DETAK 1-6

11
0
Deskripsi

PROLOG

Natalia Laura   : Woy... undangan dari Tiaraa ada di rumah gue

Dinda Arya       : Siap bu bos

Rizka Ayu         : Gue nggak ambil, berangkat jam berapa?

Natalia Laura   : Kila mana nih?

Shakilisty          : Bentar, CEO hati lagiii minta dibikinin makanan 

Natalia Laura   : Datangnya bareng yuuuk..

Dinda Arya      : Pasangan...

DUA

Dengan langkah lebar kususuri jalan, sesekali melirik jam yang melingkar di pergelangan tangan kiriku. Jarum pendek menunjuk angka sembilan sementara menurut info, meeting akan dilaksanakan pukul setengah sembilan, dan itu artinya aku sudah terlambat setengah jam.

"Pagi, Mbak Kila," sapa satpam yang bertugas gedung ini. Hanya kubalas dengan senyum singkat, langkah kakiku semakin cepat saat memasuki lobi.

Kulihat banyak mata menatap aneh ke arahku. Tak kupedulikan mereka, wajar jika mereka menatap padaku, mereka punya mata. Ya pantes, kan? Aku sudah malas merasakan baper hanya untuk hal-hal konyol.

Masuk dalam lift aku sedikit merapikan pakaian yang kukenakan—blouse hijau tua dan rok pensil selutut. Coba saja jika bekerja diperkenankan memakai sarung, mungkin aku memilih memakai kain tersebut. Jadi, aku bisa bebas berlari jika dikejar waktu seperti sekarang ini. Sebelum keluar dari kotak besi berjalan, kusempatkan kembali meneliti penampilanku. Kupoles lagi gincu di bibirku. Kalau Pak Webek marah tinggal kedip-kedip manja saja, sudah pasti langsung luluh.

Jadi, semalam aku pergi clubing bersama teman-temanku. Walau tak pulang dalam kondisi mabuk, tapi tetap saja aku tiba di apartemen pukul tiga pagi. Menyebabkan aku bangun kesiangan dan harus mengejar waktu supaya tak terlambat tiba di kantor.

Ting! Lift tiba di lantai 21. Lantai tempatku mencari pulus-pulus. Tanpa pikir panjang aku langsung berjalan menuju ruang meeting.

"Bosbes udah di dalem." Bagas memberi informasi padaku saat melewati kubikelnya.

Aku tersenyum sekilas, "thanks, Gas."

Kuketuk pintu ruangan terlebih dahulu, sebelum membuka pintu. "Maaf saya terlambat."

"Oh... jadi ini ketua tim kalian? Terlambat 45 menit dari jadwal."

Kuangkat kepalaku. Bertemu sepasang mata jernih yang berdiri di samping proyektor. Bukan Pak Wibisana yang memimpin meeting kali ini melainkan Januar. Anaknya. Shit. Aku mengumpat dalam hati. Kenapa mahkluk ini bisa ada di sini.

"Kenapa terlambat?"

Aku memutar bola mata malas, "macet, Pak," jawabku persis anak sekolah yang ketahuan terlambat oleh gurunya.

"Memang kamu hidup di Jakarta sudah berapa lama? Baru kemarin? Kenapa baru tahu kalau Jakarta memang macet?"

Aku terdiam karena membenarkan perkataan Januar, tapi tak mungkin kujawab aku bangun kesiangan, bukan? Meski mulutnya lebih pedas daripada cabe-cabean, tetapi tampilan lelaki itu tampak menawan dengan kemeja slimfit berwarna putih. Membuat Januar lebih bercahaya.

"Kamu benar-benar tak mencerminkan contoh yang baik buat anak buahmu. Meeting penting tapi bisa telat hampir sejam sendiri. Kamu bisa datang seenaknya, tak ada profesionalitas sama sekali. Memang ini perusahaan punya bapakmu? Punya keluargamu?”

Januar terus berucap entah apa. Yang jelas sedang ceramah panjang lebar. Dan aku memilih mengamati penampilannya. Menulikan pendengaranku yang mulai panas oleh suara bisik-bisik pengisi ruangan ini. Januar kenapa bisa hawt gini si? Kemeja putih rapi, celana bahan hitam, dan wangi yang semerbak. Ulaaalaaa

Mulut Januar masih berkomat-kamit, meski bisa dianggap sebagai bawahan yang tak memperhatikan tapi aku tak fokus dengan apa yang dikatakan lelaki itu. Meneliti bagian mana saja dari Januar yang berubah fantastis. Tubuhnya sunggu proposional, berbeda dengan dulu. Sembari menunggu Januar selesai berceramah, aku menyenandungkan lagu di dalam hati.

Sudah mabuk minuman ditambah mabok judi. Masih saja akang tergoda janda kembang tak sudi kutak sudi. Sudah banyak buktinya suami mabuk janda. Lupa kasih sayang, juga tak pulang-pulang. Istri disengsarakan... ouwoooo....

"Bu Shakila, anda mendengarkan saya atau tidak?"

"Iya, Pak," bohongku mencari aman. "Jadi, saya boleh masuk atau tidak?" tanyaku saat semua orang sudah diam.

"Anda yakin akan melakukan presentasi dengan mengenakan sendal jepit seperti itu?"

Terdengar grasak grusuk sekitarku. Orang-orang terlihat menahan tawa kemudian aku menunduk, ingin mencari kebenaran dari ucapan Januar barusan. Sial!

Anjiiir gue cuma swallowan choooy...

"Silakan keluar ruangan dan kembali lagi di meeting selanjutnya."

Kampreeet.

Aku langsung membuka pintu dan menutupnya sekali dorong. "Apa lo lihat-lihat," bentakku pada Niken yang kubikelnya berada di depan ruang meeting.

"Kenapa lo?" Itu pertanyaan dari Bagas.

"Januar itu kurang orgasme. Kurang pelepasan semalem. Makanya mencak-mencak nggak karuan," dumelku sembari berjalan menuju lift. "Mulutnya emang harus disumpel pakai melon si Siska. Biar kicep sambil ngenyot terus."

Aku terus menggerutu, tak kupedulikan pandangan orang-orang yang menatapku aneh. Pantas saja aku merasa ada keganjilan dari diriku sejak pagi tadi ternyata sendal jepit kampret ini biang keroknya.

"Loh, Mbak Shakila kok sudah turun?" Pak Barjo, satpam di sini bingung melihatku yang kembali turun. Dan keluar dari kantor padahal belum ada satu jam yang lalu aku naik.

Aku terus saja mengumpati Januar, kutarik kembali semua kata-kataku. Dia tak tampan. Dia burik. Jelek. Item. Methisil. Hidup pula. Tak ada bagusnya sama sekali.

Hari ini kenapa aku sungguh sial. Bangun kesiangan, ban mobil kempes, berangkat naik gojek, ketemu sama si iblis Januar yang entah datang dari planet mana, lalu ditendang dari ruang meeting.

Aku duduk di halte depan gedung kantorku. Kugoyangkan kakiku kanan kiri bergantian, sudah lengkap penderitaanku. Lengkap dengan swallow.

Januar kenapa harus kembali lagi? Kenapa dia tak menetap saja di alam ghaib sana. Melihatnya pagi ini membuatku jadi terkenang masa lalu. Dan yang lebih membuatku tercengang. Januar kenapa sekarang berbeda 180 derajat daripada dulu. Sok tak mengenal diriku pula. Kampret, kan? Padahal dulu Januar mengemis cinta padaku.

Kutiup rambut depanku yang menutupi wajah. Beberapa orang lewat sambil memandangku. Mereka tak pernah melihat perempuan cantik duduk di halte apa?

Kurasakan dingin di pipiku. Aku sudah hampir memuntahkan lahar panas saat kulihat seorang lelaki duduk di sebelahku. Menyodorkan kaleng soda dingin padaku.

"Cewek cantik kalau nongkrong di halte itu berasa karunia rakyat jelata. Mikir harga bedaknya berapa, luntur nggak dipakai desak-desakkan di bus."

Kuambil kaleng minuman tersebut, belum kubuka malah kupukulkan pada kepala lelaki itu, "garing deh, Bran."

Kulirik jam di pergelangan tanganku, "bolos ya lo? Masih jam kantor ini tapi elo kenapa berkeliaran di luar begini?"

"Bos ya enak, Kil, mau jungkir balik di jalan raya juga anak buah diam saja."

Gibran memang lulusan luar negeri, jadi pantas saja dia dipandang lebih daripada yang lulusan dalam negri macam kami ini. Kerja siang malam dianggap biasa. Memang pemikiran orang Indonesia wajib diganti.

"Tapi pas lo metong ketabrak, anak buah lo pada syukuran."

Gibran tertawa, mengacak-acak rambutku, "jujur amat si lo, Kil, jadi orang. Mulut kaya cabe rawit, pedes banget."

"Muluuut gue semanis lolipop kali, Bran."

"Kenapa bisa di sini?" tanyanya kali ini tak ada nada bercanda.

Aku mendesah, "gue telat terus diusir sama bos dari ruang meeting."

"HAHAHA aji-ajian lo udah luntur ya. Masa bos lo ngusir seorang Shakila?"

Kupukul dadanya, "gue mau ngeluarin jurus seribu bayangan. Terus gue sobek-sobek itu mulut bos tapi apalah aku makan juga dari gaji kerja perusahaan dia."

Gibran tergelak kembali, "nggak tahu deh, Kil. Dari dulu tiap lihat lo tersiksa merana gini bawaan gue bahagia."

Kuampreet.

"Balik sana ke kandang lo," usirku. Kantor Gibran memang bersebrangan dengan gedung kantorku.

"Kasihan ntar cewek cantik digodain orang."

"Muluut lo, Bran. Kelamaan gagal move on ya lo jadi sinting begini."

"Mana ada gue gagal move on."

"Alaaah, bohong lo tapi thanks gue ada temen ngoceh di sini."

Gibran kembali tertawa, anak rambutnya berjatuhan karena pergerakan kepalanya. Sumpah. Dia ganteng banget. Pantas saja temen sedivisiku sering nongkrong di food court kantor dia. Nongkrongin ini manusia satu.

"Lo juga jomblo menahun, Kil. Thanks juga udah buat gue senyum bibir. Lagi suntuk aja sebenernya gue."

Hidung Gibran mancung, bahkan lebih mancung daripada punya Januar. Gibran lebih putih daripada Januar, tapi badan Januar lebih tegap.

Gibran dan Januar sama-sama memiliki perut sobek-sobek tidak, ya? Kenapa jadi ngebandingin mereka ,ya? "suntuk kenapa lo?" tanyaku.

"Suntuk, jenuh, bosen. Kerja tiap hari, gaji kebanyakan. Rumah kelar beli. Mobil udah lunas, tanah udah mulai investasi. Bingung mau ngabisin duit sendiri."

Semelekethe ini orang...

"Alaaah bilang aja lo pengin kawin." Kudorong lengannya dengan telunjukku. Wow keras choooy...

"Kawin bisa diatur. Nikahnya yang susah," jawabnya defensif.

"Lo ganteng padahal, Bran. Umur udah 29 tahun. Masih bisa kalau sekedar nunjuk dedek gemes yang baru lulus SMA."

"Ogah! Dedek gemes desahannya melengking kaya tikus kejepit. Mending sama yang mateng. Desahannya kaya harmoni lagu."

Hah? "Eanjiiir ya, mulut lo, Bran. Demennya desah-desahan."

Dia menatapku, mata Januar tergolong bening sementara milik Gibran hitam pekat, "kita hidup sudah lebih dari seperempat abad, Kil. Yang begini itu sudah bukan kejadian awam lagi. Lo bahkan lebih dari sekedar tahu."

Kupukul lengannya, "Woya jelaaaas."

"Lo sendiri kenapa masih jomblo, Kil. Umur udah 28 tahun, wajah oke, pendidikan tinggi. Kurang apalagi?"

"Karena duit gue masih belum cukup buat sekedar dihabisin sendirian. Mobil belum kelar. Apartemen belum lunas. Investasi belum ada." Kubalik kata-katanya barusan.

"Kita saling melengkapi ya, Kil. Kaya isi kutang. Harus dua."

Kugeplak kepalanya. Isi otaknya tak berubah sejak aku mengenalnya lebih dari sepuluh tahun lalu.

"EHM!"

Deheman keras menghentikan percakapan kami. Menengok ke depan kutemukan Januar berdiri di sana dengan tatapan hendak memakanku. Dia masih dendam karena kejadian masa lalu? Iya?

Karena sedetik sapa, rusak move on se-abad


 

FLASHBACK 1

Senyap mengiringi diamnya diriku, sesekali terdengar suara angin yang menggoyangkan dedaunan. Menggelitik pori wajahku. Sepi dan tak bernyawa. Itu yang kurasakan saat berdiri dari posisi jongkok yang sedari tadi kulakukan. Kutatap nanar gundukan tanah di depanku, tempat pembaringan wanita terhebatku. Mama.

Aku mendesah lagi. Menenggelamkan tatapanku pada nama yang tertulis pada nisan. Andai waktu dapat terulang kembali, andai dulu hatiku terbuka, andai dulu… rasanya berjuta andai menggerombol memukuli relung jiwaku. Kuusap nisan tersebut, tepat pada ukiran nama, mencoba merasakan senyata apa keadaanku saat ini.

Doakan Kila ya, Ma.

Kulangkahkan kakiku diantara gundukan tanah yang berjejer rapi. Kuteliti kondisi sekitar dari pemakanan ini, saat itu tatapanku menemu pada seorang lelaki mengenakan kaos putih yang sedang berjongkok di depan nisan. Lelaki itu sudah ada sejak aku menginjakan kaki di TPU ini. Aku sebenarnya tak peduli siapa lelaki tersebut, karena wajar bagiku seseorang yang datang ke tempat ini selalu di rundung duka. Semoga dia juga segera bangkit. Langit menggelap, dan aku tak mau apes karena harus basah terkena rintik hujan. Jadi, kuputuskan untuk bergegas pulang.

Namun, saat pandanganku jatuh pada seorang wanita paruh baya yang berdiri di bawah pohon dengan wajah sendu sedang mengamati lelaki itu. Kakiku bergerak tanpa kuperintah mendekati lelaki itu.

"Ehm..."

Tak ada jawaban.

"Wah... kuat juga kaki lo jongkok dari tadi."

Tetap tak ada jawaban.

"Hello... lo bisu tuli ya?" Waduh jangan-jangan dia penghuni tempat ini lagi. Kuusap lenganku kanan dan kiri. Merinding tiba-tiba menyerangku.

Eh... lelaki itu berdiri. Badannya sedikit gempal, berkulit gelap, dan kacamata kodok lengkap dengan rantainya. Membuatku ingin tertawa saat ini melihat penampilannya.

"Apa urusan kamu?" Begitu tanyanya.

"Itu nyokap lo?" tunjukku pada wanita paruh baya di bawah pohon tadi.

"Apa urusannya sama kamu?" Kembali dia menanyakan hal yang sama.

"Gue cuma kasihan sama nyokap lo. Capek tenaga megang payung dari tadi. Padahal anaknya di sini nggak bakal pulang bahkan kalau bisa tidur sambil meluk pusara..." kutengok nisan yang sedari tadi didoakan lelaki itu.

"Papahku," jawabnya. Mungkin menyadari bahwa aku sedang mengeja nama yang tertera di batu nisan.

"Lo doa apa aja selama itu? Satu alquran lo khatamin di sini?" tanyaku penasaran. Takut jika kedatanganku hanya mengganggu konsentrasinya dalam berdoa.

"Nggak." Lelaki itu menatap kembali ke arah pusara."Bukan urusan kamu juga, kan?"

Aku ikut menatap nisan tersebut, dari tanggal yang tercetak di sana. Papah lelaki di hadapanku ini sudah berpulang sejak setahun lalu. Kuamati lagi lelaki ini. Terlihat masih muda tapi tertutup penampilan yang menurutku memang sangat aneh. Dia menitikan air mata. Eh...

"Eh... sudah besar kok nangis," godaku. 

Dia mendelik ke arahku.

"Kasihan ibu itu. Kakinya juga pasti pegal berdiri dari tadi. Mana udara dingin dan mendung begini."

"Salah Mamah sendiri."

Aku tersenyum menyeringai, "oh... gini ya cara lelaki memperlakukan Ibunya."

Dia menoleh ke arahku.

Kulanjutkan ucapanku, "kalau lo masih begini terus dan nggak mau berubah, mungkin nanti ketika lo tengok ke belakang ternyata nyokap lo udah nggak ada dan ikut berbaring di sini. Lo bakal tahu rasa sakit hati yang tak terkira. Penyesalan yang tiada tara." Aku berbicara panjang lebar. Namun, lelaki itu hanya diam.

"Udah?" Sumpreeet. Sia-sia aku keluar tenaga ngomong dari tadi.

"Lo sunat belum?" tanyaku.

"Udahlah."

"Udah sunat tapi pikiran masih bocah banget. Malu sama titit lo yang sudah mulai dewasa tapi otak lo masih nol. Udah setahun dan lo masih mau terus meratapi ini. Sampai kapan? Sampai rambut lo ubanan. Pas lo sadar udah menyia-nyiakan hidup. Ternyata besok lo gantian berpulang ke Tuhan." Dia hanya terpaku menatapku. Tanpa respon sama sekali. Coba jelaskan jenis manusia apa dia ini?

"Ya udahlah, capek ngomong sama batu emang." Aku sudah hampir berlalu, saat suaranya menginterupsiku.

"Terima kasih." Hanya itu. 

Aku ganti menatapnya. 

"Nama kamu siapa?" tanyanya. Lelaki itu menyodorkan tangannya.

"Shakila." Kujabat tangan lelaki itu. Dan... wow, coklat susu. Hihihi....

"Januar."

---

"Mau ngapain ke sini, Dek?"

Adek pala lo peyang. Sejak kapan gue brojol dari rahim mak lo. Umpatku dalam hati.

"Mau ikut seleksi pengurus OSIS."

Lelaki itu memicingkan matanya ke arahku. Seolah tak yakin dengan pernyataanku. "Lo serius mau ikutan anggota OSIS?" Dia kembali bertanya. Meyakinkan bahwa pernyataanku barusan bukan khayalan belaka.

Aku mengangguk mantap. Ngapain juga aku datang ke ruangan OSIS kalau bukan untuk daftar menjadi pengurus OSIS?

"Coba lo berdiri di bawah sana." Dia menunjuk luar ruangan ini, yang tak tertutup genting.

Aku mengikuti intruksinya. Berdiri dengan santai di undakan tangga menuju ruang OSIS. Sekitar undakan ini memang ditumbuhi rumput jepang, menyejukan penglihatan.

"Lo masih kelas satu tapi rambut lo merah gitu setiap kali terkena mataharu. Dan lo mau daftar OSIS, nggak sakit, kan, lo?"

"Lah, emang kenapa?" tanyaku gantian. Apa yang salah dengan rambut merah jika terkena matahari, tak ada undang-undang yang menjelaskan bahwa anak sekolah harus berambut berwarna hitam.

"Coba angkat tangan lo," perintahnya kembali. 

Kulakukan sesuai perintah.

"Mana ada yang mau seleksi OSIS tapi tangan baru di tarik ke atas baju langsung keluar, rok lo itu kependekan, dan sepatu lo warna putih. Lo nggak lagi mabuk, kan?" tanyanya tak percaya, meragukan pernyataanku.

"Yaelah, ntar kalau udah jadi OSIS. Gue siapin baju, rok, dan sepatu yang sesuai ketentuan. Biar kalau ada razia, bisa ganti dulu."

Dia masih diam menatapku. Alisnya diangkat seolah bertanya maksud ucapanku.

"Alah gue tahu tadi lo berangkat pakai sepatu putih kok. Tapi lo selalu sedia ganti di sini. Iya, kan?"

Dia tertawa. "Wah... anak baru nantang ketos."

Oh, jadi dia ketua OSIS di sini. Ganteng. Seribu rius. Muka-muka ganteng anak SMA cocoklah dia jadi playboy.

"Maju sini."

Aku sih santai saja kalau disuruh maju ya maju. "Kenapa?" Kuberikan tatapanku yang sama dengan pertama datang ke sini. Tetap tenang.

"Cantik juga lo. Bisalah jadi hiburan di dalam ruangan kalau lagi suntuk banyak rapat."

"Sorry, gue bukan gadis penghibur," jawabku.

Dia tertawa keras, "astaga bisa panjang umur, awet muda kalau ketemu lo tiap hari."Dia merangkul leherku yang langsung saja ku sikut tubuhnya, "Ouh... selain frontal. Lo juga anarki."

"Yang sopan makanya," jawabku lugas.

Dia kembali duduk di tempat semula, "nama lo siapa?"

"Shakila, Shakila Indira Listy. Sepuluh dua."

"Gue Gibran. Gibran Wiratama."

Aku memutar bola mata. "Nggak nanya." 

Dasar ganteng-ganteng gila. "Lo apalin aja visi misi sekolah kita, sama nama guru-guru. Juga jangan lupa belajar baris berbaris." Dia menerangkan. 

Aku diam saja menatap lelaki itu. "Terima kasih." Aku berbalik.

"Oh ya, kil." Kembali panggilnya. 

Aku menengok kuberi pandangan bertanya apa lagi kali ini. 

Dia hanya tersenyum samar. "Potong rambut becabang lo itu. Ganggu penampilan lo aja."

Kampret. Maksudnya apa? Ya, namanya anak sekolah. Bonding rambut kuat juga di salon icik-icik.

"Thanks." Hanya itu dan aku kembali melangkah ke depan.

"Semoga lolos ya," ucap lelaki di belakangku. 

Kuangkat tanganku. Merespon doanya, aku mengaminkan dalam hati.

---

"Kil, ada cokelat lagi ini buat lo," ucap Nata, menyerahkan sebuah cokelat batangan dengan pita pink di tengahnya. 

Siapa yang iseng memberiku cokelat, dan ini bukan kali pertama. "Nemu di mana, Nat?" tanyaku.

"Di tempel di loker lu."

"Coba suruh makan kucing, dia mati apa nggak setelahnya."

"Ih... Kila ini tuh secret admirer. Kaya yang di drama korea gitu. So sweet, kan?"

Kuambil silverqueen tersebut dari atas meja. Siapa sebenarnya di balik pengiriman cokelat-cokelat ini? Kugetok kepala Nata, teman sebangkuku. "Otak lo, Nat. Kebanyakan nonton drama korea. Iya kalau yang ngirim ini cowok. Kalau cewek yang mau nyakitin kita gimana?" Aku berspekulasi. "Makanya cobain dulu sama kucing. Kalau dia nggak mati berarti cokelat ini aman."

"Males." Begitu jawabnya. Bibirnya langsung ditarik. Lucu. Dasar anak manja.

"Lagian itu orang kurang kerjaan banget ya ngirimin cokelat begini tiap hari. Mending duitnya ditabung buat naik haji tapi, kayaknya dia anak orang tajir. Tiap hari beliin gue cokelat yang harganya lebih mahal dari jatah jajan gue." Aku menyeringai.

"Gila lo masih SMA, Kil. Tapi pikirannya..."

"Ini dewasa namanya sayangku cintaku." Aku menaikan alisku lucu. Menyimpan kembali cokelat itu di kolong meja.

Aku dan Nata berjalan menuju kantin. Saat berjalan melewati koridor yang menghubungkan gedung kelas satu dan tiga, kulihat kerumunan siswa. Aku mendekat yang ternyata kerumunan siswa tukang palak.

"Aku udah nggak punya apa-apa."

"Bokap tiri lo kan tajir,” ucap lelaki bertubuh tinggi dan besar seperti kingkong.

Aku hendak berjalan ke sana, tapi tertahan oleh Nata yang memegang lenganku. "Jangan bikin onar. Kita masih kelas sepuluh. Mereka udah senior." Aku hanya tersenyum kaku.

Kugelengkan kepala, "woy, kalian ngapain? Pak Bams lewat."

Gerombolan siswa tersebut langsung bubar dan lari sendiri-sendiri. Dengan gerak ketakutan, mereka mencari jalan sendiri. Kudekati lelaki tersebut bersama Nata di sampingku. Lelaki tersebut tampak terkejut saat menatapku. Memang aku kuntilanak?

"Badan lo gede, masa gitu aja nggak bisa ngelawan."

Kuamati badge bajunya, sudah kelas 12. Oh ternyata kakak kelas. "Udah senior masa mau ditindas sama junior. Malulah, Kak."

"Mereka keroyokan."

"Ya kalau lo nggak nongkrong di tumpukan buku mulu, lo bakal punya temen. Kalau tawuran lo juga punya massa. Ah pikiran lo cuma newton terus sih pasti."

"Terima kasih."

Aku berbalik mengajak Nata melanjutkan perjalanan ke kantin.

"Lo kenal nggak sama kakak tadi?" tanya Nata.

"Nggak."

"Namanya Januar. Dia juara olimpiade matematika tingkat internasional. Kebanggaan sekolah kita itu, kalau lagi ulangan kenaikan kelas, tinggal minta mau dikasih nilai berapa pas pelajaran matematika."

Wow!

"Tapi memang kelihatan kutu buku."

Januar... Januar... seperti familiar. Tapi siapa, ya? Otakku memang agak sulit menghapal nama lelaki, lelaki kurang ganteng apalagi. Deuh...

Entah berawal dari mana kita menemu sapa

Yang pasti saat itu, hatiku mulai berkata jatuh padamu


 

TIGA

"Lo... Januar, kan?" Gibran yang duduk di sebelahku tiba-tiba berdiri saat melihat Januar. "Mantannya si Kila, kan?" tanyanya lagi saat tahu Januar tak akan menjawab.

Januar sendiri memilih tetap diam, tapi pandangannya tak lepas dari diriku yang duduk di samping Gibran. Lelaki itu seperti ingin menyalurkan pesan lewat tatapan matanya.

"Iya," jawab Januar akhirnya.

"Gimana kabar lo? Udah lama nggak ketemu sejak lo kuliah di luar negeri." Gibran berjalan mendekati Januar. Menepuk pundak Januar sekilas. 

Sementara aku hanya sebagai pengamat saja. Memperhatikan interaksi keduanya.

"Baik." Januar menjawab singkat. Kentara sekali enggan bertegur sapa, bahkan meski menjawab pertanyaan Gibran, tatapan mata Januar masih menghunus ke arahku.

"Bu Shakila, silakan kembali ke ruangan meeting. Sudah ditunggu yang lainnya,” perintah Januar lengkap dengan nada datar.

Lah? "Loh, tadi katanya gue disuruh keluar."

"Silakan kembali." Lalu, pandangannya beralih pada lelaki di sampingnya, "saya tinggal dulu, Gibran Wiratama."

Januar memutar tubuhnya, berjalan kembali ke dalam gedung kantor. Aku sudah siap mengekori Januar tapi ditahan oleh Gibran yang memegang lengan kananku. 

“Itu Januar mantan lo, kan? Kenapa bisa berubah gitu semenjak balik dari luar negeri?”

Kudorong wajah Gibran, "kepo lo. Cabut dulu gue daripada gaji gue dipotong."

"Cium tangan dulu, Bun," goda Gibran yang membuatku menoyor keningnya. Gibran tergelak mendapatkan perlakuan demikian.

"Udah balik sana, ntar anak buah lo pada kabur lagi."

"Siap, Bunda!" 

Aku dan Gibran berpisah di halte ini. Aku kembali masuk dalam gedung kantorku. Berjalan di belakang Januar. Sumpeh loh, dulu Januar tak memiliki punggung seperti saat ini. Tak nemplokable. Gusti Allah, kenapa Januar tak berubah dari dulu saja? 

Kulihat beberapa pasang mata menatap pada Januar, mana lagi para wanita. Sudah hapal dengan kelakuan mereka kalau melihat yang bening seperti Januar. Tak akan disia-siakan lewat begitu saja. Namun, mendapati reaksi Januar yang tak peduli, membuatku ingin tertawa saat ini pula. Tertawa mengejek pada mereka.

Ting! Pintu lift terbuka. Januar masuk tanpa memintaku mengikuti. Lelaki itu diam saja sedari tadi.  Aku masuk dan berdiri di belakang Januar.

"Nu, lo... masih marah sama gue, ya?" tanyaku ragu. Maksudku, hubungan kami memang berakhir sejak lama, tapi tak menutup kemungkinan untuk bertegur sapa sebagai seorang teman, bukan? Mana lagi kami berada dalam atap yang sama lebih dari lima jam. Berinteraksi sebagai atasan dan cungpret. Tak enak hati jika saling mendiamkan sepanjang waktu.

Namun, Januar tak menjawab. Aku makin ciut hati jika bertanya kembali dan memilih menatap angka yang terus berganti seiring tingginya lantai yang sudah kami lewati. Bahkan, ketika lift berhenti di lantai 21, Januar tetap bungkam.

"Nggak marah, hanya saja luka itu masih tersisa di hatiku." Dia kemudian melangkah meninggalkan aku yang membeku di dalam lift mendengar pernyataannya. 

Dia mengatakan tentang luka? Luka hati?

Ehm. Aku berdeham singkat, mengembalikan fokusku yang berceceran berkat memikirkan kata-kata Januar barusan. Kuangkat pandanganku santai, berjalan berlenggok seperti tak terjadi apa-apa. Masuk dalam ruang meeting dengan senyumku. Meski sesekali ucapan Januar masih terlintas.

Januar...

---

"Mas Janu masih muda, ya? Kira-kira berapa ya umurnya? Kayaknya belum ada 35 tahun,” ucap Siska saat mendapati Januar lewat di koridor foodcurt gedung kami bersama para petinggi lainnya.

Aku masih melahap makan siangku, sambil melirik Januar sekilas, dan kuakui Januar memang terlihat paling muda sekarang apalagi setelah perubahan yang terjadi pada dirinya, "apaan lo manggil Mas, Januar masih 30 tahun. Lo udah 32 tahun dan masih jomlo," cibirku.

“Anjiiir, apa bedanya sama elo yang jomlo menahun?” Siska melempar tisu padaku. 

Aku menghindar.

"Lo kenal?" Kali ini Lana yang bertanya mungkin karena aku mengetahui berapa usia Januar saat ini.

Aku mengangguk, "satu SMA dulu, kakak kelas gue." Juga mantan. Imbuhku dalam hati.

"Tapi tadi gue lihat lo diamuk Pak Janu."

"Emang kampret aja itu si Anu. Salam pertemuan kembali bukannya dibaik-baikin malah gue didamprat kemudian dilepeh terus dipungut lagi."

Lana dan Siska pun tertawa. Saat kulihat Zhio berjalan dari pintu seberang. Zhio yang sadar sedang kuperhatikan menaikan tangannya ke arahku, menyapa. Aku membalas menaikkan tanganku. Dia hanya melambai kemudian pergi begitu saja.

"Zhio masih jomblo?" tanya Siska saat menyaksikan interaksiku dengah Zhio.

"Udah mau kawin awal tahun."

"Kenapa cowok ganteng sekarang pada udah taken? Terus yang jomblo menahun kaya kita bagaiamana?" Lana mengeluh, gusar. Memukulkan sumpit mienya pada mangkok.

"Yang jelek aja udah pada taken, ceweknya cantik-cantik pula. Terus kita yang pas-pasan gini jodohnya kaya apa?" Siska ikut mengeluh. Siska memang sudah kepala tiga sementara Lana hanya setahun di bawahku. 

Aku malas menanggapi percakapan absurd mereka. Menghabiskan makan siangku karena waktu istirahat sudah hampir habis.

"Terus gimana kita dapet cowok ganteng dong?" keluh Lana frustasi, meniup poni yang memang menutupi keningnya.

"Operasi aja dulu kelamin sana soalnya sekarang yang ganteng sukanya sama yang ganteng juga. Kalau kalian belum merasa berbatang, jangan ngarep dapet yang ganteng," jawabku asal.

Mereka menatapku yang awalnya serius kemudian memerah menahan kesal. "Kampret." soraknya bersama.

"Eh, tapi tadi gue lihat Bos Anu nggak pakai cincin di jari kanannya. Masih single berarti, kan?"

Ucapan Siska membuatku terperangah, sedikit. Eh? Januar belum nikah? Aku menatap bayangan Januar yang menghilang di balik tembok.

Tadi memang sewaktu meeting, Januar hanya diam, benar-benar fokus pada pekerjaan. Pun setelah selesai meeting tak ada pembahasan apapun soal masalah pribadinya. Anak-anak yang turut rapat pun tak ada pertanyaan mengenai status Januar saat ini.

Lalu, kenapa aku malah penasaran? Januar buang hajat sehari lima kali pun, memang ada urusannya denganku? Tidak, kan?

"Kalau masih single, bolehlah kita pepet. Tapi, gue dengar anak Pak Webek yang sulung juga masih sendiri padahal sama gantengnya kaya Januar. Jadi, kemungkinan besar bos Anu memang masih jomlo. Yes." Siska berhipotesa, kemudian girang sendiri.

Aku berdiri dari tempatku. Pergesekan antara kaki kursi dan lantai yang berderit membuat Siska dan Lana menghentikan pembicaraan mereka. Mengarahkan tatapannya padaku, “Gue cabut, masih ada kerjaan.” Aku tak sepenuhnya berbohong karena esok memang ada deadline, pun karena aku malas mendengar perdebatan Lana dan Siska tentang Januar. Entah kenapa, hanya malas saja.

Mendekati tengah malam, aku baru selesai dengan segala urusan pekerjaan yang harus kulaporkan besok. Keluar dari lift, lobi sudah sepi. Namun, hujan masih sangat deras mengguyur gedung kantor. Sial. Kenapa hari ini aku sial sekali. Hujan saat tak membawa mobil.

Aku duduk di kursi tungu, saat hendak memesan uber. Kulihat siluet seseorang berjalan di depanku. Ketika aku mendongak, seseorang tersebut berdiri di hadapanku.

Januar memandangku, pandangannya padaku saat ini berbeda sekali dengan saat kami di ruang meeting tadi. Kali ini terlihat seperti seseorang yang dulu selalu berdiri di gerbang sekolah menungguku pulang.

Ya, aku maju mendekati Januar, "Nu, baru pulang?" sungguh aku tak tahu jika Januar belum pulang. Tadi saat kulihat ruangannya sudah gelap.

"Iya," jawabnya.

Dan hanya sekata pemirsa.

Aku hendak duduk kembali, karena sepertinya mengajak Januar bercanda sekarang sama saja membuang tenaga.

“Kamu belum pulang?” tanyanya kemudian.

"Ya, kalau gue masih di sini berarti belum pulang. Hujan, nggak bawa mobil. Pesen uber susyaaaah kali." Aku sedikit bercanda.

Bibir Januar berkedut. Menahan tawa. Ya ampun, lucu.

"Mau aku antar?" tawar Januar kembali membuatku membelalakan mata. Januar mengajak pulang bersama? Ada keajaiban apa malam ini?

Aku berpikir lama, agak gengsi juga. Mana Januar kaku begitu, udah dilemesin masih kaku. Kurang pelumas apa kali, ya?

Namun, saat menyadari bahwa hujan masih membasahi bumi, dan jam sudah menunjukan angka dua belas yang kemungkinan akan semakin sulit memesan uber. Jadi…

"Oke, karena lo kayaknya kurang asupan ketawa. Malam ini gue siap nemenin lo, senam mulut di mobil." 

Januar mengangguk, tak mengeluarkan sepatah kata tapi kakinya melangkah menuju tempat mobilnya terparkir. Aku mengekori di belakang. Sedikit tak menyangka karena Januar membuka pintu Jeep Wrangler. Januar terlihat gagah duduk di belakang kemudi jeep ini. Terlihat sangat lelaki. 

Hingga jeep berkumpul dengan para mobil lainnya di tengah jalan yang lumayan lenggang meski langit tetap menumpahkan nikmatnya. Selama itu, Januar tak bersuara. Tak menoleh padaku, melirikku pun bahkan tidak.

Lalu, apa guna aku duduk di sebelahnya saat ini?

"Nu, lo kuliah di amrik, kan?" aku mencoba memulai obrolan, karena tak nyaman pula jika dalam satu mobil tetapi hanya sunyi senyap. 

"Hmm…"

Lalu, mengheningkan cipta dimulai. Padahal aku ini tipe orang yang jika sudah membuka mulut jarang tertutup kurang dari lima menit. Namun, aku juga tak mengerti mengapa aura di mobil ini terasa berbeda. Maksudku dingin yang menyesapi kulitku tak sedingin Januar. Waktu benar-benar sudah merubah seseorang.

"Lampu merah belok kiri," ucapku memberikan petunjuk. Aku sudah membuka pintu jeep saat sudah tiba di depan gedung apartemenku. 

Sudah siap kuangkat kaki, jika saja ucapan Januar tak menginterupsi, "boleh kamu kembalikan hati saya, yang dulu, Kil?"

Aku menatap Januar yang masih fokus ke depan. Tanpa menoleh sedikit pun ke arahku.

"Nu..."

"Masuklah." Hanya itu. Januar diam pun demikian dengan diriku.

Aku ingin mengatakan sesuatu, tapi entah apa. "Terima kasih." 

---

Malam ini mataku berpijar sempurna, padahal ketika di kantor tadi. Aku ingin segera tiba di rumah dah melelapkan tubuh. Nyatanya itu hanya wacana belaka. Semua berkat Januar, mataku tetap nyalang.

Ping.

Gibran : jenuh. Laper.

Gibran mengirimi pesan Line. Bahkan untuk seseorang yang seukuraan Gibran—yang tak perlu memikirkan bagaimana besok makan, beli bensin, dan sebagainya—bisa mengeluh jenuh juga?

Me : ya terus, laporan sama gue bikin lo g jnuh lagi? Utuk2 dedek Iban sini akak suapin...

Gibran : HAHAHA

Me : besok jalan yuk, gue lagi pengin beli tas sama sepatu. Tapi lo yg bayarin. Kasihan debit lo. Belum digesek kan bulan ini? Menjerit nanti dia.

Gibran : kampret.

Aku sudah hampir menutup ponsel. Kemudian mencoba lelap, saat balasan Gibran masuk.

Gibran : jam 10 gue jemput.

Yes! Hidup itu memang selalu balance. Tuhan memang adil. Tuhan pasti memberi hikmah setelah cobaan. Diantara sial yang bertubi-tubi hari ini. Ada tas dan sepatu baru yang hadir besok. Hahahay, siap-siap tidur nyenyak malam ini.

---

"Gue nggak nyangka orang kaya lo bersih juga ngurus apartemen," komentar Gibran pagi ini saat tiba di apartemenku. Badannya berputar meneliti isi dalam ruangan.

"Lo nggak lihat muka gue yang selalu bersih dari jerawat? Itu tandanya gue emang orang bersihan. Lagian kebersihan dari iman," jawabku dari kamar. 

Gibran duduk di sofa ruang tamu yang merangkap ruang keluarga. "Iman udah nikah minggu kemaren."

Kampret.

Aku mengecek kembali dandananku. Celana jeans hitam kasual, baju hijau tua tanpa lengan, dan riasan wajah tipis. Perfecto. Begini saja, percaya diriku sudah melambung tinggi. Aku keluar dan menemukan Gibran sedang berdiri di samping bufet.

"Apartemen lo nggak ada foto sama sekali." Gibran kembali berkomentar. 

"Gue nggak tahu harus majang foto siapa. Majang foto sendiri juga nggak enak, mending nongkrongin kaca. Udah," jawabku.

Gibran menengok ke arahku. Dengan pandangan bertanya. Jelas sekali masih tak menerima jawabanku. Aku hanya mengedikan bahu enggan member penjelasan lebih.

"Udah yuk, keburu makin siang," ajakku. 

"Lo, beli diskonan kan?" tanya Gibran saat kami melewati lorong kamar menuju lift.

"Malu-maluin kanjut lo kali, masa beliin gue diskonan." Gibran tergelak. Mengacak rambutku yang terturai.

Saat masuk dalam lift, ada beberapa orang di sana. Seorang lelaki paruh baya yang berdiri tepat di sebelahku sesekali melirik dengan tatapan penuh memuja ke arahku. Tiba-tiba Gibran menggenggam tanganku kemudian menarik mendekat ke arahnya. Sumpeh. Gibran benar-benar obat mata dan hidung. Harum tubuhnya yang khas, ditambah tampilan yang menarik—kaos reglan dengan lengan berwarna biru dongker dan celana jeans.

Lift terbuka di lantai lima. Bapak dengan kepala sedikit plontos tersebut keluar. 

"Dia siapa?" tanya Gibran.

"Mana gue tau," jawabku tak peduli.

"Gue pikir mantan koleksi om-om lu." Mulut Gibran memang tak ubahnya jalan tol. Maju terus tanpa hambatan.

Kusikut perutnya keras membuat dia terhuyung mundur selangkah. "Nggak ada gue main sama om-om, apalagi dia juga tinggal di gedung yang sama dengan gue. Gue sudah memperkirakan tabungan orang-orang yang tinggal disini. Rugi bandar lah.

"Kalau mau nyari om-om tu di kawasan elit, jelas tabungan hidupnya sudah tinggi menggunung. Apalagi om-om yang masa hidupnya tinggal beberapa menit. Nah itu, baru boleh diincar."

Gibran kembali tergelak, "gila lo jujur banget, nggak ada jaimnya sama sekali. Gini-gini gue cowok juga. Ganteng lagi. Lo nggak ada niat ngelirik gue?"

"Lihat, berapa banyak lo gesekin debit lo baru gue bakal bilang ganteng," jawabku cuek. Buat apa? Karena aku dan Gibran sudah mengenal sejak masih memakai seragam abu-abu hingga saat ini.

Dia berbisik, "lo cantik banget pagi ini, enak kayaknya punya kaya lo satu di rumah."

Gibran memang tampan, tapi aku tahu dia bukan playboy. Aku pun sering sekali dijadikan bahan modusnya. Namun, dulu setiap kali dia menggoda selalu dalam keadaan rame. Hari ini, dalam satu lift hanya kami berdua, dan embusan napasnya di telingaku. Membuatku sedikit meremang.

Ting. Lift terbuka.

Jika tadi aku terkejut oleh pernyataan Gibran yang seenaknya, maka saat ini mataku terbuka lebar saat menatap siapa orang yang berdiri di depan lift.

Januar menatapku dengan wajah merah, menahan amarah.

Nu... aku...

Aku hanyalah penipu ulung

Tampak sempurna di mata, namun cela di rasa. Haruskah kubuai dirimu dalam hati?


 

EMPAT

Aku bergeming di tempat menyadari sorot mata Januar yang tak terbaca saat ini. Terhenyak sejenak mendapati Januar berada di hadapanku—di depan lift—sementara Gibran masih berdiri di sampingku dengan mulut yang hanya beberapa sentimeter dari telingaku. Entah membuat Januar akan memikirkan apa dengan posisi kami saat ini. Aku keluar dari lift dan mendekati Januar, "kenapa, Nu?" tanyaku akhirnya karena sepertinya Januar tak akan bereaksi apa-apa.

Dia menyerahkan paperbag berwarna abu-abu tapi tak mengeluarkan suara sama sekali. Kutengok dalam paperbag, penasaran dengan isinya karena sanggup membuat Januar datang ke apartemenku sepagi ini.

“Ketinggalan,” ucapnya singkat, melirik pada Gibran.

Gibran yang mungkin sadar ditatap oleh Januar pun mulai mendekat. "Lo ngapain ke sini pagi-pagi?" tanya Gibran pada Januar.

"Mengembalikan blazer Kila." 

Sudah. Hanya tiga kata dan tak ada pertanyaan timbal balik. 

"Saya permisi," pamit Januar, bahkan tanpa menunggu jawaban kami. Dia berbalik dan berlalu.

 Dua kata. Jika dijumlah maka hanya lima kata yang Januar buang pagi ini. Memang saat ini masih jaman bayar perkata? Buang suara sebanyak apapun saja gratis masih ngirit apalagi bayar. Aku masih menatap punggung Januar berjalan menuju pintu utama. Januar tampak berbeda pagi ini dan tak terlihat kaku. Dari penampilannya—kaos putih, celana cargo hitam selutut, dan kacamata hipster—yang membuat Januar terlihat lebih luwes. Celana cargo selututnya membuatku dapat mengamati secara jelas bulu-bulu kaki milik Januar yang entah bagaimana bentuknya seperti melambai minta dicabut-cabut manja. Astaga.

"Januar kuliah di amrik apa jepun sih?" Pertanyaan Gibran barusan menyadarkan aku akan sosok lain di tempat ini selain diriku.

"Amrik kayaknya, kenapa?"

"Gue pikir Jepang. Soalnya dia bisa kurus gitu."

Kuamati punggung Januar yang menghilang dari balik kaca transparan. "Iya juga, dulu perasaan Januar sebelum ke luar negeri masih gemuk. Apa mungkin Amrik sekarang ada program kurus seperti Jepang?"

Gibran tergelak dengan lancangnya meraupkan tangannya pada wajahku. “Kenapa lo? Baper ya karena Januar sekarang lebih keren dari dulu.”

Kulirik sekilas paperbag yang masih tergenggam oleh tanganku dan teringat sesuatu. Aku belum memberikan ucapan terima kasih pada Januar. “Nggak. Ngapain baper sama hal-hal kaya gitu. Mending baperin berapa banyak gue bakal gesek hari ini.” aku nyengir menghadap Gibran.

“Ye dasar! Ya udah yuk,” Gibran merangkulkan lengannya di pundakku. Mengajakku berjalan menuju mobilnya. Melanjutkan misiku menggesekkan debit milik Gibran. Kita lihat muka sama dompetnya seimbang apa tidak. Jika seimbang, maka Gibran adalah calon suami idaman. 

"Inget nggak dulu tiap SMA kita jalan di mall begini juga, Kil."

"Ingetlaaaah, lo jalan gandengan tangan sama Nata. Gue di belakang, ngemut es krim..."

Gibran terlihat mengulum senyum mengenang masa lalu yang dilewatinya. Aku pun demikian, seperti tertarik ke masa di mana aku akan mengangguk setuju jika Gibran mengajakku pergi hanya dengan iming-iming es krim.

"Dulu gue juga mau-maunya di sogok es krim doang. Harusnya minta yang mahalan ya, Nata aja ultah dikasih jam. Gue tetep aja es krim. Sampai sekarang tetap es krim. Dari umur 15 tahun, sekarang 28 tahun. Es krim lagi. Es krim lagi,” ucapku sambil menjilat es krim yang ada di genggamanku.

"Otak lo dulu ke mana si Kil. Lu hanyutkan ke mana. Coba dicari lagi. Harapan gue bisa di tuker lagi sama yang dulu. Biar nggak duit mulu pikirannya."

"Ogah. Otak gue yang dulu isinya perasaan doang. Sekarang udah di upgrade. Karena ternyata mau seneng aja juga butuh duit. Cinta aja nggak cukup."

"Lo sama Januar dulu...."

"Setop bahas-bahas yang dulu," potongku saat Gibran mengingatkan masa lalu. Hari ini aku ingin bersenang-senang tanpa memikirkan masa lalu atau perasaan dan cinta. Terserah saja untuk hal-hal tersebut.

---

"Gila ya, gue yang diajak, gue yang bayarin, gue juga yang disuruh jadi kuli angkut. Bahaya emang cewek kaya elo, Kil. Nggak ada jaim-jaimnya sama sekali di hapadan cowok."

"Yaelah, Bran. Jangan kaya banci deh, gitu aja ngeluh. Belum juga sepuluh juta yang gue gesekin. Udah ngomel aja kaya mak-mak kurang orgasme."

Pukul sepuluh malam kami—aku dan Gibran—tiba di gedung apartemen, seharian ini kami habiskan mengitari mall. Mulai dari menonton, berbelanja, makan, berjalan sambil mengobrol layaknya pasangan muda mudi yang dimabuk asmara. Gibran memang baik dan loyal pada teman-temannya. Mengenal Gibran lebih dari sepuluh tahun membuatku sedikit banyak hapal dengan sikapnya. Meski, sejauh kami selalu bercanda gurau, belum pernah sekali pun Gibran membahas perasaannya terhadap seorang perempuan. 

Kami masuk dalam lift masih dengan gerutuan yang keluar dari mulut Gibran soal kantong-kantong belanjaan yang ditentengnya. 

"Tiap jalan sama pacar-pacar lo juga begini?"

"Gue nggak pernah pacaran," jawabku implusif.

"Kalau nggak pernah pacaran, terus yang selama ini lo ajakin jalan siapa?"

"Kan cuma jalan. Nggak ada kata pacaran, males aja. Tiap mereka ngajak serius, gue tinggalin." Aku malas menjelaskan yang sebenarnya pada Gibran yang entah kenapa terus bertanya soal ini. Membuatku pusing saja.

"Kalau sama Januar bukan pacaran juga?" 

Kulirik Gibran yang juga balik melirikku. “Januar terlalu lurus kalau dibilang pacaran. Dia nggak ada macem-macemnya.”

“Macem-macem gimana?” tanyanya dengan seringai yang khas.

"Kaya lo nggak tahu aja, Bran. Lo tinggal di luar negeri udah lama, pasti udah hafal sama itu. Dan gue tau, lo suka setor benih juga. Di balon udara."

"Maksud gue, lo rela dibelanjain, demi duit, lo jual..." Gibran bertanya penuh kehati-hatian. Mungkin takut aku tersinggung.

"Penampilan gue memang menipu ya, Bran? Emang kelihatannya gue kaya cewek mureh ya?" Aku tersenyum miris. Memang selalu begitu pandangan orang kepadaku. Pernah suatu hari, ada seorang wanita paruh baya tiba-tiba menampar, mencaci, dan memakiku. Karena menurutnya aku merebut suaminya padahal suaminya itu yang mendekatiku, menawariku beberapa barang supaya aku mau jalan dengannya. Sogokan mungkin istilah awamnya. Ya, mauku sih sok jual mahal, tapi melihat barang-barang yang sudah terlanjur dibeli, apa boleh buat kuterima saja. Menolak rezeki itu pamali, kan? Tapi om kampret itu cuma berkesempatan jalan sekali saja, kita di mal makan kemudian belanja. Sudah. Tak sampai ke hotel. Dihubungi lagi pun aku terus menghindar bahkan sampai datang ke kantor pun tetap kuhindari. Mungkin ia lelah sendiri dan tak muncul lagi.

Menurut kalian aku bagaimana?

Klik. Pandanganku menggelap bukan karena tiba-tiba aku jatuh pingsan tapi karena lampu dalam lift mati. Lift pun tiba-tiba berhenti. Guncangan ringan membuatku yang kaget kemudian menjerit. "Argh..."

"Kil..." sebuah tangan memegang lenganku. Menenangkan aku yang mulai panik karena tubuhku mulai gemetar. Persetan dengan Gibran yang merupakan mantannya Nata—sahabatku. Aku butuh ketenangan sekarang.

Kupeluk tubuh kokoh milik Gibran. Kakiku sudah mulai lelah menopang bobot tubuhku. Pikiranku sudah melayang entah kembali ke masa itu. Masa di mana aku pun mengalami kejadian seperti saat ini. Bayangan itu muncul lagi berlarian ke segala ujung membuat dadaku menyesak tertimpa puing kenangan.

"Kil.. lo kenapa?" Gibran mencoba mengurai jarak tapi pelukanku semakin erat mencengkeram kaos belakang yang dikenakan Gibran.

Aku sudah sepuluh tahun terapi. Aku sudah mencoba segala macam cara. Aku sudah berpikiran positif. Aku sudah bisa berdiri tegak di benda kotak berjalan ini selama beberapa tahun belakangan, tapi kenapa saat menjumpai kondisi yang serupa tetap membuat kakiku bergetar, napasku sesak. Kenapa? Kenapa ketakutan ini kembali hadir? Kenapa? Kenapa?

"Kil, kenapa?" Gibran bertanya lirih mungkin menyadari kekalutanku.

Aku hanya mampu menggeleng di dada Gibran. Menggesekan hidungku dengan kaosnya, membuatku mampu menghirup wangi tubuh Gibran yang sudah bercampur keringat. Ini pertama kali aku melakukan kontak fisik sedekat ini dengan Gibran. 

Gibran sudah tak mendorong tubuhku menjauh. Diam saja membiarkan kaosnya lecek, diam saja membiarkan tubuhku menempel padanya. Dalam gelapnya pejaman mata dan wangi tubuh Gibran, aku terus menghitung. Berharap ini segera berakhir. Oksigenku mulai menipis, kakiku sudah hampir luruh, jantungku sudah bergemuruh. Dadaku sesak dijejali berbagai kenangan menyakitkan. Namun, tiba-tiba sebuah tangan melingkari diriku. Menarikku semakin memupuskan jarak.

"Jangan takut, gue di sini," ucapnya menenangkan.

Ucapan Gibran dan pelukannya bagai aroma terapi, menenangkan. Menegaskan bahwa saat ini aku benar tak seorang diri. Kueratkan pelukanku, memberikan berjuta terima kasih melalui bahasa verbal. Aku tak pernah menyangka jika dada milik lelaki ini—lelaki yang dulu selalu berpegangan tangan dengan Nata, lelaki dengan mulut kampret yang dulu selalu menjadikan aku alasan supaya mendapat izin kencan dengan Nata—ternyata bisa memiliki pelukan sehangat dan semenenangkan ini.

Lampu kembali hidup. Namun aku masih tetap pada posisi yang sama, memeluk Gibran. Gemetar badanku sudah menghilang perlahan, oksigenku mulai normal, tapi maluku yang menggunung sekarang.

Dan Gibran hanya diam tak menolak.

"Orang bilang melawan ketakutan itu obat yang mujarab menghilangkan trauma, gue nggak tahu apa yang udah lo alami. Tapi yang gue tahu, yang gue yakini. Kedua kaki ramping lo lebih dari sekedar kuat buat lo jadikan penopang. Bahkan mungkin lebih kuat dari beton."

"Thanks," ucapku di dadanya. Aku malu. Sungguh. Aku tak mau terlihat lemah di mata orang lain. Mendapatkan pandangan penuh belah kasihan yang ditunjukan padaku saja aku tak mau. Ini yang terakhir. Aku janji. Semoga.

---

Setengah dua belas malam dan pekerjaanku baru selesai. Setelah memberesi meja, aku berjalan menuju kotak besi sambil menguatkan diri. Menghilangkan segala pikiran negatif yang ikut menguntai langkahku. Kuberanikan diriku, memaksa batinku untuk mengikuti perintah otakku. Karena aku tak mungkin berjalan dari lantai 21, kan?

Kemarin aku memang sengaja meminta izin untuk menemui dokter kenalan yang juga merawat segala bentuk kesakitan tak kasat ini sejak dulu. Itulah mengapa hari ini aku pulang larut malam, karena pekerjaanku menjadi bertumpuk. Dengan tangan bertopang dinding lift aku berdiri. Rasanya de javu. Seperti mengulang kembali dimensi saat pertama kali aku mulai menginjakan kaki di benda kotak ini. Saat pertama kali aku melawan takut. Saat pertama kali aku menekan sesak di dada. Batinku memberontak, enggan berada lama dalam benda sialan ini. Namun, logikaku tetap memerintahku berdiri tegak di sini dan aku mengikuti logikaku. Karena aku tetap butuh pulang, bukan?

Ting. Akhirnya. Lega itu kembali menyusup. Dengan napas terengah, aku keluar dari lift. Kakiku sudah seperti jeli. Sudah lelah. Sudah tak mampu bejalan. Kutarik napas, kuembuskan perlahan. Kutarik napas sekali lagi, kuembuskan kembali.

Ayolah, Kila. Masa gini doang bikin jiper. Ini cuma lift. Cuma lift.

Aku berjalan keluar menuju tempat mobilku terpakir secara perlahan seperti seorang anak yang sedang belajar berjalan. Saat kulihat punggung seorang lelaki yang sedari pagi belum kulihat batang hidungnya di tempat yang harusnya dia berada. Januar.

Januar sedang berdiri bersama seorang lelaki yang kuperkirakan sebaya dengannya. Mukanya mirip dengan Pak Wibisana. Namun, aku tak mengenal lelaki itu sungguh. Maksudku setiap ada perayaan kantor, aku tak pernah menemukan lelaki itu.

"Susah memang kalau ngomong sama anak pungut," ucap lelaki itu lalu pergi meninggalkan Januar yang masih berdiri mematung. 

Aku sudah hampir berjalan menuju mobilku saatku lihat Janur luruh, berjongkok dengan tangan mencengkeram rambutnya. Aku bingung. Harus mendekat atau pulang. Aku berjalan mendekatinya, kuhentakkan sepatuku pada lantai, supaya dia menyadari kehadiranku. Keberadaan orang lain. Namun, ia tetap diam.

Aku ikut berjongkok di sampingnya, kutepuk pundaknya. "Cowok masa nangis. Malu sama torpedo yang mulai membesar," sindirku.

Januar mengangkat kepala dan mendelik ke arahku.

Kubuka tasku, mulai merogoh isi di dalamnya. Kusodorkan botol minum yang memang selalu kubawa. Januar memang terlihat kacau, amat kacau. Rambut acak-acakan, kemeja putih tak beraturan, peluh di keningnya. Yang entah kenapa membuatnya terlihat seksi di mataku.

Kuperkirakan bahwa omongan lelaki tadi amat berpengaruh pada kondisi Januar. Melihat bagaimana efeknya saat ini pada tubuh Januar. Januar menarik botol dari tanganku tapi tak meminumnya. Lalu, menarik tubuhku mendekat. Aku membeku. Januar memeluku. Januar. Memeluku.

"Sekali ini, tolong," pintanya dengan nada kecewa. 

Aku tahu Januar amat terpuruk. Jadi kubiarkan saja tetap berada dalam dekapannya yang jujur saja terasa menghangatkan. Bahkan sejak dulu, dekapan milik Januar memang menyejukan. Kutepuk-tepuk punggungnya ringan. Seperti yang dulu selalu kulakukan tiap kali dia bersedih.

"Nu..."

"Hmm..."

"Udah tenang belum?"

"Hmm..."

"Nu, ngomong coba."

"Apa?"

"Kaki gue pegel jongkok terus…”

Pelukan sahabat itu bagai lilin dalam kegelapan

Meski meleleh, namun cahayanya tetap menerangi
 

LIMA

"Hallo Abyan..." sapaku saat kulihat bocah tampan itu di depan pintu. Aku berjongkok di depannya, "Mama ada, Bi?"

Mata bening Abyan menyorot kebingungan. Bentuk wajah yang condong pada sang ayah dengan kulit yang mengikuti sang ibu. Perpaduan yang sangat sempurna dan elok dipandang mata.

"Oh... Tante Kila yang datang." 

Aku bangkit dari jongkokku. Nata berjalan dengan daster berwarna biru bercorak bunga. Sederhana tanpa make up di wajahnya. Waktu sudah merubah seseorang bukan? "Cocok lo jadi emak-emak, Nat."

Nata melempar tatapan membunuh padaku, "lah anak gue udah dua kali," lalu pandangan penuh cinta ditujukan pada Abyan, "Mas, temenin Aa di kamar ya, nanti kalau bangun panggil Mama." 

Aku menyempatkan mencium pipi Abyan sebelum anak itu berlari menuju kamar. Abyan terlihat geram karena aku seenaknya menempelkan bibir pada dirinya membuatnya terkaget. Benar-benar mirip sang Ayah. Sedikit bicara, banyak bekerja. Talk less do more.

"Masuk, Kil. Nongkrong aja depan pintu kaya orang mau minta sumbangan aja," ejek Nata karena aku masih berdiri di depan pintu.

Saat aku berjalan menuju sofa kulihat Nata menunduk untuk memasukan mainan anak-anaknya ke dalam box. Dia sudah terlihat prigel, menjalankan pekerjaannya tanpa perlu komando sama sekali. Luar biasa, Nata yang dulu selalu mengandalkan orang tua, sekarang bisa menjalankan sendiri.

"Mbak, nyonyanya tolong dipanggilkan dulu," godaku, membuatnya melempariku robot-robotan. Mendengus tawa, Nata berlalu menuju dapur.

Kuamati sekelilingku. Dinding ruang tengah ini penuh dengan figura—foto wisuda Nata dengan perut buncitnya, Abyan dalam gendongan Panji, foto tumbuh kembang Abyan, foto kelahiran Azka, pun foto pernikahan mereka—yang terpajang rapi. Potret keluarga yang sangat sempurna, memperlihatkan bagaimana bahagianya sahabatku tersebut menjalani perannya yang baru. Miris, aku bahkan tak tahu harus memajang foto siapa di dinding apartemenku. 

Haruskah kupajang foto dengan lelaki yang kusewa saat wisuda dulu?

"Minum dulu." Nata meletakan dua cangkir di meja yang berhadapan langsung denganku. Dia pun ikut duduk di sofa yang sama. 

Aku memindai penampilan Nata kali ini dari atas hingga bawah. Rambut yang biasanya tergerai cantik kali ini hanya dicepol asal-asalan membiakan beberapa anak rambutnya keluar. Dia yang dulu selalu antipati dengan daster—karena menurutnya bukan gayanya—kini melekat apik membungkus tubuhnya. Badan Nata pun sedikit lebih berisi tapi sudah tak pernah mengeluh tentang berat badan. Dan yang paling terlihat jelas adalah kuku-kuku jarinya yang selalu dibiarkan tumpul, tak ada nail art yang menghiasi. Nata terlihat sangat sederhana dan amat berbeda dengan yang kukenal selama ini. Entah mengapa tampilan Nata yang sederhana ini membuatnya terlihat lebih dewasa. "Jadi istri dan ibu capek ya, Nat? Sampai lo nggak ada waktu nyalon ya?"

Nata tersenyum ramah, "jangan salah tanggep, emak-emak dasteran gini kalau udah dandan, kalah saing lo." 

Aku tergelak karena tahu Nata masih mengikuti perkembangan masa, "njir… korban meme abis ya lo."

Nata kembali tersenyum, “kalau gue nyalon, anak-anak sama siapa? Males gue baru duduk bentar aja di salon udah ditelponin terus karena Azka nangis. Jadi, daripada repot, mending nggak usah sering-sering nyalon kalau nggak ada bapaknya.” Nata menjeda, "mungkin, gue kelihatan capek banget karena dari sebelum subuh udah melek buat ngurus keperluan kerja bapaknya anak-anak, belum sama Abyan yang mulai playgroup, belum sama si Aa. Memang capek, Kil, gue nggak bohong tapi itu semua ada kebahagiaannya sendiri."

Aku terdiam mendengarkan penjelasan Nata, "Karena lo nggak harus mikir buat beli beras, buat beli popok, buat beli susu, dan keperluan rumah lainnya. Iya, kan?"

Nata menoleh ke arahku memicingkan netranya, "maksudnya apa?"

"Ya, walaupun lo harus bangun pagi dan tidur paling belakang tapi lo nggak perlu memikirkan masalah cicilan ini itu, buat beli popok, beras, dan keperluan lainnya. Semua sudah ditanggung sama Panji, benar, kan?"

Nata membalikan badannya, menghadap langsung ke arahku, "bohong kalau gue bilang nikah nggak butuh uang. Hari gini siapa nggak butuh uang, Kil. Kita butuh belanja, main, dan segalanya juga pakai uang. Bahkan sekarang mau kencing aja pakai uang. Uang memang bisa membuat orang bahagia tapi satu hal yang harus lo ingat: uang bukan takaran kebahagiaan seseorang.

"Gue mungkin lebih beruntung karena nggak perlu mikir cicilan ini itu dan tinggal terima enaknya aja. Tapi coba lo lihat Rivan sama Dinda, mereka memulai dari nol, kan? Tinggal di kost-kostan, ke sana ke sini pakai motor, tapi lo lihat sekarang sudah sesukses apa mereka? Karena apa? Karena saling menopang satu sama lain. Lo belum nikah sampai sekarang karena takut hidup lo bakal susah, nggak bisa belanja, nggak bisa ini itu, iya?"

Aku bergeming karena tak tahu alasan kenapa sampai sekarang aku masih belum juga menapakan diri pada jenjang pernikahan. Memikirkan saja tidak, hariku sudah habis untuk menutupi kebutuhan dan keegoisanku akan badanku sendiri. Mana pernah aku memikirkan bagaimana baju suami dan sebagainya jika berempati terhadap sesama saja, aku jarang.

"Bahagia, Kil, menikah itu selain melengkapi setengah agama. Membuat kita memiliki sandaran kalau kita sedang berkeluh kesah." Nata menyeringai menyadarkan aku betapa bahagianya dirinya saat ini. Jelas saja dia merasakan demikian, dia menikah dengan Panji. Bagaimana jika dia menikah dengan orang lain? Apa masih tetap mampu memberikan pancaran bahagia seperti saat ini?

Andai dapat bertukar posisi, aku pun berharap mendapat suami seperti Panji. Yang entah kenapa semenjak bertemu dengan suami Nata tersebut pandanganku terhadap seorang lelaki berubah bahwa: tampan sekarang bukan kriteria pertamaku dalam memilih lelaki, tergerser oleh lelaki dengan penuh tatapan sayang dan yang adem seperti wajah Panji. Panji terlihat sabar dan pasti dapat memuliakan Nata. Sayang, harus kucari ke mana sosok seperti Panji? Poto kopi Panji gitu?

Coba ada kloningan Panji. Aku ingin memiliki satu untuk diriku sendiri.

Nata menyeringai tahu aku mengamati foto Panji, "Nyari suami nggak usah yang ganteng-ganteng, Kil. Yang penting punya bibit bikin anak-anak unyu. Suami jelek nggak apa-apa. Penting anak unyu. Hehehe. Yang pasti dia menyayangi kita, suami yang begitu bakal mengayomi dan selalu mengusahakan kebahagiaan kita. Jangan yang terlalu kaya juga, ditinggal mulu nggak enak. Dinas sana sini."

Aku tergelak mendengar curhat colongan Nata dengan bibir manyun, "Malam-malam aku sendiri tanpa dirimu lagi,” godaku mendendangkan sebuah lagu. “Masih mau nambah anak lagi memang?" 

Nata dengan polosnya mengangguk. "Panji pengin anak perempuan, Kil. Jadi, gue disuruh hamil lagi sampai dapet anak perempuan. Dikira anak kucing sekali brojol bisa empat sekaligus tapi memang dari keluarga Panji rata-rata memiliki anak banyak. Paling sedikit tiga anak. Untung gue masih muda, masih kuat kalau harus ngeden lagi."

Aku melihat ada binar malu dan bahagia di wajah Nata saat menceritakan hal tersebut. 

"Anak gue udah dua, Dinda tinggal nunggu beberapa minggu lagi due datenya, Tiara lagi program, dan Rizka tinggal nunggu ijab aja. Kita udah dapat muara masing-masing, Kil, lo kapan? Jangan terus nutup diri, Kil. Lo nggak mungkin gini-gini aja, kan?"

Aku tak menjawab. Untuk pembahasan yang seperti ini aku memang jarang angkat suara, karena memang tak ada yang harus kujawab. Belum ada lelaki yang siap menerima aku dengan segala tanggungan serta kelamnya jalan yang sudah kujalani selama ini. Sebagian dari lelaki yang mendekat padaku hanya berniat menyecap maduku kemudian berlalu. Jadi, tak salah jika aku masih berdiri sendiri mengepakan kelopakku, bukan?

---

Aku keluar dari lift, berjalan menuju flatku. Kulihat seorang lelaki sedang bersandar pada dinding dekat pintu. Lelaki itu masih mengenakan pakaian kerjanya lengkap. Terlihat sekali gurat lelah di wajah tampannya. Kenapa dia tak pulang saja dan beristirahat malah memilih berdiri tak jelas di sini? Kuhentakkan kakiku setiap melangkah, berniat memberi tanda bahwa ada seseorang di sekitarnya. Lelaki itu menolehkan wajahnya ke samping, mengikuti sumber suara. Tatapan lelahnya kemudian berganti dengan kelegaan. Lega karena apa? Karena menemukan aku di sini?

Lelaki itu mendekat, enggan menunggu kedatanganku. "Lo ke mana aja, Kil? Gue hubungi berkali-kali nggak pernah bisa, gue kirim pesan selalu nggak dibaca."

"Lebay deh, Bran. Biasa juga kita jarang komunikasi kalau nggak ada kepentingan. Lo jangan kaya pos ronda yang wajib lapor satu kali dua puluh empat jam."

Aku membuka pintu dan mempersilakan Gibran masuk terlebih dahulu kemudian menyusulnya ke dalam. Ada nada khawatir yang meraup perasaanku saat mendengar pertanyaan Gibran barusan, tapi cepat-cepat kutepis. Gibran tak mungkin memikirkan aku sebanyak itu.

"Gue apal, Kil, sama kelakuan lo. Lo nggak bisa nggak pegang hape kurang dari satu jam, sementara pesan gue udah terkirim sejak berjam-jam yang lalu. Lo nggak mungkin nggak tahu kalau gue hubungi, kan? Lo itu nggak pernah nggak ngangkan panggilan gue selama ini. kenapa? Lo ngehindarin gue?" tembaknya.

"Nggak ada gue ngehindar dari lo. Buat apa juga? Hape gue emang di tas dari tadi dan tas gue ketinggalan di mobil. Jadi, lo nggak usah berlebihan sampai heboh gini hanya karena gue nggak angkat telepon lo."

Gibran mendengus kasar, belum puas atas jawaban yang kuberikan. Dia menyerahkan sebuah amplop coklat berlogo padaku. "Apartemen lo jatuh tempo lusa," ucap Gibran singkat. 

Seketika jantungku berkeliaran mengelilingi ruang hampa yang terasa menyesakkan. Penyesalan atas kepulanganku yang terlambat menyebabkan Gibran lebih dulu tahu. Jadi, nada suara yang dikeluarkan sedari tadi bukan khawatir melainkan rasa iba dan itu memuakan.

"Kalau mau lo bisa tinggal dulu di apartemen gue. Kosong dan deket sama kantor. Atau lo mau gue bayarin dulu?"

Kan. Saja tatapan Gibran meredup, kembali berkobar. Berkobar karena tahu aku tak lebih dari seekor kerdil yang tak mampu mempertahankan hidup hingga harus dibantu. Shit! "Nggak usah, Bran. Gampanglah nanti gimana gue tinggal. Bisa di mana saja," jawabku setenang mungkin. 

"Kil..."

"Udah ya, Bran, lo kaya biasa aja sama gue. Biasa juga cuek bebek sama gue. Nggak usah tiba-tiba sok care gitu sama gue. Serem tahu lihatnya." Aku memang gila terhadap uang. Karena  apartemen, mobil, dan anak-anakku lainnya butuh makan. Namun, sekali lagi aku enggan mengemis pada teman atau sahabatku sendiri. Aku mengenal Gibran memang sudah lama tapi aku malas jika harus meminta bantuan berupa uang padanya, maksudku mengemis. Alasannya sederhana: aku enggan dikasihani. Lebih baik dianggap rendah oleh orang lain daripada teman atau saudara sendiri.

"Gue beneran care, peduli sama lo, Kil," jelasnya. Gibran hendak membuka mulut tapi terburu terdengan suara raungan dari ponsel lelaki itu.

"Assalamuallaikum, Ma."

Aku hampir tergelak mendengar Gibran menyebut salam. Matanya melotot ke arahku, memperingatkan diriku supaya diam dan tak membuat kejahilan.

"Kamu ini, dikenalin sama cewek tapi malah dicuekin."

"Ma... Iban nggak suka sama Markisa itu. Mama lihat sendiri bagaimana tampilan itu cewek, Mama nggak memperkirakan apa kecocokannya sama Iban. Dandanan dia kaya lenong gitu."

"Mariskaaaa... Iban. Mama itu udah capek nyariin kamu cewek dengan berbagai model tapi selalu kamu tolak. Kenapa sih, Nak? Lagian kamu punya muka ganteng nggak guna banget. Lulusan luar negeri tapi malah kalah sama Randi. Dia nggak ganteng, karyawan biasa  tapi udah laku. Anaknya udah mau dua lagi."

Meski tak mendengar suara Ibu Gibran, tapi aku tahu arah pembicaraan mereka. Gibran dijodohkan dengan seorang perempuan. Mungkin baru dikenalkan dan Gibran menolak. Di era globalisasi yang segalanya dipermudah, aplikasi pencari jodoh sudah merebak di mana-mana, ternyata masih ada sistem perjodohan seperti yang dialami Panji dan mungkin pada Gibran. Jika dijabarkan, Gibran itu lelaki, usianya pun belum menginjak kepala tiga, tapi sudah dirong-rong untuk segera menikah. Usia Gibran masih tergolong muda bukan untuk ukuran lelaki? Untung saja beliau bukan mertuaku karena sedikit-sedikit repot dan ketakutan. 

"Kamu lagi di mana?"

"Iban lagi ada bisnis di luar, Ma. Udah ya, Ma, Iban ada tamu ini." 

Kunaikkan kedua alisku mendengar jawaban yang dilontarkan Gibran. "Bohong," ucapku lirih tanpa suara.

Sambungan telepon terputus. Aku tertawa terbahak-bahak, kali ini tanpa kutahan. "Utuk... utuk... dedek Iban mau dikenalkan sama Markisa ya. Mama kasihan sama burung kamu, Nak. Nanti kelamaan nggak dimasukan sangkar. Kedinginan terus mengkerut loh."

Aku masih tergelak saat Gibran dengan lancangnya menempelkan dahinya pada dahiku. Tawaku seketika meredup terganti dengan embusan napas Gibran yang membelai pangkal hidungku. Demi para jomblo yang susah mencari lelaki di dunia, bulu mata Gibran bikin jantung berdenyut. 

"Gue pulang. Besok pagi gue jemput."

Setelah mengucapkan kalimat tersebut, Gibran menjauh dan berbalik arah menuju pintu keluar. Dibalik rasa kesal yang mendera, ada rasa terima kasih yang terus menguar mengiringi kepergian Gibran, terima kasih atas kesediaannya peduli padaku. Aku tahu Gibran tulus saat mengatakan bahwa dia benar peduli hanya saja aku terlalu kuat menyangkal.

Thank you, Bran.

---

"Loh, siapa yang bayar Mbak? Saya malah telepon mau minta tenggang waktu pembayaran."

Kuralat semua ucapan terima kasihku. Gibran memang kampret, sekali kampret tetap kampret. Aku menggeram, padahal sudah jelas pernyataanku bahwa aku tak mau dia merepotkan diri untuk membayar tagihanku.

"Atas nama, Januar Virendra."

HAH? Di antara nama Gibran yang sudah sangat kuyakini sebagai pelaku ternyata meleset. Justru Januar yang sudah melakukan semua ini tapi dari mana Januar tahu soal masalah ini? aku tak pernah menceritakan apapun ke siapa pun, bahkan pada Nata saja tidak. Jadi, dari mana dia mendapatkan informasi? Atau jangan-jangan dia menyelidiki diriku selama ini? Gila!

“Terima kasih, Mbak.” Kututup sambungan telepon.

Pagi ini aku berjalan penuh kobar emosi saat memasuki gedung kantor. Tak ada senyum ramah, tak ada tebar pesona, tak ada jalan anggun, dan tak ada tawa seksi. Aku harus meminta penjelasan pada Januar, harus. Iya. Hari ini aku sedang dalam mode senggol bacok. Sengaja berangkat lebih pagi kerena enggan menjumpai Gibran, alasannya karena aku tak mau saja. Kuketuk pintu utama ruangan milik Januar, semoga dia sudah datang. Aku malas menunggu sementara panas sudah sampai ubun-ubun.

"Masuk." Berarti dia sudah di dalam. 

Aku membuka pintu.

"Selamat pagi, Bu Shakila," sapanya. 

Selamat Pagi gundulmu.

"Maksud lo apaan pakai segala bayar apartemen gue? Bos kebanyakan uang ya? Kenapa nggak lo sumbangin aja ke anak yatim piatu," tembakku langsung. Aku sedang malas berbasa-basi.

"Tiap bulan pun aku sumbang untuk anak yatim piatu," jawabnya. Sedikit terperangah karena mendapati aku berkata dengan nada lumayan tinggi.

"Oh iya, gue lupa. Gue juga yatim piatu ya, Nu," sindirku membuat Januar berdiri dari singgasana.

"Kil, aku nggak bermaksud..."

"Oh..."

Aku maju mendekat, menemukan botol minuman yang semalam kuberikan padanya tergeletak di atas meja. Ternyata disimpan oleh lelaki itu. "Lo mau apa, Nu, sebagai ganti? Di dunia ini nggak ada yang gratisan, kan?" Kubuat pola di dada Januar dengan telunjukku. Membuat badannya seketika menegang. Main-main sama Shakila. Situ lempar clurit, aku lempar granat. "Cium cukup? Atau perlu nyelup sekalian."

"Kil... kamu..." tatapan tak percaya terpancar jelas dari matanya.

"Iya. Lo pikir selama ini gue sendirian bisa makan, belanja, dan hidup sentausa karena apa?" aku melempar tatapan menghunus tepat pada bola mata yang terlihat sangat terkejut itu.

Januar menarik pinggangku mendekat, "Shakila, jangan bercanda soal ini!"

Kudongakan kepalaku. "Siapa yang bercanda? Ini fakta, Nu, gue bukan Kila yang lo kenal dulu. Gue udah dirubah oleh semesta jadi seperti ini. Jangan karena lo udah jadi masa lalu gue, lo berasa tahu segalanya tentang gue. Hahaha itu 13 tahun yang lalu, Nu, udah lewat jamannya."

Januar mempererat pelukan pada pinggangku. Membuat kami menempel erat. Jantungku bergemuruh, demi Dewa Yunani yang katanya tampan mempesona tiada tara, Januar dan muka seriusnya membuat selangkangan terasa nut-nut an...

"Silakan kembali ke tempat anda." Januar melepaskan pelukannya. Membuatku sedikit terhuyung ke belakang. Hampir terjengkang jika pengendalianku tak bagus.

"Anggap saja itu bonus karena sudah bekerja sebaik mungkin selama ini," ucapnya sinis. Namun, tatapannya memancarkan… luka. Luka?

Aku keluar ruangan, kututup pintu dengan perlahan. Jantungku masih bergemuruh tapi aku mencoba biasa saja saat mendapati tatapan aneh yang dilayangkan oleh teman-temanku.

"Gile bos Anu mau diembat juga." Siska berucap. 

Aku diam saja memilih kembali ke kubikel.

"Lo ngapain di tempat bos pagi buta."

"Indehoy," jawabku asal. 

Bagas terdiam.

Meski dalam kemarahan yang menggunung. Tetap saja ada haru yang meletup di dalam dadaku. Karena Januar ternyata peduli dan sisi matrealistisku menguar. Meneriakan kata terima kasih karena aku tak perlu memutar otak guna mencari uang untuk membayar cicilan apartemen.

Thanks, Nu.

Jika semesta hanya berisi hitam dan putih

Masihkah kau menemui abu di antara tumpukan rinduku?


 

FLASHBACK 2

Sabtu pagi yang menyebalkan; bangun tidur lebih siang dari biasanya, air keran mati, dan bus yang tak beroperasi. Membuatku harus terlambat menginjakan kaki di sekolah. Namun, bukan Shakila Indira namanya jika tak memiliki akal untuk tetap masuk ke dalam sekolah. Aku mengitari tembok pembatas sekolah karena seingatku memang ada gerbang di samping. Kulihat seorang lelaki berdiri dengan kertas di tangannya.

"Mas..." teriakku sedikit menyembulkan kepala di gerbang samping. Lelaki yang kupanggil 'Mas' itu menoleh. Harusnya dia kakak kelasku karena gerbang ini berada di belakang gedung kelas 12, dan dia berkeliaran di sekitar sini.

"Kenapa?" tanyanya tampak kaget saat melihatku berada di depan gerbang. Raut wajah terkejutnya seperti tak pernah melihat orang terlambat sekolah saja.

"Bukain gerbangnya dong, Mas," pintaku. 

Tak ada orang sama sekali di sekitar sini selain lelaki itu. Jadi, mau tak mau aku meminta tolong padanya. Lelaki itu masih mengamatiku. Wajahnya jelas sekali mengatakan ketidakpercayaan mendapati aku berada di balik gerbang. Mungkin dia terkagum-kagum karena mendapati perempuan cantik seperti diriku.

"Mas, mau bukain gerbangnya nggak? Malah bengong aja dari tadi," sentakku karena dia tetap diam. Aku hanya takut jika ada guru piket berkeliling dan menangkap basah diriku yang masih berada di luar area sekolah. 

Lelaki itu kemudian tersadar, berlari ke arahku dan membukakan gerbang. Dari tampilannya lelaki ini terlihat seperti anak teladan, tapi dimintai tolong supaya membukakan pintu tetap mau. The power of cantik.

"Thanks," ucapku saat tubuhku sudah masuk daerah teritori sekolah. 

Lelaki itu tersenyum kaku. "Sama-sama, Kil."

Loh? "Mas, tahu nama gue?" tanyaku bingung. Apa aku sampai sebegitu terkenalnya sampai lelaki ini pun mengenaliku. Duh, kibas rambut dahulu kalau begitu.

Dia mengangguk, "masih ingat aku?" tanyanya.

Aku mengamati lelaki ini dengan bingung. Tampilannya yang kuno, dengan kacamata berantai, ditambah rambut klimis. Siapakah dia? Aku hanya mampu menggeleng karena memori otakku yang memang hanya berbatas untuk lelaki tampan setara Dion Wiyoko dan Herjunot Ali. Saat kuamati name tag yang terpasang di dada kanannya. Tertulis jelas lelaki ini bernama Januar Virendra.

Januar. Januar. Aku terus mengulang kata yang sama beberapa kali. Sepertinya memang tak asing di telingaku. Oh iya, "Mas yang ikut olimpiade matematika tingkat internasional itu ya?"

Pasti benar. Aku ingat Nata pernah mengatakan hal demikian. Ternyata ingatanku memang mampu diandalkan, padahal biasanya aku hanya sanggup mengingat nama teman yang tiap hari kutemui. Good job, Kila. Batinku bangga.

"Kamu sudah lupa ternyata," ucapnya penuh kekecewaan kemudian berlalu dari hadapanku.

Tebakanku salah? Memang kapan aku pernah bertemu dengan Januar hingga dia mengetahui namaku? Januar. Januar. Astaga, dia lelaki yang pernah kutemui di makam beberapa minggu yang lalu. Ternyata dia juga berstatus sebagai murid di sekolah yang sama denganku.

Dunia sempit sekali.

---

"Kila!" 

Seseorang menarik tubuhku, membenturkan pada dirinya. Aku terkejut bukan main, apa yang barusan terjadi?

"Lo mau setor nyawa, ya? Jalan sambil bengong begitu. Nggak lihat kalau jalanan lagi rame begini. Lo mau ditabrak?" ocehnya panjang lebar. 

Wajahku masih menempel di dada lelaki ini. Deg. Deg. Deg. Jantung berdetak tak seharusnya. Degup yang tak sesuai irama. Tak seperti biasa. Ini karena perasaan takut, perasaan kaget, atau.....

"Kil, lo nggak apa-apa, kan?" Gibran menjauhkan tubuhku dari pelukannya lalu memegang kedua pundakku, dan mengamati diriku dengan seksama.

Aku menggeleng karena tak sanggup mengucap kata tidak. Masih dilingkupi kebingungan, aku menatap wajah Gibran tepat pada mata hitam peka—yang saat ini terasa memancarkan sesuatu—yang menghangatkan diriku hingga membuat jantungku seperti dipacu. Gibran Wiratama.

"Eh, malah bengong lagi ini anak. Kil, woy!"Gibran menggoyangkan tubuhku.

Aku mengerjap beberapa kali guna memunguti kesadaranku yang berceceran. "Sorry, Bran, gue nggak apa-apa kok," ucapku kemudian. 

Gibran hanya mengangguk kemudian merangkulkan lengannya pada pundakku  dan mengajakku berjalan menuju halte bus. Selama perjalanan sesekali kulirik Gibran yang berdiri di sampingku. Gibran tampan. Sejak pertama bertemu, Gibran memang tampan. Tak akan kupungkiri fakta tersebut, bahkan orang yang tak mengenalnya pun akan berpendapat sama denganku. Namun, kenapa baru kali ini menatap ketampanan Gibran membuat jantungku merasakan sensasi yang berbeda. Detaknya masih tak beraturan padahal aku sudah tak ketakutan, haruskah aku ke dokter jantung gitu?

"Kil..."

"Kenapa?"

"Temen lo yang duduk bareng, siapa namanya?"

"Nata. Kenapa?"

"Kenalin dong, Kil. Gue kemarin ketemu dia pas telat masuk udah mimbik-mimbik mau mewek gitu. Lucu deh, manis juga anaknya." Gibran berbicara sambil tersenyum, seolah menerawang masa di mana dia bertemu dengan Nata. Satu kenyataan yang entah kenapa meremas jantungku, membuatnya berhamburan entah ke belahan dunia mana.

"Kil, malah bengong lagi. Gimana?"

Hah? "Oh, kenapa lo nanyain dia? Suka lo sama temen gue?" tanyaku sok asyik.

Dia mengangguk mantap.

"Jangan, ah. Kasihan temen gue masih polos harus pacaran sama playboy cap curut kaya elo."

"Eh... apaan, gue nggak pernah pacaran dengan dua wanita sekaligus. Pantang bagi seorang Gibran Wiratama punya pacar lebih dari dua."

DEG. Berarti hanya satu dan itu Nata. Bukan aku ya, Bran?

Tiba di depan halte, kami duduk berdampingan di kursi tunggu. Jingga sudah menampakan eloknya di ufuk barat. Kami memang harus rapat OSIS terlebih dahulu, itulah mengapa sudah jarang anak berseragam sekolah di sini. Sudah mulai dipadati orang dewasa dengan gaya kantorannya.

 "Nata kalau di kelas gimana?" tanya Gibran antusias.

"Ya gitu, lo pikir dia ngapain kalau di kelas? Goyang koprol gitu?"

Gibran tertawa lebar. Mengacak rambutku membuatku berdecak sebal. Entahlah, aku sebal saja karena Gibran terlihat amat penasaran dengan Nata.

"Pinter nggak?" tanyanya lagi.

"Lo tanya langsung aja sama anaknya. Lo pikir gue emaknya apa."

Gibran hanya nyengir, "satu lagi, dia masih jomlo, kan?"

Kali ini aku hanya mengangguk jujur. Senyum milik Gibran makin lebar mendapati reaksiku. Tanda bahagia, tentu saja karena Nata.

"Thanks, salam buat Nata." Gibran mengusap rambutku sekilas sebelum berjalan mendekati bus yang sudah berhenti. Tiba di dalam bus, Gibran melemparkan senyum dan lambaian tangan. Meski penumpang bus padat, tapi dilihat dari mataku, sosok Gibran memiliki aura yang berbeda dari yang lain.

Kupegang dada kiriku. Kuresapi kembali apa yang barusan terjadi: jantungku berdetak tak menentu karena Gibran bahkan sapuan hangat yang dilayangkan Gibran di puncak kepalaku masih terasa hingga sekarang. Aku tak pernah merasakan perasaan demikian hingga menginjak usia 15 tahun. Perasaan asing yang masih awam untukku. Aku ini sebenarnya kenapa?

---

Semenjak kejadian sore itu, aku jadi sering mengamati Gibran lewat jendela kelasku. Gedung kelas kami memang berhadapan, tapi kelas Gibran berada di lantai dua dan aku di lantai dasar. Mempermudah aku menemukan Gibran yang sedang lewat atau duduk di depan kelas.

Gibran yang lebih suka duduk di depan kelas dengan kacamata bacanya, dan komik conan di tangan kirinya. Gibran yang tiap pulang sekolah akan menyempatkan diri, dengan seragam yang sudah tertanggal menyisakan kaos putih dalamnya sedang bermain basket. Lalu, akan pulang saat jingga mulai tenggelam.

Hal konyol yang entah kenapa menjadi aktivitasku beberapa hari ini.

Entah di mana pun berada. Entah dalam jarak sepuluh meter sekali pun, aku mampu membedakan itu Gibran atau bukan hanya dari siluet tubuhnya. Lalu, sore itu Gibran datang ke kelasku dengan cokelat silverqueen di tangan. Menyodorkannya padaku kemudian merangkul pundakku erat. Aku menyadari ada sesuatu yang telah terjadi, terlihat jelas dari wajah sumringah di wajah Gibran. Mendapati rona bahagia yang terpancar, mau tak mau aku pun tertular. Satu senyuman bersemi di wajahku.

"Gue jadian sama Nata. Thanks ya, Kil. Berkat lo nih."

Senyum yang sedang kusemai seketika layu sebelum mekar sempurna. Gibran menyatakan bahwa dia sudah berpacaran dengan Nata. Gibran pacar Nata yang notabennya ada teman semejaku. Jantungku tiba-tiba terasa nyeri terhempas belati.

"Sebagai ucapan terima kasih, gue traktir deh. Lo bebas makan apa aja, Kil," tawar Gibran.

"Nggak usah, Bran. Udah gue mau balik dulu. Oh, ya congrats, Bran," ucapku berlalu dari hadapannya masih dengan jantung yang berdenyut nyeri. Baru kusadari ternyata luka tak kasat mata itu lebih menyakitkan. Dia mengiris, menguliti, menyayat, dan memotong. Tak berdarah memang tapi terasa sakit. 

Malam ini aku hanya mengitari Jakarta dengan bus yang kutumpangi. Memasrahkan pada sang sopir akan menurunkan diriku entah di mana berada. Aku masih belia, usiaku bahkan belum melewati angka 16 tahun. Pada fase ini, aku sedang dalam kondisi berbahagia karena mengamati lawan jenis. Namun, bahagiaku tak berujung lama, pernyataan Gibran siang tadi meleburkan segalanya. Sementara aku hanya diam mengikuti arus.

---

+6285647xxxxx

Boleh bertemu? Kutunggu di taman komplek samping rumahmu.

Kubaca pesan dari nomer tak dikenal yang masuk pada ponselku. Perasaanku kuat mengatakan bahwa dia adalah lelaki yang sering mengirimiku cokelat. Bagaimana aku bisa mengetahuinya? Karena nomer ini beberapa kali mengirimiku pesan yang selalu kuabaikan. Setelah mengecek kembali, pesan tersebut terkirim pukul setengah lima sore sementara saat ini sudah hampir pukul delapan. Harusnya dia sudah pulang, bukan?

Aku turun dari bus dengan berjalan sedikit cepat dan memegang tali ranselku sama eratnya. Sedikit takut sebenarnya pulang hingga selarut ini. Namun, entahlah menatap padatnya kendaraan yang berjubel dalam kemacetan membuat pikiranku lebih terurai. Aneh, kan?

Saat melintasi taman komplek samping rumahku. Digulung oleh rasa penasaran pada siapa si pemilik uang jajan banyak hingga mampu membelikan aku cokelat hampir setiap hari. Kakiku tergerak begitu saja berjalan masuk ke dalam area taman. Tiba di dalam lingkungan taman, kuedarkan pandanganku meneliti siapa gerangan yang dapat kujumpai di antara banyaknya pasangan yang memadu kasih di dinginnya malam ini. 

Aku berdiri di samping lampu taman, supaya lebih jelas terlihat diriku dari segala sudut area. Sambil memikirkan siapa lelaki yang cocok kusebut sebut sebagai penggemar rahasia. Tsaaaadest…

"Akhirnya, kamu datang juga."

Suara halus di balik punggung membuat bulu kudukku meremang. Sambil membaca doa apa saja yang kuhapal dengan hati-hati kubalikkan badanku. Saat menemukan sosok yang kini berada di depanku, membuatku terkejut. Karena di luar dugaan sekali. 

"Januar?" tanyaku kaget. "Jadi, lo yang kirim SMS selama ini?" tanyaku kembali.

Januar mengangguk mantap. What the....

"Aku... aku suka sama kamu, Kil, sejak pertama kali kita bertemu," ucapnya gugup. "Sejak saat itu, bayang wajahmu sering sekali muncul dalam mimpiku. Menerangi pagiku, menghangatkan malamku. Kamu bagai bulan, menerangi hidupku yang gelap, dan tak berwarna." Januar berbicara sambil menunduk.

Gerak geriknya tak menunjukan orang yang sedang menyatakan perasaan, malah menjurus seperti pidato upacara yang kudengar setiap hari senin. Kudekati Januar yang masih setia menunduk, tiba-tiba tubuhnya menegak. Menyembunyikan tangan kirinya di belakang punggung, mirip seseorang yang ketahuan mencontek. Atau jangan-jangan…

Kutarik paksa tangan berisi tersebut. Hahanjiiiir, telapak tangannya penuh dengan coretan kata-kata yang barusan diucapkannya. "Lo nyontek kata-kata di mana?" Seketika tawaku pecah. "Masa juara olimpiade matematika tingkat internasional harus nyontek dulu," ucapku melepaskan pegangan tangannya.

Dia terlihat gugup. Hendak menjawab tapi terbungkam angin.

“Lo nembak gue?” tanyaku kembali memastikan.

Kali ini Januar mengangguk lemah, tak seyakin tadi. Mungkin Januar ingin mengatakan sesuatu tapi terbungkam kembali oleh angin. Masih pada posisi kami sekarang, aku meneliti tubuh gempil itu dari atas sampai bawah. Penampilan Januar sebenarnya tak mencerminkan orang kaya, tapi mendapati kenyataan bahwa lelaki ini selalu membelikan aku cokelat setiap hari tentu memberikan kebimbangan sendiri padaku.

"Berapa berat badan lo sekarang?" tanyaku kemudian.

"85 kilogram," jawab Januar lirih.

"Kalau lo bisa nurunin berat badan sampai 20 kilogram, lo boleh datang ke sini lagi, dan bakal gue terima jadi pacar gue."

Mata Januar membelo takjub, “Jadi…”

Aku mengangguk, mengiyakan pikiran Januar, “Jangan seneng dulu, kaya yang bisa aja turun 20 kilo, udah sana balik. Udah malam, ntar dicariin orang rumah lagi.”

Senyum mengembang di wajah lelaki itu, mengangguk mantap. “Terima kasih, Kil.”

Aku ganti mengangguk lalu berlalu meninggalkan Januar. Selama di perjalanan pulang, aku terus memikirkan jawabanku barusan. Entah mengapa aku segila ini sampai memberikan tantangan untuk lelaki yang menyatakan perasaannya padaku. Namun, jujur saja ketika melihat bagaimana usaha Januar membuat perasaanku yang sedari tadi mendung kembali cerah. Mampu tertawa lepas setelah sesak yang ditorehkan oleh Gibran siang tadi. 

Pun bukan maksud menghina, atau melecehkan. Semoga Januar seorang yang berpikiran lapang sehingga menjadikan tantanganku tadi sebagai pecutan. Terlalu gemuk itu tidak selalu sehat, bukan? Dan sepertinya menjadi pacar Januar tak melanggar aturan sekolah. Toh, aku sudah terbiasa berpacaran dengan lelaki dan berpisah hanya dalam hitungan hari. Lumayan juga sebenarnya menjadi pacar Januar, setidaknya dompetku akan terus dalam kondisi baik.

Kutunggu pembuktianmu ya, Nu.

Kadang kita harus menyadari bahwa untuk mencapai suatu happy ending

Kita harus memulai dengan menertawakan luka.

 


 

ENAM

Pukul dua belas malam waktu Indonesia bagian bobok, aku baru menginjakan kaki di gedung apartemen. Andai pantatku bisa berteriak, mungkin ia sudah menyumpahi kursi di kubikel kantor yang lebih dari delapan jam kududuki. Selalu seperti ini rutinitas yang harus kulalui setiap harinya; bangun pagi, berangkat kerja, pulang malam, tidur, bangun pagi, berangkat kerja, pulang malam lagi. BEGITU SAJA TERUS SAMPAI LADY GAGA MEMAKAI HIJAB. 

Aku sudah dalam mode jenuh tingkat internasional. Namun, aku tetap butuh uang untuk makan, belanja, membayar cicilan dan mencukupi kebutuhanku tersendiri. Membuatku terpaksa menjalani segala rutinitas setiap hari. Mengalami siklus bahagia saat hari gajin dan menderita hampi setiap hari. Apa boleh buat, aku tak lahir dari rahim ratu minyak, atau juragan cengkeh.

Kulangkahkan kakiku meski sedikit terseok menuju lift yang entah bagaimana rasanya seperti ribuan kilometer jauhnya di depanku. Hayati lelah, Bang, butuh permadani

Kuembuskan napas lega saat tiba di depan lift. Aku sedikit berjengit merasakan sebuah tangan tersampir di pundakku. Hampir saja kulayangkan segala jenis ilmu beladiriku, tapi mengetahui siapa pemilik tangan ini membuatku terdiam. Kulanjutkan langkah kakiku memasuki lift, membiarkan lengan itu tetap bertengger dipundakku. Bahkan saat pintu lift tertutup, rangkulannya semakin erat.

"Nyanyi coba, Kil."

"Ogah," tolakku. Tenagaku sudah terkuras habis demi mengerjakan proyek di kantor tadi dan berharap bisa sesegera mungkin melempar tubuhku pada ranjang kamarku yang menawarkan kenyamanan. Namun, lelaki di sebelahku bisa-bisanya memintaku menyanyi, yang benar saja.

"Padahal dulu lo paling demen kalau nyanyi-nyanyi nggak jelas di ruang OSIS. Hiburan banget buat anggota lainnya," ucap Gibran.

"Dulu gue masih polos yang nggak bisa membedakan mana dipuji dan dibuli, Bran, beda sama sekarang. Pengalaman gue menghadapi orang sudah banyak, udah sedikit-sedikit mampu membedakan karakter setiap orang."

"Dulu lo emang polos, Kil, kalau sekarang sukanya yang polosan, ya," canda Gibran tanpa rasa bersalah dan berimbas padaku yang ingin mencabik mulutnya itu.

"Lo ngapain tengah malam di sini? Jangan-jangan lo penunggu gedung ini yang kerjaannya tiap malem nyari darah perawan."

"Koplok, Kila! Lagian kalau penunggunya seganteng gue, pada betah kali yang tinggal di sini," ungkapnya penuh percaya diri.

"Pengin muntah." Aku bergaya seolah benar-benar ingin muntah. Walau sebenarnya, Gibran memang tampan. "Serius, lo ngapain ke sini?" tanyaku sekali lagi.

"Karena hape lo nggak bisa dihubungi dari pagi," jelasnya singkat.

Pintu lift terbuka, kami keluar dan berjalan beriringan. Gibran melipat kemejanya hingga ke siku, melonggarkan dasinya. Tanpa harus bertanya, aku tahu lelaki itu juga baru pulang kerja langsung bertandang ke mari.

"Orang bilang, trauma itu makin besar efeknya karena terlalu sering dipikirkan. Jadi, kalau sambil ngobrol nggak terasa juga sampai tujuan."

"Ah, sotoy..." aku berniat memukul dadanya, tapi ditahan.

"Buktinya kaki lo nggak bergetar tadi," terangnya sambil mendorong pintu flatku.

Eh? Gibran menyadari jika selama ini kakiku pasti gemetar acap kali menaiki lift? Gibran memperhatikan sejeli itu? "Jadi, apa tujuan lo ke sini, tengah malam begini." Aku duduk di sofa ruang tamu.

Gibran ikut duduk di sebelahku, "sepupu gue nikah lusa," ucapnya singkat.

"Lo minta gue temenin ke acara nikahannya?" tembakku langsung saat tahu maksud ucapannya.

Gibran mengangguk.

Lusa aku memang tak ada acara apa-apa dan berniat menghabiskan waktu di pulau kapuk saja seharian. Gibran merogoh kantong bajunya dan menunjukan sesuatu di depan wajahku. Alisnya dimainkan selucu mungkin seperti menanyakan ‘bagaimana’.

"Ogah gue kalau silver doang. Kemarin gue intip dompet lo, ada yang gold."

"Wah... lo emang nggak bisa dikasih hati ya, Kil," ucapnya seolah habis dianiaya.

"Gue nggak minta, Bran, lo sendiri yang menyodorkan."

Gibran menatap wajahku seksama, entah apa yang dipikirkannya. 

"Lo pasti ngerti kenapa sewa mobil semakin keren semakin mahal? Nah, ini juga berlaku buat kita. Berhubung gue cantik, silver aja nggak cukup."

Gibran mendesah, mungkin bertanya-tanya dalam hati apa dosa yang dilakukannya selama ini hingga harus dikenalkan dengan orang seperti diriku. Namun, kemudian lelaki itu membuka dompetnya dan mengelurkan kartunya yang satu lagi dan tanpa babibu langsung saja kuserobot. Kudekatkan kartu tersebut ke depan hidung, mengendusnya secara seduktif. Memang beda wangi kartu silver dan gold

"Gandengan tangan, peluk pinggang, rangkul pundak." Kuterangkan daftar apa saja yang boleh dilakukan Gibran padaku saat kami harus menjadi ‘teman kencan’.

"Cium pipi..." tambahnya membuatku melotot.

"Ogah! Nggak ada cium-ciuman," tolakku.

"Masa berlaku kartu itu, 3 hari." Gibran menyerahkan sebuah kain padaku, "lo kecilin aja, kain ini seukuran kakak sepupu gue."

"Siap." Aku mengacungkan jempolku tanda setuju. 

Gibran mendengus tak urung membuatku tertawa. Gibran pun ikut tergelak, gila. "Emang gila cewek metropolitan masa kini," sindirnya sambil berjalan menuju pintu, "masuk gue yang dorong, pulang buka sendiri," gerutunya. Membuatku kembali tertawa.

Kupikir Gibran sudah berlalu, saat kutengokan kepalaku dia masih berdiri di depan pintu. Menghadap ke arahku."Kaki lo mungkin lebih kuat dari beton, tapi kepala lo juga butuh pundak buat bersandar," ucapnya kemudian menghilang di balik pintu.

Eh? Apa maksudnya...

---

Bank Cuka Aku

Selamat Siang, kepada nasabah yang terhormat kami beritahukan bahwa jatuh tempo kredit Anda adalah hari ini. Kami memberi waktu 3 hari guna melakukan transaksi, untuk pembayaran angsuran selama 3 bulan ini. Jika 3 hari dari belum ada transaksi, kami terpaksa melelang barang jaminan. Terima kasih.

Aku mengerang, hampir melempar ponselku yang memang sejak kemarin siang tak kuaktifkan. Aku berjongkok di samping nakas, mencermati kembali isi pesan tersebut. Aku memang sudah mangkir angsuran selama tiga bulan lamanya, alasannya karena tak ada proyek besar yang kuambil. Jadi, tak ada rupiah besar pula yang masuk dalam rekeningku.

Shit! Aku terus mengumpat; berteriak, memaki, menyumpahi tapi entah pada siapa? Pada keadaan?

Tenagaku terasa terserap oleh isi pesan tersebut, aku sudah lemas tapi tetap harus berangkat kerja. Nasib jadi bawahan, mau perasaan lagi entah bagaimana, atasan tahunya hanya hasilnya beres. Sial.

Kenapa aku tak lahir dari rahim istri CEO?

---

"Ehm," dehaman dari sebelahku membuatku menoleh. Ada Januar berdiri di sana. Mengalungkan tas kerjanya di lengan kiri dan tangan kanan yang masuk dalam saku celana. Hawt abis.

"Pulang, Pak?" tanya Luna yang ikut pulang bersamaku.

"Ya." Udah. Y. A. Lalu pergi.

"Cool abis," puji Siska yang berdiri di samping Lana.

"Cool kas 2 pintuuunya, kak... mari silaaakan... kami punya garansi sampai ajal menjempuuut." Aku berkata sambil berjalan menuju mobilku.

Keluar dari gedung kantor masih sore. Jingga masih menampakan sinarnya, aku baru berjalan lima menit dan sudah terjebak macet. Saat magrib menjelang, di bawah lampu merah kutatap beberapa perempuan cantik. Para penjajak kebahagiaan.

Aku termenung. Apa aku harus seperti mereka buat membayar tagihan hidupku yang makin lama makin tak manusiawi? Kugelengkan kepalaku guna mengenyahkan segala bentuk pikiran aneh yang berkeliaran.

Aku rasanya ingin menyerah, dan memilih menikah saja.

Mobilku berhenti di sebuah bangunan yang taka sing bagi penglihatanku. Aku turun dari mobil, berdiri tepat di depan gerbang, rumah di hadapanku terasa dingin. Amat dingin.

"Mbak Kila," sapa seorang Ibu yang tinggal di samping rumah— rumah peninggalan Papa—tersebut. 

"Bu Ida..." tegurku lirih, berjalan mendekat kearah Bu Ida yang dulu sering kali kusinggahi rumahnya.

"Mbak Kila, kenapa jarang sekali mampir ke sini? Kapan hari itu Mbak Shafa ke sini."

Eh? Shafa datang ke sini.

"Sendiri, Bu?" tanyaku penasaran.

"Diantar sama lelaki," jawaban Bu Ida membuatku mendengus kasar. "Tapi beda sama yang diajak bulan lalu."

Aku hanya diam, tak heran dengan pernyataan yang terlontar dari mulut Bu Ida.

"Terima kasih, Bu, kalau Shafa ke sini lagi. Boleh nanti hubungi saya?"

"Boleh, Mbak."

---

Aku duduk di bangku taman, menatap pada sekitar yang mulai dipadati pasangan muda mudi. Dulu, aku pun sering ke taman ini, bukan untuk berpacaran tapi berjalan ke sana ke mari sambil menggandeng tangan seorang lelaki. Lelaki pertama yang membuatku tertawa sepuasnya, lelaki pertama yang akan menggendongku kala terjatuh, lelaki pertama yang akan mengacungkan jempol saat aku juara, lelaki pertama yang membuatku jatuh cinta sejatuh-jatuhnya. Dialah Papaku.

Bolehkan aku tetap menjadi anak kecil saja? Tak perlu tahu berapa harga lamborgini, tak perlu tahu harga tas, tak perlu tahu harga sepatu. Hanya perlu sekop dan pasir sudah membuat sesuatu yang membahagiakan. Kucengkeram erat rambutku sambil menunduk. Menatap sendal jepit yang kupakai malam ini.

"Shakila..."

"ALLAHUAKBAR, SUBHANALLAH, ASTAGFIRULLAH..."

Aku otomatis berdiri dan menatap siapa yang memanggilku barusan. Gila. Kupikir jin tomang penunggu taman ini ternyata jin iprit. Dia sedang menipiskan bibirnya, tanda sedang menahan tawa.

"Keluarin aja, nggak baik nahan-nahan ketawa gitu. Daripada keluarnya dari belakang," sindirku.

Dia membuka mulutnya tapi tak tertawa hanya tersenyum. Kutatap lelaki ini penuh minat tanpa berkedip sekalipun. Membuatnya salah tingkah.

"Ehm... kok kamu bisa di sini?"

"Buang bensin, lo sendiri ngapain ke sini, Nu?"

"Ngalusin ban mobil."

"Njiiir... sombong ya, Bos kitaaa..." kutinju lengannya. Aku menggodanya seolah tak teringat tentang kejadian kemarin. "Gue pikir mau nyari cabe-cabean, jam segini belum pada mangkal."

"Kamu selalu begini?" tanyanya membuatku kembali fokus pada Januar.

Hah? "Maksud lo?"

"Fake smile."

"Ah... sotoy deh, Bos. Gue balik dulu, Pak, udah malam."

Januar maju memegang kedua pundakku. 

"eh... lepasin." Dorongku sekuatnya, tapi cengkraman tersebut semakin erat.

"Bisa tidak kamu bersikap seperti perempuan lain?"

Aku menyeringai ke arah Januar. "Nggak. Karena gue bukan mereka, dan nggak akan jadi mereka. Udah lepasin, gue mau balik," usirku.

Januar diam.

"Udahlah, Nu, jangan sok jadi power ranger sang pembela kebajikan dan penumpas kejahatan di muka bumi. Bersikap aja sebiasa mungkin, ngerti?"

"Nggak lucu."

"Yang ngelucu siapa, Nu? Lepasin nggak?" Kugoyangkan pundakku, berharap cengkeramannya mengendor.

"Kamu juga jangan bersikap seolah-olah kamu itu power puffgirl."

Aku hampir tergelak. Bukan, bukan karena lawakannya melainkan pada wajah datar yang disajikan Januar saat berucap demikian. "Udah, ah, Nu. Udah malem. Gue mau balik."

Januar tak mengindahkan ucapanku, alih-alih memajukan kepalanya. Dan menempelkan sesuatu yang hangat di bibirku.

Aku terdiam.

Mataku masih berkedip, menatap surai hitam di depanku. Januar menciumku.

Gila.

Kekayaan dunia itu tak hanya berbentuk harta tapi juga cinta, percayalah.

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Detak
Selanjutnya DETAK 7-10
21
1
DETAK PART 7-10
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan