Bos arogan itu Mantan Pacarku (bab 1-5) gratis

0
0
Deskripsi

Hidup itu seperti roda yang berputar, jika dulu aku di atas, tidak untuk sekarang. 

Semesta tak memberiku waktu lebih lama. Hingga aku kembali dipertemukan dengan mantan yang dulu aku campakkan, dan kini menjadi bos tempat aku bekerja. 

Bos arogan yang tengah balas dendam.

Bab. 1

Aku menatap ruang kepala itu dengan penuh

rasa harap. Berharap pemimpin perusahaan ini bersedia menerimaku jadi sekertaris untuknya. 

Mengingat bagaimana kesehatan ibu di rumah serta biaya sekolah Alisa yang menunggak, aku tak ingin gagal dalam peluang ini. 

Kembali kuperhatikan tubuhku dari bawah, memakai sepatu hitam bekas, yang kugunakan saat menjadi SPG kala itu, memakai atasan casual terbaik dan celana kain warna hitam. Kuambil nafas panjang, agar rasa grogi ini mulai memudar. 

“Vi, kamu bisa!”

Aku menyemangati diriku sendiri, sambil memejamkan mata. Tiba-tiba ucapan Pak De ku kala itu menghantui pikiran, ia salah satu staf di sini. 

“Vi, bos ku lagi butuh sekertaris untuknya. Gajinya lumayan, lebih dari cukup untuk sekedar biaya berobat dan cuci darah ibumu, termasuk juga biaya sekolah adikmu. Apa kamu tertarik? Cuma ya itu ...” Sejenak pak De terdiam.

“Kenapa, Pak De?”

“Dia arogan dan suka marah-marah, sudah sebulan ini ia ganti sekertaris 3kali, mereka gak kuat dengan hinaan dari Pak kepala.”

“Hinaan seburuk apapun itu. Aku yakin aku sanggup, De!”

Aku membuang nafas kasar, lalu berjalan mendekat, kuketuk pintu itu perlahan, hingga terdengar suara dari dalam mempersilahkan masuk.

Kuputar gagang pintu itu, sambil menarik nafas panjang, lalu masuk ke dalam ruangan yang cukup besar ini. Ruangan ini begitu dingin, bahkan ketika kaki ini masuk, kurasakan hembusan mengenai tulangku. Aku mencoba fokus dengan pandangan yang hanya tertuju kepada bapak direktur. Ia masih duduk di kursinya dengan tatapan tajam ke buku yang dipegangnya, sama sekali tak menoleh ke arahku sedikitpun. 

“Silahkan duduk.”

Aku menurut, menjatuhkan tubuhku di atas kursi di depan pak kepala. Pandanganku terus fokus ke arahnya, meskipun pandangan matanya tak pernah berpaling dari buku yang dipegang.

“Namamu siapa?”

“Vivian, Pak,” jawabku pasti. 

Meskipun degupan jantungku begitu cepat, ditambah aliran darahku yang mengalir lebih kencang dari biasanya, aku mencoba setenang mungkin, menutupi rasa grogi dengan jawaban yang tegas. 

“Apa niatmu mencari kerja di sini?” 

“Saya mencari uang,” jawabku simpel tanpa bertele-tele. Dapat bocoran dari Pak De, pak kepala sukanya to do point’ dan paling malas meladeni karyawan yang terlalu bertele.

Lelaki bertubuh sempurna itu, kini melepas bukunya, mengarahkan pandangan ke arahku.

“Reynan,” ucapku lirih yang nyaris tak terdengar, hanya gerakan bibir saja yang membentuk nama tersebut. 

Lain halnya dengan aku, Reynan tak terkejut sama sekali melihatku. Dia hanya tersenyum miring menatapku. 

“Vivian Diandra, sungguh kehormatan kamu mau mencari pekerjaan di sini.”

Reynan bertepuk tangan, dengan tatapan penuh benci. 

Bayangan tentang lima tahun lalu berputar begitu saja di otakku.

“Vi, aku gak mau berpisah denganmu. Aku tidak sanggup jika harus melupakanmu, tak akan pernah bisa, tak akan pernah mampu.”

Tanpa rasa peduli, dan belas kasihan, aku meninggalkannya begitu saja

 Bahkan tanpa ada penjelasan sama sekali.

“Masih ingat aku, Vivian?” tanya Reynan yang kini bangkit dari duduknya, perlahan ia melangkah maju dan mendekat, tatapannya terus fokus ke arahku, dengan pandangan tajam penuh murka.

“Masih, Pak!” 

Aku meneguk salivaku, kini kurasakan kerongkongan mengering bersamaan dengan kerja jantung yang memompa lebih cepat. AC yang tadinya terasa dingin saat pertama kali aku masuk, kini tak lagi kurasakan, justru peluh di dahiku semakin bermunculan.

“Salut kepada keberanianmu yang masih duduk di sini.”

Ia kembali tersenyum sinis sambil memicingkan alisnya. Wajah oriental jelas terlihat dengan rahang tegas yang terus menatapku dengan tajam.

“Saya butuh pekerjaan, Pak!”

“Dan saya menolak kamu.”

Ucapan tegas dari lelaki di depanku benar-benar membuat duniaku hancur, peluang besar yang begitu kuimpikan ini tak mungkin bisa ku lepas begitu saja. Bayangan ibu dan Alisa yang menungguku pulang penuh harap, tak mungkin aku mengecewakannya kembali untuk kesekian kalinya.

“Saya lulus seleksi dari HRD, tidak mungkin kamu bisa menolak begitu saja, Rey. Eh maaf, Pak!”

“Saya direktur di tempat ini, dan saya memiliki hak penuh untuk memilih siapa staf saya, apalagi asisten saya.”

“Saya mohon, Pak! Sebagai atasan bijaklah dalam mengambil keputusan. Bukan berdasar pada masalah pribadi.”

“Siapa kamu atur saya? Ha?”

Reynan membuang muka, lalu berdiri membelakangiku.

“Ini tak adil untuk saya, Pak!”

“Lalu yang kamu lakukan lima tahun lalu, adil untuk saya? Pergi begitu saja tanpa penjelasan yang berarti.”

Aku hanya terdiam, memandang punggung gagah yang terbalut jas hitam mahal. Harta mampu merubah segalanya, termasuk hati. Reynan yang dulu lembut dan penyayang ternyata bisa berubah begitu berbeda dalam waktu singkat.

“Angkat kaki sekarang juga dari ruanganku. Pintu keluar masih berada di tempat yang sama.”

Reynan duduk di meja kerjanya sambil menunjuk pintu, tanpa menatapku sama sekali.

Bayangan Ibu dan Alisa terus berada di pikiranku. Melihat kondisi ibu yang mulai melemah dan membutuhkan cuci darah. Aku tak mampu jika pulang dengan harapan kosong.

“Aku mohon, Pak. Terima saya di perusahaan bapak. Saya siap dengan hinaan dan perkataan kasar bapak, apapun itu. Saya bersedia.”

Aku duduk bersimpuh di depannya, dengan tangan yang meraih sepatu mengkilat miliknya.

Reynan tampak terkejut, hingga akhirnya ia terlihat menikmati pemandangan di depannya. 

“Sejak kapan kamu kehilangan harga dirimu, Vi? Mana harga diri yang dari dulu kamu agung-agungkan itu?”

Aku hanya diam, tak peduli berapapun kata umpatan yang keluar dari bibirnya. Aku hanya ingin pekerjaan ini, dan segera membawa ibu ke rumah sakit. 

“Baiklah, sepertinya menarik juga tawaranmu. Aku terima kamu.”

“Terima kasih, Pak!” kusunggingkan senyumku, dan pamit berlalu. 

Berjalan perlahan ke luar dari ruangan dengan hati yang bahagia. Tergambar jelas senyum ibu dan Alisa yang akan mendengar, aku diterima di perusahaan ini.

“Tunggu, Viv.”

Aku menengok ke belakang dan menundukkan sedikit kepala.

“Iya, Pak.”

“Jangan pernah lagi bersujud kepada siapapun!”

------------

Ada yang pernah senasib?

 

 

Bab. 2

 

“Bagaimana hasil tes wawancaranya, Kak? Apa diterima?” Alisa yang duduk di sebelah ibu menatapku dengan mata berbinar.

“Iya. Bagaimana, Nduk?” tanya ibu yang ikut bersuara dengan nada pelan.

“Menurut kalian?” Aku mengangkat alis ke atas sambil tersenyum.

“Diterima, Kak?” jawab Alisa sambil memelukku.

“Alhamdulillah.” Ibu menangkupkan tangan di wajahnya. 

“Bosnya gimana, Kak? Beneran galak? Kakak dimaki?” pertanyaan Alisa sontak membuat kening ibu berkerut, pasalnya wanita yang telah melahirkan kami itu tak mendengar percakapan antara aku dan Pak De. Setahu beliau, aku hanya sedang ikut wawancara di perusahaan besar.

“Biasa aja. Lagian siapa yang bisa menolak pesona Vivian Diandra.”

Aku tersenyum simpul, mencoba menutupi kenyataan. Bagaimanapun aku kedepannya, hinaan seberat apapun, aku pasti sanggup. Ada ibu dan Alisa yang begitu membutuhkan.

Tersungging senyum di bibir ibu, hingga akhirnya kita berpelukan bersama, sepeti kartun teletubies. Sayang, semua tak lagi lengkap setelah bapak meninggal. Serangan jantung merenggut nyawanya sesaat setelah mendengar berita tentangku saat itu.

“Kak Viv, kamu nangis?”

Alisa tampak menyadari kesedihan ini, meskipun sekuat tenaga aku telah membendung pertahanan agar air mata tidak luruh. 

“Enggak. Kakak cuman bahagia, nantinya kita bisa makan enak lagi, seperti saat masih ada bapak.”

Ibu tersenyum, begitupun dengan Alisa, kami kembali berpelukan dengan air mata haru. 

**

“Sempurna, Vi. Semangat.” Aku menatap tubuhku dalam cermin usang yang tertempel di almari kamar, wanita dengan rambut rapi mengenakan kemeja putih dan celana coklat itu tengah tersenyum, ada binar dimatanya, untuk menutupi ekspresi kesedihan.

 Cukup aku yang menderita, tidak untuk ibu dan adikku. Itulah prinsip yang kupegang teguh saat ini. Bagaimanapun juga aku ingin memberikan mereka kebahagiaan untuk mereka. Tak peduli seberapa terjal jalan yang kutempuh, selama jalan itu bisa dilalui, akan aku terjang.

“Kak Viv, kamu cantik sekali!” ucap Alisa sesaat setelah menyibak korden yang terpasang di celah pintu. 

Untuk sekedar memperbaiki pintu yang rusak pun tak mampu, hingga gorden berwarna hijau dengan motif bunga menjadi jalan ninja, menjadi sekat antara kamarku dengan ruang lain. 

“Terima kasih, Sa.”

“Kak, yang kemarin itu ...”

Alis terdiam, dan kini menunduk.

“Iya. Kemarin kenapa?”

“Kakak bohong kan? Kakak pasti dihina oleh bos kakak?”

“Kata siapa?”

“Aku melihat sendiri saat kakak diantar Abang ojek pulang, menyeka sudut mata kakak.”

“Itu air mata haru kali, Sa.” Aku masih mencoba menutupi kenyataan. 

“Aku kenal kak Viv, tidak sebentar. Mungkin ibu masih bisa kakak bohongi, tapi tidak dengan Lisa.”

Gadis kecil itu menghambur dipelukanku. Direngkuhnya tubuhku begitu erat. Aku dongakkan wajahnya, ada air di sudut mata indah itu.

“Kenapa kakak gak biarin Alis putus sekolah saja, Alis bisa kerja dan bantu pengobatan ibu.”

“Kamu masih kecil, Sa. Kamu tamatin dulu sekolah menengah atasmu, kan sayang tinggal setahun lagi.”

“Kak Viv terlalu banyak berkorban untuk Lisa, makasih banyak ya!” Alisa kembali memelukku erat hingga akhirnya suara motor pak De terdengar. Bergegas aku pamit dengan adik kecilku, serta kepada, kucium tangan ibu yang menua dengan penuh rasa khidmat, dan kudapati banyak doa yang keluar dari bibirnya. 

Aku naik motor diboncengkan Pak De, menyusuri jalan kota yang padat kendaraan melintas. Kantor yang berada di pusat keramaian, tak mungkin bisa menghindari kemacetan. 

“Semangat ya, Viv!” Pak De yang berumur 20 tahun diatasku itu memberikan semangat, ia masuk ke dalam ruangannya yang berada di lantai bawah, sedangkan aku masih harus naik ke lantai 3 untuk mendapati meja tempatku kerja. Berada tepat di ruangan Reynan. Maksudku Pak Renan, dan aku harus membiasakan memanggil itu. 

Kutekan tombol lift agar membuka, jarum jam yang melingkari lenganku seakan tak memberiku waktu lebih lama untuk menunggu. 

Grekk ...

Pintu terbuka, dan kuayunkan langkah untuk masuk. Aku sedikit tersentak ketika terdengar suara langkah dikuti bahuku yang tersenggol, hingga aku sedikit kehilangan keseimbangan hingga hampir terjatuh. Lelaki itu tampak tak peduli, dan masuk lift begitu saja, dan aku hanya mengekori dan ikut masuk ke dalamnya.

Tak ada percakapan, maupun sapaan. Sama seperti orang asinh yang saling tak mengenal satu sama lain, kedekatan selama 2tahun sebagai sepasang kekasih tak berarti sama sekali. 

Pintu terbuka, dan kudapati beberapa staf yang hendak masuk ke lift menundukkan tubuhnya hormat ketika melihat Reynan hendak lewat. Sedangkan lelaki di sebelahku, tampak tak peduli sama sekali, jangankan menjawab atau senyum, menengok ke arah mereka pun enggak. Ia terus berjalan lurus seakan tak pernah ada orang di sekitarnya. 

Aku terus mengekori, karena ruangan kita melewati koridor yang sama. Di sepanjang perjalanan kulihat staf saling tunduk hormat ketika Reynan lewat dan lagi-lagi lelaki di depanku, seperti tak melihat itu semua. 

“Kamu terlambat 15 menit. Harusnya gajimu dipotong 10%.”

Aku ternganga, kulihat jam yang melingkari lenganku. Aku hadir tepat waktu, hanya berlebih sekitar 30 detik, dan Reynan menganggapku terlambat 15menit. Lalu apa yang aku dengar tadi? Gajiku dipotong? 10%?

Mulutku menganga, dengan pikiran yang terus terusik.

“Tapi, Pak. Ini masih jam ....”

“Kamu sekertaris ku, merangkap jadi asistenku. Jadi kamu harus berangkat 15menit lebih awal dariku. Kamu paham?”

“Tapi, Pak!”

“Paham atau saya pecat sekarang juga?”

“Paham, Pak!”

“Bagus. Siapkan jadwal ku hari ini, ingat ada peresmian kantor cabang baru yang harus aku kunjungi.”

“Baik, Pak.”

Lelaki super arogan itu melengkah hendak masuk ke ruangannya. Hingga sepersekian detik menoleh ke belakang. “Kamu juga harus menunduk hormat ketika aku lewat, tak ada perkecualian.”

“Baik, Pak.”

Lelaki itu kembali menoleh, hingga punggung kekar terbalut jas itu tak lagi terlihat. 

Aku duduk di kursi tempatku kerja, menarik nafas panjang yang tadi sempat tertahan

 Tak pernah ku bayangkan menjadi assten dari Reyhan, dan terus dijadikan kacung olehnya. 

Memori jaman sekolah kembali terlintas begitu saja.

“Viv, ini bakso pangsit yang kamu minta, tanpa daun bawang, tanpa sambal dan saos, kuahnya diberi sedikit lebih banyak. Persis seperti pintamu.” Reynan berjalan mendekat, membawa sebuah mangkok berisi bakso yang kupesan, seulas senyum mengembang indah di bibirnya.

Aku melirik ke arah bakso yang diletakkan di atas meja di depanku. Senyum kecut dan membuang pandangan. “Aku dah gak pengen, terlalu lama. Gak lapar.” Kumanyunkan bibirku khas wanita ngambek.

“Viv, kan memang antri belinya. Lihat saja kantin penuh, Sayang.”

Aku menatap jejeran para siswa itu mengantri hanya untuk mendapatkan bakso pangsit Mang Herman, bakso buatannya memang terkenal lebih enak dari para penjual kantin lainnya. 

“Gak peduli. Aku pengennya tadi, sekarang sudah gak pengen.” 

Aku bangkit, dan meninggalkan Reynan yang terus menatapku. 

“Kerja itu fokus. Jangan melamun.”

Aku terkejut ketika terdengar gebrakan di atas meja di depanku. Seorang lelaki tengah berdiri menatapku dengan murka, wajah dan telinga memerah penuh amarah. 

🥀🥀🥀🥀

 

 

Bab. 3

“Pak Reynan,” ucapku lirih dan bangkit dari tempat dudukku. Aku menundukkan tubuhku dengan hormat. 

“Aku membayarmu bukan untuk melamun,” teriaknya dengan suara yang menggelegar. Terlihat para staf lain menatap kami, karena sekat antara ruang ini dengan staf lainnya adalah dinding kaca. Dan ketika Reynan menoleh, mereka kembali sok sibuk dengan pekerjaan masing-masing. 

“Ma-maaf, Pak!”

“Mana jadwal yang aku minta?” tanya Reynan sambil mengarahkan tangan ke arahku.

Mati aku, aku belum menyiapkan apapun, bahkan untuk menyalakan laptop di depanku pun belum. 

Aku menggigit bibir bawahku, dengan tangan yang terus mengucek ujung kemeja yang kupakai. 

“Belum siap, Pak!” jawabku ragu. 

“Belum siap?” 

Terdengar kembali gebrakan meja, yang membuat para staf kembali menoleh, dan lagi ketika Reynan menatap ke arah mereka, para staf kembali sibuk dengan pekerjaan masing-masing. 

“Kamu tak pernah berubah. Selalu menganggap keperluan orang lain itu tidak penting,” ucapnya dengan ketus. 

Ia kembali mengingatkan masa di mana aku masih menjalin hubungan dengannya, masa abu-abu dan berlanjut di bangku kuliah semester empat. Cukup lama memang kita menjalin hubungan.

“Jam 8 aku ada klien penting, pastikan semua data yang disajikan tampil sempurna. Setelah itu kita kunjungi cabang baru perusahaan ini.”

Aku mengangguk mengerti. 

Pukul delapan berjalan lebih cepat, untung saja data-data sudah aku cek dan semua sudah tertata rapi, hanya tinggal presentasi saja.

Semua berkumpul dalam satu ruang, di mana meja besar melingkar itu menjadi meja bersama kami, sedang aku duduk tak jauh dari Reynan berada, menatap ke laptop yang terhubung langsung ke papan, untuk menampilkan slide demi slide dalam presentasi. 

 Rapat pun berjalan begitu lancar, klien Reynan begitu antusias dan tertarik bekerja sama dengan perusahaan ini, terlihat senyum indah tersungging di bibir Reynan. Senyum tulus, yang baru kujumpai setelah 5 tahun ini. 

“Syukur semua berjalan lancar ya, Pak!” ucapku saat memasuki lift bersama.

Mencoba memecah kebisuan yang terjalin sangat lama.

“Jangan sok akrab, kita itu beda kasta” jawabnya ketus sambil memperhatikan jam yang melingkari lengannya. 

Aku kembali mengingat memori masa lalu. Dimana bapak masih berjaya dengan perusahaannya, apapun yang aku mau, pasti bisa kumiliki. Ditambah dengan parasku yang cantik di atas rata-rata, membuat semua kaum bernama lelaki bertekuk lutut kepadaku. 

Sifat Aroganku mulai muncul, aku juga lebih memilih-milih teman, semua kugolongkan dengan kasta masing-masing, dimana aku tak mau berhubungan dengan kasta di bawahku, terkecuali Reynan. Ya, aku sendiri tak tahu alasannya, kenapa aku bisa menjalin hubungan lelaki berwajah oriental itu 

“Ma-maaf, Pak.”

Aku menunduk hormat, lalu berjalan mengekori ia menuju parkiran gedung besar ini. 

“Bapak gak bawa supir?” tanyaku ketika ia membuka pintu mobil depan. 

“Bukan urusanmu.”

Aku mengikuti ia yang masuk mobil. Duduk di jok belakang dengan pandangan lurus mengarah ke jalan. 

“Viv, aku bukan supirmu,” bentak Reynan dengan pandangan lurus ke depan. Tanpa menoleh ke belakang sedikitpun.

“Ma-maaf, Pak.” 

Aku  keluar mobil, dan masuk jok depan, sejajar dengan Reynan. Mungkin kebiasaanku dari dulu yang menjadi orang kaya bak putri raja, hingga terbiasa duduk di belakang, dan tak ingin sejajar dengan kasta di bawahku.

Reynan tampak menginjak gas mobil hingga kendaraan roda empat ini perlahan berjalan. Tak ada percakapan, tak ada musik yang terdengar, hanya bisu dan saling menghadap ke depan dengan pikiran masing-masing. 

Sedikit kulirik ke arahnya. Lelaki bertubuh kekar dengan tangan kokoh itu memegang kemudi tampak serius menatap jalanan, jas hitam dan jam mahal yang melingkari lengannya seakan menjadi pertanda kalau ia naik ke kasta tertinggi. Berbeda denganku, yang kini di titik terendah. Bahkan untuk sekedar makan sehari-hari pun kami harus berhemat. Semesta tak lagi berpihak , sifat arogan, posesif, tak mau mengalah, kini harus berbanding terbalik dengan sifatku yang sekarang. Bahkan harga diri yang selalu ku junjung tinggi di atas segalanya, harus kalah dengan namanya uang.

Lalu bagaimana Reynan bisa mencapai di posisi ini? Setahu aku dia bukanlah orang kaya, dia kasta menengah, yang mendapatkan kehormatan bisa mengenalku. 

Sejam, dua jam, waktu terus berjalan. Namun, selama itu juga kami terus terdiam tanpa ada sepatah katapun terucap dari bibir kami. Kurasakan perut mulai melilit karena tadi tidak sempat sarapan, lebih tepatnya menunda sarapan karena memang keterbatasan uang belanja. 

Tiba-tiba laju mobil berhenti di sebuah gedung besar dengan banyak orang yang saling berkumpul, karpet merah menyambut, Reynan turun dan berjalan begitu saja, sedangkan aku yang belum siap, sedikit tergopoh untuk mengikuti. Berjalan sedemikian rupa, berharap sepatu yang mulai jebol di salah satu sisinya tak semakin parah rusaknya. Tidak etis juga kan ada drama sepatu rusak di acara penting seperti ini. 

Semua menunduk hormat ketika Reynan lewat, lalu jalannya terhenti ketika berada tepat di depan pita merah bersimpul kupu-kupu. Seorang lelaki paruh baya berjabat tangan dan memberikan sebuah gunting yang dihias indah, dan beberapa menit kemudian pita tersebut terputus oleh gunting yang dipegang bos aroganku. 

Tepuk tangan meriah terdengar, begitupun aku yang turut menyumbang suara dengan kedua tanganku. Senyum tersungging di bibir masing-masing tak terkecuali dengan Reynan. Seorang CEO muda yang memiliki beberapa cabang di beberapa kota.

Sebentar saja kita di tempat ini, setelah acara peresmian dan sambutan-sambutan. Kami harus kembali ke kantor, ada banyak list yang menunggu untuk dikerjakan, dan seperti biasanya aku harus mengekori lelaki di depanku. 

Duduk bersama tanpa obrolan sama sekali, membuat cacing di perut semakin kepanasan meminta jatah, tak mungkin juga aku meminta bos Aroganku ini untuk berhenti sejenak dan menungguku makan. 

Tak selang lama, Reynan menoleh ketika mendengar perutku berbunyi. 

Sedikit ia melirik ke arahku, lalu kembali fokus menatap jalan.  “Kamu lapar, Viv?”

“Iya, Pak. Maaf.”

Beberapa saat ia terdiam. Namun, tak ada tanda-tanda ia berhenti untuk mengisi perut. 

“Tasku di jok belakang, ambillah. Ada roti yang bisa kamu makan.”

Aku terpaku. Benarkah? Sedingin apapun Reynan, ia ternyata masih memiliki sosok hangat. 

Bergegas kuraih tas hitam miliknya, merk mahal di sudut benda itu membuatku terus ternganga. Dari mana Reynan bisa berubah secepat ini? 

“Ini, Pak. Tas nya.”

“Buka saja.”

Aku membuka resleting tas, dan terdapat banyak tumpukan berkas di dalamnya, hingga akhirnya mataku tertuju kepada sebuah roti yang bertuliskan salah satu merk terkenal. Mataku berbinar, bahkan sudah kubayangkan bagaimana roti pisang itu terasa lembut di mulutku. 

“Pak, ini kenapa ada bekas gigitan?” Aku menatap roti yang kini kupegang, roti sisa dengan sedikit bekas gigitan. 

“Hanya berkurang sedikit, yang penting bisa mengganjal perutmu.”

“Tapi, Pak. Ini si – sisa,” ucapku ragu.

“Bukankah dulu aku selalu makan sisamu? Lalu, kenapa? Kamu tidak mau makan bekasku?”

____

 

 

 

Bab. 4

“Tapi, Pak. Ini si – sisa,” ucapku ragu.

“Bukankah dulu aku selalu makan sisamu? Lalu, kenapa? Kamu tidak mau makan bekasku?”

Dengan ragu akhirnya aku memakannya, setidaknya roti pisang coklat ini sedikit mengenyangkan ku. Ditambah lagi aroma wangi roti yang menguar di indraku, seakan merayuku untuk lekas memakannya. 

“Terima kasih, Pak!” ucapku.

Tak pernah kusangka, aku mengucapkan terima kasih hanya karena roti sisa. Dimana harga diriku dulu?

Reynan menatap ke arahku, lalu tersimpul senyum tipis di bibirnya. 

Ya, aku tahu kali ini dia balas dendam, tapi biarlah, prioritas utamaku adalah kesembuhan ibu dan sekolah Alisa. Bagaimanapun aku harus kuat. 

Reynan membuka mobil dan berlalu seperti biasa, menyisakan aku yang tergopoh belum siap ke luar. Kuambil tas kecil milikku, serta stopmap yang berisi data-data penting yang harus kukerjakan. 

“Selamat sore, Pak!”

“Selamat sore, Pak!” 

Salam terus terdengar ketika Reynan melewati para staf, dan lagi-lagi dengan angkuhnya ia tak membalas. Bahkan sekedar menolehpun tidak. 

“Viv, kerjaanku sudah selesai. Ayo kita pulang.”

Aku bertemu dengan Pak De saat dilantai bawah, sudah berkemas dengan menenteng tas di tangannya.

“Kerjaanku masih banyak, De. Masih banyak laporan yang belum selesai, dan besok harus sudah tersaji untuk Pak Reynan.”

Pak De terdiam.

“De, pulang saja dulu. Nanti Vivi bisa pulang lewat ojol.”

“Kamu gak papa pulang sendiri?”

“Gak papalah, de. Vivian kan sudah gede.”

“Lalu kamu punya uang untuk membayarnya?”

Aku terdiam, kembali mengingat berapa isi dompetku saat ini. 20ribu, dan itu rencananya pun mau kubelikan mie instan untuk malam.

“Ini, nanti untuk bayar ojolnya,” ucap Pak De sambil memberikan uang selembar 100ribuan.

“Tapi, De.”

“Gak usah sungkan. Anggap saja kamu pinjam, kalau punya uang lebih bisa dikembalikan. Pak De ada acara sama anak-anak, jadi maaf tidak bisa menunggumu.”

“Gak apa, De. Bantuan pak De selama ini lebih dari cukup.”

Akhirnya kuterima selembar uang itu, dan berjanji akan mengembalikannya saat gajian nanti. 

Kurasakan getaran dalam saku celanaku, bergegas aku meraihnya, dan mendapati nama bos arogan masuk dalam tampilan depanku.

“Bentar, De. Vivian angkat telfon dulu.”

Pak De mengangguk, lali aku menggeser layar yang kupegang. 

“Hal ...”

“Kemana saja, Viv? Aku butuh laporan data darimu. Jangan ninggalin meja kerja tanpa alasan jelas,” terdengar bentakan dari ponselku, hingga tak sadar aku menjauhkan benda tersebut dari telinga.

“Sudah, sana kembali ke mejamu,” ucap Pak De yang sepertinya memahami. 

Aku langsung berjalan cepat menuju lift, bergegas kembali ke meja kerjaku. 

Aku mengernyitkan dahi ketika mendapati Reynan duduk di atas mejaku dengan wajah masam, diketuknya pensil yang ia pegang ke meja yang diduduki, seirama dengan detikan jam yang berjalan. 

“Kamu terlambat 3menit 48detik. Harusnya dari lantai bawah dan naik kesini itu membutuhkan 5menit, jika naik tangga 10 menit, dan sekarang waktu berjalan hingga 13 menit 48detik.”

Aku mendelik kearahnya, hanya terlambat waktu sekian menit saja menjadi masalah. 

“Aku ini bos, Viv. Bisa tidak  lebih sopan sedikit.”

“Ma-maaf, Pak!” ucapku sambil menunduk hormat.

“Bagus. Jangan ulangi lagi.”

“Tapi, Pak. Boleh tidak saya ijin untuk ...!”

“Tidak boleh. Selesaikan tugasmu baru boleh ijin. Aku menunggu laporannya 10 menit dari sekarang. Kutunggu di ruanganku.”

Lelaki arogan itu berlalu begitu saja.

Kusentuh perutku yang semakin perih. “Sabar ya, Cing. Nanti kalau laporan sudah selesai kuisi lagi perut kalian. Jangan nakal di sana,” ucapku sambil mengelus perut. Berharap parasit di perutku itu mau kuajak berkompromi. 

Sesaat kemudian, laporan telah selesai. Tak terlalu lama memang, karena aplikasi yang dipakai perusahaan cukup membantu, hanya perlu mengecek saja agar data pasiva dan aktiva imbang. 

Kubuka sedikit gorden di sisiku, mentari telah berlalu, hingga bintang kembali menebar cahayanya. 

Sruut...

Terdengar printer yang usai bekerja, sebuah kertas berisi data itu keluar darinya. Bergegas kuambil kertas tersebut dan kusatukn dengan beberapa data yang lain, memasukkan ke dalam map dan berlalu menuju ke ruang Pak bos Aroganku. 

“Telat 12 detik,” ucap Reynan saat kakiku menginjak ruangannya.

Ia berdiri di depan meja dengan mata yang terpaku dengan jam tangan yang melingkar di lengan kekarnya. Apa ia tidak memiliki tugas selain menatap detikan jam yang berjalan.

“Ma-maaf, Pak,” ucapku sambil menunduk.

Sebenarnya jengkel juga berada di posisi ini, tapi bagaimanapun aku harus kuat, ada ibu dan Alisa dirumah dengan penuh harapan.

Reynan tampak mengangguk ketika melihat lembaran laporan yang kuterima, senyum indah mengembang di bibirnya. Keuangan kantor aman, dan pendapatan melejit, itulah sekilas data yang kulihat tadi. 

“Sepatumu kenapa, Viv?” 

Aku terperanjat ketika melihat sepatu yang kukenakan, jempol kaki keluar dari batasnya. Kututup wajahku malu, berada di kasta terendah memang menyebalkan. 

“Ma-maaf, Pak!”

“Kamu sengaja memakai sepatu rusak untuk memalukan perusahaan?”

“Tidak, Pak. Hanya ini sepatu yang kupunya,” jawabku ragu. 

Sungguh ada rasa sakit di hati, saat jujur tentang kekuranganku di depan orang lain. 

Reynan menatap heran, Lalu diambilnya beberapa lembar kertas uang dari dompetnya, dihamburkan begitu saja.

“Ambil itu, ini masih jam 8 malam, mall masih banyak yang buka.”

Mendapati penghinaan seperti ini terasa menyakitkan, harga diriku pergi bersamaan perginya bapak yang meninggalkanku. Bagaimanapun aku harus kuat.

“Baik, Pak!” Aku menunduk hormat, lalu mengambil uang yang berceceran di lantai. 

“Itu tidak gratis. Akan kupotong dari gajimu.”

_____&

 

 

Bab.5

Kuhitung lembaran uang ratusan itu, tepatnya ada 15 lembar, sangat lebih dari cukup jika aku gunakan membeli sepatu. 

Bergegas kuisi perut terlebih dulu, aku tak ingin sakit hanya karena telat makan, bagaimana nasib ibu dan Alisa? 

**

“Kak, larut sekali pulangnya?”

Alisa yang tengah duduk di kursi tamu itu bergegas bangkit setelah melihatku datang. 

Diterimanya martabak telur dan roti bakar yang sengaja kubelikan. Rasanya sudah lama sekali aku tidak jajan untuk mereka. 

“Ibu mana?”

“Sudah tidur, Kak.”

“Itu makan dulu, mumpung masih anget.”

Aku duduk di kursi sambil meletakkan tas dan kantong kresek yang berisi sepatu baru, menyelonjorkan kaki dan memijitnya perlahan.

“Mbak Vi capek?”

Alisa memasukkan potongan martabak itu ke mulutnya, hingga terlihat pipinya membulat, lalu menghampiriku. 

Ia duduk dibawah dan memegang kakiku, dipijitnya kaki itu dengan senyum yang mengembang.

“Gak usah, Sa. Kamu juga pasti capek ngurus ibu dan rumah. Kamu habisin aja dulu jajannya.”

Aku akui Alisa juga tak kalah capek dari aku. Biaya sekolahnya dibiayai karena prestasi, hingga dia wajib mempertahankan nilainya, hidupnya hanya dihabiskan untuk belajar dan mengurus ibu, tidak lupa urusan rumah dia yang memegang semua, karena aku lebih bnyak menghabiskan waktu di luaran mencari uang. 

“Kak Viv, apa sudah gajian? Masa iya kerja baru sehari sudah gajian?”

Aku tersenyum mendapati adikku yang kritis itu.

“Bukannya bos kakak juga arogan dan galak, gak mungkin juga kan dia seroyal ini? Atau jangan-jangan?”

Gadis kecil itu menutup mulutnya, yang justru membuatku tertawa. 

“Jangan pikiran enggak-enggak. Semiskin apapun kita, kakak gak mungkin jual diri.”

Gadis itu tersenyum. 

**

[ Viv, maaf hari ini kita gak bisa berangkat bareng. Pak De  pindah ke kantor cabang. ]

Mataku membulat sempurna ketika membaca pesan dari Pak De ku. Baru saja kemarin aku berpikir bisa mengirit transport, saat ini harus menambah anggaran bulanan. Kulihat jam di sudut ponselku, waktu sudah pukul 6 pagi. 

Bergegas kupercepat dandanku, tak banyak yang kupakai memang, hanya bedak dan lipstik, tanpa foundation, maskara, dan alat perang lainnya. 

“Kak, sudah mau berangkat? Pak De kan belum datang?” Alisa yang sedang menyiapkan makan untuk ibu menatapku heran. 

“Pak de pindah ke cabang, jadi Kakak harus berangkat awal dan nunggu angkutan.”

Bergegas kuraih tangan ibu yang sedang duduk dan menunggu makanan yang disiapkan Alisa, kukecup punggung tangan yang mulai mengerut itu, dan banyak doa keluar dari wanita yang telah melahirkanku. 

“Kak Viv, Alisa sudah siapkan bekal untuk kakak.”

Gadis kecil itu memberikan kotak makan kepadaku, lalu kubalas dengan senyuman. Diraihnya punggung tanganku dan diciumnya dengan khidmat. 

“Terima kasih.”

Kuusap lembut rambutnya lalu sedikit berlari menuju tepi jalan raya. 

Rumah yang berada di tengah kampung, membuatku harus berjalan sekitar 100m an untuk menjumpai jalan raya, disana lah aku baru menunggu kendaraan yang lewat. 

Dengan nafas yang terengah, aku menjulurkan tangan ketika sebuah angkutan datang. Menaiki kendaraan beroda empat itu, bersamaan para pengguna jasa angkutan yang lainnya. 

Betok, betok, betok

Suara ayam betina itu saling bersaut, menambah sesak di dalamnya. Salah satu dari pengguna jasa ini adalah penjual ayam, aku bahkan harus menutup sedikit hidungku agar bau khas binatang tersebut tak masuk indraku. Dari kecil aku memang kurang suka dengan binatang. 

Ponselku berdering, dan aku bergegas meraih benda tersebut di sakuku. Bos arogan tertulis di layarnya. Kuusap layar tersebut, hingga aku masuk ke dalam panggilanya.

“Selamat Pagi, pak.”

“Hari ini Santoso kupindah di cabang. Jangan telat, Viv. Ingatkan kalau telat gaji kupotong, ditambah lagi hutang yang baru saja kuberikan kemarin.”

Suara arogan dari lelaki itu, beserta tertawa puasnya membuat otakku mendidih. Sepertinya ia memang sengaja meminta Pak De pindah, tidak profesional sekali. 

“Saya pasti ingat dengan hutang saya, Pak Bos yang terhormat. Saya pasti bayar dan tidak mungkin melalaikannya.”

Aku matikan telfon begitu saja, lalu mengatur nafas yang tak karuan. 

“Pak berhenti.”

Roda mobil mulai berhenti perlahan, dan kuberikan ongkos sebelum aku turun. 

Kulihat jam yang melingkari lenganku, pukul 7 kurang 5 menit. 

Bergegas aku berlari dan ... Lift itu penuh, hingga akhirnya aku memilih tangg menjadi alternatif. 

“Lari pagi, Viv?” 

Lelaki bertubuh kekar dengan jas hitam itu tengah berdiri di depan meja menatapku. 

“Iya, Pak. Lumayan kan, gak perlu ikut gym.”

Lelaki itu tersenyum miring, menatap puas dengan wajah kelelahanku. Aku yakin bedak murahan yang kupakai saat inipun telah luntur bersamaan keringat yang terus mengalir.

Aku berjalan menuju mejaku, melewati tubuh Aroganku itu begitu saja. 

“Viv!” Matanya membulat menatapku

“Iya,” jawabku jengah.

Lelaki itu menutup hidungnya, sambil mengerutkan dahi.

“Viv, baumu!”

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Bos Arogan (6-8)
0
0
“Bersihkan ruanganku. Saat ini juga!”“Tapi, Pak. Bukankah itu tugas OB? Lagian ruangan bapak sudah bersih dibersihkan mereka.”“Aku tidak suka di sanggah, Viv. Lakukan sekarang juga atau kamu aku ....”
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan