Berdamai dengan Ibu

1
0
Deskripsi

Pernahkah kamu pernah merasa tidak bisa menjalani hari-hari karena pergolakan batin dengan Ibu yang begitu hebat? Apakah kamu memilih untuk diam, pergi mencari jalan pulang lain, atau justru berbalik menyerangnya?

Kurasa, sudah waktunya untuk berdamai dengan Ibu. Agar kamu pulih, dan mampu menapaki hari-hari dengan perasaan lebih baik.

Berdamai dengan Ibu 

Aku yakin banyak dari kita, para anak perempuan, yang mempunyai konflik batin dengan Ibunya. Atau para lelaki dengan Bapaknya. Entah mengapa demikian. Aku ingat saat tumbuh dewasa selalu melihat percekcokan kakak-kakakku dengan Ibu, tapi aku tidak tahu tentang apa saja. Kurasa hal itu memberi pengaruh juga pada hubunganku dengan Ibu. 

Kami tumbuh mendengar banyak keluhan dalam keseharian kami. Ini salah, itu salah, ini kurang, itu kurang. Semua hal dikomentari oleh Ibu, seringkali dengan intonasi yang tidak menyenangkan untuk telinga dan hati. 

Kata-kata penghargaan hanya didapatkan apabila ada pengakuan dari orang di luar keluarga atas prestasi anak-anaknya. Hal ini tidak berlaku bagiku saja, tapi juga kedua kakakku. Aku ingat, dulu saat masih SD, kakak keduaku setiap caturwulan pasti dibelikan buku komik. Kabarnya, hal itu ia dapatkan karena ia selalu mendapat peringkat satu. Sedangkan kakak pertamaku, yang hanya lebih tua satu tahun darinya selalu mendapat peringatan karena ulahnya yang tidak pernah terbayangkan oleh para guru dan orang tua kami, kurasa itu disebabkan adrenalinnya yang besar. Aku pikir standar apresiasi semacam ini hanya berlaku saat kami kecil, namun ternyata hal ini terus terjadi bahkan sampai masing-masing dari kami telah berkarier dan berkeluarga. 

Aku menyebutnya apresiasi materiel. Apresiasi yang diberikan karena kebendaan atau hal-hal yang tampak. Seperti prestasi di sekolah, jabatan dalam karier, kemampuan untuk mentraktir, ataupun undangan dalam negeri. Ibu akan membanggakannya kepada semua orang, mengelu-elukan anak yang sedang naik daun itu, dan memanjakannya untuk tidak menyentuh pekerjaan rumah. Meski demikian, Ibu tidak pernah bertanya atau tertarik membahas tentang apa yang sebenarnya para anak lakukan, apa sudut pandang anak terhadap hal yang sedang dijalaninya.  

Ada satu kebiasaan Ibu yang unik, yakni membuat nama tambahan pada daftar kontak anaknya. Misalnya, anak pertama “nama - shalehah”, lalu kedua “nama - semoga sejahtera”, lalu ketiga dan seterusnya hingga anak kelima. Ibu pernah bilang “jadi siapa yang menghubungi akan tersebut doanya, sehingga ia akan mendapat doa yang paling sering”.  

Tentu saja, nama tambahan ini bisa berganti-ganti sesuai sudut pandang Ibu terhadap kondisi anaknya. Tidak melulu doa, bisa juga pujian. Seperti “nama - cantik” atau “nama - manis”. Pernah ada masa, namaku ditulis – qurrota ayun, yang bermakna penyejuk hati. Lalu pada suatu Ramadhan, terjadi sebuah konflik antara aku dengan Ibu, yang bahkan aku lupa penyebabnya apa. Lalu ibu berkata “Ibu pikir kamu ini qurrota ayun, ternyata tidak seperti itu”. Aku hanya terdiam saat itu dan bertanya-tanya, apakah karena aku memutuskan untuk kembali tinggal bersama Ibu, jarang menelepon, maka tidak tersebut doa itu? 

Entahlah. 

Mungkin jika itu terjadi pada aku yang lampau, pasti segera mengeluarkan kata-kata kasar, menyebutkan bahwa aku telah melakukan hampir semua yang Ibu harapkan dan pergi meninggalkan rumahnya. 

Tapi aku memilih untuk diam dan tidak membiarkan perkataan tersebut menggores hati terlalu dalam. Aku menerimanya. Aku menerima pernyataan bahwa karena kejadian tersebut aku tidak menjadi penyejuk hati Ibu. Karena aku tidak ingin ‘label’ itu melekat padaku dari sudut pandang Ibu. Nama tambahan itu pun sekarang sudah berpindah kepada salah satu adikku.  

Kadang kala aku membayangkan kehidupan macam apa yang Ibu jalani saat beliau tumbuh besar di rumah orang tuanya? Apakah juga dipenuhi oleh ekspektasi dan tekanan untuk menjadi hebat secara materiel? Apakah orang tuanya juga sulit melontarkan kata pujian dan lebih sering memberi keluhan atau kritik padanya?. 

Pernah suatu ketika buka puasa bersama, kakak keduaku bertanya mengapa Ibu sulit sekali mengatakan suatu makanan itu enak tapi sangat mudah mengatakan kekurangannya dan apakah makanan Ibu pernah dipuji oleh Nenek? Ibu sempat terdiam sebelum menjawab bahwa Nenek sangat hebat dalam memasak sehingga tidak mudah mendapatkan pujiannya, pujian hanya datang jika berada pada atau di atas standar Nenek. Begitulah salah satu cara untuk mengumpulkan kepingan memori agar kami bisa sedikit demi sedikit memahami situasi macam apa yang dihadapi Ibu dulu. 

Pasti sulit menerima kenyataan dan melepaskan diri dari situasi tersebut. Apalagi setelah hal-hal yang Ibu terima, dengar dan lihat di masa mudanya kini telah terpasang, dan membentuk karakter dan jati dirinya. Bisa jadi, tanpa beliau sadari. 

Ya, bisa jadi Ibu tidak menyadari bahwa komentarnya sering kali menyakitkan, perhatian kepada anak-anaknya sering kali timpang, dan mungkin yang paling sulit Ibu hindari adalah pemerasan mental anak-anaknya dengan kata-kata “kalian mau Ibu mati berdiri saja kan? Kalian mau Ibu cepat mati kan?” atau playing victim apabila keinginannya tidak terpenuhi. 

Aku masih tidak terbiasa dengan dua hal terakhir, tapi jika memutar ulang ingatan masa lalu, barangkali aku pernah menyalin karakter pertama dan terakhir dalam kehidupanku. Sungguh disesalkan. Terlalu bodoh untuk tidak hidup berkesadaran. Rasanya ingin mengambil penghapus dan menghapus kehidupanku bagian itu, melupakannya. Namun tidak bisa kulakukan. Maka, aku pun harus memulai tekad untuk lebih berkesedaran dalam mengeluarkan kata dan memandang situasi sini-kini. 

Lebih dari itu, aku yakin Ibu bisa berubah dan telah menunjukkannya secara perlahan. Meski komentarnya masih sering menyakitkan, tapi beliau lebih berkesadaran saat ingin mengomentari sesuatu, setidaknya pada keinginannya untuk memberi komentar tertulis. Ini patut diapresiasi! Ya, aku salut Ibu bisa melakukannya. Pasti tidak mudah menahannya. Tapi Ibu sedang berjuang. 

Aku berdoa kepada Tuhan yang kupercaya agar kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh kedua orang tua Ibu mau dimaafkan, dan meski keduanya tak bisa lagi melontarkan kalimat maaf kepada Ibu, namun di alam tak tampak, kuyakin keduanya turut mendengar doaku. Aku ingin Ibu bisa merasakan bahagia secara substansi dan melepaskan hal-hal yang menyakitinya dulu. 

Kadang, aku juga mengingat momen-momen bahagia penuh kesederhanaan dengan Ibu. Seperti membuat kue bawang bersama dan beberapa kue kering untuk berlebaran, 20-25 tahun silam. Aku paling suka kue kering corn flakes buatan Ibu karena menggunakan susu bubuk tinggi lemak. Beberapa kali aku juga ingat perjuangan Ibu dalam membesarkan anak-anaknya sembari menempuh pendidikan lanjut. Waktu itu, Ibu membawa kami, 3 anak perempuan pertamanya dari Sumatra ke Jawa, sementara Bapak sedang S3 di negara tetangga. Bapak pernah mengusulkan agar Ibu tidak membawa kami sekaligus, namun Ibu bersikukuh agar anak-anaknya tetap berada dalam pantauannya. Saat itu, aku masih berusia satu tahun. 

Aku sadar, bahwa meski Ibu memperlihatkan sikap yang seringkali tidak menyenangkan untuk dijalani sehari-hari, namun Ibu juga memberi contoh untuk menjadi perempuan yang mandiri dan mampu membuat keputusan bagi dirinya sendiri. 

Aku berharap, dalam sisa umurnya, Ibu bisa berdamai dengan dirinya sendiri dan mendapatkan kebahagiaan yang sejati. 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan