punggung tangannya dengan hormat. Hal yang biasa ia lakukan kepadaorang yang yang lebih tua dari umurnya. Namun, hal itu berbanding terbalik denganAksara. Sentuhan yang dihadirkan gadis itu justru membuat hatinya bergetar. Bukanhanya iba, melainkan sebuah rasa baru yang mulai tumbuh.

Bukan rasa antarabapak kepada anak. Tetapi, rasa antar lelaki dan wanita. Celine tak menyadari itu. 

“Maaf, Tuan,kalau saya lancang. E ….”

“Apa?”

“Susu Denimtinggal sedikit. Takutnya gak cukup sampai nanti malam.”

Denim memnagsudah mulai aktif-aktifnya hingga kebutuhan susu pun turut bertambah. Seingat Aksara,ia baru menyetok susu formula itu seminggu yang lalu.

“Nanti sorebersiaplah! Ikut saya belanja Mingguan. Bahan masakan di rumah juga sudah habisbukan?”

“Saya bolehikut, Tuan?”

“Kalau bukankamu siapa lagi? Mbok Inah? Kan dia sudah resign.”

“Baik, Tuan.Terima kasih. Saya permisi.”

Celine bangkit dan mengangkatcangkirnya yang baru disruput sedikit. Sedangkan minuman Aksara, sudah tinggal separuhnya.

“Mau kemanakamu?”

“Saya mau minumdi dapur saja, Tuan. Saya tidak enak duduk di sini berlama-lama dengan Tuan.”

Lelaki yangbiasanya kaku itu tersenyum, “Minumlah di sini! Saya sudah menghabiskan tehnya." Aksara meneguk isi cangkirnya, hingga di dalamnya langsunh tandas. Hanya tertinggalkantung teh yang masih menggantung. Kemudian berlalu tanpa permisi.

***

“Kuci, kuci,kuci,” ucap Celine ketika menggelitiki Denim. Sontak lelaki kecil itu tertawa terbahakdengan begitu riangnya.

“Celine, sudahsiap?” tanya Aksara dengan pakaian rapi. Celana panjang dan kemeja warna biru mudaberlengan pendek.

“Sudah, Tuan.”Gadis itu mengambil botol dot anak asuhnya dan berjalan menggendong Denim. Berjalanmendekat ke arah kendaraan roda empat Aksara.

Di depan pintumobil, ia sedikit kesusahan untuk mebuka. Tubuh Denim yang gemoy dan terus bergerakaktif mengurangi ruang geraknya.

“Terima kasih,Tuan,” ucap Celine ketika pintu berwarna putih itu dibuka oleh Aksara. Ia sungkan,yang ada dialah yang selalu merepotkan majikannya.

“Sabuk pengamannyadipakai!” ucap Aksara ketika mulai menyalakan mesinnya.

Celine meelihatke jok mobil. Ini kali pertama ia masuk ke kendaraan roda empat. Bahkan, ia taktahu bagaimana caranya mengenakan sabuk pengaman tersebut. Ia hanya menarik bendaitu dan didekatkan ke tubuhnya.

“Bukan seertiitu caranya.” Aksara mendekat. Wajah dewasa dengan cambang halus itu tepat persis di muka gadis belia tersebut. Mendadak ada rasa yang aneh yang menyeruak di hatikecilnya. Lalu didetik berikutnya, Celine menundukkan pandangan. Takut jika Tuannya menyadari kalau ia telah mencuri pandangan.

“Maaf, Tuan.Saya justru merepotkan Tuan.”

“Diingat-ingatcaranya. Biar besok bisa memakainya sendiri.”

“Baik, Tuan.”

“Pok ame-ame,belalang kupu-kupu.” Celine terud mengajak Denim berbicara dan bernyanyi. Di manajagoan kecilnya itu turut mengikuti suara babysitternya. Denim terus tertawa kegirangan.Apalagi ketika lagu yang mereka nyanyikan usai, Celine akan mencium pipi Denimyang diikuti tawa terbahak dari anak lelakinya.

“Susu, susu,”ucap Denim yang mulai kehausan.

Saat tanganCeline meraih susu di dashbord mobil. Tanpa sadar ia menyentuh tangan Tuannya. Tangankekar dengan sedikit bulu itu lebih sigap untuk mengambil botol susu anaknya.

“Eh, maaf,”ucap Celine yang langsung menarik lengannya. Kini, degupan jantung Celine berdetak lebih cepat dari biasanya. 


---

Bab 5

Ini kali pertama Celine menampakkan kaki di lantai mall. Ia dibuat takjub dengan bangunan besar dan isinya. Manik matanya di manjakan oleh semua barang belanjaan yang kumplit. Dari sayur, buah, ikan dan perdagingan. Celine menggendong Denim, yang sesekali lelaki kecil itu berjalan digandengnya dan terkadang ikut masuk di kereta dorong. Sedangkan Aksara terus mendorong keranjang belanjaan sambil mengambil berbagai macam bahan yang disebutkan oleh Celine.

“Ini apa sayur bayamnya,” ucap gadis berambut panjang itu sambil mengambil sayur yang dimaksud. Sedangkan Denim kini tengah duduk di keranjang belanja yang tengah didorong Aksara. Celine memutar sayur yang dipegang, mencari bandrol harga yang tertera, hingga di detik kemudian manik mata hitamnya membulat secara sempurna.

“Kenapa gak dimasukkan ke sini?” tanya Aksara menyadarkannya. 

Celine meneguk salivanya sendiri, “Ini harganya gak salah, Tuan? Seikat ini dua belas ribu.”

Aksara mengambil sayur dari tangannya Celine, memperhatikan nominalnya dan memasukkan bayam tersebut ke keranjang belanja. “Harganya memang segitu.”

“Tapi, Tuan, itu mahal sekali. Di belakang rumah saya banyak sayur bayam yang terkadang sampai berbunga gak ada yang metik. Beli dipasar pun relative murah, seikat besar hanya seribu lima ratus rupiah.”

“Tapi di sini bukan desamu, Celine. Harga segitu wajar.”

Mereka kembali berjalan, di mana Aksara mulai memilih daging segar. Lagi-lagi gadis tersebut dibuat terkejut dengan harga yang fantastis. “Segini dua ratus ribu, Tuan?” tanya Celine sambil memegang bongkahan daging kecil yang dialasi sterefoam. Kertas label menempel di plastic tersebut, Daging sapi segar dan nominal 200.000.

“Kamu itu pernah belanja apa tidak?”

Celine menggeleng, “Saya tidak pernah beli daging, Tuan. Saya gak paham harga daging. Teryata semahal itu.”

“Belum pernah makan daging sapi?”

“Sudah Tuan, sewaktu Idul Adha banyak tetangga yang bagiin daging Qurban gratis.”

“Syukurlah, setidaknya kamu bisa mengolah daging ini.”

Satu persatu bahan makanan sudah masuk keranjang, berikut dengan susu dan diapers untuk Denim. Sengaja Aksara memberikan banyak kebutuhan anaknya supaya tak kekurangan lagi.

“Ada yang mau dibeli lagi?”

“Sepertinya sudah semua, Tuan.”

Mereka kembali mengayunkan langkah, mendekati meja kasir berada. Satu persatu bahan tersebut diambil petugas hingga wanita berseragam tersebut menyebutkan nominal keseluruhan. Hampir tiga juta. Celine terkaget. Reflek tangannya menutup mulutnya yang menganga. Bagi Celine, uang segitu bisa dia habiskan untuk berbulan-bulan lamanya. Celine jarang berbelanja. Ia lebih sering mengambil sayur belakang rumah untuk di masak. Lauknya pun seadanya. Yang terkadang tempe, tahu atau ikan asin yang bisa dimasak untuk berkali-kali makan.

***

“Kalian masuk dulu, saya ada perlu sebentar,” ucap Aksara ketika Celine dan anaknya sudah duduk di mobil. Lelaki matang itu mengingat sesuatu yang belum dibelinya. 

“Baik, Tuan.” 

Celine tak berani menanyakan kepentingan majikannya. Meskipun sejujurnya, ia takut berada di mobil hanya berdua dengan Denim. Sifat katroknya itu, membuat ia takut kalau mendadak kendaraan roda empat itu berjalan sendiri tanpa ada yang memegang kemudi. Aplagi majikannya membiarkan mesin mobil dalam keadaan menyala. Belum lagi kalau ada orang yang berbuat kejahatan. Bukankah di kota rawan kriminal?

Cukup lama ia berdiam diri, dengan Denim yang terus dipangkuannya. Bibirnya tersenyum dengan anak asuhnya. Tapi, pikirannya terus berkelana. Sesekali ia menengok ke kanan kiri, mencari majikannya yang tak kunjung tiba.

“Dek Denim, jangan pegang ini! Kalau mobilnya jalan bagaimana?” tanya Celine dengan keringat sebiji jagung di dahinya. Padahal sesaat yang lalu, ia merasa AC nya kebesaran dan membuatnya kedinginan.

Pintu terbuka dan ia benar-benar dibuat terkejut. Jeritan dari bibir kecilnya, membuat Aksara panik.

“Ada apa, Celine?”

“Maaf, Tuan, saya kira maling. Saya takut di sini sendirian.”

“Saya maling?”

“Maaf, Tuan. Maksud saya bukan itu. Saya ….”

“Sudahlah. Ini ponsel untukmu,” ucap Aksara memberikan benda yang tadi diibelinya. Ya, Aksara memberikan sebuah android untuk babysitternya tersebut. Dengan benda itu, dia bisa mengontrol keadaan Denim ketika dia sedang bekerja. 

“Po-ponsel, Tuan?” tanya Celine tergagap.

“Iya, ambillah!” perintah Aksara dengan tangan yang terus menggantung. Gadis itu belum berani untuk menerimanya.

“Kenapa? Kamu gak suka? Mau ditukar sama yang lain?”

“Bukan begitu, Tuan. Tapi, berapa potongan gaji saya untuk membayar ponsel tersebut?” Gadis itu menggigit bibir bawahnya. Ia resah. Ia ketakutan akan angsuran yang akan melilitnya nanti. 

“Ini gratis.”

Celine kesusahan meneguk salivanya sendiri, mendadak kerongkonan terasa mengering, “Gratis.”

“Iya, dengan begitu saya tak akan kesusahan saat video call nantinya.”

“Video call?”

“Maksud saya video call dengan denim saat saya tinggal bekerja.”

“Tapi saya tidak enak, Tuan. Saya baru sehari bekerja. Saya belum berbuat banyak untuk Tuan dan Dek Denim. Tapi, saya justru selalu merepotkan. Saya tidur di kamar besar yang mewah. Saya ikut minum teh. Saya ikut makan di rumah tuan, dan kini …. Tidak-tidak, saya tidak bisa menerima ponsel itu,” ucap Celine melambaikan tangan.

“Ambillah!Atau mau saya pecat,” ucap Aksara yang memegang tangan kanan Celine. Diletakkannya ponsel tersebut ke tangan gadis itu.

“Tapi, Tuan.” 

Tangan Celine yang gemetar membuat Aksara terkekeh. Baru kali ini, ia mendapati gadis lugu seperti Celine. Gadis yang diam-diam mencuri hatinya.

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Celine (Babysitter Kesayangan Tuan Aksara) bab 6-7
1
0
Kisah bucin dengan genre roman. Happy Reading….
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan