DETAK 7-10

21
1
Deskripsi

DETAK PART 7-10

TUJUH

Bibir Januar masih tertempel di bibirku. Tak ada pergerakan apapun, aku pun tak berpikir untuk memejamkan mata ataupun memberikan respon. Namun, tak jua mendorong tubuh Januar supaya menjauh. Diam saja, menikmati surai hitam, dan wangi keringat yang menguar dari tubuh Januar. 

Tidak sampai satu menit, Januar melepaskan pagutannya. Aku gugup? Jelas. Siapa yang tak gugup saat dicium seorang lelaki? Walau bentukanku seperti ini, aku tetap perempuan yang komposisinya terdiri tujuh puluh lima persen adalah perasaan, sepuluh persen simpati, lima belas persen XL... Hehe maksudku logika. Jangan, serius-serius amatlah...

Back to topic, Januar menatapku kebingungan, ganti kutatap dirinya. Mungkin dia bingung kenapa tanganku tak melayang ke wajahnya. Kenapa mulutku tak memaki dirinya. Kenapa aku hanya diam saja sambil memijarkan netraku sepolos mungkin.

"Udah?" tanyaku setelah mata Januar berkedip menunjukan bahwa kesadarannya sudah kembali ke pangkuan.

"Hah?"

"Hah... heh... udah, ah, gue mau balik dulu." Kudorong tubuhnya supaya menyingkir. Aku berjalan meninggalkan Januar yang tanpa kutoleh, aku tahu dia menatap punggungku.

Tiba di dalam mobil, aku menormalkan deru napasku. Gila. Dicium lelaki di bawah lampu taman memang impian anak Abege... jika sudah menginjak usia matang sepertiku maka impian kami para perempuan berganti menjadi ciuman setelah menandatangangi buku nikah di depan penghulu. Namun, lagi-lagi itu hanya ilusi yang selalu menjadi delusiku.

Kutekan pedal gas, melajukan mobilku meninggalkan kesunyian di sekitar taman menuju padatnya jalan raya ibu kota. Badanku sudah terasa menentu rasanya, apalagi jika ditambah dengan bagaimana caraku mendapatkan uang guna membayar angsuranku selama tiga bulan ini? Ada yang memiliki tetangga kaya raya yang siap dikenalkan padaku?

---

Nata : Ada yang free? 
Nata : k rmh dong. Gue dirumah cuma sama bocil. Papanya blm plg. Si Mbak lagi ada acara 

Dinda : blg aja mnta bantuin jagain anak2 lo kan?

Tiara : nggak bisa, Nat. Sorry, quality time sama misua

Dinda : beda memang pengantin baru,

Me : Butuh tutorial, Ra? Perlu gw lempar video...

Tiara : Ogah, lo aja blm pernah nyobain...

Me : Lo dulu yg testing, ntar kalau enak. Gw ikutan deh.

Nata : Njiiir.... Kila, ikutan sama siapa 

Rivan : jgn coba2 nyoba pakai alat ya, Kil. Syg di jebol sama alat.

Me : Anjuuuu... Rivan, inget perut bini lu yang belendung.

Dinda : Hehehe..

Rivan : Hehehe... ampun bun,

Nata : Jadi gmna? Mlh kemana2 ih ngomongnya 

Gilang : Gue Free, Nat. Tapi kalau gue yg dtg lgsg dihunus sama Laki lo. Pulang tinggal nama...

Me : Gue, Nat. Mandi dulu...

Rizka : Gue ikuuut, mumpung Zhio di luar kota.

Zhio : Hati2, Mah. 

Me : Ya Tuhan... belum, cukupkah kau berikan cobaan pada hambamu yang zombelooo ini...
Me : tuluuung, jauhkan kesucianku dari para pasangan nista ini 

Rivan : anak jaman skg, nikah blm ud mamah papah

Aku menutup aplikasi chat, membuka selimut lalu bergegas membersihkan diriku. Weekend ini jalanan lumayan lenggang, jadi aku tak perlu waktu lama untuk mencapai tujuanku. Saat tiba di sana, kulihat Juke milik Rizka sudah terparkir rapi.

Saat kulangkahkan kakiku memasuki kediaman Nata, kulihat Abyan—putra pertama Nata dan Panji—sedang duduk sambil menoton kartun. Sementara, Nata memangku Azka, dan Rizka duduk di sebelahnya.

"Halloooo ganteeeng..." aku masuk dan langsung menciumi pipi Abyan yang terlihat anteng membuat anak itu terusik. Abyan tak menangis, tapi tangannya mengusap pipi. Bekas ciumanku tadi.

"Takut kuman ya, Mas?" olok Rizka. 

Aku memilih duduk di karpet bersama Abyan. Melirik kedatanganku, Abyan berdiri berdiri mendekati Mamanya.

"Abyan aja takut sama elu, Kil. Pantes jombloooo menahun..." Kila kembali mengeluarkan celetukannya. 

Aku mendengus, "anjiiir... iyalah, yang mau nikah mah bebas."

Nata melempar bantal ke arahku, "tolooong omongannya tante-tante. Jangan ngomong saru di depan anak kecil."

"Ups... omongannya jangan ditiru ya, Mas Byan. Khusus buat yang sudah profesional." Aku berdiri mendekati Abyan. Dia melengos, memilih beranjak turun kembali ke karpet. Sungguh tak ingin berdekatan denganku. 

Nata dan Siska yang melihat kejadian itu tergelak. 

Namun, aku berhasil mencuri ciuman di pipi Abyan. Aku duduk di samping Nata. Melihat dia yang sedang mengelus ubun-ubun anak keduanya yang sedang asik menyusu.

"Eh... Kil, kata Zhio... Januar balik ya?" Rizka memulai pembicaraan.

Kan. Zhio kampret memang, "yup. Bos gue men..."

"Waaaah... kok lo nggak ada cerita sama kita?" tanya Nata.

"Buat apa, sih?" jawabku. Aku malas saja menjadi bulan-bulanan anak-anak di grup. Karena aku, Dinda, Rivan, dan Nata satu alumni. Yang pasti kenal dengan Januar. Belum Zhio dan Tiara yang satu tempat kerjaan denganku, sudah pasti mengenal Januar.

"Bibit unggul model Januar, jangan sampai lepas. Wajib pepet terus, Kil." Rizka mengedipkan satu matanya ke arahku. 

Aku mendengus menyepelekan. Inilah alasan yang membuatku makin malas menceritakan masalah asmaraku pada para kampret model mereka. Yang sudah teracuni pasangan masing-masing. Ya, kecuali Nata yang terlihat semakin dewasa semenjak menikah.

"Gue masih inget gimana tatapan memuja si Januar sama lo dulu, Kil." Kali ini Nata yang mengutarakan pandangannya, "dan gue rasa, yang semodelan Januar gitu tipe susah move on." Nata mulai berspekulasi.

"Nah! Daripada lo pusing jomblo terus. Mending sama Januar." Rizka mengangguk setuju.

"Kata Mbak Inul itu masa lalu biarlah masa lalu, jangan kau ungkit...,"jawabku sedikit mendendangkan lagu dangdut tersebut.

"Tapi, Kil..."

"Stop bahas Januar. Kasihan nanti orangnya bersin-bersin karena diomongin mulu."

Aku bukannya tak mau bercerita, tapi sungguh buat apa.

"Oh, iya... masa si Gibran beliin Azka Car Seat coba... dikirim langsung ke rumah," cerita Nata.

Ya ampun, yang nulis benar-benar kekurangan tokoh. Entah di mana-mana ketemunya itu lagi. Itu lagi. Ngasi jeleh.

"Wah... parah si Gibran. Panji tahu?" tanya Rizka.

Nata mengangguk.

"Terus Panji ngamuk?" tanyaku penasaran apakah seorang seperti Panji mampu berontak.

Nata menggeleng. "Malah nyuruh bilang makasih coba."

"Laki lo emang produk limited edition."

"Si Gibran masih suka ngontak lo, Nat?" Kali ini aku yang bertanya. Penasaran saja. Sungguh.

"Kadang, kalau gue ganti DP. Dia kepo soal Abyan, Azka gitu."

"Njiiiir, Gibran pasti belum move on." Rizka menyimpulkan.

Eh? Gibran belum move on ya.

---

"Lama banget sih lo dandan doang," gerutu Gibran saat menungguku siap-siap menuju pesta pernikahan saudaranya.

"Gue harus tampil maksimal, Bran. Biar lo nggak kecewa," jawabku dari dalam kamar.

"Acaranya kurang sepuluh menit lagi udah mulai, kalau lo nggak buru-buru bisa telat kita nanti."

Aku membuka pintu kamarku, "tokoh utama datengnya biasa juga belakangan."

Gibran berdiri saat melihatku keluar. Dia tak berucap apapun. Namun, tatapannya fokus ke arahku. Juga langkahnya menuju pada tempatku berdiri.

"Lo kenapa deh, Bran? Nggak pernah lihat cewek cantik?" Kupukulkan handbagku pada pundaknya.

"Lo... cantik banget," ucap Gibran jujur. 

Membuatku makin fokus padanya. Dia cuma modus, kan? Kuteliti Gibran dari atas sampai bawah: Batik panjang berwarna pink tua semodel dengan rok lipatku ditambah celana hitam yang membungkus kakinya. Kulit Gibran yang bersih memang menunjang penampilannya mengenakan pakaian model dan warna apapun. Tak salah jika lelaki ini dijuluki the handsome saat di OSIS dulu.

"Yuuuk, tadi ngamuk. Sekarang bengong." Aku berjalan duluan menuju pintu utama flatku.

Kudengar langkah kaki mengikuti, sebelum kurasakan pinggangku tertarik. Gibran mengalungkan tangannya pada pinggangku.

"Ntar aja kali, kalau udah sampai tempat."

"Gue tambahin masa berlaku kartu itu," ucapnya.

"Tenang, Bran. Lo nggak akan kecewa sama kinerja gue."

Gibran tak menjawab, hanya semakin mengeratkan tangannya saat tahu lift yang menuju ke bawah penuh.

"Nunggu aja," tahan Gibran.

"Elaaaah, nggak apa-apa ntar makin telat kita."

Kami masuk dalam lift. Gibran menggeser tubuhku supaya berada di depannya. Dengan punggungku yang menempel pada dadanya. Hangat. Iya, hangat. Bahkan saat terasa dorongan mendesak posisi kami, Gibran akan menahan kedua tangannya di pintu lift yang memang hanya dua senti di hadapanku. Supaya aku tak terjepit dengan pintu lift.

Gibran kok tumben manis begini, ya? Hahaha.

Ting! Akhirnya. Sampai tujuan juga. Kami berderap keluar dari lift. Eh? Kakiku tak gemetar, sesuatu keajaiban. dahsyat.

----

Kukalungkan lengan kiriku pada lengan kanan atas Gibran saat masuk aula hotel tempat berlangsung pesta. Gibran menarikku menuju saudaranya yang lain. Yang kuyakin pasti saling berpresepsi macam-macam karena aku datang bersama Gibran, pun pakaian kami yang serasi. Kusunggingkan senyum semanis yang kubisa, mengangguk singkat tiap berpapasan dengan beberapa orang.

"Akhiiirnya Gibran nggak datang sendirian," celetuk seorang lelaki yang sepertinya lebih muda dari Gibran.

"Njiiir, Gibran sekalinya dateng sama cewek. Meuni geulis pisan." Kini lelaki kedua yang berucap. 

Aku hanya tersenyum manis.

"Ibaaan, datang sama siapa?" Seorang wanita paruh baya mengenakan kacamata dan berkulit putih menghampiri kami. Wajahnya terlihat bahagia saat menemukan diriku berdiri di samping Gibran.

"Shakila, Tante," jawabku sambil menerima uluran tangan beliau dan menempelkan pada keningku.

"Oh... Shakila," ucap seorang lelaki. "Gue Banyu, saudara si Gibran."

"Kila."

"Gue Adam."

"Kila."

"Udah, jangan di sini, males liat muka mereka. Ma, Iban ke sana dulu. Mau ketemu sama Prisa."

"Eh... tunggu. Kila tinggal aja di sini." Gibran melempar lirikan padaku, menanyakan kesediaanku tetap tinggal atau ikut dirinya.

Aku mengangguk, memintanya untuk meninggalkan diriku di sini.

"Kamu mau diambilkan minum sekalian?" tanya Gibran yang spontan membuatku menoleh. Eh? Kamu?

Aku mengangguk kembali. 

Gibran meninggalkanku.

"Kila sudah lama kenal sama Gibran?" tanya beliau penuh binar antusias.

Harus kujawab bagaimana? Haruskan kujawab yang sejujurnya bahwa kami mengenal sejak kelas sepuluh.

"Sudah lumayan, Tant, kami teman lama terus ketemu lagi."

"Kamu kerja?" mulai introgasi ala-ala calon mertua. 

"Iya, Tant, nah pas sekali kantor saya, gedungnya pas di depan kantornya Gibran."

Kami kemudian saling bercerita meski kadang Ibu Gibran menyelipkan pertanyaan khas calon mertua tapi kujawab sesantai mungkin. Obrolan kami mulai mengalir, menceritakan apapun yang terlintas di kepala kami. Memang dasar perempuan diberi karunia napas lebih panjang sehingga mengobrol pun bisa panjang kali lebar.

"Gibran ini jarang banget ngenalin temen ceweknya sama keluarga. Baru kamu aja yang diajak ke pesta keluarga gini, biasanya langsung nolak."

What?

"Sampai Papanya khawatir anaknya bengkok. Soalnya di luar negeri, kan begitu ya pergaulannya. Tiap salat, Tante selalu berdoa biar Gibran di sana nggak main sama sesama."

Aku hampir tersedak ludahku sendiri. Aku kasihan dengan Ibu Gibran. Doanya biar anaknya nggak suka sesama. Padahal anaknya hobi nyelup. Salah alamat doanya, Tan.

"Pokoknya anak itu, kalau sampai usia 30 tahun belum menikah juga. Harus siap dijodohkan. Tante sampai capek sendiri ngenalin cewek sama dia. Nggak ada yang cocok. Tapi pas lihat kamu, Tante langsung bahagia. Kalau bisa sujud sukur sekarang."

Orang tua dan ketakutannya pada anaknya yang sudah berusia di ujung dua puluh.

"sebenarnya teman perempuan Gibran lumayan banyak, Tan, cuma memang lagi nggak ada ngena di hati buat diajak ke pelaminan saja."

"Ngomongin apa, serius amat." Suara Gibran menginterupsi obrolan kami. Dia menyerahkan gelas minuman padaku.

"Makasih ya," ucapku. 

Gibran hanya mengedipkan mata.

"Ke sana, yuk. Tante kenalkan sama temen-temen Tante," ajak Ibu Gibran. Bukan mengajak, tapi memaksa karena aku belum menjawab dan langsung ditarik begitu saja.

Kumat. Emak-emak dan sifat pamernya.

"Buat apa sih, Ma!" tahan Gibran saat aku hendak berpindah tempat.

"Kenalan doang, Ban." 

Belum aku mengeluarkan suara. Tanganku sudah kembali ditarik. Aku menatap Gibran, memintanya supaya tetap tenang karena aku pasti baik-baik saja.

"Misi... kenalkan ini Shakila. Teman deketnya Gibran. Anakku yang pertama."

Aku berdiri sungkan saat Ibu Gibran dengan toa masjid memperkenalkan diriku. Bahkan untuk jarak yang lumayan jauh, kuyakin terdengar pula. Aku hanya tersenyum canggung saat Gibran merangkulkan tangannya di pundakku.

"Cantik banget ya, Bu. Pinter nih Gibran nyarinya," komentar salah seorang wanita.

Kuputar bola mataku memindai satu persatu. Saat tiba-tiba pandanganku tertumbuk pada mata seseorang. Tubuhku seketika menegang. Dia kenapa ada di sini?

Karena hujan tak pernah mengeluh meski ia selalu jatuh

Tak pernah jenuh meski selalu meluruh


 

DELAPAN

"Lah, Rizka, lo diundang juga?" Suara Gibran memutus tatapanku pada Rizka yang berdiri beberapa meter dari hadapan kami.

Jangan tanya inginku apa kali ini: leburkan aku dalam sapuan angin. Sial! Kenapa harus bertemu Rizka di saat ini dengan posisi badanku sedang menempel pada tubuh Gibran, ditambah dengan batik kami yang memang dibuat berpasangan. Rizka menaikan kedua alisnya kemudian menyeringai, aku tahu jelas apa yang dipikirkan oleh perempuan mungil itu.

"Iya, nyokap gue yang diundang dan karena bokap masih di luar kota. Jadi, gue yang berangkat," jelas Rizka.

Para ibu-ibu kemudian menyebar, member ruang pada kawula muda untuk melanjutkan obrolannya yang memang hanya menyisa kami bertiga; aku, Gibran, dan Rizka. 

"Gue baru tahu kalau kalian sedekat ini, sampai dikenalin jadi ‘calon’," tembak Rizka. Dia memberikan tanda kutip dengan tangannya saat menyebutkan kata calon.

Aku melepas tangan Gibran di pinggangku, tapi dasar Gibran kampret. Dia memindahkan tangannya di pundakku. Dan Rizka melihat itu semua. Senyum timbul di wajah manisnya.

"Nanti gue jelasin," ucapku berharap Rizka percaya.

Rizka memicing, lucu. Mata bulatnya menyipit, "Oh, iya, mumpung ketemu di sini. Gue mau sekalian ngasih ini." Dia mengambil sesuatu dari tasnya.

Kemudian menyerahkan padaku, "dua minggu lagi dateng ke nikahan gue. Wajib 'ain. Lo juga ya, Bran, gue undang."

"Siapin aja hidangan lezat, gue pasti datang," jawab Gibran.

"Oke. Gue balik dulu ya, udah dikodein nyokap. Lanjutin aja pelukannya, nggak bakal ganggu gue." Rizka masih menyempatkan mengedipkan satu matanya. Sialaaan!

"Lah, Rizka udah mau nikah aja?"

"Bran, kalau gue sampai disidang anak-anak. Lo yang tanggung jawab."

"Yaelah, santai aja kali, Kil. Yang lain juga pada tahu kita deket dari SMA."

"Kalau sampai gue jadi bulan-bulanan para cecungut, masa berlaku kartunya nambah."

Gibran tergelak kemudian memegang kedua pundakku, " asal lo cantik terus begini tiap ada gue. Nggak jadi masalah. Rupiah gue juga masih berlimpah."

Eh? Kudorong dadanya supaya mundur. "Nggak ada dalam perjanjian pegang pundak pakai dua tangan. Tambah dua juta kalau begitu."

Gibran makin terbahak, "HAHAHA... ANJIR PARAH BANGET LO."

Gibran ini tak sadarkah jika aku sedang memerasnya? Jangan-jangan dia mulai gila karena kartunya yang sedang kupegang. Iya, bisa jadi demikian.

---

"Serius, Bran. Gue nggak usah dipegangin gini tiap naik lift, kaya anak SD aja."

"Eummm... Kil, kenapa?"

Hah? "Kenapa apa?"

"Iya, lo selalu gemetar tiap kali naik lift. Pasti ada sebabnya."

Tubuhku seketika menegang dan beruntung Gibran tanggap. Dia merapatkan pelukannya pada pundakku.

"Ya, takut aja kalau tiba-tiba liftnya terjun lagi ke bawah gimana?" jawabku. Kubuat sebiasa mungkin tapi Gibran lebih dari sekedar pintar yang tak mungkin tertipu dengan omonganku.

"Gue tunggu sampai lo mau cerita."

"Terima kasih," ucapku saat kami sampai di depan pintu flatku.

"Oke..." Gibran menyempatkan diri mengusap pipiku. "Selamat malam."

Aku masih membeku di tempat, sementara Gibran sudah berlalu. Kelamaan move on tak membuat seseorang menjadi gila dengan membayangkan semua wanita sebagai mantannya, kan? Aku tetap terlihat sebagai Kila bukan Nata, kan?

"Apaan pegang pipi... lima juta," seruku.

Gibran masih berjalan menuju lift. Terdengar suaranya tawanya, tapi Gibran tak repot-repot menengok. Sedetik kemudian kulihat Gibran mengacungkan jempolnya tanda setuju. 

Kupengang kedua pipiku yang terasa hangat. "Terima kasih ya, Bran," ucapku lirih kemudian membuka kenop pintu.

---

Rizka : ada yang baru loooh...
Rizka : Kila sekarang ada ekstraknya

Zhio : knp Mah? Kangen ya...

Rizka : dih... nggak 😝

Zhio : tega -_-

Gilang : anjrit get room pls

Nata : kenapa Kila?

Me : sampai lu ngomong... gue doain hymen lo jebol seminggu kemudian 

Zhio : anzeeeng Kila. 
Zhio : ada apa, Mah? Tenang aku dah buka tutorial

Dinda : jgn ngasih info stngah2, Riz

Rivan : setuja sama bunda. Jangan setengah2. Orgasme kepotong aja rasanya sakit apalagi info begini.

Zhio : Hasyou... omongan lo Van. 

Rizka : gue ngakak dulu...

Rivan : paling ntr lo juga bgini Yo. Kalau dah kawin. Eh udah kwin blm?

Me : Shakila Indira meninggalkan obrolan.
Me : Shakila Indira meninggalkan obrolan. 
Me : Shakila Indira meninggalkan obrolan.

Tiara : Jangan Spaming choooy...

Rizka : Kila jalan sama Gibran.

Rivan : Gibran Wiratama?

Zhio : Gibran Wiratama? (2)

Dinda : Gibran Wiratama? (3)

Zhio : lo bukannya deket lagi sama Januar ya Kil? Gue denger gosip di divisi gue gitu.

Nata : Gibran mantan gue?

Shit! Dunia memang sesempit lubang perawan.

Natalia calling...

Njrit. Si Rizka emang comberan kelas paling busuk. Belum diendus udah memabukan hidung. Berakibat pusing di perut dan mual di kepala.

Double kampret.

Kugeser tombol hijau, menempelkan ponsel pada telingaku. "Hal..."

"Kil, cius miapah lo sama Gibran?"

Kan? "Miayam, Nat."

"Ih... orang nanya serius juga."

"Kenapa, Nat? Masih krenyes-krenyes di hati lo, ya?"

Iyakan? Pasti beda rasa kalau tahu mantan pacar kita jalan sama teman sendiri.

"Nggak ada, udah penuh sama Panji. So?"

"Gue cuma disuruh nemenin aja ke nikahan sodara Gibran."

"Terus dikenalin jadi, 'calon'?"

Sebanyak apa sebenarnya Rizka sudah buang angin hingga semua informasi sudah Nata dengar?

"Itu salah paham doang," elakku.

"Lo utang penjelasan sama gue."

"Iya, nanti kalau ketemu gue ceritain. Udah ya, gue capek."

Klik. Ponsel kumatikan duluan. Daripada makin banyak pertanyaan yang harus kujawab. Nata mungkin biasa aja melihat aku jalan sama mantannya, tapi bagaimana pandangan orang lain?

Gibran : Lo mau ke nikahan Zhio sama siapa?

Tak kubalas pesan dari Gibran. Memilih masuk dalam kamar mandi dan merendamkan diriku dalam air hangat.

---

"Gila, bos Anu bibirnya seksi ya," celetuk Siska saat kami sedang makan siang di foodcourt.

"Gue mau dong jadi sedotannya. Dicium, dikenyot-kenyot."

Aku tersedak. Jadi terbayang ciuman Januar beberapa saat lalu. Kulirik sekilas pada Januar. Dia sedang asyik mengobrol dengan Bagas dan lainnya. Walau bos, tapi Januar memang lebih suka nongkrong dengan yang seumurannya. Pandanganku jatuh pada bibir padat milik Januar. Shit. Seksi. Dulu kenapa aku hanya diam saja tak ikut cipicip... penyesalan memang selalu datang dibelakangan.

Januar tiba-tiba melirik ke arah kami. Aku langsung mengalihkan pandanganku. Berharap tak ketahuan.

"Tatapan matanya chuy, bikin meleleh." Siska kembali menyuarakan pendapatnya.

"Cristrian grey versi kantor kita itu. Januar Virendra."

"Kil, lo dulu udah manuver apa aja deketin Bos Anu? Nggak mempan, ya?" Lana bertanya padaku.

Apaan? "Gue deketin Januar?"

"Iya, gosipnya udah kesebar sampai divisi lain. Bahkan sampai jadi bahan taruhan sama anak-anak. Eh?" Siska memukul bibirnya yang tiba-tiba keceplosan mengatakan fakta tersebut.

Kan? Orang jahat macam diriku ini, mau melakukan sebuah kebajikan tetap saja dianggap salah. Kalau ustadzah yang melakukan kesalahan pasti dimaklumi. Ustadzah juga manusia. Aku enggan menjawab. Kudiamkan saja. Nanti juga hilang dengan sendirinya gossip tak penting itu.

---

Sudah malam aku baru menginjakan kakiku di lantai dasar gedung apartemen, saat kulihat sebuah Jeep Wrangler yang sangat familiar melintas di depanku. Beberapa menit kemudian, seseorang lelaki berjalan ke arahku. Masih lengkap dengan pakaian kerjanya. Aku tak bergeming, kemudian melanjutkan perjalanan menuju kamarku.

"Kil, aku mau ngomong sesuatu."

Aku berjalan duluan di depan Januar, sesekali menggoyangkan pinggulku. Berjalan dengan gayaku sendiri. Tiba di depan lift kakiku mulai gemetar seperti biasa tapi aku sok biasa saja. Masih dengan dada yang kubusungkan.

Lift kosong. Membuat kami berdiri bersebelahan.

"Aku menang lelang rumah kamu." Satu kalimat lima kata yang meluncur dari mulut Januar membuat pandanganku yang fokus pada kaki yang gemetar beralih pada Januar."Aku lihat, rumah peninggalan Papa kamu disita. Dan setelah aku cek ternyata dilelang."

"Nu..." selalu, Januar selalu membuatku tak mampu berucap sesuatu.

"Nanti kalau surat-suratnya sudah diurus, kamu bisa ambil lagi."

Entah keberanian darimana, aku melangkah maju memeluk tubuh Januar. Tubuh Januar seketika tegak menegang. Aku tahu uang itu tak berarti apa-apa bagi Januar tapi rumah itu berarti sangat bagiku. Tubuh Januar yang sempat menegang seketika rileks, membalas pelukanku sama eratnya.

"Terima kasih, Nu."

Ting! Lift terbuka.

"Kil..." suara itu...

Hiduplah seperti bola basket

Semakin kuat lemparan, semakin tinggi pantulannya


 

FLASHBACK 3

Kugenggam tali ranselku erat, saat netraku mendapati pemandangan yang entah bagaimana membuat dentum jangtungku terhimpit sesuatu. Sesak. Lebih sesak daripada saat pakai beha kekecilan.

Nata dan Gibran duduk berdua di dalam kelas; Gibran duduk di kursiku dengan siku tangan kirinya dijadikan tumpuan di meja, dan Nata duduk di sebelahnya saling berhadapan. Terlihat tawa kedua menguar mengisi kekosongan kelas yang memang belum padat siswa. Masih terlalu pagi untuk menyemai pedih ini.

Aku masuk dalam kelas, membanting ranselku di meja. Membuat keduanya terlonjak. Menatap penuh nyalang padaku karena menganggu keasyikan mereka.

"Gue kepret juga lo, Kil, bikin orang jantungan aja," semprot Gibran saat tahu siapa dalang pembantingan tas tadi.

"Lagian, pagi-pagi udah pacaran aja. Gue aduin BK tahu rasa loh," candaku.

"Sebelum kita yang dihukum, lo duluan yang kena. Seragam ukuran anak SD masih aja dipakai." Kali ini Nata yang menyela. Wajahnya memerah. 

Aku tahu dia bahagia. Aku juga bahagia. "Balik sana! Udah mau bel," usirku pada Gibran.

Gibran mendengus, kupikir dia akan mengeluarkan sanggahan lagi tapi badannya berdiri. "Nanti istirahat aku ke sini lagi," ucapnya pada Nata.

"Yaelah, lama..." gerutuku karena mereka masih sempatnya saling lempar senyum.

"Iyaaa...." Gibran berlalu dari kelas.

Aku duduk di bangku bekas Gibran barusan. Hangatnya terasa meresap di seluruh tubuhku. Bahkan minyak wangi milik Gibran masih tertinggal di sini. Hanya ini yang bisa kumiliki dari Gibran sekarang.

Kutolehkan kepalaku ke samping, Nata sedang senyum-senyum seperti orang gila. "Yeee... alig, senyum sendiri," ucapku mendorong lengannya.

"Biarin," jawab Nata singkat namun masih sempat tersenyum.

"Gimana bisa Gibran nembak elo?" tanyaku.

"Masa dia nyuruh anak-anak sekelas buat sms gue, Kil. Smsnya tuh 'Nat, dapat salam dari Gibran, katanya kok kamu alay' sialan, kan? Terus gue biarin aja. Eh, malamnya ada orang sms. Minta gue jadi pacarnya. Ya, karena gue tahu itu Gibran Wiratama. Ya, gue iyain," terangnya sambil menahan senyum yang terus mengembang di wajahnya.

"Akhirnya temen gue, puber juga."

"Oh iya, tadi Mama bikinin bekel. Buat lo juga ada." Nata menyerahkan kotak makan berwarna pink. Bergambar hello kity di hadapanku.

Ada haru di antara sesak yang kurasakan pagi ini. Sudah hampir lima tahun, aku tak tahu bagaimana rasanya bangun pagi karena digedor oleh wanita yang diagungkan namanya dengan sebutan Mama. Selama itu pula, tak pernah ada yang dengan ihklas di antara padatnya aktivitas menyempatkan detiknya untuk membuatkan bekal.

"Terima kasih, Nat."

Nata mengangguk. "Makan gih, belum sarapan, kan?" tanyanya yang kembali kubalas anggukan.

Nasi goreng dengan telur mata sapi di atasnya. Sederhana tapi menggugah selera makanku. Kuangkat satu suap nasi dan kulahap, enak.

Selama ini aku memang lebih banyak jajan daripada makan di rumah. Bukan karena aku tak lapar tapi karena memang tak ada masakan, tak ada yang memasak, dan tak ada yang memakan.

"Pas gue datang, gue nemu ini di meja. Dan buat lo. Karena tulisannya 'Kila'," Nata memberikan informasi sambil meletak coklat di hadapanku.

Aku memandang coklat itu, "coklat lagi? Sakit gigi gue lama-lama makan coklat mulu. Nanti gue tempelin kertas aja di meja. Minta tas apa sepatu."

"Sinting."

"Bodo! Coklatnya yang dia beli beberapa minggu ini udah bisa dipakai beli sepatu. Atau kasih jepit rambut, pulpen, pensil, apa kek yang lebih bermanfaat. Lah, ini coklat. Udah bikin gemuk, sakit gigi, sekali habis pula. Nggak ada faedahnya."

Obrolan kami terpotong saat guru masuk. Posisi duduk di kelas kami selalu berputar setiap harinya. Biar adil katanya. Namun, si pengirim coklat ini tahu ritme perputaran duduk kami. Dia pasti sudah mengira-ngira besok aku akan duduk di mana. Dan karena pintar. Aku jamin itu Januar. Siapa lagi coba yang iseng memberikan coklat padaku. Cuma dia kandidatnya.

---

"Nanti sore lo ada acara nggak?" Suara Gibran menginterupsi kegiatanku memasukan buku ke dalam tas. Kami sedang di ruang osis saat ini. Rapat untuk penyelenggaraan acara ulang tahun sekolah.

"Ngapain? Mau ngajak nonton?"

"Iya," jawabnya membuatku langsung menolehkan kepalaku. Menghadap Gibran yang sedang mematikan laptopnya. Sembari menggulung kabel.

"Boleh banget, malam minggu jenuh banget. Habis mandi, dandan cantik, terus berakhir dengan ngobrol sama tembok."

"Haha... jomblo mah beda malmingnya. Tapi lo jemput Nata, ya. Izinin sama bokapnya. Kalau gue yang izin. Langsung dihadang tombak."

Oh... jadi ini maksudnya. "Tapi gue ogah kau cuma dibayar pakai nonton. Ngomong sama bokap Nata itu harus punya ilmu dalam. Biar aman, tentram, biar dapet izin ditambah ongkos."

Gibran mendengus, aku tergelak. "Kampret emang lo, Kil. Nggak ada ihklasnya nolong temen."

"Ya, terserah. Lo datang sendiri ketemu Bapaknya Nata juga nggak apa-apa. Paling lo nggak jadi nonton. Langsung menuju TPU."

"Sialan. Iya, iya. Tapi jangan melebihi anggaran malam mingguan gue. Masih numpang sama orang tua ini."

"Siaplaaah. Bisa dikondisikan kalau itu. Berdoa aja gue nggak khilaf terus membabi buta ingin ini dan itu. Wkakaka...."

Gibran merangkul pundakku. "Makasih, ya," ucapnya sambil berlalu di hadapanku menuju motornya yang terparkir rapi.

Ada nyeri yang menderu, mencekam bertubi-tubi. Aku tak tahu perasaan apa ini, yang jelas aku tak bisa berontak. Hanya diam saja sambil terus menikmati sesak tiap kali menatap tatapan memuja dari Gibran kepada Nata. Begitu pun sebaliknya.

Nata terlalu berharga untuk dipecahkan, Gibran terlalu sempurna untuk dimusnahkan. Dan aku terlalu hina untuk melakukan pengharapan.

---

"Bran, kamu udah punya sim memang?" tanya Nata.

Kami sedang duduk di dalam mobil yang dikendarai oleh Gibran. Dengan Nata di sampingnya dan aku di kursi penumpang.

"Belum, kalau bawa motor kasihan nanti kamu malah kehujanan. Udah mulai gerimis dari tadi. Princess itu harusnya dijemput pakai kereta kencana, bukannya onthel."

"Mual, oy... nggak mutu banget gombalannya, matiin aja deh AC-nya. Mau buka jendela. Biar nggak makin mual," sindirku.

Nata hanya tertawa, aku mendengus. "Emang sih, orang bilang. Orang jatuh cinta itu. Tai kucing aja rasa coklat ya, Kil." Gibran menyanggah.

"Tai kucing mau dikasih royko satu pabrik juga tetep tai kucing," jawabku membuat mereka tergelak bersamaan. "Lagian, emang lo udah nyobain tai kucing, Bran?" tanyaku lagi.

Mereka tertawa, tawa yang tak mampu teredam. Gibran mengangkat tangan kirinya dan mengusap puncak kepala Nata lembut dan penuh sayang. Ucapanku barusan hanya terasa seperti angin lalu.

Kenapa aku masih sedih memikirkan bahwa aku tak berarti. Bukannya memang sudah biasa aku tak dianggap oleh khalayak. Aku memilih memainkan game snake di ponselku. Namun karena terkena sinar dari ponsel. Kepalaku sedikit pusing. Iseng aku buka menu pesan.

Ting!

From : Januar

Nanti sore ketemu di taman boleh?

Astaga! Aku melupakan tantangan yang kuberikan pada Januar beberapa minggu lalu. Dia mengirim pesan pukul tiga sore dan sekarang sudah pukul tujuh malam. Astaga.

Januar!

Masa lalu biarlah menjadi jemu

Masa depan kan datang dengan terang


 

SEMBILAN

"Kil..."

Panggilan tersebut membuatku menoleh, melepaskan pelukanku pada tubuh Januar. Saat tahu siapa yang berada di depan lift, aku terdiam. Antara terkejut, marah, kecewa, dan bahagia. Perasaan yang aku sendiri tak mengerti bagaimana.

"Kak Shafa..." panggilku.

"Tante Shafa..." Januar bersuara lirih.

Tante? Aku menoleh pada Januar, dia menarikku keluar dari lift tersebut. Berdiri di depan Shafa—kakak perempuanku satu-satunya—yang sudah lebih dari dua tahun menghilang tanpa kabar.

"Tante?" Aku bertanya, mengerutkan kening bingung menatap Januar penuh tanda tanya. "Kalian saling kenal?" Kutatap wajah Januar dan Shafa secara bergantian.

"Kita masuk dulu," ujar Januar, melangkah terlebih dahulu. Aku mengikuti. Memasukan kode pintu, dan masuk.

"Kamu ambil minum saja dulu, baru nanti duduk di sini." Januar kembali memberi perintah.

Aku yang entah kenapa, malam ini menurut saja dengan segala yang diperintah Januar. Saat keluar dari pantry, sayup-sayup kudengar percakapan antara Januar dan Shafa.

"Lo udah tahu?" tanya suara lembut yang bertahun-tahun ini tak pernah kudengar kembali.

"Kebetulan yang menyenangkan, Tan." Januar menjawab dengan suara tegas, tanpa ada getaran sama sekali dalam nada bicaranya.

Aku meletakan minuman di meja, duduk di sofa single. Menatap Januar dan Shafa secara bergantian. "Jadi...."

"Mau saya yang memberi tahu, atau Tante mau memberitahukan sendiri?"

Kulirik Shafa masih diam saja, tak ada kata terucap. "Ini ada apa, sebenarnya? Ngomong tinggal ngomong, nggak usah muter-muter!" geramku karena mereka tak memberi pencerahan sama sekali.

"Kalau begitu biar saya yang mengatakan," ucap Januar, pandangannya masih fokus pada Shafa.

Shafa sendiri terlihat menantang Januar, tak gentar. Walau aku tahu dia ketakutan, kebiasaannya yang selalu mengapit tangan di antara paha menunjukan kalau dia sedang berpikir.

Januar menjeda ucapannya. Satu menit berlalu, "kalau begitu saya pergi dahulu," pamitnya.

Otomatis aku menarik tangannya, menahannya saat hendak berlalu, "nggak! Jelasin dulu semuanya."

Januar melepas tanganku, "Aku pulang dulu, TANTE Shafa pasti mau ngomong berdua saja sama kamu," jawabnya menekan kata tante. Januar menatap Shafa tajam, "jangan coba berbuat hal-hal konyol. Atau saya bisa membuat Tante terhina lebih dari yang kemarin," ancam Januar.

Aku bingung, sebenarnya ada apa ini?

Langkah kaki Januar semakin memelan menunjukan bahwa jarak antara kami semakin membentang. Pintu apartemenku tertutup, aku menatap Shafa yang masih duduk diam di Shofa.

"Jadi, bisa lo jelaskan semua ini, Kak?" tanyaku, duduk di sofa yang diduduki Januar tadi.

Shafa tetap terdiam.

"Apa maksud kata Tante yang disebutkan Januar tadi, Kak?"

Shafa masih terdiam. Aku mulai kesal dengan kesunyian ini.

"Dua tahun minggat nggak ada kabar, bawa duit utangan dari bank, dan sekalinya datang lo cuma mingkem. Bisu lo?" amarahku tak tertahan.

"Lo nggak tahu gimana gilanya gue saat tahu lo ninggalin gue gitu aja? Lo nggak tahu gimana capeknya gue nyariin elo? Lo nggak tahu kalau gue hampir masuk rumah sakit jiwa? Lo nggak tahu. Nggak akan pernah tahu.

"Ke mana aja lo selama ini? Udah apa aja lo? Udah segila apa perbuatan yang lo lakukan? Seneng-seneng pakai duit bank sementara gue hampir sekarat mikirin nutup utang bank biar rumah peninggalan Papa satu-satunya tetap nggak jatuh ke tangan orang. Kalau gue bisa nangis darah ganti duit itu. Gue udah lakuin."

Aku ingin mengeluarkan segala bentuk amarahku, mengeluarkan segala bentuk kekecawaanku selama ini. Namun, semua hanya terendap dalam senyap. Lara yang mengobar di tubuhku tak mampu membakar diri dengan mencaci Shafa. Kututup wajahku dengan kedua tangan, melepas sesak. Napasku menderu.

"Karena gue nggak mau digantungin sama elo. Karena gue lelah selalu lo jadikan tempat merengek padahal gue nggak cukup kuat menopang diri gue sendiri. Gue lelah, gue milih lari, gue kabur," jelas Shafa panjang lebar. "Gue ke sini mau balikin duit yang gue bawa kabur," lanjutnya. "Lo nggak perlu mikir lagi soal rumah itu."

Aku tertawa sinis, "Hahaha... lo masih nganggep diri lo manusia, Kak? Setelah semua yang lo lakukan. Bahkan anjing aja lebih peduli terhadap saudaranya," ucapku sinis, menyindir. "Lo nggak usah khawatir, rumah itu aman sama gue. Lo pikirkan saja hidup lo sendiri. Yang mau lo bahagiakan dengan kaki sendiri, biar yang lain mati sekarat.

"Gue nggak suka berbasa-basi, Kak. Gue udah nggak nganggep elo saudara, bahkan walau kita pernah hidup sembilan bulan di tempat yang sama. Silakan pergi!" tandasku. Aku mungkin akan disebut adik durhaka, tapi dua tahun hidup seperti orang gila membuatku mati rasa. Aku merasa tak memiliki seorang kakak.

"Kil..."

"Stop it. Soal tante tante yang disebut Januar, lo simpen aja buat diri lo sendiri. Dan soal rumah, jangan pernah sok ikut campur lagi. Biar gue yang jaga dan rawat peninggalan Papa."

Satu isakan lolos dari mulut Shafa, tapi telingaku sudah tuli. Tak ada rasa iba, hatiku sudah lumpuh. Terserah Shafa akan mengiba bagaimana, aku tak peduli. Beberapa menit Shafa menangis, aku tetap diam terus menatapnya. Kubiarkan saja, sama seperti dulu ketika aku menangis sesegukan karena ditinggal lelaki terkuatku. Shafa hanya diam dan meninggalkan aku menangis hingga lelah kemudian terlelap.

Mungkin tahu aku tak mungkin memberikan reaksi apa-apa, Shafa beranjak. Dia hendak mengusap kepalaku, tapi kutepis.

---

Gibran : Bun, keluar nyok. Sumpek.

Me : pale lu, Bran. Gue lembur
Me : disemprot mulu sama Bagas waras.

Seharian ini aku memang tak fokus bekerja, ada saja yang salah dari laporan yang kubuat. Jalan saja, aku hampir jatuh. Untung mataku jeli, kalau tidak, habis jidatku benjol di mana-mana. Aku bukan wanita super yang bisa menghilangkan segala beban pikiran dalam sekali cling.

Gibran : sini Ayah bantuin.

Me : Minggat dah lu, 
Me : mau kmna emg?

Gibran : nonton aja,

Me : ok. Jmput.

Gibran : makasih bunda 

Me : gue garuk juga lu...

Gibran : uuuuu seksi,  pakai kostum macan ya, rawr

Pesan dari Gibran hari ini benar-benar konyol, aneh, tumben-tumbenan dia mengirimi chat sampah dari awal sampai akhir chat. Padahal biasanya hanya sesekali menggodaku.

"Yee... malah mainan hape. Laporan yang gue minta udah selesai belum?" Bagas berdiri di depan kubikelku, berkacak pinggang.

"Besok lagi deh, Gas. Lo nggak lihat udah hampir jam delapan."

Bagas memutar bola matanya, "ya terus?"

"Anak perawan jangan pulang malem-malem. Pamali itu."

Bagas memukul kepalaku dengan bolpoin yang berada di mejaku, "lo kenapa, Kil? Tumbenan salah bikin laporan sampai tiga kali."

Aku mengedikan bahu, "izinkan aku keluar dari tempat ini, Gas. Aku sudah tak kuat dengan semua ini, hatiku tak mampu," rayuku, mendrama.

"Jijay, Lo. Ya udah sana balik, besok harus udah kelar."

Aku menempelkan dua jariku di pipi Bagas, "you save me. Makasih."

"Hmm..."

Aku memasukan semua barang-barangku ke dalam tas. Bergegas pergi dari kantor setelah mengabarkan pada Gibran bahwa aku sudah keluar dari kantor. Tiba di depan lift, badanku mulai gemetar. Mengingat tangis Shafa semalam, sama merintihnya dengan yang pernah kudengar saat kejadian itu. Bedanya, kala itu aku ikut meraung sementara semalam aku hanya penonton.

Saat hendak menekan tombol, sebuah lengan mendahuluiku. Januar, dari baunya aku tahu itu Januar. Kami masuk lift beriringan. Lift sudah sepi, karena jam pulang kantor sudah berakhir empat jam yang lalu.

"Nu..."

"Ya?"

"Terima kasih," ucapku, lirih.

Dari pantulan kaca dalam lift ini, aku tahu Januar menatapku balik.

"Untuk?"

"Untuk rumah, dan semalam."

"Kil, you okey?" Januar berbalik ke arahku.

"Okey," jawabku singkat.

Kakiku mulai tak seimbang, tapi lift baru tiba di lantai sepuluh. Masih ada setengah perjalanan hingga ke tujuanku. Aku merapal kalimat bahwa aku kuat terus dalam hati. Namun, tak berguna saat ini.

Shafa. Shit.

"Kil, kamu kenapa? Badan kamu kringetan."

Terdapat kekhawatiran yang kutangkap dari suara Januar. Dia hendak memegang pundakku tapi aku menghindar. Sudah cukup aku sering membuat diriku lemah dihadapan Januar.

Ting! Akhirnya tiba juga. Aku keluar dari lift tanpa komando. Melegakan sekali bisa keluar dari lift terkutuk itu.

Januar mengikuti, "kamu nggak bawa mobil?" tanyanya karena aku menuju jalan keluar.

"Bawa, Nu."

"Kamu mau ke mana?"

"Ke mana-mana hatiku senang," jawabku.

Tiba di depan lobi, outlander hitam yang kukenali sebagai milik Gibran sudah terparkir. Tanpa menunggu Januar meneruskan ucapannya, aku masuk dalam mobil tersebut.

"Januar itu bos lo, kan? Ngapain dia ngikutin elo?" tanya Gibran saat aku mendudukan pantatku di jok mobil miliknya.

Mobil Gibran melaju perlahan.

"Lo tau, princess yang cantik jelita itu harus dijaga. Bos aja suka rela jagain gue, Bran."

"Bukan karena dia masih ngarep sama elo, kan?"

Aku menengok, "menurut lo?"

"Dari kacamata para pria yang jelas punya dua biji dan dan tombak yang masih berfungsi sempurna, dia masih suka sama elo."

"Aki-aki bau tanah juga kalau lihat gue juga langsung suka."

"Setres lo."

"Setres gini, masih juga diajak kencan. Sumpek kenapa lo?"

"Nyokap gue maksa gue ngawinin elo."

Jawaban Gibran membuat badanku ikut menengok ke arahnya, "sebutkan aset keluarga lo yang kemungkinan balik jadi nama lo."

Dia menoyor kepalaku, "gue mau nikah sama cewek, kalau gue beneran cinta sama dia. Sama lo aja kita nggak saling cinta."

Pernah, Bran. Aku pernah cinta sama kamu.

"Ya, udah tungguin aja sampai ada cewek yang cinta sama elo pun elo juga cinta sama dia."

---

Gibran dengan konyolnya memilih 'surga yang tak dirindukan 2' sebagai film yang akan kami tonton malam ini. Gila. Saat masuk ke dalam studio, yang isinya perempuan dengan penutup kepala sebagai identitas hati mereka.

"Bran, gue berasa setan masuk sini." Kulirik rok pensil selutut, untung aku mengenakan blazer sebagai penutup.

"Gue nggak tahu mau nonton apa," katanya, mencari kursi kami.

Aku yang tak tahu bagaimana seri pertama cerita ini hanya cengo saja, Gibran asyik memakan popcornnya. Bahkan milikku pun diambilnya. Pada adegan Bella dinyatakan menderita kanker stadium empat. Aku menekan ulu hatiku yang nyeri. Aku pernah berada di posisi anak tersebut.

Air mataku mengalir, Mama selalu mengatakan bahwa aku dan Shafa itu harus saling bantu. Saling menopang, saling menggenggam tapi apa yang kami alami selama ini? Apa yang kulakukan semalam? Mana bagian dariku yang meneriakan untuk mewujudkan keinginan Mama.

Isakku makin kuat. Aku merindukan Mama.

"Cengeng lo, gitu aja mewek," olok Gibran.

Aku tak acuh pada ucapannya tersebut. Terserah. Pun tak peduli dengan bentuk wajahku malam ini, maskara yang mungkin sudah tak berbentuk.

Aku makin kuat menangis.

Sekatan kursi terangkat. Tubuhku terbawa jatuh dalam pelukan hangat seseorang. Gibran mengusap punggungku.

"Kemarin gue ketemu Shafa, Kil."

Aku merindukan Mama… "Mama..."

 

Ada rindu yang tiap hari kusemai

Pada senja yang terus berpijar, meski tak berbalas

Jingganya sudah cukup melengkapi malam


 

SEPULUH

Aku terbangun dengan kepala pening dan kelopak mata yang nyeri. Ini pasti akibat menangis semalam, aku memang jarang sekali menangis. Namun, sekali menangis bisa berjam-jam sampai pusing bahkan pernah sampai sesak napas.

Saat hendak menarik selimut, aku merasakan sesuatu yang aneh dan berbeda di atas ranjangku. Aku terduduk menatap kekacauan di kamarku. Kemeja biru muda dan celana hitam yang tergeletak sembarangan di lantai kamarku.

Keningku semakin mengerenyit.

Kutendang buntelan selimut di bawah kakiku.

"ANJING... KON—." Gibran keluar dari dalam selimut. Menatap nyalang ke arahku. "Gila lo, Kil. Nggak ada manusiawinya. Bangunin orang itu yang manis dikit kenapa? Main tendang aja. Lo kata gue bola," ucap Gibran mencak-mencak.

"Lo yang gila, semalem bukannya udah gue suruh pulang? Ngapain lo tidur di sini?"

"Gue takut lo kebangun terus melakukan percobaan bunuh diri. Karena gue orang terakhir yang bareng sama elo. Dan gue malas berurusan sama pihak berwajib. Jadi, gue putuskan nungguin elo di sini."

"Lo pikir akal gue pendek? Gue belum kawin, belum punya anak, warisan gue mau dikemanain kalau gue bunuh diri? Lagian ngapain lo tidur di kamar gue?"

"Semalem itu dingin banget, kamar lo cuma satu. Sofa nggak muat buat badan gue. Pas gue cek kasur lo gede, ya udah gue nebeng tidur," jawabnya, mengelus pantatnya sedari tadi. Pasti sakit karena terdengar suara gedebuk.

"Tahu dingin tapi tidur nggak pakai baju," olokku.

Gibran mendengus, melempar selimut ke arahku. "Lo nggak inget? Kemeja gue kotor kena peperan ingus sama maskara lo. Gue risih tidur pakai baju kotor."

Gibran berdiri di sana hanya mengenakan boxer hitamnya. Aku sudah terbiasa melihat Gibran bertelanjang dada dulu saat SMA, karena memang OSIS sering kumpul sekedar berenang bersama. Namun, itu 13 tahun yang lalu, badan Gibran masih krempeng. Berbeda dengan saat ini.

"Kenapa? Takjub lihat badan gue?" godanya, senyum manis terbentang nyata di wajah tampannya.

"Nggak ada, badan begitu aja dibanggain," ujarku meremehkan.

Gibran berjalan ke arahku, "banyak cewek di luar sana yang memimpikan bisa ngelus perut gue, Kil. Dan lo bilang nggak. Berarti lo nggak normal."

"Being normal is boring," jawabku, berdiri dari ranjang. Berjalan mengambil baju milik Gibran. "Masih jam segini. Gue cuciin dulu, dikipas juga sejam kering."

"Makasih ya, Bun. Ayah bobok lagi kalau gitu." Gibran merebahkan badannya di kasurku, berbantal lengannya.

Aku berjongkok, mengambil selimut dan melempar ke tubuhnya. Gibran terlonjak kaget, hendak mengumpat tapi ditahannya.

"Gila, Kila." Gibran berdiri dan bersiap mengejarku. 

Aku langsung berlari. Sial sungguh sial, aku masih mengenakan pakaian kerjaku, menyulitkan aku membuka kaki lebar dalam berlari. Aku masuk ke dalam kamar mandi sebelum Gibran berhasil menangkapku. Aku tertawa di balik pintu. Tawa pertamaku sejak tangis semalam.

"Mandi bareng yuk, Bun."

Tak kuhiraukan ucapan Gibran. Kuembuskan napas perlahan. Setidaknya ada kelegaan tersendiri mendapati Gibran berdiri di sini saat ini, memberikan keyakinan bahwa: ada orang yang masih peduli dengan diriku.

---

"Gini kali rasanya punya bini," ucap Gibran saat aku menyerahkan kemeja dan celananya. Dia baru keluar dari kamar mandi, masih berbalut handuk.

"Nggak usah banyak cingcong, atau gue tendang kanjut lo."

Gibran memakai kemejanya, "ke rumah gue dulu, ganti baju terus berangkat ke kantor."

"Ogah! Apa kata nyokap lo? Bisa-bisa kita langsung disuruh ke KUA karena dituduh melakukan perbuatan asusila. Gue naik taksi aja," ujarku.

Gibran hanya tertawa, aku memilih keluar kamar. Membuat sarapan, jujur saja perutku sudah meronta minta diisi. Semalam aku memang belum makan, kalut yang menyerangku tiba-tiba membunuh rasa laparku. Kubuat nasi goreng sederhana untuk pengisi perutku dan Gibran pagi ini. Setidaknya untuk ucapan terima kasihku pada Gibran.

"Dari baunya enak." Gibran duduk di meja makan. "Lo beneran jago masak? Nata bilang lo bisa masak, tapi gue nggak tahu bisa seenak ini," lanjut Gibran saat mulai mencicipi masakanku.

"Iya, kepepet. Karena gue nggak punya duit lebih buat bayar pembantu," jawabku, tak bohong. Aku memang malas mengeluarkan uang, jika aku sendiri bisa melakukannya.

Kami diam, melahap nasi goreng masing-masing.

"Kil, soal semalem. Lo ada masalah apa sampai sekacau itu?" tanya Gibran.

Aku diam. Memilih mengedikan bahu. Enggan menjawab.

"Kil, belum mau cerita?"

"Lo tau adab saat makan nggak, Bran? Kalau udah kelar sarapan, lo boleh balik. Nggak usah khawatirin gue. Akal sehat gue masih jalan, Bran, nggak akan melakukan hal-hal konyol," ucapku membuat Gibran terdiam saat itu juga.

"Gue tahu lo lebih dari sekedar kuat, Kil, tapi lo tetap mahkluk sosial yang butuh orang lain. Apa salahnya menggantungkan sesuatu sama orang? Lebih meringankan beban, Kil."

"Setelah menggantungkan diri, gue ditinggalkan seenaknya gitu? Itu lebih menyakitkan daripada ditolak dari awal, Bran."

Benar, kan? Kalau dari awal kematian Papa, Shafa menolak kujadikan penopang. Hidupku tak akan separah ini. Menyemai benci dalam diri.

"Lalu, soal Shafa?"

Aku menggeleng. Benar-benar belum siap berkata apa-apa pada Gibran. Gibran mungkin paham. Dia beranjak dari meja.

"Gue masih jomlo, Kil. Kalau lo butuh temen. 24 jam, hape gue aktif. Nggak akan dilabrak orang kalau pun lo ngehubungin gue tengah malam." Gibran mengusap puncak kepalaku. "Nasi gorengnya enak," ucapnya, Gibran sudah berada di ambang pintu, tapi menengok ke arahku. "Dan pagi ini, terima kasih tetap cantik saat pertama kali gue membuka mata."

Pintu tertutup. Aku melanjutkan kembali sesi makanku, meski sedikit memikirkan soal perkataan Gibran tadi. Memang menopangkan badan pada orang itu menyenangkan, tapi kalau yang ditopang enggan? Lebih baik menopang pada kaki sendiri, kan?

---

Aku berdiri di samping jalan masuk apartemenku, aku sudah memesan uber tapi sampai sekarang belum tiba juga. Bisa habis dibikin kolak Bagas kalau hari ini aku sampai telat, laporanku harus sudah ada di mejanya pagi ini. Mau kurayu juga tetap gagal, masalahnya Bagas nggak doyan pahaku. Dia doyannya paha berotot milik Januar atau Zhio. Grrrr....

"Shakila," panggil seseorang.

Aku menoleh, menemukan Jeep Wrangler biru tua berdiri di depanku. Wajah milik Januar muncul setelahnya. Dia melongokkan kepalanya saat kaca mobil terbuka.

"Mau berangkat ke kantor, kan? Bareng aja gimana?" ajaknya.

Aku melihat jam di pergelangan tangan kiriku, sambil menimbang akan ikut Januar apa tidak. Namun, jika aku memaksa tetap menunggu taksi yang kupesan. Jelas akan berakhir dengan aku terlambat sampai kantor. Jadi, aku masuk ke dalam mobil Januar.

Pagi ini Januar mengenakan kemeja biru dongker yang tersetrika rapi. Belum lagi dengan kacamata yang tumben-tumbenan menghiasi hidung bangirnya. Dari samping aku juga mengamati potongan rambut Januar yang sedikit pendek. Januar nampak berbeda, dia terlihat lebih segar, dan enak dipandang mata.

"Ada hubungan apa kamu sama Gibran?" tanya Januar tiba-tiba.

Aku mengrenyit bingung, "hubungan? Kita cuma teman, Nu."

"Teman tapi tidur bareng?" tanyanya lagi. Nada bicaranya yang datar tapi terkesan seperti sindirian.

Aku menoleh, "maksudnya?"

"Tadi pagi aku ke apartemen kamu, tapi malah Gibran yang keluar dari sana. Kalian habis ngapain saja?"

"Panjang ceritanya, Nu..."

"Dibayar berapa kamu sama dia?" Pertanyaan dan ucapan yang meluncur dari mulut Januar, datar tanpa intonasi sama sekali tapi meyayat perasaanku.

Aku tersinggung. Jelas. "Turunin gue di sana," pintaku, sudah siap membuka handel pintu. Namun, terkunci.

"Apa ini yang selama ini kamu lakukan untuk terus bertahan hidup?" tanyanya sakartis. "Kamu minta apa? Aku bisa kasih yang kamu mau, kalau itu cuma sekedar uang," lanjut Januar, membuatku geram.

"Berhenti nggak!" teriakku.

Januar tak gentar. Dia tetap terlihat santai. Raut wajahnya terlihat datar. Kurasakan kecepatan mobil semakin bertambah. Januar benar-benar di luar kendali.

"Kamu mau minta apa? Aku kasih. Aku lakukan segala yang kamu minta. Kamu minta aku kurus, aku usahakan. Kamu minta aku jadi orang kaya. Aku wujudkan. Aku lakukan semua agar kamu mau mandang aku sebagai lelaki.

"Aku lakukan semua buat kamu, tapi mana balasan kamu? Kamu lebih pilih jalan sama cowok lain, tidur sama sama mereka. Aku cuma minta hati. Hati buat aku tapi kamu ingkar, kembalikan hatiku, Kil."

Aku merasa terhina. Ucapan Januar membakar sisi egoisku. "Januar! Hentikan mobil ini." Aku mencengkeram erat safety beltku.

"Jawab Kila.... Kenapa?" cengkraman tangan Januar pada kemudi semakin erat.

Aku memejamkan mata, meresapi setiap adrenalin karena kegilaan Januar yang semakin dalam menekan pedal gas padahal jalanan lumayan padat. “Januar berhenti!” pintaku sambil berteriak.

"Aku cinta sama kamu, Kil."

Cinta itu bukan seberapa banyak menemu sapa

Namun seberapa sering terucap dalam doa

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Detak
Selanjutnya DETAK 11-13
10
0
PART 11PART 12PART 13JANUAR IGIBRAN I
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan