
Di tengah langit Jakarta yang kelabu dan suasana kampus yang gelisah, Kirana — mahasiswi biasa — terjebak antara kewajiban akademik dan panggilan nurani untuk turun ke jalan. Di balik seragam almamater yang tenang, tersimpan bara perlawanan yang menyala. Bab ini membuka kisah dengan benturan pertama: idealisme, persahabatan, cinta samar, dan bayangan gas air mata yang kian dekat. Satu keputusan hari ini akan mengubah segalanya.
Di Balik Gas Air Mata
Bab 1 – Bara di Balik Almamater
Ketika buku-buku kuliah tak lagi mampu meredam suara perlawanan yang diam-diam menyala.
Langit Jakarta pagi itu berwarna kelabu, seakan menanggung beban ribuan jeritan yang tak terdengar. Di balik jendela kelas yang berdebu, aku menatap kosong ke luar. Di kejauhan, asap knalpot dan gerimis tipis berbaur menjadi kabut tipis di atas kampus. Pagi yang muram, seperti hati banyak orang di negeri ini.
"Kirana! Coba kamu ulangi, apa tadi kata kunci teori yang Ibu sebutkan?" suara Ibu dosen memecah lamunan. Aku tersentak. Beberapa teman menahan senyum menatapku. Buku catatanku terbuka di meja, kosong melompong tanpa coretan berarti. Sejujurnya, fokusku pagi ini tersita hal lain: rencana demonstrasi nanti siang.
Aku berdiri perlahan, berusaha menguasai diri. "Maaf, Bu," kataku lirih, mencoba menghindar. "Yang Ibu maksud... eh...," aku mengerjap gugup, otakku memutar rekaman memori lima menit terakhir, namun nihil. Aku bisa merasakan pipiku memanas.
Bu Endah, dosen sosiologi politik, memandangku atas kacamatanya. Wajahnya tegas namun ada selarik simpati di sana. Ia tahu banyak mahasiswa gelisah belakangan ini. "Kirana," ujarnya lebih lembut, "saya tahu pikiranmu mungkin sedang di luar kelas. Tapi untuk saat ini, coba perhatikan dulu, ya."
Aku mengangguk cepat dan duduk kembali dengan muka merah padam. Di sebelahku, Nadya, sahabatku, berbisik menahan tawa. "Mbak pejuang revolusi melamun lagi," godanya pelan. Aku menyenggol sikunya, berusaha menahan senyum. Meski malu karena terciduk melamun, hatiku hangat karena dukungan Nadya terasa.
Mata kuliah berlanjut dengan suara Ibu dosen menjelaskan, namun pikiranku kembali melayang. Aku teringat percakapan di grup semalam: ratusan mahasiswa dari berbagai kampus akan turun ke jalan hari ini. Tuntutannya jelas: rezim pemerintah yang menindas harus diakhiri. Sudah terlalu lama kami dibungkam, dianggap remeh.
Telepon di sakuku bergetar halus. Diam-diam aku melirik layar di bawah meja. Pesan dari Bara muncul:
"Siap untuk siang ini? Bendera sudah kusiapkan. #HidupMahasiswa"
Sudut bibirku terangkat. Bara. Hanya membaca namanya saja ada getar aneh di dadaku. Bara senior di kampus, aktivis yang kharismatik. Beberapa bulan terakhir kami sering bekerja bersama di aksi-aksi. Aku mengagumi keberaniannya berbicara di depan massa, suaranya lantang menyuarakan kebenaran. Dan tatapan matanya… tajam, penuh api semangat yang diam-diam menghangatkan pipiku tiap kali mata kami beradu.
Aku mengetik balasan singkat:
"Siap. Hati-hati bawa benderanya, jangan sampai ketahuan satpam kampus. ;)"
Kujawab dengan tambahan emotikon wajah mengedip.
Hampir seketika, Bara membalas:
"Tenang, Komandan. Sampai ketemu di titik kumpul. Jgn telat, or aku dendam."
Aku menahan senyum lebih lebar. Nadya melirikku penasaran, tapi aku hanya menggeleng kecil.
Bel masuk tiba-tiba berbunyi nyaring, tanda jam kuliah usai. Aku menghela napas lega. Kelas bubar, mahasiswa bergegas keluar. Nadya menarik lenganku. "Ayo, makan dulu di kantin sebelum revolusi," ujarnya, suaranya setengah berbisik namun bersemangat.
Di kantin kampus yang sederhana, aroma gorengan dan kopi instan menyambut. Antrian mahasiswa mengular, membahas soal tugas hingga jadwal aksi. Di salah satu sudut, sekelompok mahasiswa sedang melukis spanduk besar bertuliskan "Hidup Mahasiswa! Bebaskan suara rakyat!". Cat merah dan hitam mencolok di kain putih.
Aku dan Nadya duduk di meja pojok dengan dua piring nasi goreng murah meriah. Perutku sebenarnya mual membayangkan aksi nanti, tapi kupaksa menelan beberapa suap. Nadya mencampur kerupuk ke dalam nasi gorengnya sambil menatapku lekat. "Ra, kamu siap kan? Ini mungkin bakal panas," katanya pelan.
Aku meletakkan sendok. Tentu aku gugup, tapi tekadku bulat. "Kita harus berani, Ndya," jawabku, setengah berbisik agar tak terdengar yang lain. "Kalau bukan kita yang muda, siapa lagi? Masa kita mau terus diam dihina 'anjing' sama penguasa? Dibilang 'ndasmu' kalau kritik?" Nada suaraku naik tanpa sadar.
Beberapa mahasiswa di meja sebelah menoleh ingin tahu. Aku menurunkan suara, tapi hatiku terlanjur terbakar. Aku teringat berita minggu lalu di televisi: seorang pejabat tinggi tertangkap kamera mengumpat "Ndasmu!" pada wartawan yang bertanya soal demonstrasi. Dan seorang menteri lain menyebut rakyat yang protes sebagai "anjing yang menggonggong". Hina sekali.
Nadya mengangguk, matanya juga berkobar marah. "Iya, aku juga nggak terima mereka ngomong gitu. Belum lagi buzzer-buzzer di medsos yang tiap hari sebar fitnah soal kita. Kemarin aku baca di Twitter, ada tagar trending #MahasiswaNakal entah dipopulerkan siapa. Kesannya kita ini cuma anak bau kencur cari sensasi."
Aku mendengus. "Biar saja. Kebenaran tidak akan kalah oleh tweet bayaran," kataku sembari menyesap teh manis yang sudah dingin. Meski kubilang begitu, dalam hati tetap panas. Aku ingat betul semalam membaca komentar di media sosial yang menyebut para demonstran dibayar pihak asing, disebut anak-anak tidak tahu diuntung. Aku hampir melempar ponselku saking geramnya. Tapi kemarahan itu kini kujadikan bara semangat.
Selesai makan, kami berdua beranjak menuju parkiran belakang kampus, tempat kami janji kumpul dengan teman-teman lain sebelum menuju titik aksi di pusat kota. Di perjalanan, langkahku terhenti melihat mural baru di dinding gedung fakultas. Gambar seorang gadis membawa bendera merah putih, dengan tulisan besar: "Berani atau Mati". Coretan catnya kasar namun kuat, menggambarkan keberanian yang nyalang. Aku tertegun sesaat.
"Nadya, lihat," panggilku. Nadya mengikuti pandanganku lalu tersenyum tipis. "Keren. Pasti kerjaan anak-anak Seni Rupa tuh," ujarnya. "Iya," gumamku sambil tersenyum. Kalimat itu — Berani atau Mati — seolah bicara langsung kepadaku.
Kami tiba di parkiran. Sudah berkumpul sekitar dua puluh orang mahasiswa dari berbagai jurusan. Wajah-wajah tegang tapi bersemangat. Bara terlihat di tengah kerumunan, sedang mengikat bendera merah putih pada sebatang bambu panjang. Matanya berbinar saat melihatku. Ia melambaikan tangan, menghampiri.
"Hormat, Komandan Kirana sudah tiba," sapa Bara dengan bercanda sambil memberi salut ala tentara. Beberapa teman terkekeh. Aku menggeleng dengan senyum malu. "Ah, jangan mulai lagi, Bara."
Bara nyengir. "Semangat dong. Gimana, udah siap turun ke medan laga?" tanyanya. Ia menatapku seolah mencari keraguan di wajahku.
Aku tegakkan bahu. "Siap, dong. Gas air mata? Hadapi. Polisi? Hadapi. Presiden? Hadapi," kataku mantap. Padahal jantungku berdebar kencang, tapi kata-kata berani itu seakan menguatkanku sendiri.
Doni, mahasiswa kimia, tiba-tiba nyeletuk, "Merkuri dalam dosis tinggi bisa berdampak pada sistem saraf." Semua menoleh bingung. Doni terkekeh. "Katanya tadi yang penting hadapi, ya aku tambahin, gimana kalau racun merkuri, dihadapi juga gak?" candaannya garing. Seketika tawa pecah, mencairkan ketegangan. Aku bahkan tak bisa menahan tawa sambil menggeleng. "Dasar, ada-ada aja si Doni," ujar Nadya sambil menepuk bahunya.
Bara mengangkat tangan mengumpulkan perhatian. "Kawan-kawan, sebelum berangkat, kita cek perlengkapan. Masker, kacamata renang sudah siap? Air untuk membasuh muka? Kartu identitas disimpan rapat." Suaranya lantang penuh keyakinan. Ia memang punya aura pemimpin. Semua mengeluarkan barang yang disebut dan saling memeriksa. Aku merogoh tas punggungku: masker kain tebal, kacamata renang murah, botol air, semua ada. Juga surat-surat penting kupisahkan dalam plastik kalau-kalau nanti kena semprot air.
Sebelum berangkat, Bara menatap kami satu per satu. "Ingat, tetap damai. Jangan terpancing. Kita tunjukkan keberanian tanpa kekerasan. Fokus pada tujuan: menyuarakan tuntutan rakyat." Kami mengangguk mantap. Ada keheningan sesaat. Angin siang mulai berembus membawa sedikit aroma hujan.
Tiba-tiba Nadya mengangkat tangan. "Hidup mahasiswa!" serunya lantang. Serempak kami menjawab, "Hidup!" Suara itu menggema di parkiran, membangun semangat. Sekujur bulu kudukku meremang. Inilah saatnya. Aku sadar, di momen itu, aku tidak sendirian. Puluhan, ratusan, ribuan pemuda di berbagai sudut negeri juga pasti merasakan hal yang sama: marah, berani, dan siap bertindak.
Kami pun bergerak beriringan meninggalkan kampus. Di gerbang, beberapa satpam menatap dengan alis berkerut, tahu kami akan berdemonstrasi. Salah satu tampak ingin menahan namun ragu. Mungkin sudah ada instruksi membiarkan tapi memantau. Bara hanya tersenyum dan melambaikan tangan ramah pada mereka, lalu berjalan terus. Gestur kecil itu membuatku tersenyum. Ia tidak melihat satpam sebagai musuh, hanya orang kecil yang juga terjepit keadaan.
Siang itu, kami menuju pusat kota dengan naik bus umum dan sebagian naik sepeda motor. Aku dan Nadya naik di bus yang sama dengan Bara. Di dalam bus, beberapa penumpang melirik aneh melihat masker dan kacamata renang tergantung di leher kami. Seorang ibu paruh baya bertanya, "Mau renang di mana, Dek?" Nadya hanya tersenyum simpul, "Iya Bu, renang di lautan manusia ntar," jawabnya ringan. Ibu itu mengernyit, tak paham, tapi tak bertanya lagi. Bara menahan tawa di belakangku, dan aku hanya bisa menggeleng kecil sambil tersenyum. Humor kecil seperti itu sangat membantu meredakan ketegangan dalam dadaku.
Bus merayap di tengah kemacetan. Dari kejauhan, aku sudah melihat gelombang manusia berbaju almamater berbagai warna tumpah ruah di jalan utama depan gedung DPR. Suara toa dan yel-yel sayup terdengar. Jantungku berdegup makin kencang, campuran antara takut dan bersemangat. Kupandang Bara di sampingku; ia balas menatap dan tersenyum tipis seolah berkata, tenang, kita bersama.
Kami turun beberapa ratus meter dari titik aksi karena jalan sudah dipenuhi massa. Begitu menjejak trotoar, aku bisa merasakan energi demonstrasi itu mengalir. Di kiri kanan, ribuan mahasiswa mengangkat poster dan spanduk. Ada yang bertuliskan serius: "Tegakkan Keadilan, Turunkan Rezim Penindas!", "Demokrasi Mati di Tangan Penguasa!", dan ada pula poster kreatif yang mengundang tawa meski getir: "Kami capek demo, mau pemerintah tobat aja", atau "Ini demo bukan konser, tapi Bapak boleh kok turun panggung". Aku tersenyum melihat kreativitas teman-teman.
Tiba-tiba terdengar suara memekakkan dari pengeras suara: "Hidup mahasiswa!" dan massa menjawab gemuruh. Bara mengibarkan bendera merah putih tinggi-tinggi, berjalan merangsek masuk kerumunan sambil memberi isyarat padaku dan Nadya untuk mengikutinya. Kami bergabung dengan arus manusia. Di sekitar, kulihat wajah-wajah penuh harap dan tekad. Ada juga yang tampak tegang.
Di barisan depan tampak pagar tameng polisi antihuru-hara berbaris menghadang. Seragam hitam mereka kontras dengan lautan mahasiswa berwarna-warni. Senjata gas air mata menggantung di pinggang beberapa aparat. Jantungku mencelos sedikit melihatnya, terbayang pedih gas, tapi kuteguhkan hati: ini konsekuensi perjuangan.
Bara tiba-tiba naik ke atas tembok rendah di pinggir jalan, masih dengan bendera di tangan. Ia mulai meneriakkan yel dengan suara lantang, dan kami mengikuti:
"Reformasi dikorupsi!" – "Turunkan sekarang!"
"Kebebasan dibungkam!" – "Lawan penindasan!"
"Kami mahasiswa!" – "Suara rakyat!"
Yel-yel itu bersahut-sahutan. Aku ikut berteriak sekuat tenaga. Nadya di sampingku mengangkat tinju ke udara. Suasana menggelegak. Di sela teriakan, sempat kulihat Bara tersenyum padaku sambil melantunkan yel terakhir: "Hidup perempuan berani!" serunya tiba-tiba, spontan. Sekelompok mahasiswi di belakangku bersorak lebih keras, dan tanpa sadar mataku memanas terharu. Di negeri yang kerap meremehkan perempuan, momen seperti itu bagai embun.
Aku sempat terpikir: inilah romantisme perjuangan yang sering kucibir saat baca buku sejarah. Ternyata di tengah hingar-bingar dan bahaya, ada rasa cinta yang tumbuh — cinta pada sesama pejuang, pada cita-cita yang sama. Dan di sisiku ada Bara, yang entah sejak kapan telah mencuri hatiku di sela-sela rapat konsolidasi dan orasi-orasinya.
Namun tiba-tiba suasana berubah. Dari arah barikade polisi, seorang perwira tampak berbicara di megafon, suaranya parau terdengar: "Mundur! Bubarkan aksi atau kami bubarkan paksa!" Suara itu disambut sorakan tak gentar dari mahasiswa. Bara turun dari tembok, kembali di sisi kami. "Tetap tenang!" katanya cepat pada kami di sekelilingnya. Aku merasakan telapak tangannya hangat menyentuh lenganku sekilas, menyalurkan sedikit ketenangan.
Detik berikutnya, tanpa peringatan lebih lanjut, dor! suara letusan terdengar di udara. Kepulan asap putih menanjak dari sebuah proyektil yang ditembakkan ke arah langit – gas air mata. "Gas air mata!" seseorang berteriak memperingatkan. Seketika barisan depan kacau. Beberapa mahasiswa berlari mundur panik. Yang lainnya sudah sigap memakai masker dan kacamata.
Aku tergagap sejenak tapi segera menarik masker menutupi hidung mulut dan mengenakan kacamata renang. Nadya melakukannya lebih cepat sambil menggenggam tanganku. "Lari ke kiri!" Bara berseru sambil mengisyaratkan kami menjauh dari pusat asap. Aku terbatuk, mataku perih meski terlindung sedikit. Teriakan dan batuk terdengar di mana-mana. Kepanikan merambat bagaikan api menyambar jerami kering.
Seseorang jatuh terdorong di dekatku – seorang mahasiswi. Tanpa pikir panjang, aku membungkuk membantunya bangun. Ia terisak panik, matanya merah. "Sakit... mataku sakit..." erangnya. Aku merogoh botol air di tas, "Sini, cuci muka pakai ini," kataku. Tangan kiriku masih digandeng erat oleh Nadya yang enggan melepas agar kami tak terpisah. Di sela kekacauan, kurasakan Bara merangkul pundakku cepat, membantu menuntun kami menepi menjauhi gas.
Suasana kacau-balau. Dari belakang, barisan mahasiswa mulai mundur tersapu kepanikan. Dari depan, polisi mulai merangsek maju sambil memukulkan pentungan ke tameng mereka, menimbulkan irama menggetarkan nyali. Bruk-bruk-bruk, suara pentungan menggedor, diikuti teriakan komando aparat yang entah berkata apa.
"Doni mana?!" teriak Nadya tiba-tiba, teringat teman kami yang tadi melucu. Aku celingukan sambil terbatuk. Pandangan samar. "Ga tau! Pisah pas tadi lari," sahutku, cemas. Tapi arus manusia terpaksa menyorong kami terus mundur.
Tepat saat itulah kulihat seseorang terjatuh di depan barikade, lalu beberapa aparat mengeroyoknya dengan pentungan. Awalnya samar, tapi kemudian aku mengenali jaketnya — jaket almamater kampus kami. Itu Doni! "Bara! Doni!" aku menunjuk panik. Bara menoleh dan melihat yang kumaksud. Mata Bara terbelalak marah. "Brengsek! Mereka keroyok dia," geramnya.
Sebelum bisa dicegah, Bara berlari menerobos maju kembali melawan arus massa. "Bara!!" aku menjerit memanggilnya, tapi ia tak peduli. Sosoknya melompat menerjang aparat terdekat untuk mencapai Doni. Beberapa mahasiswa lain yang lebih sigap berusaha membantu juga, namun jumlah polisi lebih banyak.
Aku dan Nadya terdorong makin jauh oleh gelombang massa mundur. Hatiku mencelos, ketakutan menjalar. "Kita gak bisa tinggal diam, Ra!" tangis Nadya marah. Ia mencoba bergerak melawan arus juga, tapi aku menarik tangannya. "Ndya, jangan! Kita malah bisa terluka kalau maju tanpa kawan lain," teriakku parau sambil menahan sakit di dada melihat Bara kini ikut dipukul pentungan.
Di depan sana kulihat Bara merunduk menghindari satu pukulan dan berhasil memapah Doni yang sempoyongan. Bersama beberapa mahasiswa lain, mereka menarik mundur tubuh Doni menjauh dari aparat. Pentungan dan tendangan aparat masih mendarat di punggung mereka, namun akhirnya mereka berhasil lari kembali ke arah kami dengan Doni diapit.
Aku segera berlari mendekat begitu Bara dan kawan-kawan terjangkau. Nafasku sesak oleh cemas. Wajah Bara merah dan berkeringat, ada bekas lebam di pelipisnya. Doni setengah diseret, kakinya pincang. "Cepat, bawa Doni menjauh!" seru seseorang. Kami bergerak ke tepi, mencari perlindungan di balik tiang jembatan layang.
Nadya terisak melihat kondisi Doni yang kini terduduk lemas. "Ya Tuhan... Don," gumamnya. Lutut Doni berdarah, bibirnya pecah. Namun ia masih bisa nyengir kecil. "Tenang, cuma bonus pukulan sayang dari negara," ujarnya mencoba bercanda walau suaranya serak. Aku merasa perih di dada mendengarnya berusaha bercanda di tengah kesakitan.
Bara mengeluarkan sebotol air, memberikan padaku. "Kirana, tolong basuh mukanya," katanya cepat. Aku menuang air pelan-pelan ke wajah Doni yang kelilipan dan memerah karena gas air mata. Sementara Bara dan dua mahasiswa lain mengikatkan kain ke luka di lutut Doni. "Lu gila, Don, ngapain lu malah maju tadi?" omel Bara, setengah lega setengah kesal. Doni menyeringai, "Tadi ada cewek jatuh depan gue, gue bantu... Eh malah gue dihajar... Untung lu dateng. Kalo nggak, tamat gue barusan," tuturnya terputus-putus.
Aku menatap Bara penuh rasa syukur dan khawatir. "Kamu gak apa?" tanyaku, tanganku terulur menyentuh pelipisnya yang memar. Bara mengangguk sambil tersenyum tipis. "Cuma kena sedikit. Gak usah khawatir," jawabnya pelan. Sekilas, di tengah kekacauan dan air mata yang masih menggenang di sudut mataku, aku merasakan hangat membanjiri dada — sebuah rasa kagum dan sayang melihat keberanian Bara yang menyelamatkan kawan.
Suara tembakan gas terdengar lagi di kejauhan. Polisi mendorong mundur massa semakin jauh. Keadaan sudah tak terkendali. "Kita harus mundur. Mereka mulai brutal," kata seorang mahasiswa dengan napas memburu. Nadya mendekap lengan Doni, siap membantunya berdiri. Aku meraih tanganku pada Bara untuk bergerak pergi.
Tapi saat itu, tatapanku bertemu tatapannya. Ada kilatan amarah tertahan di mata Bara saat ia melirik ke arah barisan polisi, namun ia menggenggam tanganku dan menatapku kembali, mencoba tersenyum menenangkan. "Ayo, kita pergi dulu dari sini," ujarnya.
Kami pun mundur bersama gelombang mahasiswa yang tercerai-berai. Asap gas air mata masih membubung di belakang, seolah menjadi tirai kelabu yang menutup babak awal perjuangan hari itu. Dadaku sesak bukan hanya oleh sisa gas kimia, tapi juga oleh campuran emosi: marah, takut, sedih melihat kekerasan, namun juga bangga karena tak lari sendirian. Di genggaman tanganku ada kehangatan jemari Bara, mengalirkan sedikit rasa aman di tengah chaos.
Saat itu aku sadar, inilah baru permulaan. Perjuangan ini akan panjang. Dan aku — kami semua — harus menyiapkan hati sekuat baja, namun tetap setia pada cinta kasih agar tidak menjadi seperti mereka yang menindas. Di tengah deru sirene dan tangis, entah kenapa, kurasakan optimisme hangat mengalir bersama darahku yang berdesir kencang.
Kami berhasil menjauh ke sebuah gang kecil. Napas kami tersengal, tubuh lelah. Beberapa kawan merangsek menuju kampus terdekat untuk berlindung. Aku, Bara, Nadya, dan Doni berhenti sejenak di dekat warung yang sudah tutup. Doni terduduk lagi sambil meringis menahan sakit. Nadya menjaganya.
Bara menoleh padaku. Debu dan asap masih menempel di bajuku, aku yakin wajahku pun lusuh. Ia menghela napas, lalu berkata pelan, "Maaf ya, semuanya jadi kacau." Nada suaranya penuh penyesalan dan amarah tertahan. Aku menggeleng tegas. "Bukan salahmu. Dari awal mereka memang niat kasar," ujarku yakin. "Kamu sudah berani, Bar, nyelamatin Doni. Aku..." suaraku hilang ditelan isak yang kutahan. Aku hampir saja kehilangan dia tadi.
Tanpa kuduga, Bara meraih pundakku dan menarikku ke pelukannya. Hangat, erat, melindungi. "Gak apa-apa, aku di sini," bisiknya di dekat telinga. Sontak air mataku luruh. Dalam pelukannya sekejap dunia yang kacau mereda. Aku mendengar detak jantungnya cepat hampir selaras dengan detakku.
Di sebelah, Nadya pura-pura sibuk membetulkan perban di lutut Doni sambil menyikut lengan Doni, mungkin memberi isyarat jangan mengganggu momen kami. Aku tak peduli. Sesaat kubiarkan diriku tenggelam dalam rasa aman itu, walau tahu kami tak boleh lama-lama. Di kejauhan terdengar teriakan dan sirene masih bersahutan.
Akhirnya Bara melepas pelukannya perlahan. Ia menatap mataku, menghapus air mata di pipiku dengan ibu jarinya. "Kirana, kamu berani sekali tadi. Kamu baik-baik?" tanyanya lembut.
Aku mengangguk pelan, mengusap sisa air mata. "Iya... aku baik," jawabku meski suara masih bergetar. Lalu aku teringat sesuatu, "Teman-teman yang lain gimana? Banyak yang terluka nggak ya?" Kekhawatiranku muncul memikirkan kawan di luar lingkar kecil kami.
Bara menarik napas. "Aku gak tahu pasti. Tapi tadi sempat kulihat beberapa dipukul. Mungkin mereka terpencar. Nanti coba kita hubungi setelah agak tenang."
Saat itu Nadya berdiri, melemaskan kaki. "Kita cari tempat aman yuk. Mending menjauh dulu dari area ini. Doni perlu diobati benar," katanya. Aku dan Bara setuju. Kami pun membantu Doni berdiri. Dengan tertatih, kami menuntunnya menyusuri gang mencari jalan pulang. Langit yang tadi kelabu kini mulai menitikkan gerimis halus, membasahi bahu kami yang letih.
Gerimis itu seperti tangisan langit yang tertahan sejak pagi. Aku dongakkan kepala sejenak, merasakan tetesnya di wajah. Entah kenapa, dalam hati aku berdoa diam-diam: semoga semua ini tidak sia-sia. Perjuangan baru mulai, jalan masih panjang. Bersama rintik hujan, tekadku justru semakin tumbuh, berakar di tanah perlawanan yang telah disirami air mata.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
