Jalan Pulang : Catatan Sunyi untuk yang Terlihat Baik-Baik Saja

2
0
Deskripsi

Jalan Pulang bukan tentang tempat.
Ini tentang manusia modern yang setiap hari terlihat “pulang” — naik kereta, turun di stasiun, masuk rumah… tapi tetap merasa kosong.

Buku ini bukan motivasi. Bukan kisah sukses.
Ini adalah fragmen jiwa — catatan batin dari seseorang yang pernah (dan masih) terluka, tapi tetap memilih pulang. Meski tertatih.

Ditulis dengan refleksi, kejujuran, dan sesekali air mata,
Jalan Pulang adalah perjalanan bagi siapa pun yang pernah lelah menjalani hidup, tapi tidak ingin menyerah...

Prolog: Bukan Soal Ke Mana, Tapi Siapa

Setiap pagi kita berangkat.
Menuju kantor. Menuju pasar. Menuju tanggung jawab.
Kita menyebutnya perjalanan —
padahal lebih sering kita hanya berjalan… tanpa sadar arah.

Setiap sore kita kembali.
Naik motor. Naik kereta. Naik ekspektasi.
Kita menyebutnya pulang —
padahal lebih sering kita hanya sampai… tanpa benar-benar tiba.

Karena “pulang” tidak selalu tentang rumah.
Tidak selalu tentang tempat tinggal.
Kadang, pulang adalah saat kita kembali ke hati yang sempat kita tinggalkan.
Ke diri sendiri yang dulu kita abaikan demi terlihat “kuat”.

Buku ini bukan tentang kesuksesan.
Bukan juga tentang cara hidup yang benar.
Buku ini hanya sebuah perjalanan pelan…
dari seseorang yang terlihat baik-baik saja,
tapi diam-diam sering merasa kosong di tengah keramaian.

Tulisan-tulisan ini mungkin tidak menyelesaikan masalahmu,
tapi semoga bisa menemani perjalananmu.
Karena kadang kita tidak butuh solusi.
Kita hanya butuh ditemani —
sambil duduk diam di peron kehidupan,
menunggu kereta yang membawa kita kembali…
ke versi diri yang utuh.

Jalan pulang itu nyata.
Kadang sunyi. Kadang sepi.
Tapi ia selalu ada —
menunggu kamu sadar,
bahwa kamu pantas untuk pulang.

 

Bab 1 : Pulang yang Tak Pernah Selesai

Setiap sore, ribuan manusia turun di Stasiun Sudirman.

Wajah-wajah penuh letih, mata-mata yang tak lagi bersinar, dan langkah kaki yang seperti tahu arah tapi kehilangan tujuan.

Mereka menyebutnya “pulang”.
Ke rumah, ke keluarga, ke tempat tidur yang menunggu.
Tapi benarkah mereka benar-benar pulang?

Pulang bukan sekadar kembali ke alamat KTP.
Pulang adalah tempat di mana hati bisa beristirahat.
Tempat di mana kita bisa menaruh semua topeng tanpa takut dihakimi.
Tempat di mana kita tidak perlu menjadi siapa-siapa — cukup jadi diri sendiri.

Tapi di kota ini, pulang kadang hanya jadi rutinitas.
Kita pulang dengan tubuh, tapi tidak dengan jiwa.
Raga kita sampai di rumah, tapi pikiran masih tertinggal di ruang rapat, di notifikasi grup kerja, di tagihan yang belum lunas.

Dan ironisnya, saat kita sampai di rumah pun…
kita tak sepenuhnya hadir.

Kita duduk bersama keluarga, tapi sibuk menatap layar.
Kita mendengar, tapi tak benar-benar menyimak.
Kita ada, tapi tak hadir.

Pulang jadi upacara kosong.
Jalan yang ditempuh otomatis — naik KRL, naik motor, masuk pintu — tapi tanpa benar-benar merasa “tiba”.

Maka, pertanyaannya:
kapan terakhir kali kita benar-benar pulang?

Pulang, bukan sekadar ke rumah.
Tapi pulang ke dalam diri.
Ke hati yang lama kita tinggalkan.
Ke jiwa yang sudah kelelahan jadi mesin.

Karena sebelum kita bicara tentang Tuhan, tentang makna hidup, tentang surga, tentang damai…
kita harus belajar satu hal yang sangat mendasar:
cara pulang.

Dan itulah kenapa buku ini ditulis.
Untuk mengajakmu — bukan memberi tahu arah.
tapi duduk sebentar, memandang ke dalam,
dan bertanya dengan jujur:

“Apakah aku benar-benar sudah pulang?”

 

Bab 2 : Kenapa Hati Kita Tetap Kosong Meski Akun Shopee Penuh?

Kita sering merasa kosong.
Padahal rak sepatu sudah penuh.
Akun Shopee sudah checklist semua wishlist.
Dompet berisi lima kartu, dua QRIS, dan diskon langganan bulanan.
Tapi tetap saja... ada ruang dalam hati yang tidak terisi.

Kosong yang aneh.
Bukan soal materi, tapi soal makna.
Kosong yang datang tiba-tiba, saat semua notifikasi berhenti, dan kita hanya berhadapan dengan diri sendiri di dalam kamar.

Dan yang lebih menyedihkan,
kita sering tidak tahu cara menghadapinya.
Kita coba isi dengan scroll TikTok.
Kita coba netralisir dengan kopi susu.
Kita isi ulang keranjang belanja, berharap isi hati ikut terisi.

Tapi tetap saja... kosong.

Kekosongan ini bukan karena kita kurang kaya.
Tapi karena kita terlalu sibuk membeli hal baru,
tanpa pernah bertanya:
"Kenapa aku merasa tidak cukup?"

Kita hidup di zaman yang mengajari kita bahwa sedih bisa diobati dengan diskon.
Bahwa hening bisa diusir dengan musik.
Bahwa sunyi bisa diredam dengan video 60 detik.

Padahal, barangkali,
yang kita butuhkan bukan penambahan isi...
tapi keberanian untuk mendengarkan ruang kosong itu.

Diam. Duduk. Dengarkan.

Karena bisa jadi, kekosongan itu sedang bicara.
Dan kata-katanya sederhana:

“Aku sudah terlalu lama kamu abaikan.”

 

Bab 3: Bukan Dunia yang Terlalu Keras, Tapi Kita yang Terlalu Lelah

Dunia ini tidak lebih kejam dari sebelumnya.
Ia masih punya pagi, masih menyimpan senja, masih menumbuhkan pohon dan membiarkan anak kecil tertawa.

Tapi kenapa hidup terasa semakin berat?

Mungkin karena kita terlalu lelah.

Kita bangun terlalu pagi, tidur terlalu malam.
Bekerja terlalu banyak, istirahat terlalu sedikit.
Tersenyum terlalu sering, menangis terlalu diam-diam.

Kita belajar untuk kuat.
Tapi lupa bahwa kuat bukan berarti tidak pernah lelah.

Kita belajar untuk tangguh.
Tapi lupa bahwa tangguh bukan berarti tidak boleh berhenti.

Kadang kita merasa dunia kejam…
padahal sebenarnya kita hanya ingin ada yang memeluk, mengatakan:
 “Sudah, kamu gak harus tahan semua sendiri.”

Tapi tak ada yang datang.
Maka kita pura-pura kuat lagi.
Tersenyum lagi.
Berpura-pura semuanya baik-baik saja.

Padahal hati sudah seperti rumah kosong yang lampunya terus menyala,
tagihannya terus berjalan,
tapi tak pernah ditinggali.

Lelah bukan dosa.
Menangis bukan kelemahan.
Berhenti bukan kegagalan.

Yang keliru adalah memaksa diri
untuk terus berlari di jalan yang bahkan kita sendiri tidak tahu arahnya ke mana.

Mungkin, kita tak butuh motivasi baru.
Kita hanya butuh duduk, menarik napas panjang,
dan berkata pelan:

“Aku capek… dan itu tidak apa-apa.”

 

Bab 4: Meeting, Deadline, dan Tuhan yang Nunggu di Sudut Hati

Kita selalu sibuk.
Bahkan saat libur pun, kepala tetap bekerja.
Mikirin tagihan, kiriman, revisi, laporan, dan notifikasi yang tak kunjung berhenti.

Di kalender, tiap hari penuh.
Pagi meeting, siang follow-up, sore evaluasi, malam lembur.
Sampai-sampai...
kita bingung kapan terakhir kali bertemu dengan diri sendiri.

Dan yang lebih menyesakkan,
di antara semua meeting dan janji temu itu,
kita lupa bahwa ada satu "pertemuan" yang tidak pernah kita jadwalkan:
bertemu Tuhan.

Bukan dalam arti ritual.
Tapi dalam arti hadir sepenuhnya.
Ngobrol. Curhat. Diam bareng.
Bukan doa hafalan yang diselipkan antara dua tugas.
Tapi duduk tenang, lalu berkata:
"Tuhan, aku lelah. Aku bingung. Tapi aku masih ingin percaya."

Kita terlalu sering memperlakukan Tuhan seperti customer service.
Baru datang saat ada masalah.
Baru nyari saat butuh solusi.
Baru sebut nama-Nya saat terjepit.

Tuhan tidak marah.
Dia hanya... menunggu.

Menunggu kita datang bukan dengan proposal,
tapi dengan perasaan.
Bukan dengan permintaan,
tapi dengan kejujuran.

Kadang kita tidak butuh motivasi baru.
Kadang kita hanya butuh ruang untuk diam, dan tahu bahwa ada yang mendengarkan.
Tanpa menuntut, tanpa menyalahkan,
tanpa bilang, "Ayo semangat, kamu pasti bisa!"
Karena yang kita butuh...
bukan semangat.
Tapi pelukan.
Dan tempat untuk pulang.

Lalu, Kenapa kita tidak pernah terpikirkan untuk membuat jadwal meeting bersama-Nya?
Berdiskusi dengan-Nya, meminta pendapat-Nya,
atau hanya meminta diri-Nya mendengarkan setiap keluh kesah kita.

Diri-Nya pasti senang diajak meeting.
DIA tak akan menghakimi.
DIA tak akan memberikan target baru.
Dan apapun yang kita capai, pasti DIA akan senang...
asal kita mengajak DIA meeting bersama.

 

Bab 5: Doa Siap Saji dan Tuhan yang Sabar

Kita terbiasa dengan hal instan.
Makan bisa 2 menit,
Belanja bisa 1 klik,
Tanya bisa langsung dijawab AI

Tapi masalahnya:
kita mulai memperlakukan doa seperti itu juga.

Kita datang pada Tuhan seperti ke kasir drive-thru.
Minta ini, harap segera dikabulkan.
Kalau bisa... langsung besok.

Kita berdoa seperti menyusun wishlist.
Kita tidak sedang berdialog.
Kita sedang mengajukan proposal.

Dan saat jawaban-Nya tidak sesuai harapan,
kita kecewa.
Merasa tidak didengar.
Merasa diabaikan.

Padahal mungkin...
bukan Dia yang lambat.
Tapi kita yang terlalu buru-buru.

Tuhan bukan penyedia jasa instan.
Dia tidak sedang menunggu kita untuk kasih checklist,
lalu mengirimkan paket jawaban ke rumah.

Tuhan sedang ingin kita hadir.
Bukan sekadar datang lalu pergi.
Bukan sekadar minta lalu menghilang.

Doa bukan tentang seberapa cepat dikabulkan.
Doa adalah momen paling intim
dimana kita bisa jujur,
tanpa perlu rapi,
tanpa perlu logis,
tanpa perlu menang.

Kadang, yang dikabulkan bukan permintaan kita...
tapi hati yang lebih tenang
dan pikiran yang lebih lapang.

Dan kalau hari ini doa kita belum terjawab,
bukan berarti doa itu sia-sia.

Bisa jadi, Tuhan sedang menunggu kita siap…
bukan untuk menerima jawaban,
tapi untuk benar-benar mendengar-Nya.

 

Bab 6: Istirahat Sejenak Bukan Kalah

Kita sering merasa bersalah saat ingin berhenti.
Seakan dunia akan runtuh kalau kita tidur lebih cepat,
menolak satu undangan, atau mematikan HP selama sejam.

Kita takut dicap malas.
Takut dibilang kurang semangat.
Takut ketinggalan.

Padahal...
yang kita butuhkan bukan semangat,
tapi istirahat.

Bukan karena kita lemah,
tapi karena kita manusia.

Kita bukan mesin yang bisa di-reset.
Kita bukan algoritma yang bisa di-optimize.
Kita adalah makhluk yang hatinya bisa rapuh,
dan pikirannya bisa penat hanya karena satu kalimat:
“Kok cuma segini doang?”

Maka, berhentilah sebentar.
Tarik napas dalam-dalam.
Lihat langit, dengar suara hati.

Jangan buru-buru waras.
Jangan paksa bahagia.

Biarkan diri duduk tanpa performa.
Tidur tanpa prestasi.
Menikmati waktu tanpa perlu membuktikan apa-apa.

Karena hidup bukan panggung.
Dan kita tidak sedang audisi.

Beristirahat bukan berarti menyerah.
Beristirahat adalah cara untuk kembali sadar,
bahwa kita tak sedang berlomba,
kita sedang pulang.

Lalu kemana kita harus beristirahat?
Tanpa malu, tanpa risih, tanpa rasa rendah diri?

Ke pelukan yang tidak menuntut.
Ke keheningan yang tak menyudutkan.
Ke ruang batin yang selama ini hanya kita lewati sekilas.

Karena siapa tahu...
tempat terbaik untuk beristirahat,
bukanlah kasur paling empuk,
tapi diri kita sendiri yang akhirnya bisa berkata:

“Sudah cukup. Sekarang waktuku memeluk diriku sendiri.”

 

Bab 7: Kalau Besok Gagal Lagi, Gimana?

Kita hidup dalam budaya yang begitu keras terhadap kegagalan.
Seolah-olah kegagalan adalah bukti bahwa kita tidak cukup berusaha,
tidak cukup cerdas, atau tidak cukup layak.

Padahal, siapa sih yang tidak pernah gagal?

Setiap orang pernah jatuh. Pernah salah jalan.
Pernah berharap tinggi dan dijatuhkan keras.
Tapi yang seringkali membuat luka itu lebih dalam adalah tekanan yang datang setelahnya, dari sekitar, dan lebih parah lagi, dari dalam diri sendiri.

“Kenapa gue gak bisa kayak mereka?”
“Harusnya gue bisa lebih baik.”
“Apa gue ini memang gagal?”

Kita terlalu sering membentur diri dengan ekspektasi.
Kita ukur harga diri dengan hasil, bukan proses.
Kita lupa bahwa jatuh adalah bagian dari hidup.
Dan besok... mungkin kita akan jatuh lagi.

Lalu gimana?

Mungkin jawabannya bukan “jangan gagal,”
tapi “bagaimana cara kita memeluk kegagalan itu.”

Kalau besok gagal lagi, gimana?
Ya kita sedih. Kita nangis. Kita akui kecewanya.
Tapi lalu kita bangun lagi — bukan karena sok kuat,
tapi karena kita punya alasan untuk tetap berjalan.

Dan alasan itu, kadang bukan untuk menang...
tapi untuk tetap menjadi manusia yang terus berusaha.

Kita bisa gagal, tapi tetap tumbuh.
Kita bisa jatuh, tapi tetap pulang.

Karena hidup ini bukan tentang tidak pernah gagal.
Tapi tentang bagaimana tetap kembali —
meski langkahnya tertatih,
meski harinya berantakan.

Kalau besok gagal lagi, tidak apa-apa.
Yang penting, besok kita tetap datang.
Tetap hadir.
Tetap mencoba.

Karena siapa tahu, justru dari kegagalan itu...
kita sedang diajak menemukan jalan pulang yang lebih jujur.

Bayangkan Sisifus
tokoh dalam mitologi Yunani yang dihukum untuk mendorong batu ke atas bukit, hanya untuk melihatnya jatuh kembali.
Berulang kali.
Selama-lamanya.

Banyak orang melihat kisahnya sebagai tragedi tanpa harapan.
Tapi ada satu cara pandang yang berbeda:
bagaimana jika dalam keputusasaan itu, Sisifus justru menemukan kehadiran Tuhan?

Bukan Tuhan yang memberi hadiah karena berhasil,
tapi Tuhan yang melihat perjuangannya yang jujur.
Yang menyaksikan dia terus mencoba,
meski hasilnya tak pernah berubah.

Dan mungkin...
kita pun seperti Sisifus.

Mendorong batu-batu harapan yang terus tergelincir.
Menangani luka, mencoba bangkit, lalu jatuh lagi.
Tapi tidak ada yang sia-sia jika kita hadir sepenuh hati.
Tidak ada usaha yang benar-benar gagal
jika kita tetap setia pada perjalanan.

Bahkan ketika semua tidak membuahkan hasil,
kita akan tetap dinilai —
bukan dari hasil akhirnya,
tapi dari setiap usaha tulus dan ikhlas
kita mendorong batu "kutukan" itu hari demi hari,
dengan hati yang tak menyerah
meski tahu batu itu akan jatuh kembali.

Bayangkan Sisifus ikhlas — dan Tuhan melihatnya.
Itu sudah cukup.

 

Bab 8: Luka Lama dan Jalan Sunyi yang Masih Terbuka

Ada luka yang tidak pernah benar-benar sembuh.
Bukan karena kita tidak mau sembuh,
tapi karena luka itu terlalu dalam, terlalu awal, terlalu lama didiamkan.

Ia tumbuh bersama kita —
dalam diam, dalam senyum,
dalam kesibukan yang sengaja kita pelihara
agar tak sempat mengingat.

Luka masa kecil.
Rasa ditolak. Pengabaian.
Kekecewaan yang dulu kita telan karena tidak tahu cara marah.

Semua itu diam-diam menjadi jalan sunyi dalam batin kita.
Seperti saat kita tiba-tiba menangis tanpa tahu sebabnya,
atau marah berlebihan untuk hal kecil,
atau sulit percaya pada orang lain meski mereka tak pernah menyakiti.

Kadang kita terlalu takut dekat dengan seseorang karena dulu pernah ditinggal tanpa penjelasan.
Atau kita selalu ingin membuktikan diri karena dulu pernah diremehkan —
oleh guru, orang tua, atau teman.

Kita jalani hidup seperti biasa,
tapi di dalam, ada suara kecil yang terus berbisik:
“Aku belum selesai.”

Luka itu seperti penyusup di dalam pikiran kita,
yang akhirnya memengaruhi setiap langkah dan keputusan —
bukan saja karena ada dendam, amarah, atau kekecewaan yang belum terselesaikan,
tapi bisa jadi karena kita lupa menyelesaikannya.

Kita terlalu pandai berpura-pura sembuh,
padahal luka itu masih duduk diam,
menunggu kita datang menyapanya.

Dan tanpa sadar, luka-luka itu membentuk cara kita mencinta,
cara kita bekerja,
bahkan cara kita memandang diri sendiri.

Kita jadi terlalu keras pada diri sendiri,
atau terlalu takut kehilangan orang lain.
Kita jadi terlalu ambisius,
atau justru kehilangan arah.

Contohnya, seperti seseorang yang selalu ingin bisa memberikan lebih untuk anak dan istrinya.
Bukan karena tuntutan dari mereka —
tapi karena jauh di dalam,
ada kenangan masa kecil yang belum selesai.

Ia pernah kecewa pada sosok ayah yang gagal memberi rasa aman dan cukup bagi keluarganya.
Dan tanpa sadar, luka itu mendorongnya untuk menjadi “lebih” dalam segala hal.

Tapi di sisi lain, luka itu juga sering menyeretnya pada overthinking, rasa bersalah berlebihan, dan ekspektasi yang kadang justru membuatnya tidak menikmati momen yang ada.

Ingin memberi yang terbaik —
tapi sering lupa bahwa hadir dengan tenang pun adalah hadiah yang tak ternilai.

Atau seperti dalam dunia trading.
Setiap entry terasa seperti harapan.
Setiap TP seolah menjadi hadiah kecil untuk anak-istri di rumah.
Tapi setiap SL, tak peduli seberapa rasional atau terencana, akan terasa seperti luka yang menusuk harga diri.

Ketika terlalu dalam menaruh harapan pada profit
untuk membayar kebahagiaan orang-orang tercinta,
maka loss bukan hanya angka...
tapi rasa bersalah.

Dan luka itu terus diam-diam tumbuh,
membentuk pola pikir, kecemasan,
bahkan hubungan dengan orang-orang terdekat.

Mungkin inilah saatnya menengok ke jalan sunyi itu.
Bukan untuk mengorek luka,
tapi untuk mengakui bahwa ia ada.

Bahwa kita masih membawa beban
yang seharusnya dulu kita tangisi, bukan kita tekan.
Bahwa kita berhak memeluk diri kita yang dulu —
diri yang sedang ketakutan, kecewa, atau merasa tidak cukup.

Kita tidak perlu terburu-buru menyembuhkan segalanya.
Cukup berjalan perlahan,
sambil berkata,


 “Aku dengar kamu.”
 Kepada luka itu.
 Kepada versi diri kita yang dulu diam.

Karena kadang, jalan pulang bukan tentang ke depan.
Tapi tentang menengok ke belakang —
dan memberi pelukan yang dulu tak sempat kita terima.

Jalan sunyi itu masih terbuka.
Dan barangkali,
lewat jalan itulah akhirnya kita pulang —
bukan sebagai orang baru,
tapi sebagai diri yang utuh.

 

Bab 9: Mungkin Kita Gak Tersesat, Cuma Lupa Arah

Di tengah kesibukan, kehilangan arah bukan hal yang aneh.
Kita terlalu sering menyebut diri “tersesat”,
padahal mungkin bukan tersesat —
hanya terlalu lama tidak berhenti,
tidak diam,
tidak mendengar.

Seperti orang yang terlalu fokus pada jalan tol,
sampai lupa keluar di pintu yang seharusnya.

Hidup ini bukan lomba.
Tapi kita kadang menjalani seolah-olah semua harus segera,
semua harus pasti,
semua harus terukur.

Dan ketika kenyataan tak sesuai rencana,
kita panik.
Kita menyalahkan diri sendiri,
merasa kehilangan arah.

Tapi tenang…
arah itu tidak pernah benar-benar hilang.
Ia hanya tertutup oleh suara-suara lain:
ambisi, ekspektasi, luka lama, dan keinginan untuk membuktikan sesuatu.

Kadang kita hanya perlu duduk sejenak,
bertanya pelan: “Aku ini sedang menuju ke mana?”

Bukan untuk membuat peta baru,
tapi untuk mengingat tujuan awal.
Mengingat alasan kenapa dulu kita memulai.

Karena di balik semua keramaian dan pencapaian,
sebenarnya kita hanya sedang ingin merasa cukup.
Merasa pulang.

Mungkin kita gak tersesat.
Kita cuma lupa arah.
Dan arah itu akan kembali jelas…
saat kita punya cukup keberanian untuk berhenti,
melihat sekitar,
dan berkata: “Aku ingin pulang.”

Dan pulang di sini bukan soal tempat,
bukan soal orang lain,
bukan soal validasi.

Tapi pulang ke diri sendiri.
Ke versi kita yang paling jujur.
Ke ruang dalam hati
yang diam-diam sudah lama menunggu untuk dipeluk kembali.

Selamat datang kembali.
Selamat pulang.

 

Epilog: Jalan Itu Ternyata Ada

Kita tidak sedang mencari jalan yang sempurna.
Kita hanya sedang mencari jalan yang bisa membawa kita kembali —
pada rasa tenang,
pada kehadiran,
pada diri sendiri yang tak lagi dituntut menjadi apa-apa.

Buku ini bukan peta.
Tapi mungkin ia bisa menjadi penanda arah.
Setidaknya, sebuah lampu kecil di tengah gelap.

Karena setiap orang berhak tahu bahwa
meski hari ini terasa berat,
meski langkahmu sempat tersesat,
jalan pulang itu tetap ada.

Kadang kita menemukan arah justru setelah kehilangan arah.
Kadang pulang bukan tentang kembali ke tempat,
tapi tentang menyapa ulang jiwa yang terlalu lama kita abaikan.

Terima kasih telah membaca,
bukan dengan mata saja,
tapi dengan hati.

Jika buku ini bisa menemani
satu malam sepi,
satu sore letih,
atau satu pagi penuh tanya —
itu sudah cukup.

Dan jika suatu hari nanti kamu kembali merasa hilang…
buka lagi halaman ini.
Duduklah. Tarik napas.
Lalu bisikkan pelan:

“Aku masih di jalan.Tapi aku tahu, pulang itu nyata.”

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Jika Istrimu adalah "Programer" : Algoritma, Data, dan Cinta
1
2
Istriku adalah wanita yang lulus cumlaude Teknik Informatika, jago matematika, mantan programmer, dan berpikir lebih cepat dari RAM laptopku. Dia tidak banyak bicara, tapi setiap kata yang keluar sudah melalui proses debugging internal. Dia tidak cemburu, tapi tahu cara memantau dengan diam. Dia tidak pernah marah-marah, tapi sekalinya bicara... aku langsung merasa sedang dalam presentasi evaluasi performa tahunan.Dia tidak suka drama. Tidak suka bunga. Bahkan untuk ide staycation yang cuma niat kukeluarkan sebagai candaan ringan, dia langsung respon,“Sayang duitnya. Mending nambah ke tabungan anak.”Jadi, apakah aku kecewa? Tidak. Apakah aku kaget? Awalnya, iya. Tapi lama-lama aku sadar… aku menikahi logika yang bisa mencintai. Dan itu jauh lebih kompleks daripada sekadar emosi yang manis sesaat.Buku ini adalah surat cinta untuk istri-istri yang tidak bisa disebut manis di luar, tapi punya struktur cinta paling rapi di dalam. Dan juga untuk para suami yang sempat mengira mereka menikahi jenderal perang, padahal sebenarnya mereka sedang hidup dengan sistem operasi terbaik yang pernah diciptakan oleh Tuhan.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan