Laut dan Kolam Ikan Ayah: Maafkan Aku, Yah

2
1
Deskripsi

Untuk Perempuan yang Pernah Kehilangan Sosok Ayah, Bahkan Saat Ayah Masih Hidup

Buku ini kutulis bukan untuk menjelaskan apa itu kehilangan.
Karena kehilangan, sering kali tidak perlu dijelaskan. Ia cuma perlu diakui. Dirasakan.
Diam-diam.

Ada banyak anak perempuan yang tumbuh tanpa pelukan ayah.
Bukan karena ayahnya jahat. Bukan karena ayahnya tak cinta.
Tapi karena ayahnya… tidak pernah benar-benar hadir.

Mungkin karena pekerjaan. Mungkin karena jarak.
Mungkin juga karena tak pernah diajarkan cara mencintai...

Prolog: "Aku tak pernah benar-benar mengenalmu, Ayah."

Ada wajah laki-laki dalam foto di dompet ibuku. Wajah yang sama yang muncul sekali-sekali saat aku menggambar keluarga di kertas gambar TK—selalu di sisi paling kiri, berjenggot samar, dan matanya dibuat kecil karena aku lupa seperti apa bentuk matanya.

Sejak kecil aku terbiasa melihat ibuku tidur sendirian. Sarapan dibuat untuk dua, tapi yang makan hanya satu. Piring ayah selalu bersih, karena tak pernah diisi. Hanya satu-dua kali aku ingat, Ayah pulang dengan baju bau minyak dan suara yang serak karena terlalu lama melawan suara mesin di tengah laut.

Aku memanggilmu "Ayah", tapi rasanya seperti menyebut nama tokoh fiksi—ada, tapi tak hadir. Nyata, tapi tak bisa disentuh. Kita seperti dua titik di garis hidup yang tak pernah bertemu. Aku tumbuh. Kamu pergi. Aku belajar berjalan. Kamu mengejar target pengeboran. Aku naik kelas. Kamu tenggelam dalam laporan mingguan. Aku lulus. Kamu tak datang. Aku menikah. Kamu hanya mengirim doa lewat pesan.

Dan sekarang... kamu telah benar-benar pergi. Tapi kenapa hatiku terasa biasa saja?

Mereka bilang aku keras. Tak tahu diri. Tak tahu berterima kasih. Tapi bagaimana aku bisa merindukan seseorang yang bahkan tak sempat kujadikan rumah?

Kini aku duduk sendiri, membuka kotak usang di pojok lemari yang selama ini kusepelekan. Di dalamnya ada surat suratmu. Puluhan. Bahkan mungkin ratusan. Tertulis tangan. Ditujukan padaku.

Dan aku… tak pernah sempat membacanya.

 

Bab 1 : Kotak yang Tak Pernah Kubuka

Kotak itu tidak pernah benar-benar aku perhatikan.
Sudah bertahun-tahun ia tergeletak di pojok lemari rumah ibu, ditumpuk dengan koper bekas haji dan album-album foto lama.
Warnanya cokelat tua, sedikit berdebu, dan kuncinya sudah karatan.

“Ayahmu dulu yang simpan itu,” kata Ibu waktu aku tanya, beberapa hari setelah pemakaman. “Katanya itu buat kamu.”

Aku hanya mengangguk. Tak ingin membuka. Tak ingin tahu. Atau mungkin... terlalu takut untuk tahu.

Aku lebih terbiasa menyimpan luka dalam diam daripada membukanya satu per satu.
Aku terlalu pandai membungkus sepi dengan tawa yang sekadarnya.
Dan ayah, bagiku, sudah lama seperti benda asing:
dikenal tapi tidak dekat, hadir tapi tak menyentuh.

Tapi pagi itu, entah kenapa, aku membuka kotaknya.

Dengan tangan yang sedikit gemetar, aku patahkan gembok kecil yang sudah usang.
Di dalamnya, ada tumpukan kertas yang dilipat rapi. Ada amplop kuning yang warnanya sudah pudar.
Semua bertuliskan nama lengkapku. Tulis tangan.
Puluhan.
Dengan tanggal-tanggal yang dimulai dari tahun aku lahir... hingga tahun ini.

Aku membuka satu.

"Untuk putriku tersayang,
Maaf Ayah tidak bisa melihatmu tertawa hari ini.
Hari ini kamu ulang tahun yang ke-5. Ayah masih di laut.
Tapi Ayah janji, suatu hari nanti kamu akan mengerti… bahwa mencintai juga bisa dilakukan dari jauh."

Aku berhenti membaca.

Tiba-tiba seluruh luka yang kutahan selama ini menyerbu keluar tanpa aba-aba.
Mataku panas. Bukan karena isinya menyentuh. Tapi karena aku marah.
Marah kenapa baru sekarang.
Marah kenapa dulu aku merasa tidak dicintai, padahal mungkin aku hanya tidak diberi waktu untuk tahu.

Kotak itu… ternyata menyimpan semua kata yang tak pernah sempat ia ucapkan.
Semua rindu yang tak pernah sampai.
Semua pelukan yang hanya tertulis, tak pernah terjadi.

Dan aku, anak perempuannya, sudah terlalu terbiasa hidup tanpa mereka.

Aku duduk di lantai kamar, masih memegang surat itu.
Sisa-sisa debu dari kotak menempel di celana tidurku.
Langit-langit kamar seperti ikut membisu.
Suara burung pagi yang biasanya riuh, kini terasa jauh sekali.
Entah kenapa dunia seperti melambat, memberi ruang untuk aku menangis—tanpa suara, tanpa air mata yang tumpah, hanya gemetar kecil di ujung dada.

Apa gunanya semua ini sekarang?
Apa gunanya ratusan surat kalau tak satu pun membentuk kenangan?
Apa gunanya cinta yang tak pernah berhasil menyentuhku, kecuali setelah ia tak lagi bernapas?

Aku memeluk kotak itu seperti memeluk reruntuhan.
Bukan untuk menyelamatkan kenangan, tapi mungkin…
untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku ingin percaya
bahwa aku pernah dicintai oleh seseorang yang tak sempat jadi rumah.

 

Bab 2 : Hari-Hari Tanpa Namamu

Aku tumbuh di rumah yang baik.
Tidak kekurangan makan. Tidak kekurangan baju. Tidak kekurangan pelukan dari ibu.
Tapi tetap saja ada yang kurang.
Dan kekurangan itu begitu samar, sampai aku sendiri tidak tahu namanya.
Waktu kecil, aku hanya menyebutnya sebagai “yang nggak ada.”

Ayah adalah “yang nggak ada.”

Bukan karena sudah meninggal. Bukan karena pergi selamanya. Tapi karena selalu pergi.
Namanya tetap disebut dalam doa makan, tapi kursinya selalu kosong di meja makan.
Foto dirinya tergantung di ruang tamu, tapi wajahnya terasa seperti milik orang asing.

Setiap kali aku tanya, “Ayah kapan pulang?”
Ibu akan menjawab, “Ayah kerja. Nanti pulang.”
Tapi "nanti" itu tidak pernah hari ini. Tidak pernah besok.
Dan lama-lama, aku berhenti bertanya.

Aku belajar tampil di pentas TK sendirian.
Belajar upacara bendera tanpa melihat siapa pun di pinggir lapangan.
Belajar menyebut “ayah” hanya sebagai bagian dari formulir sekolah.
Bukan sebagai seseorang yang benar-benar hidup dalam kenanganku.

Lucunya, aku tidak menangis.
Anak kecil itu tidak tahu bahwa ia sedang kehilangan.
Ia hanya tahu bahwa hidupnya memang begitu adanya.
Seperti nasi tanpa lauk.
Seperti malam tanpa dongeng.
Seperti ulang tahun tanpa lilin yang ditiup bersama ayah.

Kadang Ibu memutarkan video lama. Ada suara laki-laki tertawa, memanggil namaku yang masih cadel.
“Ayahmu itu lucu, kan?” kata Ibu sambil tersenyum.

Aku hanya ikut tersenyum.
Padahal aku tidak ingat suara itu. Tidak ingat sentuhan itu. Tidak ingat rasa itu.
Bagiku, ayah adalah suara dalam video.
Bukan seseorang yang bisa kupeluk setelah menangis.
Bukan tempat aku bersembunyi dari dunia.

Aku tidak membencinya.
Tapi aku juga tidak bisa mencintainya.
Karena untuk bisa mencintai, seseorang harus lebih dulu hadir.
Dan ia tidak pernah benar-benar hadir.

 

Bab 3 : Pelajaran Menyayangi Orang yang Tak Pernah Hadir

Mereka bilang, anak perempuan yang punya hubungan dekat dengan ayah akan tumbuh lebih percaya diri.
Katanya, ayah adalah cinta pertama yang mengajarkan harga diri.
Katanya, dari ayah-lah seorang perempuan belajar bagaimana ia seharusnya diperlakukan oleh dunia.

Aku membaca itu dari artikel-artikel majalah remaja.
Dan setiap kali membaca, aku merasa… iri.

Teman-temanku sering bercerita, “Ayahku galak banget, tau!”
Atau, “Ayahku jemputin aku pakai motor tua, malu deh.”

Aku hanya tertawa bersama mereka.
Tapi dalam hati aku berpikir:
Lucu ya, mereka bisa mengeluh tentang ayahnya… karena mereka mengenalnya.

Sementara aku?

Aku bahkan tidak tahu bagaimana cara menyebut nama ayahku dengan perasaan.
Setiap kali aku disuruh menulis karangan “Pahlawan dalam Hidupku”, aku memilih Ibu.
Karena menulis tentang Ayah terasa seperti mengarang fiksi.

Ayah memang pulang. Tapi hanya enam bulan sekali. Itu pun cuma satu bulan.
Waktu aku kecil, satu bulan itu terasa seperti tamu.
Ia datang, lalu pergi lagi, bahkan sebelum aku sempat hafal suaranya.

Momen yang paling kuingat setiap kali Ayah pulang adalah saat ia mengajak kami sekeluarga ke swalayan.
Kami membeli keperluan rumah, camilan, dan kadang mainan kecil.
Wajah Ayah terlihat senang.
Mungkin karena ia merasa sedang “membayar” kehadirannya dengan belanja.

Dan aku...
entah sejak kapan, mulai merasa Ayah seperti mesin ATM.
Bukan karena aku matre, tapi karena itulah satu-satunya bentuk kehadiran yang kuterima: uang, barang, dan belanja bulanan.

Mungkin karena itu pula, aku tumbuh jadi perempuan yang mengukur cinta dengan pemberian.
Dan… maafkan aku, Sayang, kalau aku pernah memperlakukanmu dengan cara yang sama.
Kalau aku pernah menjadikanmu mesin ATM—tanpa sadar, tanpa niat jahat.
Itu bukan karena aku tidak mencintaimu,
tapi karena aku belum selesai sembuh dari cara lama mencintai yang salah.

Pernah sekali, aku mencoba menulis tentang Ayah.
Kugambarkan sebagai pria tinggi dengan bau minyak dan suara berat.
Tapi kalimatku selalu berhenti di tengah.
Karena bagaimana kau bisa menyelesaikan cerita tentang seseorang yang tidak pernah benar-benar muncul dalam hidupmu?

Aku tumbuh jadi remaja yang bisa segalanya sendiri.
Belajar naik angkot sendiri.
Memperbaiki sepeda sendiri.
Menjaga diri sendiri.
Bahkan… memikul kecewa sendiri.

Waktu pertama kali aku patah hati, aku menangis diam-diam di kamar.
Tidak ada ayah yang mengetuk pintu, bertanya apa yang terjadi.
Tidak ada pelukan protektif, atau kalimat: “Kamu berharga. Jangan biarkan siapa pun merendahkanmu.”

Aku belajar menyayangi diriku sendiri, karena tak ada yang mengajarkannya.

Dan pelan-pelan aku sadar,
mungkin aku harus belajar menyayangi ayahku...
dari sisa-sisa yang tersisa.
Dari potongan-potongan cerita Ibu.
Dari video yang suaranya sudah gemetar.
Dari surat-surat yang belum sempat kubuka.

Karena mungkin, mencintai orang yang tak pernah hadir…
adalah pelajaran paling sunyi yang harus kupelajari sebagai anak perempuan.

 

Bab 4 : Surat Tahun ke-17

Sejak menemukan kotak itu, aku belum punya cukup keberanian untuk membuka semuanya.
Beberapa surat sudah kubaca. Beberapa hanya kupegang, kuhirup kertasnya yang berbau lama, lalu kuletakkan kembali.

Tapi ada satu surat… yang jatuh sendiri dari sela-sela tumpukan.
Amplop putih, sedikit sobek di pinggir, dengan tulisan tangan yang agak terburu-buru:
“Untuk Ulang Tahunmu yang ke-17.”

Tanganku gemetar.
Ulang tahunku yang ke-17…
Hari itu aku ingat betul aku menangis diam-diam karena Ayah tak datang.
Padahal Ibu bilang, Ayah sempat telepon pagi-pagi. Tapi aku menolak bicara.

Saat itu, aku bilang pada diriku sendiri:
“Udah cukup. Aku gak butuh dia lagi.”

Kupeluk surat itu sebentar, sebelum membukanya perlahan.
Kertas di dalamnya sudah menguning, tapi tinta biru gelapnya masih terbaca jelas.

“Putriku,

Hari ini kamu 17 tahun. Ayah tahu, kamu mungkin tidak mau dengar dari Ayah lagi.
Ayah juga tahu, Ayah telah melewatkan banyak hal yang seharusnya Ayah jalani bersamamu.

Tapi Ayah ingin kamu tahu…
Ayah tidak pernah sehari pun lupa kamu.
Ayah tidak pernah sehari pun berhenti merasa bersalah.

Ayah tahu, surat ini tidak cukup.
Tidak ada kata yang bisa menggantikan pelukan. Tidak ada tinta yang bisa menyeka air matamu.
Tapi ini satu-satunya cara yang Ayah punya…

...karena ketika Ayah bekerja di laut, Ayah harus menahan tangis sendiri saat mendengar kabar kamu demam.
Ayah menatap ombak, sambil berdoa kamu tidur nyenyak.

Maafkan Ayah, karena memilih menjadi penyedia…
dan bukan pelindung.

Selamat ulang tahun, Nak.
Ayah bangga padamu, bahkan dari jauh.”

Aku tak bisa menahan tangis kali ini.
Bukan karena kata-kata itu indah. Tapi karena terasa… rapuh.
Seperti suara seorang pria yang ingin kembali ke rumah, tapi tak tahu jalannya.
Seperti suara orang tua yang tahu ia kalah oleh waktu.

Selama ini, aku merasa Ayah tidak pernah mencintaiku.
Tapi mungkin, bukan itu masalahnya.
Masalahnya adalah: dia mencintaiku… dengan cara yang tidak bisa kupahami waktu itu.

Surat itu kusimpan di sampul buku harian lamaku.
Aku belum siap membaca surat-surat yang lain.
Tapi untuk pertama kalinya, aku ingin.
Bukan karena aku rindu, tapi karena aku mulai melihat bahwa mungkin…
Ayah pun terluka.

Dan luka, betapapun jauhnya jarak, bisa saling menemukan jika diberi ruang.

 

Bab 5 : Waktu yang Terlambat

Hari itu datang tanpa peringatan.
Ibu meneleponku pagi-pagi, suaranya bergetar, hampir tak bisa dipahami.

“Ayahmu… di ICU,” katanya singkat.

Aku diam.
Bukan karena shock. Tapi karena aku tidak tahu apa yang harus kurasakan.
Tak ada air mata. Tak ada amarah.
Hanya… kosong.

Kupikir aku akan panik. Kupikir aku akan gemetar.
Tapi aku hanya duduk di tepi tempat tidur, menatap lantai, mencoba mengingat:
Terakhir kali aku bicara dengan Ayah... kapan, ya?

Aku datang ke rumah sakit sore itu.
Bersama suamiku.
Tangannya menggenggam erat tanganku, seolah tahu aku sedang berjalan di antara rasa yang tak bernama.

Ayah terbaring.
Tubuhnya lebih kecil dari yang kuingat. Selang di mana-mana.
Wajahnya pucat. Matanya setengah terbuka, tapi seolah tak melihat.

Aku berdiri di samping ranjang, seperti orang asing.
Lidahku kelu. Hatiku bingung.

Seharusnya aku berkata:
“Ayah, aku di sini.”
“Ayah, aku maafkan.”
“Ayah, aku rindu.”

Tapi tidak ada satu pun yang keluar.

Aku hanya menatap.
Dan ia hanya terbaring.
Dua manusia yang terlalu lama saling diam,
sampai akhirnya waktu menyeret kami ke ruang putih ini—tempat di mana semuanya sudah terlalu terlambat untuk diperbaiki.

Ibu menyuruhku bicara.
“Katakan saja apa pun. Meskipun Ayah nggak bisa jawab, dia bisa dengar.”

Tapi aku tetap diam.
Dan untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku merasa benar-benar jahat.

Kupeluk bahu ibu yang bergetar.
Dan untuk sesaat, aku berharap waktu bisa ditarik mundur—bukan untuk menyelamatkan Ayah,
tapi untuk memberiku cukup waktu... agar aku bisa belajar mencintainya sebelum tubuhnya lemah tak berdaya.

Dan saat aku menatap wajahnya yang melemah itu, tiba-tiba ingatan itu muncul—kenangan yang justru paling ingin kulupakan, karena terlalu menyakitkan untuk diakui.

Beberapa tahun lalu, setelah Ayah pensiun, dia mencoba membangun kolam ikan di samping rumah.
“Ikanku nanti bisa dijual,” katanya semangat, “biar kamu nggak perlu repot kasih uang.”

Aku hanya tersenyum hambar waktu itu.
Dan diam-diam, dalam hati, aku mencibir:

“Ayah masih belum ngerti ya... uang bukan masalah. Yang aku butuhkan dulu cuma kehadiran.”

Suatu malam, Ayah menelepon.
Bercerita panjang lebar soal jenis ikan, air, pakan, dan peluang bisnis kecil-kecilan.
Suaranya penuh semangat.
Tapi aku... memotong pembicaraan.
Kusuruh dia langsung saja kirim foto lewat WA. Lalu aku bilang, "Maaf Yah, aku lagi repot. Nanti kita ngobrol lagi ya."

Tapi aku nggak pernah menelepon balik.

Dan sekarang, di ruang ICU ini, aku menyadari:
Mungkin Ayah tidak sedang bicara soal ikan.
Mungkin... dia sedang mencoba bicara soal dirinya.
Tentang bagaimana ia ingin tetap berguna. Tentang bagaimana ia ingin tetap dipandang.

Tapi aku terlalu sibuk menghakimi caranya mencintai,
sampai aku lupa bahwa orang tua juga bisa kesepian.
Juga bisa ingin dipuji.
Juga bisa takut ditinggal.

Aku menangis pelan di samping ranjang itu.
Bukan karena kehilangan, tapi karena rasa bersalah yang terlalu telat datang.

Dan untuk pertama kalinya dalam hidupku,
aku berharap Ayah bisa mendengar isi hatiku,
meski hanya dalam detak lemah monitor jantungnya.

“Maaf ya Yah... aku terlalu lama jadi anak yang marah.”
“Dan terlalu cepat menjadi anak yang melupakan.”

Beberapa hari kemudian, Ayah pergi.
Diam-diam. Seperti biasanya.
Tanpa kata perpisahan. Tanpa pelukan.
Tanpa kepastian apakah ia sempat mendengar keberadaanku di ruang itu.

Dan aku,
anak perempuannya,
masih belum tahu bagaimana caranya menangisi seseorang
yang tak pernah sempat kujadikan rumah.

 

Interlude : Rumah yang Terlalu Sepi untuk Dua Orang

Setelah puluhan tahun absen dari keseharian rumah, Ayah akhirnya pulang.
Bukan untuk cuti satu bulan seperti biasa.
Kali ini, selamanya.
Ayah pensiun.

Tak ada lagi suara koper dibuka tengah malam.
Tak ada lagi bau minyak yang menempel di baju kerja.
Tak ada lagi pamit buru-buru di pagi buta.

Kini Ayah duduk di rumah.
Setiap hari.
Di kursi yang sama.
Dengan celana pendek dan kaos lusuh, menonton TV yang volumenya terlalu keras.
Sesekali ia berkebun. Sesekali ia beternak ikan.
Sesekali ia mencoba memasak mie instan, dan mengaku “sedang belajar jadi chef pensiun”.

Dan aku... anak perempuannya...
justru merasa asing.

Lucu ya?
Selama ini aku pikir yang kuinginkan hanyalah kehadirannya.
Tapi begitu dia benar-benar hadir, aku tak tahu harus bicara apa.

Kami satu rumah, tapi obrolan kami hanya seputar:
"Udah makan?"
"Nanti hujan."
"Berangkat kerja jam berapa?"

Selebihnya sunyi.

Ayah pernah mencoba membuka percakapan lebih dalam.
Bercerita soal kolam ikannya.
Tentang bibit ikan lele yang ia beli online.
Tentang rumput azolla yang bisa jadi pakan alami.
Tentang harapannya bisa panen dan menjual ke tetangga.

Aku hanya mengangguk.
Kadang pura-pura tertarik.
Kadang sengaja pulang malam supaya tak harus mengobrol.

Pernah suatu malam, aku dengar dia bicara pelan ke Ibu:
"Anak kita kayaknya gak suka aku di rumah, ya?"

Aku pura-pura tidur saat itu.
Tapi kalimat itu menusukku diam-diam.

Bukan.
Bukan aku tak suka.
Aku hanya tak tahu bagaimana caranya akrab dengan seseorang
yang selama ini kusebut ayah, tapi tak pernah sempat kujadikan teman.

Ada jarak yang aneh.
Jarak yang tidak diciptakan oleh kemarahan,
tapi oleh terlalu banyak hari yang tak dibagikan bersama.

Ayah mulai sibuk dengan hobinya.
Sebagian uang pensiun ia belikan terpal, pompa air, dan pakan ikan.
Aku diam-diam kesal.
Dalam hatiku bergumam:
“Kenapa uang pensiun malah dihabisin buat beginian?”

Padahal mungkin...
itu satu-satunya cara Ayah merasa masih berguna.
Masih bisa disebut “laki-laki yang memberi”.
Masih punya arti di mata anak perempuannya.

Tapi aku… terlalu sibuk menilai,
hingga lupa, bahwa orang tua juga manusia.
Punya rasa sepi.
Punya keinginan untuk dikagumi.

Dan kadang, satu-satunya bentuk cinta yang bisa mereka beri adalah dengan
memelihara ikan—di halaman belakang yang sepi.
Karena mereka tak tahu bagaimana cara memelihara hubungan
yang telah lama menggantung di udara.

 

Interlude : Kepalaku Sudah Tak Dibutuhkan, Tapi Hatiku Masih Punya Nama

Pagi ini, seperti biasa, aku bangun lebih awal dari siapa pun.
Jam 5.30.
Udara masih dingin, langit masih malu-malu.
Tapi langkahku otomatis menuju halaman belakang.

Kolam itu belum sempurna.
Terpalnya mulai bocor sedikit.
Airnya keruh.
Pompa airnya sudah dua kali macet.

Tapi aku tetap datang.
Setiap pagi.

Aku duduk di kursi plastik yang makin rapuh.
Ngasih makan ikan-ikan yang entah akan hidup atau mati.
Bukan karena aku peternak ulung.
Bukan juga karena aku butuh uang dari ikan-ikan itu.
Tapi karena… aku butuh sesuatu yang membuatku merasa masih berguna.

Sudah tidak ada lagi rapat kerja.
Tidak ada yang menunggu arahanku.
Tidak ada telepon mendesak.
Tidak ada yang bertanya, “Pak, bagaimana baiknya?”

Dan di rumah ini...
aku mulai sadar, keberadaanku tak lagi penting.

Anakku sibuk kerja.
Istriku lebih suka menonton sinetron daripada bicara denganku.
Dan aku… hanya tersisa di sela-sela jadwal orang lain.

Kadang aku dengar mereka bicara pelan.
“Soal kolam itu... buang-buang uang.”
“Atuh, kenapa sih Bapak gak istirahat aja?”

Aku dengar semuanya.
Tapi aku pura-pura tuli.

Karena bagaimana aku bisa menjelaskan,
bahwa satu-satunya ruang yang membuatku merasa hidup
adalah di tepi kolam itu?

Di tempat itu, aku masih bisa merasa dibutuhkan—meski hanya oleh makhluk bernama ikan.

Aku tidak marah pada mereka.
Tidak juga kecewa.
Mungkin aku pun dulu pernah jadi anak yang terlalu sibuk untuk melihat ayahnya.

Aku hanya berharap…
suatu hari nanti mereka paham,
bahwa menjadi tua bukan hanya soal keriput.
Tapi soal kehilangan tempat.
Kehilangan arti.
Dan kadang... kehilangan nama di dalam rumah sendiri.

Aku tidak butuh pujian.
Tidak perlu kata terima kasih.
Hanya…
kalau kau sempat melihatku duduk sendirian di dekat kolam,
jangan langsung berpikir: “Bapak lagi buang-buang waktu.”

Mungkin, di sana aku sedang mencari sedikit tempat
di antara hidup kalian yang sudah tak lagi memberiku ruang.

Aku tahu kepalaku tak lagi dibutuhkan.
Tapi hatiku...
masih punya nama.

 

Bab 6 : Di Antara Surat yang Tersisa

Malam itu, rumah sudah sepi.
Ibu sudah tidur. Angin hanya menyentuh pelan tirai jendela kamar.
Dan aku duduk sendirian… dengan kotak itu di pangkuan.

Kotak yang dulu kusisihkan.
Yang dulu kupikir isinya cuma tumpukan rasa bersalah yang tak perlu kubaca.
Tapi kini, setelah semuanya terlambat… justru aku ingin tahu.
Ingin dengar. Ingin merasa.

Aku tarik satu surat. Lalu yang lain.
Tak kubaca semua sekaligus.
Terlalu berat.

Tiap lembar seakan punya nyawa.
Tiap kalimat terasa seperti tangan tua yang berusaha menjangkauku—meski sudah gemetar, meski sudah jauh.

“Hari ini kamu ikut lomba di sekolah.
Ayah gak bisa nonton, Nak. Tapi Ibu cerita kamu berani maju sendiri.
Ayah bangga. Maaf Ayah nggak bisa tepuk tangan dari belakang.”

“Semalam Ibu bilang kamu demam. Ayah gak bisa tidur.
Di sini cuaca buruk, kapal goyang terus.
Tapi yang bikin Ayah pusing bukan ombak.
Tapi bayangin kamu menggigil sendirian.”

“Kamu ulang tahun ke-12.
Ayah nitip boneka lewat Ibu.
Gak tahu kamu suka atau nggak.
Tapi waktu Ayah beliin itu, Ayah mikir, ‘Mungkin ini bisa nemenin kamu… saat aku gak bisa.’”

Surat-surat itu… bukan tulisan indah.
Kadang hurufnya miring. Tinta bleber.
Tapi terasa seperti doa.
Doa yang ditulis oleh seseorang yang gak tahu cara bicara,
tapi tahu cara berharap.

Aku menangis.
Kali ini tidak malu.
Tidak keras.
Tapi cukup untuk membuat bajuku basah di dada.

Dan di sela-sela surat itu,
aku menemukan satu yang paling pendek.

“Nak,
Kalau kamu sudah besar dan membaca ini,
Ayah harap kamu bisa bahagia.
Dengan siapa pun kamu menikah nanti,
Pilihlah seseorang yang selalu pulang.
Karena Ayah tahu betapa sakitnya ditunggu.”

Aku berhenti membaca.

Tanganku gemetar.
Air mata menetes ke kertas itu.
Kalimat terakhirnya seolah menyentil seluruh hidupku.

Karena kini aku tahu…
Ayah bukan tidak tahu apa yang ia tinggalkan.
Ia tahu.
Dan ia menangis dalam caranya sendiri.

 

Bab 7 : Surat yang Kutulis Terlambat

Ayah,
Aku tidak tahu harus mulai dari mana.
Karena surat ini… kutulis bukan untukmu.
Tapi untuk diriku sendiri.
Untuk anak kecil dalam diriku yang dulu terlalu lama menunggu,
dan terlalu cepat menyerah untuk percaya.

Aku tidak tahu bagaimana caranya memaafkanmu secara utuh.
Karena kepergianmu terlalu sering,
dan kehadiranmu terlalu sebentar.
Tapi setelah aku membaca semua suratmu,
aku mulai percaya…
bahwa yang membuatku paling sakit bukan kepergianmu,
tapi betapa kerasnya aku menolak cintamu yang tak sempat selesai.

Ayah,
Maaf kalau aku pernah mencibir kolammu.
Maaf kalau aku hanya melihatmu sebagai mesin ATM.
Maaf kalau aku pulang malam agar tak perlu ngobrol.
Maaf kalau aku terlalu takut dekat,
karena aku tidak tahu bagaimana rasanya dekat denganmu sejak kecil.

Kita seperti dua planet yang saling mengorbit,
tapi tak pernah bersentuhan.
Aku tumbuh, kau menjauh.
Aku mencari, kau bekerja.

Tapi sekarang aku tahu,
bahwa diam-diam,
kau menulis setiap kehilangan itu dalam huruf-huruf kecil…
dan menyimpannya di kotak yang dulu kubiarkan berdebu.

Ayah,
Terima kasih… karena tetap berusaha.
Terima kasih… karena mencintaiku dalam caramu.
Terima kasih… karena meski kita tak sempat bicara,
aku tahu sekarang:
aku tidak pernah benar-benar sendirian.

Surat ini memang terlambat.
Tapi aku menulisnya… agar aku bisa pulang.
Ke diriku sendiri.
Ke bagian kecil dalam hatiku yang akhirnya bisa berkata:
“Aku punya ayah. Dan dia mencintaiku. Meski tak sempurna.”

Selamat beristirahat, Yah.
Kolammu tenang sekarang.
Dan hatiku… perlahan-lahan, mulai ikut tenang.


Putrimu,
yang dulu diam,
kini belajar bicara.

 

Epilog : Aku Tidak Akan Membiarkan Mereka Menunggu Sepertiku

Aku pernah jadi anak perempuan yang duduk di depan jendela,
menanti suara langkah kaki yang tak kunjung tiba.
Aku tahu rasanya menunggu dengan diam.
Menanti dengan harap yang tak disebutkan.
Dan menahan kecewa, karena takut menyalahkan.

Kini, aku bukan lagi anak kecil itu.
Aku sudah menjadi ibu.
Dan rumah ini bukan lagi tempat menunggu.
Tapi tempat pulang.

Setelah semua yang kulalui,
aku tidak ingin anak-anakku merasakan sepi yang dulu diam-diam tumbuh dalam diriku.
Aku tidak ingin mereka tumbuh dengan kursi kosong di meja makan.
Tidak ingin mereka belajar menyimpan rindu sebelum sempat mengenal arti dekat.

Maka aku pun bilang pada suamiku:
“Kalau harus memilih, lebih baik kita kekurangan uang… daripada mereka kekurangan Ayah.”

Karena aku tahu,
uang bisa dicari.
Barang bisa diganti.
Tapi kehadiran... adalah satu-satunya harta yang tak bisa dibayar kembali ketika waktu sudah habis.

Dan lucunya, kadang aku masih terjebak—
memproyeksikan luka lamaku ke dalam cara mencintai.
Mencintai suamiku… seperti aku dulu mencintai Ayah:
dalam bentuk pemberian, bukan pelukan.
Dalam bentuk tagihan, bukan cerita.

Tapi pelan-pelan aku belajar.
Bahwa suamiku bukan mesin ATM.
Dia adalah lelaki yang berjuang hadir.
Lelaki yang memilih pulang, meski lelah.
Lelaki yang diam-diam memeluk anak-anaknya saat mereka tidur.

Dan dari situ, aku pun mulai sembuh.
Bukan dengan melupakan Ayahku yang dulu.
Tapi dengan merangkul lelaki yang kini ada di sisiku.
Yang menebus kehilangan masa lalu lewat kehadiran hari ini.

Jika anak-anak kami kelak bertanya:
“Kenapa Ayah selalu di rumah?”

Aku akan tersenyum, dan menjawab,
“Karena dulu Ibu pernah tahu rasanya… menunggu seseorang yang tak kunjung pulang.”

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Sebelumnya Jika Istrimu adalah "Programer" : Algoritma, Data, dan Cinta
1
2
Istriku adalah wanita yang lulus cumlaude Teknik Informatika, jago matematika, mantan programmer, dan berpikir lebih cepat dari RAM laptopku. Dia tidak banyak bicara, tapi setiap kata yang keluar sudah melalui proses debugging internal. Dia tidak cemburu, tapi tahu cara memantau dengan diam. Dia tidak pernah marah-marah, tapi sekalinya bicara... aku langsung merasa sedang dalam presentasi evaluasi performa tahunan.Dia tidak suka drama. Tidak suka bunga. Bahkan untuk ide staycation yang cuma niat kukeluarkan sebagai candaan ringan, dia langsung respon,“Sayang duitnya. Mending nambah ke tabungan anak.”Jadi, apakah aku kecewa? Tidak. Apakah aku kaget? Awalnya, iya. Tapi lama-lama aku sadar… aku menikahi logika yang bisa mencintai. Dan itu jauh lebih kompleks daripada sekadar emosi yang manis sesaat.Buku ini adalah surat cinta untuk istri-istri yang tidak bisa disebut manis di luar, tapi punya struktur cinta paling rapi di dalam. Dan juga untuk para suami yang sempat mengira mereka menikahi jenderal perang, padahal sebenarnya mereka sedang hidup dengan sistem operasi terbaik yang pernah diciptakan oleh Tuhan.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan