Aku, istri kedua (bab 26-30)

2
0
Terkunci
Deskripsi

Terima kasih yang sudah mampir, barokallah. Semoga rejeki kalian semakin bertambah.

Happy reading …

6,128 kata

Dukung suporter dengan membuka akses karya

Pilih Tipe Dukunganmu

Karya
1 konten
Akses seumur hidup
50
Sudah mendukung? Login untuk mengakses
Selanjutnya Aku, istri kedua bab 31-35
0
0
Bab. 31Aku melihat ke jam dinding, pukul 05.30. sudah sepagi ini, pasti Mas Zul sudah ke toko. Kenapa ia tak menghampiri Zafran dan pamitan kepadaku? Apakah aku tak sepenting ini? Apakah setelah bermalaman di kamar Mbak Zahra membuatnya melupakan kami begitu saja?Seusai memandikan Zafran, aku membawa ia ke teras. Menikmati udara pagi sambil menunggu secercah kehangatan dari mentari pagi ini. Rumah tampak sepi, sedangkan belum juga aku mendengar suara atau melihat senyuman khas Mbak Zahra. Biasanya wanita cantik itu, menggantikan ku menggendong Zafran dan memintaku untuk sarapan. “Nduk, ibu berangkat pengajian dulu. Kamu tunggu rumah ya?”“Mbak Zahra di mana, Bu?” “Ia ikut Zul ke toko. Tokonya lagi ramai, jadi ia membantu di sana.”Ku cium punggung tangan ibu, sedangkan ibu membalas ciuman hangat ke Zafran. Membelai rambutnya sambil mengucap doa untuk anakku ini. Pantas saja Mbak Zahra tak terlihat, Mas Zul pun tak berpamitan. Ternyata mereka berangkat bersama. Aku melangkahkan kaki untuk masuk, bunyi perutku rasanya tak karuan menunggu asupan makanan yang hendak ku susulan kepada Zafran. “Aisyah,” Langkahku terhenti dan kembali menengok ke belakang. Lelaki seumuranku dan perpawakan tinggi itu berdiri tepat di depanku. Tangannya membawa sebuah tas besar.“Maaf, Mbak Zahra sedang tidak di rumah.” “Aku mau bertemu kamu, bukan Mbak Zahra,” jawab tegas lelaki itu.I “Maaf, suamiku tidak di rumah. Aku tak bisa menerima tamu laki-laki tanpa ijin beliau.” Aku hendak menutup rapat pintu ini, namun tangan kokoh itu menyekanya. “Beri aku sedikit waktu untuk bicara denganmu!”“Aku tak bisa.”“Aku punya rahasia yang harusnya kamu ketahui, ini tentang Mbak Zahra.” Aku tak mengindahkan ucapan lelaki itu, dan terus menutup pintu rumah. Hingga akhirnya ia menyerah dan terkunci di luar. “Maafkan aku, Aisyah. Aku berdosa kepadamu,” ucap lelaki itu dari luar pintu. Namun, masih jelas terdengar. Aku berlalu ke dapur, mencari makanan yang bisa ku makan. Ku ambil secentong nasi dari magiccom dan menaruh kuah sop di atasnya. Mbak Zahra memang baik sekali, baru saja kemarin aku bercerita ingin memakan kuah sop, hari ini ia memasak banyak untukku. Baru saja aku memakan sesuap, Zafran yang tadinya tertidur kini terbangun dan menangis.  Sesekali ia tampak mengejan, dan saat ku cek diapersnya. Benar saja anak lelaki ku itu sedang pup.‘Ya Allah, Ya Robbi, beginilah enaknya jadi emak-emak?’Aku membersihkan kotoran itu dan sudah ku ganti diapersnya. Zafran tampak tersenyum, memamerkan senyum ompongnya. Aku di buat bahagia oleh lelaki ku yang begitu menggemaskan. Hingga ku menyadari nasi yang bercampur kuah sop itu sudah tidak karuan. Rasanya sudah aneh. “Ya Hanana, ya Hanana,”Nada dering ponselku terdengar, aku melangkah ke kamar mengambil ponselku dengan Zafran terus di gendonganku. Mas Zulkifli, nama yang tertulis di dalamnya. Segera kuusap tombol hijau dari aplikasi itu. “Assalamualaikum,” suara Mas Zul terdengar sambil memamerkan senyum indahnya. Lelaki itu tampak begitu bahagia “Waalaikumsalam, ada apa Mas? Tumben pagi-pagi sudah video call.”“Aku kangen kalian berdua, Dek! Maaf tadi pagi aku tak pamitan. Aku takut membangunkanmu.” Aku menyunggingkan senyum. Ternyata tadi pagi suamiku ke kamar Aku memang bodoh jika terus suudzon kepada lelakiku sendiri.“Mas dapat orderan banyak hari ini, Alhamdulillah. Ini semua pasti rejeki untuk Zafran.” Aku terus tersenyum sambil menatap wajah teduh lelaki itu, matanya tampak bercahaya. “Alhamdulillah, Mas.” “Makan dulu, Mas.” Suara Mbak Zahra terdengar di ikuti Mas Zul yang membuka mulut dan di suapi Mbak Zahra. Kenapa lagi-lagi mereka memamerkan kemesraan kepadaku. Tidak ingatkah aku ada di sini? Sedangkan Mas Zul menyuapiku makan pun jarang, hanya dulu saat aku tengah hamil dan bedrest total.  Apakah sampai saat ini aku belum juga masuk dan menjadi bagian dari hati Mas Zul suamiku.’Ya Allah, berikan aku hati yang lapang bagai Padang Mahsyar mu dan luas seperti lautan, hingga aku tak akan terus tersakiti hanya karena rasa cemburuku.’Sampai sore tiba, aku hanya menghabiskan waktu bersama Zafran, tak sedikit pun aku meninggalkan anak lelaki itu. “Assalamualaikum, Nduk Aisyah ini bingkisan dari siapa? Kenapa di taruh di luar pintu?”Aku yang seusai memandikan Zafran kini menghampiri tubuh ibu. Ia membawa tas besar pemberian dari Randi. “Ini milik siapa? Kenapa di taruh di depan pintu.”Aku gagap untuk menjawab, tak mungkin aku bilang itu dari Randi, sedangkan posisi rumah sedang kosong. Takut ibu berpikiran yang tidak-tidak kepadaku. Aku menggeleng.“Sepertinya buat Zafran. Nduk. Ini ada kartu ucapannya.” Ibu antusias membuka bingkisan itu, terdapat beberapa stel pakaian, mainan bayi serta peralatan mandi.  Di dalamnya juga ada setangkai mawar. Apakah itu orang yang sama yang terus meneror ku dengan kiriman bunga waktu ke toko?  Artinya semua itu ... kiriman Randi.  Untung saja, ibu tak bertanya tentang mawar itu. Beliau terlalu antusias dengan pakaian Zafran yang lucu-lucu. “Kenapa tidak ada nama pengirimnya ya, Nduk?” tanya ibu sambil membolak balik kartu ucapan di dalamnya. “Enggak tahu, Bu!”“Kamu di rumah seharian kok bisa gak tahu, Nduk. Ya sudah ibu mau mandi dulu. Mau nimang Zafran,” ucap ibu sambil melenggang ke kamarnya. Sore telah berlalu, dan matahari meninggalkan sedikit sinar di ufuk barat. Aku terus memangku Zafran atas perintah ibu. Tidak boleh di taruh di kasur atau di letakkan di bawah, takut di ganggu makhluk tak kasat mata. Tak berapa lama sepasang kekasih itu tiba, membawa bingkisan di tangan Mbak Zahra. “Dek Aisyah, aku beli martabak telor kesukaanmu.” Ia memberikan tas kresek itu kepadaku dan kresek yang lain ke wanita yang telah melahirkan Mas Zul. Aku tersenyum senang, merasa di perhatikan keluarga sebaik mereka. “Tadi ada yang kirim kado buat Zafran. Tapi entah dari siapa,” ucap Ibu sambil mengunyah martabak telor. “Siapa, Dek?” tanya Mas Zul ke arahku. Aku menggeleng.Ibu mengambil tas yang di simpannya di sebelah tv.“Padahal kadonya berisi barang-barang mahal. Kenapa tidak di sebutkan namanya, ya?”Ibu mengeluarkan isi tas tersebut, memamerkan barang-barang yang ada di dalamnya. “Kenapa ada bunga mawar di sini? Apakah ia orang yang sama yang selalu mengirim bunga ke toko?” tanya Mas Zul penuh selidik.Aku hanya menggeleng. Berdusta kepada suamiku dengan apa yang terjadi kepadaku. Tak mungkin aku bilang itu semua dari Randi. Lelaki yang telah mengambil harga diriku setahun yang lalu. “Mungkin ia benar-benar fans , Dek Aisyah!” canda Mbak Zahra.“Apa? Fans? Jangan-jangan itu lelaki yang ...?” ucap Ibu yang kini menatapku dengan mata elang. “Yang apa, Bu?” tanya Mbak Zahra keheranan. “Iya, Aisyah dulu adalah wanita mu ....” Ucapan ibu terhenti ketika Mas Zul menutup bibirnya dengan jari manisnya. Memberikan kode kepada wanita yang telah melahirkannya itu untuk tak melanjutkan ucapannya.Aku tak berani memandang, hanya menunduk. Sepertinya ibu sudah tahu siapa aku sebenarnya, hanya belum berani untuk mengungkap. Karena itulah, perlakuannya kepadaku benar-benar berbeda.------_____--------Bab. 32 Aku tak berani memandang, hanya menunduk. Sepertinya ibu sudah tahu siapa aku sebenarnya, hanya belum berani untuk mengungkap. Karena itulah, perlakuannya kepadaku benar-benar berbeda.“Assalamualaikum,” terdengar salam dari balik pintu. Mbak Zahra segera membuka pintu utama itu. Sedangkan aku mengekori ya sambil menggendong Zafran.“Waalaikumsalam, Bude, Pak De kapan datang?” Terlihat Mbak Zahra mencium punggung tangan mereka. Aku menatap sepasang kekasih itu, mereka berpakaian begitu islami, hampir sama seperti Mbak Zahra dan Mas Zul. Hanya saja mereka terlihat lebih mapan dalam umurnya, bahkan sangat berwibawa. “Siapa, Nak?”  teriak ibu dari ruang keluarga. Ruang yang hanya di sekat dengan bupet itu membuat semua obrolan nyaris terdengar. Kini ibu dan Mas Zul pun ikut keluar, menyambut tamu yang tiba. Netraku membalak sempurna ketika lelaki di belakangnya tamoak. Ia tersenyum tak bersalah. “Perkenalkan ini Bu de dan Pak De,” ucap Mbak Zahra. “Aku tidak di perkenalkan, Mbak.” Randi berucap dengan gaya cengengesan seperti biasa.“Hayah, kamu sih sudah pada apal semua.”Tampak sepasang kekasih itu tersenyum melihat kelakuan anak dan keponakannya. “Kyai Maksum?” ibu menunduk memberikan hormat kepada mereka, dan mereka membalas dengan anggukan.Kyai Maksum? Nama itu seperti tidak asing. Kalau tidak salah nama itulah yang selalu tertampang di setiap pengajian. Ia sering berceramah dan melakukan syiar, bahkan sampai ke pelosok desa. Apakah Randi itu anaknya? Bagaimana mungkin? Ia tak memiliki sedikit pun sifat orang tuanya. Kepribadian mereka seperti saling bertolak belakang.“Maaf, bertamu malam-malam. Saya dengar dari Randi, Mbak Zahra  sedang memiliki keturunan. Jadi kita sekalian mampir “Mbak Zahra tampak tersipu, sepertinya ia malu mengakui kalau sebenarnya yang melahirkan adalah madunya, bukan dari kandungannya. “Alhamdulillah, Bude.”Ibu memintaku untuk mendekatkan Zafran kepada mereka, meminta barokah dari keluarga itu. Wanita  paruh baya itu tampak mengusap lembut ubun-ubun Zafran, sedangkan bibir pak De nya Mbak Zahra tampak bergerak mengucapkan doa. Di tiupnya di ubun-ubun anakku. “Astagfirullah, ada tamu kok tidak dipersilahkan duduk,” ucap Mas Zul. Kami baru menyadari jika dari tadi kami berbicara dengan berdiri. Aku duduk di dekat mereka, sedangkan Mbak Zahra berlalu ke dapur membuat minuman. “Maaf, saya ke sini dengan tangan kosong. Tadinya mau ke sini tadi pagi, berhubung ada jadwal dadakan tak bisa mampir. Hanya Randi yang mewakili.”Semua mata mengarah ke tubuh proporsional lelaki itu, sekarang mereka sudah menyadari kalau pengirim kado itu adalah Randi dan orang tuanya. Keluarga dari Mbak Zahra. “Tidak membawa apapun, saya mengucapkan banyak terima kasih. Terima kasih bersedia mampir di gubuk reyot kami, merupakan kebanggaan buat kami di datangi Kyai besar seperti Anda,” ucap ibu dengan senyum indahnya. Ibu seperti fans yang bertemu idolanya, tampak malu-malu dan terkadang terlihat salah tingkahMereka membalas dengan senyuman.Tak selang lama mereka pamit, karena jadwal pak De kembali mengisi pengajian di luar kota. Bahkan minuman yang di buat Mbak Zahra pun hanya di teguk sedikit tanpa di habiskan. Ibu tampak terpana melihat kyai besar seperti Kyai Maksum itu. Beliau sangat antusias menanyakan hal pribadi keluarga mereka lewat Mbak Zahra. “Kenapa tidak bilang kalau Kyai Maksum itu Pak De mu, Nak? Dia kyai besar Lo!”“Semua kyai itu sama kok, Bu. Niatnya cuman syiar, sama seperti yang di lakukan anak ibu.” Mbak Zahra memandang ke arah lelakinya.“Zul si ilmunya masih cetek, dia belum bisa berwibawa seperti beliau,”“Sama saja, Bu. Kalau menurut Zahra, justru Mas Zul lebih istimewa.” Mbak Zahra kembali menatap lelakinya, sedangkan pipi Mas Zul tampak memerah mendengar pujian dari belaian hatinya.Aku yang seperti pendengar sejati ini, segera masuk ke kamar dan mengasihi Zafran.“Aku masuk ya, Dek!” ucap Mas Zul sambil membuka daun pintu dengan pelan. Ia tahu betul kalau Zafran begitu peka, mendengar bunyi sedikit saja ia akan terbangun.Seperti biasanya, tiap kali masuk kamar ia mencium ujung kepalaku serta menghujani ciuman kepada Zafran. “Yang pelan, Mas. Kasihan kalau Zafran terbangun.”“Iya, Dek! Habis Mas gemas dengan bayi gemoy ini.” Zafran memang begitu menggemaskan, tubuhnya yang bulat dan tangan bak roti sobek itu membuat yang melihatnya ingin mencomot dirinya. Apalagi kalau dia tersenyum menampakkan gigi ompong dan lesung pipitnya. Gantenya melebihi artis-artis Korea di tv.Mas Zul tidur di sebelah Zafran, ya kami bertiga tidur di ranjang yang sama, lelaki kecilku itu tidur di tengah, agar Ayahnya bisa dengan mudah menatao para tampannya. “Dek, apa Ibu pernah bertanya sesuatu tentangmu?”Aku menggeleng.“Aoa ia pernah bertanya tentang masa lalumu?” Aku menggeleng. Mas Zul yang tadinya menghadap Zafran, kini terbaring menghadap langit-langit kamar. Ia seperti memikirkan sesuatu yang berat. “Memangnya ada apa, Mas?” tanyaku penasaran.Sebenarnya aku mengerti arah pembicaraan Mas Zul kepadaku. Semua tentang sikap ibu yang berubah, ia seperti memandangku sebelah mata. “Kalau di tanya ibu tentang ibu tentang masalalu mu, bicara lah yang baik-baik. “ “Aku tidak mungkin bisa bohong, Mas. Apalagi kepada ibu. Bukankah jujur lebih baik walau menyakitkan.”“Ibu itu gampang-gampang ssah, Dek! Aku gak mau kamu terus tersakiti dengan omongan ibu,”“Aku sudah biasa di maki, Mas. Bahkan itu sebelum aku mengenalmu.”“Aku mohon, Dek! Ini semua demi Zafran, anak kita.”Pembicaraan kami terus berlanjut hingga mata mulai terpejam. Seperti biasanya, ketika cahaya emas menerobos sekat jendela, aku menyiapkan perlengkapan mandi Zafran, sedangkan lelaki kecilku yang tengah terbangun itu sedang di oangku ayahnya. Mas Zul memang sengaja berangkat siang, ia rindu dengan buah hatinya dan ingin lebih lama bersamanya.Mataku menatap bingkisan kado dari Randi, aku kembali teringat dengan jumpsuit lucu bergambar dinosaurus. Ku buka tas itu dan mengeluarkan barang di dalamnya. “Dek, bukankah ada yang janggal dengan hadiah itu? “Aku menatap Mas Zul yang tampak keheranan.“Janggal bagaimana, Mas?”“jika itu dari Randi, lantas apa maksud mawar merah di dalamnya? Apa ada hubungan dengan mawar merah yang selalu di kirim ke toko? Semenjak kamu tidak lagi ke toko, kiriman itu sudah tak ada lagi.”“Sudahlah, Mas. Aku sendiri tidak tahu jawabannya. Aku juga belum tahu siapa yang mengirim mawar merah itu.”“Aku melihat pandangan Randi ke arahmu beda, Dek!”Kalimat itu membuatku berhenti melakukan aktifitas. Tak sadar aku menjatuhkan pewangi milik Zafran hingga tumpah. Wangi khas bayi ini langsung menyeruak ke seluruh kamar.Cepat-cepat aku membereskan dan melanjutkan tugasku. “Perasaan Mas saja kali? Atau jangan – jangan ...” Aku tersenyum sambil melirik wajah lelakiku itu yang memerah. Ia bahkan tak sadar telah cemburu kepada Randi, itu artinya dia punya perasaan sayang kepadaku. “Jangan-jangan apa, Dek?” Mas Zul terus bertanya, tak menyadari rasa cemburu dalam batinnya. “Mas cemburu ya?” jawabku sambil memamerkan senyumku.“Ya pastilah, Dek. Kamu itu istriku, gak kan mungkin aku tidak cemburu jika kamu di lihat lelaki lain se khusu’ itu.”Aku menengok ke cermin kamar yang tak sengaja ku lewati. Pipi ku memerah bak kepiting rebus, aku tersipu malu dengan bualan Mas Zulkifliku. Aku menyiapkan baju ganti Zafran, sedangkan mas Zul menanggalkan pakaian bayi itu. “Astagfirullah, pusar Zafran kenapa, Dek?” Mataku membulat sempurna ketika melihat pusar anak lelaki itu, pantas saja beberapa hari ini Zafran lebih rewel dari biasanya.  🥀🥀🥀 Bab. 33“Astagfirullah, pusar Zafran kenapa, Dek?” Mataku membulat sempurna ketika melihat pusar anak lelaki itu, pantas saja beberapa hari ini Zafran lebih rewel dari biasanya. “Ini sudah puput namanya, Mas.” Aku melihat secuil daging itu terlepas dengan kasa yang melilitnya, sedangkan Pusar Zafran tampak rapi dan tak lagi memerah seperti kemarin. “Alhamdulillah, Dek. Jangan lupa buat bubur merah dan di bagi ke tetangga untuk syukuran.”“Iya, Mas.”“Nanti Zahra ikut ke toko, kamu tidak apakan kalau masak sendiri.”“Gak apa, Mas. Buat bubur merah kan gak ribet. Main cemplung-cemplung sama aduk-aduk saja.”“Alhamdulillah, kalau begitu.”“Anak ayah udah gede. Zafran tambah pinter,” ucap Mas Zul sambil mengangkat tubuh Zafran. Ia menggendong dan membawanya ke kamar mandi, memasukkan ke bak yang sudah ku isi dengan air hangat. Ia mengelap lembut tubuh Zafran dan mengusap nya dengan sabun bayi. Zafran tertawa memperlihatkan senyum ompongnya, tampaknya lelaki kecil itu kegelian ketika tubuh sensitifnya tersentuh.Seperti bapak siaga, Mas Zul mengeringkan Zafran dengan handuk. Mengoles minyak telon dan memakaikan bajunya. Tidak lupa ia melonggarkan gurita yang di pakai Zafran. Kami sengaja melonggarkan gurita karena ibu pasti riweh jika Zafran tidak di lilit gurita. Ia akan terus memberondongiiku dengan wejangan ilmu kunonya.  Meskipun beberapa kali ku beri pengertian tentang pemakaian gurita yang sudah tidak di sarankan. Beliau terus mengelak dan menganggap ilmu sekarang itu mengada-ada. Ia lebih pengalaman karena telah membesarkan Mas Zul dengan sehat dan baik-baik saja. **Mas Zul berlalu setelah meninggalkan kecupan di keningku, ia berangkat ke toko bersama Mbak Zahra. Sedangkan aku sibuk di dapur sambil menggendong Zafran yang kini mulai tertidur. “Mau buat apa, Nduk? Kok sampai masak di dapur. Bukannya Nak Zahra tadi sudah masak?” Aku menengok ke sumber suara, menyunggingkan senyum terindahku.“Hari ini pusar Zafran sudah puput, Bu. Jadi Aisyah mau bikin bubur merah buat selametan.”“Alhmdulillah, benar kan, Nduk. Makanya nurut sama ibu, pusarnya itu di kasih koin, supaya penyembuhannya lebih cepat. Setelah ini tetap di kasih koin ya, biar tidak bodong.”Aku hanya mengangguk. Malas berdebat dengan ibu mertuaku itu. Tak tahu saja jika tiap kali ibu memakaikan koin, aku selalu melepasnya. Bahkan saat lupa melepas benda itu, justru pusar Zafran tampak memerah.Ibu membawa Zafran ke teras sedangkan aku memasak bubur merah, semua bahan ku campur sambil sesekali ku aduk, aroma pandan membuat bubur ini begitu menggugah selera. Tak selang lama pun matang, aku membaginya di beberapa wadah untuk ku bagi di tetangga sebelah. “Bu, saya bagikan bubur merahnya dulu ke tetangga,” ucapku sambil menenteng tas kresek yang berisi beberapa cup bubur merah.“Ibu saja yang bagi, Nduk! Ini Zafran sepertinya pengen asi.”Ibu menyerahkan Zafran ke pangkuanku dan kini ibu mengambil tas kresek yang ku pegang. Aku masuk dan mengasihi Zafran ke kamar. Ku belai lembut rambutnya sambil sesekali ku kecup keningnya, tak lama ia pun kembali tertidur. Sungguh anak ini benar-benar penurut, tidak pernah rewel. Belum selesai aku mengasihi Zafran, terdengar salam dari balik pintu. Aku melepas kenyotan Zafran pelan hingga aku berhasil dan melangkah keluar kamar, tidak lupa aku tindih sedikit tubuhnya dengan guling kecil di sisi kanan dan kirinya agar ia merasa di peluk. Sambil membenarkan jilbab ku, aku melangkah keluar. “Assalamualaikum, Aisyah.” Lelaki bersuara khas serak itu kembali ke mari. Untuk apa? Apa tidak cukup ia merusak hidupku? Kenapa ia terus hadir dan menghantuiku? “Waalaikumsalam,” jawabku menunduk, menolak tatapan matanya. “Ada perlu apalagi datang kemari?” tanyaku ketus. “A ... Aku.”“Lo, Nak Randi ke sini toh. Ayo silahkan masuk.” Suara melengking ibu terdengar meskipun jarak antara kami masih beberapa meter.  Wanita paruh baya itu begitu bahagia dan memperlakukan Randi begitu istimewa. “Nduk, buatkan teh anget untuk Randi,” perintah ibu menatap ke arahku. “Ada apa ke sinii pagi-pagi, Nang? Bagaimana kabar bapak ibu?” Ibu begitu antusias mengobrol, entah sejak kapan mereka terlihat akrab, bahkan sebelumnya hubungan mereka biasa saja. Tak banyak bicara, apalagi mengobrol seperti itu. Aku menaruh dua gelas yang berisi teh hangat di atas meja. Randi tampak melirik ke arahku dan kembali melanjutkan obrolan bersama ibu. Randi memberikan sebuah gelang plastik dan beberapa jajan, katanya oleh-oleh dari bapak ibunya untuk ibu mertuaku. “Ini juga ada beberapa baju untuk Zafran, Mbak Aisyah. Oleh-oleh dari umi dan Abi.” Lelaki itu memberikan tas kertas ke arahku. “Bukannya, kemarin sudah, Ran ?”“Gak tahu, Mbak. Ini titipan dari Umi dan Abi jadi saya hanya menyampaikan amanahnya.” Lelaki tak bermoral itu tampak begitu santun di hadapan ibu mertua. Ia mudah sekali berkamuflase dan membaur dengan lingkungan. Bahkan ibu tak curiga sedikit pun hubungan antara aku dan Randi. “Sudah, di terima saja, Nduk! Rejeki gak boleh di tolak. Lagian itu untuk Zafran bukan untuk kamu.”Dengan setengah hati, aku menerima tas kertas itu. Mengucapkan terima kasih dan berlenggang pergi ke kamar. Setelah itu aku tak tahu pembicaraan mereka karena aku menutup pintu dan fokus menemani Zafran.Sepanjang hari ibu menemani Zafran, ia tak pernah lengah sedikit pun menjaga lelaki kecilku. Sedangkan aku berkutat dengan kerjaan rumah yang sepertinya tiada henti. Apalagi sekarang Ibu tak memperbolehkan ku memakai diapers ke tubuh Zafran, alasannya kulit pangeranku itu masih terlalu sensitif. Apalagi ia pernah mengalami ruam popok. Cucian menggunung dari bekas pipis Zafran di tambah lagi pakaian ku dan pakaian ibu yang kerap kali ganti karena terkena pipis Zafran. Tenagaku seakan terkuras. Ibu tak memperbolehkan ku memakai mesin cuci karena najis dari pipis harus di bersihkan dengan sempurna melalui kucuran air kran. Bukan justru di putar melalui mesin.Aku manut saja tanpa berkomentar. Aku sudah malas untuk membantah, bagaimanapun aku menyanggahnya tetap saja ibu yang selalu menang. Terkadang rasa perih di sayatan perut ku pun ikut serta memberi beban baru untukku. Hanya ucapan bismillah, dan kembali mengingat kebaikan beliau yang membuatku bertahan. Apalagi di dunia ini aku tak memiliki siapa pun, hanya Zafran dan mereka. Untuk apa berkeluh kesah sedangkan Allah memberikanku derajat yang tinggi dengan di nikahi Mas Zul. Berbeda sekali dengan kehidupanku beberapa tahun lalu. Tanpa sadar, hari pun berganti malam. Mas Zul dan Mbak Zahra pulang, seperti hari kemarin ia kembali membawa sebuah bungkusan, satu untuk ibu dan satu untukku. “Kue terang bulan, Dek! Rasa favoritmu, coklat.” Mataku membulat sempurna, segera ku buka bingkisan itu. Sebuah kardus berbentuk persegi panjang dengan gambar kue dan toping Ceres coklat di atasnya. Membuat lidahku seakan ingin bergoyang segera menikmatinya. “Dari mana Mbak Zahra tahu kalau aku suka rasa coklat?” kuambil kue itu sambil menyuap penuh ke mulutku. Seharian di rumah berkutat dengan pekerjaan harian membuatku lupa untuk makan. “Dulu waktu membuat donat, kan kamu makannya toping coklat saja., tidak mau yang lain.”Mbak Zahra menampakkan senyumnya yang begitu indah.Aku tak menyangka wanita sebaik Mbak Zahra memang benar-benar ada.“Mana, biar Zafran Mbak pangku. Kamu habiskan kuenya dulu. Kamu pasti capek seharian jagain anak menggemaskan ini.”Mbak Zahra mengambil Zafran dari pangkuanku. Seperti biasanya, menuju adzan magrib sampai isya’ habis, Zafran harus di pangku atau di gendong. Tidak boleh di taruh di lantai atau di kasur. “Kata siapa capek, wong seharian ibu yang jagain Zafran.” Ibu datang seusai shalat magrib, masih dengan mekenanya. ‘Allahu Robbi, lantas yang mencuci semua baju, menyapu, mengepel, masak, cuci piring, itu semua siapa? Bisa bersih sendiri kah?’🥀🥀🥀 Bab. 34 Tak seperti biasanya, Mbak Zahra dan Mas Zul kini mampir ke kamarku. Biasanya seusai pulang mereka merebahkan diri ke kamar, apalagi ini adalah malamnya Mbak Zahra.  Mereka bermain dengan Zafran sedangkan aku menghabiskan makan malam, walaupun semua kue Bandung itu habis di perutku. Tetap saja perut seperti berdendang tak karuan. Mungkin karena Zafran kuat menyusu hingga nutrisi dalam tubuhku ikut di serap juga.“Nak Zahra, ibu mau bicara sebentar.” Ibu menggandeng lengan wanita cantik itu yang tertutup dengan gamis panjangnya. Ia menurut dan berlalu pergi. Mas Zul masih tampak ngobrol dengan Zafran, apalagi lelaki kecilku kini sudah mulai mengerti jika di ajak bicara. Ia akan tersenyum dan memamerkan gigi ompongnya. “Aku tinggal bentar ya, Mas. Mau membersihkan piring kotorku,” ucapku dengan membawa piring dan gelas yang baru saja ku pakai.Mas Zul mengangguk. Langkahku tiba-tiba berhenti di depan kamar Mbak Zahra. Entah kenapa perasaanku tidak enak. Aku mengintip dari celah pintu itu, ibu dan Mbak Zahra tampak mengobrol serius.  Rasa penasaranku kini semakin berkecamuk, ada hubungan apa ibu dan Mbak Zahra hingga harus berbicara empat mata seperti ini. Aku mendekatkan daun telingaku ke dekat pintu.“Kamu sudah tahu siapa Aisyah sebenarnya, Nak?”“Aisyah sebenarnya? Maksud ibu apa?”“Dia itu wanita murahan, bahkan orang tuanya meninggal juga karena dia. Wanita pembawa malapetaka.”“Ibu jangan bicara yang tidak-tidak. Tidak ada wanita pembawa malapetaka seperti yang ibu katakan.”“Percaya sama Ibu, Nak! Aisyah saja sempat menggugurkan bayinya. Dia bahkan di usir dari kampung halamannya.”Deg, gemuruh jantungku rasanya tak karuan. Berdendang dengan kerasnya hingga hatiku seakan meliuk-meliuk tak tentu arah. Apakah Mbak Zahra percaya dengan ibu dan ikut membenci ku? Sedangkan semua perkataan ibu tak semua itu benar? Kenapa beliau tak pernah bertanya kepadaku. Hingga aku menceritakan kejadian sesungguhnya. Atau aku yang terlalu bodoh, kenapa tidak jujur kepada keluarga Mas Zul sejak awal. Aku kembali mendekatkan daun telingaku ke dekat pintu, penasaran dengan jawaban Mbak Zahra.“Ibu ingin kamu mengambil Zafran dari Aisyah, Nak! Ibu tidak ingin ada malapetaka di keluarga kita.”“Ibu mendengar dari siapa? Tak ada wanita yang seperti ibu maksud.”“Coba di ingat, Nak. Kamu sakit dan beberapa hari di rumah sakit, Zul mengalami kebangkrutan. Apa itu masih kurang bukti?”“Itu hanya ujian, Bu. Untuk keluarga kita.”“Nurut Ibu saja, Nak. Semua demi kamu, Zafran dan Zul. Ibu tak ingin ada Aisyah di rumah ini. Ibu takut malapetaka itu kembali menghampiri keluarga kita.”Deg. Tubuhku mematung, tenggorokanku yang baru saja ku isi dengan segelas air putih tampak mengering. Kurasakan tubuhku lunglai, bahkan untuk membawa sedikit beban di tanganku ini pun sudah payahPYARR ...Gelas dan piring yang ku bawa tak sengaja jatuh. Kini air mata ku ingin ikut luruh bersamaan dengan rasa di hatiku yang saling bersaut. Ku seka air mata yang tampak terbendung di pelupuk mata. “Astagfirullah,” ucap Mbak Zahra ketika membuka pintu. “Ceroboh sekali kamu, Nduk! Lain kali hati-hati,” ucap ibu yang nampak mengekori Mbak Zahra di belakang.“Maaf, Bu. Aisyah tak sengaja menginjak gamis Aisyah sendiri,” dustaku sambil menahan bendungan air mata yang kembali hadir. “Sudah bersihkan dulu sana.”Aku mengangguk dan mengambil sapu di dapur, membersihkan pecahan kaca dan membuangnya ke sampah. Aku tertunduk lemas, bersender di bangku makan sambil menahan Isak tangis yang ingin ku keluarkan. Batinku seperti tersiksa, masalalu terus saja membawaku ke lembah penderitaan. Baru saja aku mendapat secercah kebahagiaan, namun cahaya itu berangsur menghilang. Kembali gelap. Setelah ketegangan hatiku mereda, aku mencoba menguatkan diri. Aku yakin saat ini Zafran membutuhkanku, jam sudah menunjuk pukul 20.00, sudah saatnya Zafran mengasi dan tidur.“Aisyah, kamu kuat. Kamu pernah mengalami masalah yang lebih berat dari masalah ini,” ucapku pelan mencoba menguatkan batinku yang terus menyiksa. Aku kembali  ke kamar. Di sana masih ada Ibu, Mbak Zahra dan Mas Zul. “Lama sekali, Nduk. Ini lo kasihan Zafran, dari tadi pengen asi. Tampaknya ia juga sudah mengantuk.”Aku mengambil tubuh gemoy itu, meletakkan tubuhnya ke kasur. Ku miringkan ia dengan punggung di topang bantal kecilnya. Aku pun ikut tertidur miring sambil mengasihi, sedangkan mereka semua telah berlalu dan menutup pintu kamar.Sepi.Aku menatap wajah Zafran yang tampak lelah setelah seharian bermain. Ku cium keningnya sambil ku belai rambutnya. Aku mungkin kuat jika harus kembali merasakan kehidupan kelamku seperti dulu, tapi bagaimana dengan Zafran? Aku tak mungkin bisa membawa dia ikut menderita ku bersamaku. Namun, di sisi lain aku pun tak sanggup jika harus berpisah dengan lelaki kecilku ini. Laki-laki yang ku kandung selama sembilan bulan, dan ku keluarkan dengan sudah payah. Aku tak mungkin sanggup hidup tanpa dia.Air mataku luruh, aku menahan Isak tangisku agar Zafran tak terbangun. Sesekali aku meringis menahan sayatan pasca operasi yang terkadang ikut berdenyut. “Bagaimana aku harus bersikap ya Allah? Apa tak ada keadilan untukku?” Jika dulu aku mencurahkan sakit hatiku di sepertiga malam, bagaimana dengan sekarang? Aku tak bisa bersujud sedangkan aku masih kotor dan belum cukup suci untuk menyembahmu.Jika bacaan Al Quran mampu membuatku sedikit merasakan ketenangan. Bagaimana dengan sekarang? Masa nifas ku belum usai. Aku hanya memperbanyak solawat, dan Dzikir, berserah diri kepada sutradara kehidupan. Berharap rodaku kini naik dan membawaku ke bukit kebahagiaan. Aku sudah lelah meneteskan air mata, jika air suci ini bisa di jual. Mungkin aku lah yang akan menyandang gelar wanita terkaya.Jika dalam berumah tangga, seorang wanita memiliki tempat berkeluh kesah kepada pengayom bernama suami. Nyatanya itu sedikit susah untukku. Aku ada namun semu, bagaikan huruf tanwin bertemu huruf ya’. Ada namun tak dianggap. Oek ... Oek ...Tangisan Zafran membuatku semakin terpuruk, bayi kecil ini sepertinya menyadari akan kegundahan hati ibu nya. “Ibu gak apa, Sayang. Ibu tak akan pernah meninggalkanmu apapun yang terjadi.”Kukecup keningnya sambil ku tepuk lembut pantatnya. Hingga ia kembali tertidur. Kubacakan sholawat dan doa , lalu ku tiup pelan ke ujung kepalanya. Berharap Allah akan terus menjaganya dan senantiasa memberi kebahagiaan kepada anakku ini. Cukup aku saja yang menderita, bukan lelaki kecilku. Seusai mengasihi Zafran, mataku tak mampu terpejam. Kuraih ponsel di atas meja, kulihat layar depannya. Gelap.Aku bahkan tak sadar, kapan terakhir memainkan ponsel ini. Segera ku sambung ke charger dan beberapa saat ku nyalakan benda elektronik itu kembali. Suara dering itu saling saut-sautan. Untung saja, sebelumnya sudah ku atur di volume paling rendah, supaya tidak mengganggu ketika Zafran tertidur. Ada beberapa pesan dari Mas, dari Mbak Zahra. Karena memang mereka lah yang ada di kontak ponselku.[ Aku rindu kamu dan Zafran, Dek. ] Di ikuti emoticon tersenyum. Mataku kini berkaca membaca pesan itu, membayangkan jika takdir berkehendak lain. Aku masih ingin terus bersama suami dan anakku. Ku buka pesan dari Mbak Zahra.[ Aku bawa kue Bandung untukmu, semoga kamu doyan. Ini kue Bandung terenak di sini ]Pesan ini di kirim beberapa waktu lalu. Sebelum Mbak Zahra pulang, di sertai foto gerobak dan Abang martabaknya. Ku scrol ke bawah lagi. Ada pesan dari nomer asing yang ku beri nama “Masa Lalu”. Ya, dia adalah peneror ku yang selalu mengirimkan mawar merah saat dulu aku di toko. Tiap kali pesannya di kirim, ada tanda tangan dengan sebutan masa lalu. Yang kupikir pengirim itu adalah Mas Zul dengan segala keromantisannya, ternyata aku salah besar. Nomer tersebut berubah menjadi onlineDan kini dering ponselku berbunyi, aku kalang kabut, angkat atau tidak ya panggilan ini? 🥀🥀🥀Bab. 35Nomer tersebut berubah menjadi onlineDan kini dering ponselku berbunyi, aku kalang kabut, angkat atau tidak ya panggilan ini? Aku biarkan panggilan itu terlewat begitu saja. Dan kembali kusentuh tombol off dalam layar pipihku. Aku berbaring menatap langit-langit kamar sambil berusaha memejamkan mata. Bayangan Randi tiba-tiba terlintas, dari awal kedatangannya saat di toko, saat membantuku dalam proses bersalin, memasak kerayan bersama Mbak Zahra dan kini kedatangannya membawa hadiah untuk Zafran. Apa ia memang tulus minta maaf atau justru itu modus? Tiba-tiba senyumnya kini melewati pikiranku. “Astagfirullah,” ucapku lirih. Kenapa aku memikirkan lelaki yang bukan mahram ku. Beberapa kali ku ucap istigfar, hingga akhirnya aku tertidur.**“Pergi dari sini, Nduk! Ibu mohon, aku tak ingin ada malapetaka di rumah ini.”Ibu bersimpuh dan memohon kepadaku. “Bu, aku mohon jangan lakukan ini,” ucapku sambil meraih tubuh paruh baya itu naik. “Aku tidak seburuk yang ibu kira. Semua berita yang ibu dengar tidak sepenuhnya benar.” Aku mengiba kepada wanita yang telah melahirkan suamiku itu. “Tidak sepenuhnya? Berarti memang benar dengan apa yang ibu dengar.”“Bukan seperti itu, Bu.”“Silahkan angkat kaki dari rumah ini.” Ibu kini berdiri dan membuang beberapa pakaianku keluar. Tangisku pecah, aku tak tahu harus berbuat apa. Sedangkan kini Mas Zul dan Mbak Zahra sedang tidak di rumah. Tak ada yang membelaku. “Bu, Aisyah mohon maafkan Aisyah,” ucapku sambil meraih kaki ibu. Wanita itu tak bergeming. Hatinya seperti membeku hingga aku sulit untuk menerobosnya. Kini suara tangis Zafran semakin terdengar, membuat batinku semakin teriris.“Jangan ambil Zafran, jika kamu tak ingin ia hidup menderita sepertimu.”Ucapan ibu bagai belati yang terus saja menusuk hatiku. Tangisku pecah, aku seperti manusia tanpa guna. Dengan berat hati aku melangkah keluar membiarkan tangisan lelaki kecilku begitu saja. Tak selang lama ibu segera menutup pintu utama itu. “Astagfirullah,” ucapku ketika aku membuka mata. Untung saja semua mimpi, aku bergegas mengelap peluhku yang tidak karuan. Adan  subuh kini  berkumandang. Pukul 4 dini hari. “Dek, sudah bangun belum?” terdengar ketukan serta suara dari balik pintu. Suara khasnya membuat aku tahu meskipun tanpa melihatnya. “Masuk saja, Mas,” ucapku yang kini membuat Zafran membuka mata. “Eh, anak ayah juga sudah bangun. Mau ikut jamaah shalat subuh ya, Nak.” Mas Zul mengambil tubuh Zafran dan menggendongnya. Tidak lupa ia menghujani lelaki kecilku itu dengan ciuman. “Kamu kenapa, Dek? Kenapa seperti ketakutan “ Mas Zul menatapku. Sepertinya ia menyadari, kalau aku sedang tidak baik-baik saja. Hatiku masih terasa sakit, meskipun kini aku sudah terbangun dan kembali di alam nyata. Aku takut jika mimpi itu akan menjadi kenyataan. “Mas, maukah kamu memelukku saat ini?”Tanoa berpikir panjang. Lengan kanannya meraih tubuhku, membenamkannya dalam pelukan. Sedangkan tangan kiri masih di gunakan untuk menggendong Zafran. “Kamu kenapa, Dek? Cerita sama Mas!”Aku kini terisak, meluapkan segala kesedihanku. Memori ku tentang mimpi semalam seperti kembali terulang, begitu menyakitkan. “Menangislah, Dek. Biarkan tubuhmu tenang.”Mas Zul memelukku lebih erat sambil sesekali mencium keningku. Perlahan hatiku yang bagai gemuruh ini mulai nyaman. Sosok hangat itu kembali menyulap hatiku menjadi teduh. “Kamu habis mimpi buruk, Dek?” Aku mengangguk.“Maafkan, Mas. Tak bisa bersamamu malam ini. Bahkan, kamu harus menjaga Zafran sendirian.”Mas Zul kembali melayangkan kecupan di keningku. Entah kenapa tiap kali ia bersamaku, aku seperti wanita paling bahagia di dunia ini. Aku memiliki anak dan suami yang sempurna. Namun  tiap kali aku melihat Mas Zul dan Mbak Zahra bersama hatiku kembali menjadi gemuruh yang saling bertaut. Apakah ini rasanya menjadi yang kedua? Ternyata sakit. Tak seindah cerita novel yang justru memenangkan hati suami dan menjadi prioritasnya. “Nanti kamu siap-siap ya? Kita jalan-jalan. Seingat Mas, dari awal nikah kita belum pernah melakukan jalan bersama kecuali saat di Masjid Agung dulu.”“Benarkah, Mas?” mataku berbinar mendengar tawaran suamiku itu. Mas Zul mengangguk.“Mbak Zahra ikut?” “iya, Zahra ikut. Zafran juga ikut.”Allahu Rabbi, aku kira ini menjadi jalan-jalan yang indah. Tapi nyatanya tetap saja ada Mbak Zahra di dalamnya. “Mas tadi sudah sewa mobil, jadi kita bisa berangkat bersama. Kamu siap-siap dulu ya, Mas mau shalat subuh.”Aku mengangguk. Ia berjalan keluar dan aku menyiapkan semua perlengkapan yang harus ku bawa nantinya. Ini adalah pertama kalinya Zafran jalan, tentu saja akan riweh dengan perlengkapan pangeran kecilku itu. Aku memakai gamis panjang bermotif dengan kerut di bagian pinggangnya, membuat tubuh ini terlihat proporsional. Kupandang tubuhku dari pantulan cermin, aku cantik tak kalah dari Mbak Zahra. Aku juga lebih muda darinya dan tentu saja aku bisa melahirkan anak tak seperti ia.Dengan selendang jarik itu, aku membawa Zafran keluar sedangkan tangan kananku membawa ransel yang berisi beberapa kebutuhan Zafran, beberapa pakaian dan diapers. “Mau ke mana, Nduk? Pagi-pagi sudah rapi.” Ibu menyapaku. Dengan nada ketakutan, aku mencoba tenang. Mimpi semalam masih menyisakan luka yang mendalam di tambah lagi obrolan ibu dan Mbak Zahra yang tak sengaja ku dengar. “Di- di ajak Mas Zul jalan-jalan, Bu!”Mbak Zahra keluar memakai gamis berwarna merah muda, jilbabnya panjang, dan mengenakan make up tipis. Warna bibirnya pun senada dengan pakaian yang di kenakan. Membuat wanita ini tampak elok di pandang, paras ayu nya semakin terlihat. Di belakangnya ada Mas Zul yang berpakaian rapi, mengenakan kemeja coklat serta celana hitam. Wajahnya terlihat begitu cerah dengan mata yang berbinar.“Zafran, mau kamu ajak pergi, Zul?” Pandangan netra ibu kini mengarah ke lelaki yang baru saja keluar kamar itu.“Iya, Bu. ““Apa kamu gak tahu, umur Zafran itu baru beberapa Minggu. Kalau belum genap 40 hari tidak boleh keluar rumah. Pamali, Nang. Jangan.”  Ibu menggelengkankan kepalanya. Dalam ilmu Jawa, anak yang berumur di bawah 40 hari itu masih mudah kena sawan. “Tapi, Bu!” “Tidak ada, tapi. Kalau mau pergi silahkan. Tapi biarkan Zafran di rumah. Biar ia ibu jaga.” Ucapan ibu meluluh lantahkan hatiku, yang tadinya bak tegar bagai karang. Kini runtuh dengan seketika. “Baik, Bu!” Aku kembali masuk ke kamar, melempar ransel ke atas meja dan kini menjatuhkan tubuhku di kasur bersama Zafran. Aku kecewa sama Mas Zul. Ia yang seharusnya menjadi kepala keluarga. Kini selalu kalah dengan ucapan ibu. Lagian mana mungkin bisa ada dua ratu dalam rumah tangga? Apalagi kali ini ada tiga ratu! Tak berapa lama ada Mas Zul dan Mbak Zahra masuk ke kamar, ia menghampiri diriku yang berbaring di atas kasur. “Kalian pergi saja, Lagian mobil sudah terlanjur di sewa. Sayang kalau tidak jadi di pakai.”Sebelum keluar kamar tadi, aku sengaja menengok luar melalui jendela kamar, sebuah mobil Innova hitam sudah berhenti di depan halaman .“Tidak, tanpa kalian, Dek!” Jawab Mas Zul.“Mas, bukankah tempat kita bermalam nanti ada pengajian dari Habib Syeh?”Wanita cantik itu kini berbicara. Bahkan ia tahu tempat yang nantinya akan kami kunjungi. Sedangkan Mas Zul tak pernah cerita apapun kepadaku. “Kalian berangkat saja, Mas! Benar kata ibu, Zafran masih terlalu kecil untuk di ajak keluar. Takutnya nanti malah kenapa-kenapa.” Dustaku. Mbak Zahra dan Mas Zul kini saling berpandangan, entah apa yang mereka bicarakan? Mungkin telepati itu namanya. Hanya dengan saling menatap saling mengerti satu sama lain.“Kamu beneran tidak apa, Dek jika gak ikut?”Aku mengangguk. Ya Allah Ya Robbi, kenapa berbohong begitu menyakitkan seperti ini? ------_____-------Jangan lupa tinggalkan jejak love dan komen, supaya penulis lebih semangat.Terima kasih yang sudah mampirBarokallahSemoga rejeki kalian semakin bertambah …  
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan