
PROLOG
"Ini seriusan?" tanyaku dengan wajah cemberut dan bibir bergetar. Sementara objek di depan mataku malah terkekeh.
"Iya, Sayang. Aku harus melanjutkan study ke luar negeri."
"Terus aku ditinggal?" tanyaku, manyun.
Gibran mengangguk, "nggak lama, kamu selesaikan dulu sekolah kamu di sini, setelah itu kuliah yang benar. Saat aku udah jadi orang, aku pasti balik ke sini dan melamar kamu sama Papa Mama kamu yang protektif itu."
Hatiku berbunga, aku masih duduk di kelas dua sekolah menengah...
Satu
"Nat, 45 derajat samping kanan, gue perhatiin dari tadi ada cowok ngelirik ke arah sini terus," ucap Rizka sembari memberikan gelas minuman kepadaku.
Aku hanya berdeham sambil mengulum senyum tak mau repot-repot menoleh. Buat apa? Aku sudah terbiasa mendapat tatapan memuja dari para lelaki itu. Siapa tak kenal denganku?
Siapa? Ayo tunjuk gigi yang merasa belum kenal.
Baiklah, jika di antara kalian ternyata ada yang belum mengenalku. Marilah kita mulai dengan perkenalan karena kata orang tak kenal maka tak sayang. Namaku Natalia Laura. Panggil Nata, boleh. Panggil Talia, not bad. Panggil Kendall Jenner monggo. Panggil Miranda Kerr, kuterima dengan senang hati. Panggil Lim Yoona, kuterima dengan lapang dada. Asal jangan panggil aku, Mawar.
"Nat, ayo kita salaman dulu sama pengantinnya. Sebelum antriannya makin panjang. Makin lama nanti, kaki gue udah pegel berdiri terus dari tadi."
Aku mengangguk, kemudian meletakan gelas minumanku di meja yang kami lewati. Berjalan menuju panggung tempat dipajangnya raja dan ratu sehari di pesta pernikahan mereka. Sesekali kutemukan teman semasa kuliah dulu. Ada yang masih sendiri, ada yang datang bergrombolan, ada yang sudah berpasangan, bahkan ada yang sudah memiliki anak.
"Selamat ya, Dinda sayangkuuuh. Langgeng terus sampai kakek nenek. Sampai maut memisahkan." Aku mengulurkan tangan kanan dan maju, merengkuh tubuh Dinda yang hari ini luar biasa memesona. Gaun sederhana, tapi tetap terlihat memukau hingga memancarkan aura yang berbeda.
"Akhirnya ya, Van, lo dulu yang pecah telur. Playboy cap curut Jonggol bisa juga ngomong ijab dalam sekali napas. Jagain ni temen gue, awas kalau lo bikin mewek lagi," ucapku sambil memukul pelan lengan Rivan.
"Pasti. Bakal gue jagain segenap jiwa." Rivan membalas tegas seraya tersenyum ke arahku dan Rizka. "Kalian sendiri kapan?"
"Kita, sih, gampang tinggal tunggu hilal," jawab Rizka sambil menempelkan pipinya pada pipi Dinda. Rizka pun mengucapkan salam sama seperti yang kulakukan.
Aku menatap Dinda, temanku semasa kuliah yang hari ini melepas masa lajangnya di usia 23 tahun. Gila ya, sayang banget usia muda sudah harus rempong ngurusin kemeja, sarapan, sepatu, dan keperluan suaminya setiap pagi. Belum kalau nanti punya anak. Duh!
Kalau aku, sampai kucing beranak anjing pun aku tetap tak mau menikah dibawah umur 27 tahun. Masih belum puas menikmati hidup, masih pengin jalan sana jalan sini, masih pengin nyoba ini itu, dan masih banyak yang lainnya. Ya, memang kelihatannya tak berguna sama sekali, tapi kayaknya sayang aja.
Namun, memperhatikan senyum dari Dinda dan Rivan yang terus tercetak jelas di wajah mereka, aura bahagia yang menguar ke seluruh penjuru ruangan ini membuat sedikit rasa iri menyusup dalam diriku.
Aku menggelengkan kepala ringan. Mengenyahkan segala bentuk rasa iri dengki yang bersemanyam dalam hatiku. Menggantinya dengan energi positif yang lebih bermanfaat.
"Selfie, yuk!" ajak Rizka, sudah siap dengan segala perlengkapan berfotonya. Namanya juga wanita, ke mana pun belum lengkap tanpa dokumentasi. Lalu, disebarkan lewat sosial media. Kebiasaan yang sepertinya sudah mendarah daging di setiap jiwa manusia yang memiliki dua buah dada.
Aku berdiri di samping Dinda, sementara Rizka di sebelah Rivan sambil memegang ponselnya. Aku memasang senyum semanis mungkin. Setelah mendapat tiga foto dengan pose berbeda, kami berpamitan dengan kedua mempelai.
"Cowok yang tadi masih aja nyuri lirik sama elu, Nat. Coba lo tengok, Nat. Kali aja lo kenal, atau teman lama," adu Rizka padaku, ketika kami hendak keluar dari ballroom hotel tempat resepsi pernikahan berlangsung.
Aku masih berjalan dengan gaya yang kubuat-buat. Secara sengaja ingin memamerkan kaki jenjangku, yang terlihat jelas dengan gaun batik selutut berwarna merah terang yang membalut sempurna tubuhku, sehingga membuatku sangat mudah dikenali meski hanya sekilas pandang.
"Udah biasa kali, Riz, kalau cuma cowok ngelirik-lirik. Malah ada yang langsung ngajak kenalan, kan? Kenapa lo masih heboh gitu?" tanyaku tak acuh. "kalau dia merasa kenal sama gue, dia pasti langsung nyamperin ke sini," lanjutku.
"Lo nggak capek apa, setiap datang ke undangan selalu ngajak gue. Gue nggak masalah, dapat makan gratis ini. Lah, elo? Ntar kalau orang mikir, cewek cantik sekarang gandengannya cantik juga gimana?"
"Gemblung, mana ada orang nganggep begitu?" Aku tertawa nyaring mendengar pernyataan aneh bin ajaib yang keluar dari mulut Rizka.
"Gue masih punya Gibran, kalau elo lupa, Riz," tambahku sambil membunyikan alarm mobilku.
"Iya, punya Gibran tapi nemploknya sama gue juga. Punya Gibran tapi tiap malam minggu selalu dandan cantik, lalu ngobrol sama tembok, dan lelap dalam pelukan guling. Lo itu sebenernya kelewat setia atau bego sih, Nat?"
Aku membuka pintu mobil, menatap Rizka yang juga masih berdiri di samping mobilku. Aku hanya diam tanpa perlawanan. Membenarkan segala ucapannya karena memang itulah fakta yang kujalani selama ini.
"Lo udah tahu apa jawaban gue, kan, Riz? Udah sering gue jelaskan juga, kan? Jadi, apa perlu gue ulang jawaban gue yang entah sudah ke berapa juta kali?"
Mungkin karena malas beradu pendapat denganku. Rizka pun memilih membuka pintu dan ikut masuk ke dalam mobil.
---
Aku menatap nyalang pada lampu kamar yang memang terlihat menyilaukan. Mencoba mencari posisi ternyamanku agar bisa segera terlelap dalam mimpi. Aku terlonjak duduk di atas ranjang, saat pintu kamar terbuka, menampilkan sesosok wanita paruh baya yang telah berjuang melahirkan dan mendidikku hingga sekarang.
Mama duduk di sisi ranjang, menyerahkan segelas susu kepadaku. Hal yang jarang dan hampir tak pernah dilakukan oleh beliau. Tumben sekali Mama mau repot mengantarkan langsung susu kepadaku. Bau-baunya ada udang di balik batok kelapa yang nyangkut di pinggir kali.
"Belum tidur, Nat?" tanya mama setelah gelas susuku kosong.
"Lah, Ma, kalau Nata udah tidur, yang ngabisin susu segelas tadi siapa?"
Mama tak menjawab kembali pertanyaanku, hanya tertawa samar. Pandangan Beliau terpaku lurus, menatapku dengan pancaran mata yang tak mampu kupahami.
Ahelah, Ma. Jangan bikin aku salting gini.
"Kamu masih inget sama Budhe Tanti yang lebaran kemarin ke sini?" tanya beliau kembali.
Aku menerawang, mencoba membuka lembar memori pada masa itu. Lebaran tahun lalu. Namun, setelah kuobrak-abrik segala bentuk lembarannya, ternyata nihil. Tak ada satupun yang teringat olehku.
"Lupa, Ma," jawabku, karena yang teringat di kepalaku memang barang mana saja yang harus kudapatkan akhir tahun ini. Barang mana saja yang akan kena sale besar-besaran. Barang limited mana yang harusku serbu pertama kali. Tak ada ingatan soal lebaran tahun lalu. Ada, tapi mungkin tertimpa dengan yang lain.
Mama menggeser badannya mendekat kepadaku. "Budhe Tanti ini punya anak laki-laki. Dari segi umur, sudah matang. Dari segi materi, juga sudah mapan. Nah, kemaren mereka silaturahmi ke sini, Mama ketemu langsung sama anaknya, sopan deh, Nat. Pembawaannya juga dewasa. Mama suka sama dia," jelas Mama, yang membuatku bingung, maksud Mama apa mengatakan demikian.
"Papa sekarang udah loyo ya, Ma? Udah nggak memuaskan, sampai harus nyari yang lebih muda?" tanyaku implusif. Membuat mata Mama membelo, terkejut dengan jawabanku.
"Maksud Mama, anaknya Budhe Tanti ini mau dikenalkan sama kamu. Bukannya malah buat Mama."
"Oh, kirain buat Mama."
Eh?
Aku membelalakan mataku. "Maksudnya, aku dijodohkan?" tanyaku, sedikit meninggikan suara. Badanku pun sudah setengah berdiri di atas kasur dengan lutut sebagai penopang badan.
"Dikenalkan, kalau cocok bisa lanjut ke jenjang yang lebih serius."
Podo wae sami mawon kali, Ma.
"Umurnya berapa memang, Ma?"
"Baru 32 tahun." Mama menjawab dengan nada tenang seolah itu bukan hal yang patut dipermasalahkan.
Baru? Mama bilang baru 32 tahun? Tak ada yang lebih tua lagi?
"Anaknya kemarin ke sini. Dia sopan, ramah. Pertama lihat sudah kelihatan dewasanya. Cocok sama kamu yang olokan ini, yang manja.
"Dia sudah punya penghasilan, punya usaha tempat makan di sini, sekarang malah sudah bangun cabang lagi di Solo. Nanti, kalau kalian menikah. Kalian mungkin bakal tinggal di sana."
Kepalaku rasanya berdenyut hebat, berasa dipukul palu. Ini malam Jumat Kliwon? Apa Selasa Kliwon? Horor sekali tema obrolan malam ini.
Lalu, seperti awan putih muncul di atas kepalaku. Bayangan lelaki dengan perut buncit, kumis hitam tebal Adam Suseno, pipi ginuk-ginuk, lengkap dengan kacamatanya sedang tertawa ke arahku menampilkan satu gigi emasnya yang menyilaukan mata.
OH MY? NO...
Aku rasanya ingin menangis saja membayangkan aku akan menikah dengan lelaki model seperti itu. Membayangkan aku akan menghabiskan sisa hidup dengan lelaki yang kukenal saja rasanya sudah berat. Sementara sekarang? Kenal saja tidak.
"Ma, aku kan sudah punya pacar. Kenapa, sih, pakai acara beginian? Emang ini masih jaman pra-sejarah? Di mana orang nggak bisa baca tulis, nggak ada kendaraan sama sekali, nggak ada alat komunikasi. Ini jaman sudah modern, Ma. Sosial media sudah banyak. Situs pencarian jodoh sudah semakin merebak. Kenapa masih pakai cara kolot begini, sih, Ma?"
"Mana pacar kamu? Pacar kok ngalahin Bang Toyib? empat kali puasa empat kali lebaran tak pulang-pulang."
"Dia masih sekolah sambil kerja, Ma. Dia juga sedang merancang masa depan buat aku. Dia udah janji bakal nikahin aku kalau dia pulang nanti ke Indonesia, Ma. Jadi, aku mohon Mama jangan begini. Jangan maksa aku mengikuti acara tersebut." Aku mencoba melakukan konfrontasi, membuat Mama terus berdecak. Kesal karena anak perempuan satu-satunya tak pernah bisa bersikap lebih anggun. Selalu saja ada jawaban yang terlontar setiap beliau berpetuah. Satu kata dibalas ribuan kata.
"Kapan dia mau nikahin kamu? Sampai umur kamu empat puluh tahun? Sampai sekarang saja belum ada kejelasan. Kenapa harus nunggu, Nat. Kalau sudah ada kesempatan di depan mata?"
"Maaa...." Aku merengek, mencoba meluluhkan hati Mamaku, melakukan drama seperti biasa jika aku sedang menginginkan sesuatu. Aku menggerak-gerakkan kakiku ke sembarang arah membuat selimut dan sprei berhamburan kemana-mana.
"Kamu jangan kaya anak kecil begini, Nat! umur kamu sudah 23 tahun. Kerja enggak, s2 nggak kelar-kelar. Mau apa lagi? 23 tahun itu sudah cukup untuk berumah tangga, Nat, apalagi kamu ini wanita."
"Ma, emang nggak ada yang lebih muda? Masa aku dikenalkan sama om-om."
"Dia bukan om-om, Nata."
"Ma, 32 tahun itu seumuran sama Om Rafa. Jadi, apa namanya kalau bukan om-om?"
Muka Mama semakin memerah menahan kesal. Mungkin jika ada keajaiban, beliau berharap bisa mengembalikan aku ke dalam perutnya daripada dilahirkan malah membuat darah tinggi setiap hari begini.
"Terserah. Yang jelas mereka akan datang ke mari lusa nanti. Mama harap kamu bisa bertingkah lebih sopan, santun, dan jaga sikap. Jangan malu-maluin Papa dan Mama."
"Mama, kenapa kau jerumuskan anakmu ini ke lubang kepahitan?" Aku mendramatisir keadaan. Mama yang melihatpun langsung melayangkan pukulannya pada lenganku.
"Mama sama Papa cuma mau yang terbaik buat kamu, Nat. Nggak ada yang lain."
"Terbaik menurut Mama dan Papa belum tentu terbaik buat aku. Aku yang menjalani, Ma. Aku yang merasakan segalanya!" Napasku tersenggal karena berbicara dengan nada yang sedikit tinggi dan tanpa jeda, kaki yang terus bergoyang. Aduuhaiii besok turun dua kilogram.
"Lalu yang menurutmu baik seperti apa? Jawab Mama!"
"Yang...." Aku bingung harus merangkai kata apa. Yang baik itu seperti apa, ya? Aku juga bingung.
"Mama sama Papa nggak berniat menjerumuskan kamu, kami justru berdoa supaya kamu selalu bahagia, Nat. Dicoba dulu, ya?" pinta Mama padaku, kali ini dengan nada rendah. Tak ada kemarahan, malah kentara sekali membujuk.
Duh, Ma. Buat anak kok coba-coba. Ini bukan beli baju, yang bisa dicoba-coba. Kalau tidak pas bisa tukar lagi.
"Ma, tapi ini jaminannya seumur hidupku. Mama memikirkan sampai sana? atau hanya tergiur karena dia sudah mapan?" Aku sudah tak menggerakan kakiku. Pegal juga.
"Iya, Mama tahu. Tapi, dari sejak Mama lihat wajahnya. Feeling Mama mengatakan dia jodoh kamu. Kalau masalah dia sudah mapan itu, Mama dikasih tahu sama teman Mama. Jadi, bisa kamu pertimbangkan lagi, Nat. Jangan langsung ditolak."
Jodoh? Jodoh dari Hongkong!
Selesai mengucapkan kata-kata itu, Mama mengusap dan mengecup puncak kepalaku sebelum berlalu dari kamarku.
----
Me : Guys, tolonglah aku si pesakitan ini.
Rizka : Lebay Lo, Nat!
Tiara : Cak mano pulo kito banto kao
Kila : Anjiiiir, ngemeng apa si lau, Ra. Nggak jelas banget. Sotoy,
Dinda : Brisik!
Rizka : wedeeu, manten anyar mah beda ya! Skg berisiknya di atas ranjang. Panas terus 2 x 24 jam.
Me : Ya Allah, Gue mau dikaeinkan sama Datuk Maringgu.
Me : dikawonkan
Me : dikawonkan
Me : Cukz!
Me : dikawinkan.
Dinda : lo ngemeng apaan sih? Typo doang, Nat.
Rizka : Makanya minum tu susu sapi asli, bergizi. Lo minumnya santen laki lu mulu, Din. Jadi begitu.
Dinda : Nggak ada gue minum, semua gue biarkan menjelajah induknya. Hihi
Me : kampret lorang. Gue dicuekin,
Me : gue mau dikawinkan sama Datuk Maringgi. Incess Natalia sama Datuq Maringgi.
Rizka : DIKAWINKAN?
Kila : Dikawinkan? (2)
Dinda : Dikawinkan? (696969)
Tiara : Dikawinkan? (Diulang 10juta kali oleh Tiara dengan Toa masjid)
DUA
Natalia Laura menambahkan Rivan Arya, Zhio Arkhananta, Gilang Pradana ke dalam obrolan.
Dinda : Laki gue ngapa lo invite.
Me : Diem! Nggak bisa ngasih solusi tu idem aja.
Zhio Arkananta bergabung ke dalam obrolan.
Gilang Pradana bergabung ke dalam obrolan.
Gilang : Ada apa ini?
Me : gue butuh bantuan.
Rivan Arya bergabung ke dalam obrolan.
Me : Personil lengkap? Cek sound dulu coba.
Dinda : ting
Kila : tong
Tiara : Teng
Rizka : Tung
Zhio : Ping
Gilang : Pong
Rivan : Plung
Zhio : Najis, Rivan.
Rivan : Ada apa sih, Nat?
Me : Gue butuh saran, gue mau dijodohin mak gue sama cowok bangkotan.
Me : spesiesnya datuk maringgi
Gilang : Lah, Nat! Pasang beha aja belum bener udah mau kawin aja.
Zhio : Tali beha masih sering melintir2 eh mau melintir punya suami.
Rivan : Nikah ajalah, Nat. Ntar ada yang bantuin pasang beha
Tiara : Wah, Van. Ketahuan biasa bantuin pasang.
Rivan : Yo jelas, buka tutup. Biar terjaga keawetannya. Haha
Dinda : RIVAN!
Rizka : Mpoooos!
Me : SUEKS! NGGAK ADA YANG TERSENTUH HATINYA SAMA GUE
Gilang : Kita bisa bantu apa?
Me : Terserahlah, siapa aja yang mau dateng ke rumah. Bilang sama Mak gue kalau lu pacar gue.
Gilang : Ogah, Nat. Dateng ke rumah lu trus ngaku sebagai pacar itu sama aja setor nyawa.
Zhio : Setuju sama Gilang. Bisa dibedil sama Bapak lo yang pensiunan angkatan darat itu.
Rivan : kalau gue yang ngadep bapak lu. berangkat setor nyawa, pulang setor nama sama bini gue.
Me : Kalian nggak ada yang kasihan sama gue. Hiks.
Aku benar-benar bingung harus mengambil langkah apa sekarang. Niatnya mau kabur dari rumah sebagai bentuk berontakku pada Papa dan Mama, tapi ketika kubuka dompet hanya tersisa satu lembar uang berwarna hijau. Hijau dan cuma selembar.
Ini dompet apa kopiah?
kalau aku ambil uang lewat ATM pasti langsung bisa dilacak. Aku takut. Aku tidak pernah keluar rumah sendirian, apalagi pergi dalam jarak jauh. Ditambah tingkat kriminalitas di Jakarta makin hari makin menanjak. Mau menumpang di tempat para sahabatku, mereka pasti akan menolak karena sudah hapal dengan watak Papa.
Kubuka akun Skype milikku. Menatap lama akun Gibran yang sudah tidak aktif sejak enam bulan lalu. Sama sekali tidak ada kabar darinya. Lalu, harus bagaimana aku mencari solusi saat ini?
Rizka : kenapa nggak dicoba dulu sih, Nat?
Me : lo itu nggak ada bedanya sama nyokap gue, Riz.
Dinda : Siapa tau cocok, kan lu belum tahu gimana dia.
Me : Menurut ente sajalah, umur sudah 32 tahun, tumpukan tabungan sudah lebih dari cukup. Dan belum kawin. Lo bisa bayangkan gimana orangnya? Kali Tukul lebih ganteng dari dia.
Tiara : Atau dia ganteng tapi punyanya encer makanya nggak pede nikah.
Dinda : Wah! Laki tu makin tua makin bersantan ya gengs.
Gilang : Berarti punya Rivan encer?
Rivan : Kunyuuuuk!
Zhio : Datang saja dulu, lihat bagaimana orangnya. Kalau hati lu memang masih nggak sreg, bujuk lah bapak lu. Setegas-tegasnya seorang Bapak sama anak, kayaknya tetap nggak akan tega bikin anaknya susah dan sedih.
Rivan : Prok... Prok... *Tepuk Kaki*
---
Seharian ini aku hanya mengurung diri di dalam kamar. Biar kelihatan ngambeknya, siapa tahu ada salah satu orang rumah yang hati nuraninya terketuk dengan kediamanku. Akan tetapi, sampai pukul tujuh malam, masih belum ada satu orang pun yang mendatangi kamarku. Tidak ada yang mencari keberadaanku, atau berinisatif membawakan makanan, mungkin.
Sialan. Untung aku sudah stok banyak camilan di bawah rak buku, kalau tidak pasti aku sudah pingsan di kamar. Tak ada seorangpun yang mengetahui, lalu hanya tercium bau busuk dari dalam kamarku setelah mayatku membusuk seminggu kemudian.
Astaga. Pikiran macam apa itu?
Setelah berpikir lama, menimang-nimang keputusan apa yang harus kupilih, akhirnya aku memutuskan untuk keluar kamar dan turun menuju meja makan. Ya, namanya juga masih numpang sama orang tua. Mau minggat pun mikir-mikir lagi. Kalau stok duitnya nggak banyak, sama saja mengumpankan badan pada buaya kelaparan. Sekali lahap habis.
Aku duduk di meja makan. Semenjak adik lelakiku satu-satunya menjalani pendidikan militer di AKMIL, rumah menjadi sangat sepi. Jika dulu ada yang selalu bisa kuajak bercanda, saat ini, mau bercanda dengan siapa. Angin? Eits, meski sepi tapi jangan bandingin sama kuburan.
"Nat, besok siang jangan ke mana-mana. Ada temen Papa yang mau datang ke sini," sela Papa saat aku mengangkat centong nasi.
Papa sudah selesai dengan nasi di piringnya, sementara aku—yang baru saja bersiap memindahkan sedikit nasi ke dalam piring, terhenti karena ucapan Papa barusan. Sudah kuperkirakan, acara makan malam kali ini akan terasa hambar, pasti. Aku mengembuskan napas perlahan. Menahan kesal dalam diri seraya melanjutkan acaraku— mengambil lauk yang tersedia di meja makan.
"Loh, Nata harus hadir juga?" tanyaku polos. Kujamin Papa akan langsung mengeluarkan taringnya. "Beliau, kan, teman Papa. Yang mau ketemu pasti Papa. Yang mau ngobrol juga pasti kalian. Lalu, apa guna ada aku, Pa?"
"Mereka ke sini tujuannya mau ketemu sama kamu," jawab Papa lugas. "Papa juga sudah kadung janji sama Pakde Agus mau mengenalkan kamu sama anaknya."
"Perusahaan Papa nggak lagi dalam masa krisis, kan?"
"Sejak kapan Papamu punya perusahaan? Usaha ternak ayam itu maksudmu perusahaan?" Mama menjawab sambil mengulum senyum jenaka.
"Ya siapa tau, Mama dan Papa berniat menjodohkan aku karena butuh suntikan dana buat perusahaan Papa yang hampir bangkrut. Mereka memberikan pertolongan buat perusahaan Papa, terus aku harus mau dinikahkan dengan anaknya sebagai ganti."
Papa dan Mamaku tertawa. Entah hal apa yang mereka tertawakan. Berhubung bibirku sedang mager, jadi aku diam saja sambil menyelesaikan makan malamku.
"Besok kamu ketemu dulu sama nak Panji, kalau sudah kenal orangnya pasti kamu nggak bakal nolak nikah sama dia."
Bah. Pede sekali kau, Pa! Beliau nggak tahu apa pacarku di luar sana jiplakannya Herjunot Ali? Dan sekarang aku akan dikenalkan dengan om-om? Yang benar saja. Sudah pasti hal itu tidak akan berefek apapun padaku.
"Namanya siapa, Pa?" tanyaku.
"Panji. Panji Mangkubumi."
Lah, jangan katakan dia punya gelar Raden Kang Mas Panji Mangkubumi.
Bayangan lelaki memakai beskap, blangkon di kepala menutupi pitaknya, pipi ginuk-ginuk, kumis tebal milik Adam Suseno, kacamata, jangan lupakan dengan gigi emasnya menari-nari di piringku yang masih penuh.
Ya Tuhan, apa dosa hambamu yang cantik, baik hati, tidak sombong, rajin menolong, suka menabung ini hingga kau jodohkan aku dengan lelaki semacam itu. Ya Tuhan, tolong tip-ex nama Panji Mangkubumi lalu ganti dengan nama Gibran Wiratama. Tolong, Tuhan.
"Papa nggak mau dengar kamu bikin alasan apapun, Nat. Besok kamu harus ada di rumah. Nggak boleh pergi ke manapun. Harus sudah siap sewaktu nak Panji sekeluarga sampai ke mari." Papa memberikan peringatan tegas. Yang siapapun di rumah ini tak akan mampu menggoyahakannya. Semakin dilawan, akan semakin kuat juga bentengnya.
Jadi, aku mengalah. "Siap, kanjeng Papi."
Aku menghirup oksigen sebanyak mungkin, mengisi kerongkonganku lalu mengembuskan secara perlahan. Mengosongkan ruang dalam dada biar terasa lega. Namun malah pengap yang melesak memenuhi setiap rongganya. Nasi dalam piringku masih setengah, tapi nafsu makanku sudah berlarian entah ke mana.
Aku tak menyelesaikan makanku. Perutku sudah benar-benar sudah terasa penuh. Terlebih dengan peringatan Papa barusan.
Masuk ke dalam kamar, aku membongkar lemariku. Mencari kotak yang kuletakan di bagian bawah lemari. Tersembunyi di antara tumpukkan kardus-kardus sepatu. Kubuka kotak tersebut. Lalu terpampanglah fotoku mengenakan seragam putih abu-abu sedang dirangkul seorang lelaki. Gibran.
Ya. Gibran, kekasihku sejak bangku sekolah menengah atas yang harus terpisah karena dia melanjutkan kuliahnya di belahan bumi sana. Selama hampir enam tahun kami menjalani Long Distance Relationship, hanya dua kali dia pulang kampung. Selebihnya komuniksi kami hanya lewat sosial media. Dan selama enam bulan terakhir ini tak ada satupun kabar dari dia. Apakah masih hidup, atau sudah hilang ditelan paus?
Tanpa terasa satu tetes air mata menetes di pipiku, masih kupandang gambar cetak wajah kami dalam genggamanku. Bran, kamu di mana? Aku butuh kamu. Aku butuh pegangan. Ke mana kamu? Mana janjimu? Kamu bilang akan terus ada buat aku, kamu bilang akan selalu memberikan kabar padaku, tapi apa?
Kamu ingkar, Bran.
---
It's the day.
Sejak matahari masih malu-malu menampilkan indahnya, sudah terdengar komprengan di lantai bawah. Perpaduan melodi antara wajan dan spatula. Lalu, semilir wangi bawang merah yang digoreng. Menyemarakan kamarku yang memang sepi. Uuuh, nikmatnyo...
Aku masih bergelung dengan selimut tebal yang menutupi tubuhku hingga kepala. Mencari nyaman di antara pekatnya embun pagi hari yang sedang kulewati. Ketika aku hampir terlelap lagi, gedoran pintu kamar seolah menarikku kembali terjaga.
"Nata, ayo bangun. Udah siang ini, kamu mau bangun jam berapa?"
"Yes, madam. Ini sudah bangun," jawabku sedikit berteriak.
"Jangan yas-yes-yas-yes tapi malah makin kelelep di selimut. Ayo, buka pintunya!" Mama menggedor pintu kamarku, kali ini lebih keras.
Aku melangkahkan kaki menuruni ranjang dengan malas, mempertemukan telapak kakiku dengan dinginnya lantai yang menusuk saraf, dan membukakan pintu kamar.
Wajah Mama tampak kaget melihat penampakan anak gadisnya saat pintu terbuka,"ya ampun, Nata. Lihat rupamu di cermin sana. Anak gadis tapi jam segini masih awut-awutan begitu. Kalau sampai kacanya retak, Mama nggak heran."
"Hah? Apa sih, Ma?" Aku masih bingung dengan ucapan Mama barusan. Mungkin nyawaku belum terkumpul sepenuhnya. Masih setengah sadar.
"Kamu pasti begadang lagi semalam? Nonton korea-korean nggak jelas. Jam segini belum rapi, rambut masih acak-acakan, jigong masih nempel. Mau jadi apa kamu, Nat."
Aku mengangguk, "iya, semalem aku begadang." Aku tak bohong juga jika semalam aku memang begadang, bukan guna menonton drama korea tentunya. Semalam aku memikirkan cara supaya Panji-panji itu yang dengan sendirinya menolak perjodohan ini. Jadi, aku tak perlu membuat malu keluargaku di depan keluarga Panji. Namun, sampai pukul tiga pagi masih belum ada satu pun cara yang bisa kutemukan.
"Buruan mandi, terus siap-siap. Malah bengong saja. Dua jam lagi mereka berangkat dari Bekasi," terang Mama sebelum meninggalkan aku yang masih mengais kesadaran.
Dua jam lagi berangkat, sampai sini tiga jam kemudian itupun paling cepat. Masa disuruh mandi dan berdandan sekarang, ya luntur semua dong.
Tepat pukul dua siang, keluarga Panji tiba di rumahku. Hari ini aku mengenakan terusan batik selutut. Sebenarnya aku berniat memakai jeans dan tanktop saja, tetapi kuurungkan niatku. Alasannya karna aku tak mau membuat orang tuaku malu. Yah, setidaknya masih ada bagian dalam diriku yang waras.
Lelaki pertama yang kusalami, badannya berisi, badan proporsional bagi para pejabat. Buncit, tapi masih tetap gagah.Yang kedua, perempuan ayu yang tetap cantik diusia yang mulai senja. Budhe Tanti langsung memeluku erat.
"Ealah, Nduk. Saiki ayu tenan," ungkap beliau sambil menepuk pundakku. Aku hanya mampu tersenyum canggung.
"Terima kasih, Budhe."
Lelaki kedua. Tinggi, badannya cukup pas, batik panjang, rambut rapi, dan kacamata yang bertengger manis di hidungnya. Jangan bayangkan Satrya Danang Hadinata, ini jauh.
"Natalia?" suara bass itu, mendobrak gendang telingaku seperti mengeluarkan gema.
"Iya," jawabku sambil tersenyum kaku. Mengulurkan tangan padanya.
"Panji. Panji Mangkubumi," ucapnya membalas uluran tanganku. Menggenggamnya secara halus.
"Nggak berat, Om?" tanyaku reflek, membuat fokusnya makin mengarah padaku.
"Bumi kok dipangku, Om. Mana kuat," kelakarku bermaksud menjelaskan ucapanku sebelumnya. Sambil tertawa garing yang jelas kubuat-buat.
Lelaki di depanku ini masih diam. Tak merespons apa-apa selain menatap lekat ke arahku. Memindai diriku dari atas sampai bawah, membuatku risih. Jujur saja.
Dia memang tak setampan pacarku, jauh malah kalau disandingkan. Bagai langit dan bumi. Namun, lelaki ini tak terlihat jika sudah berumur 32 tahun. Pembawaannya memang dewasa, ditambah dengan muka lempeng persis jalan tol itu.
Sekali lihat, aku tahu dia tipe yang susah diajak bercanda.
"Kamu ternyata lebih cantik dilihat dari radius kurang dari lima puluh sentimeter."
Jantungku berdetak tak karuan mendengar ucapannya barusan. Ada rongga sesak yang entah kenapa. Tuhan, tolong.
TIGA
"Om, serius mau nikah sama gue?" tanyaku pada lelaki yang duduk di kursi sebelahku.
Saat ini kami sedang duduk di teras samping rumahku yang langsung menghadap kolam ikan milik Mama. Setelah tadi sempat berbincang sejenak dengan keluarganya, Pakde Agus menyuruh kami pindah, mengobrol berdua di halaman belakang yang tujuannya untuk lebih mendekatkan kami. Katanya begitu. Akan tetapi, aku sebenarnya enggan.
"Memang kenapa kamu bertanya demikian?" Dia bertanya balik dengan kedua mata yang masih menatap lurus ke depan, ke arah kolam ikan.
Aku menoleh, menghadap lelaki itu. Dia tidak jelek, lumayan good looking, walau masih jauh dari standarku. Namun, dengan asetnya yang berlimpah, aku jamin banyak wanita realistis di luar sana yang pasti mau untuk diajak mengarungi kehidupan rumah tangga dengan sukarela, tanpa harus mengikuti proses perjodohan semacam ini.
"Om nggak jelek-jelek amat, duit juga banyak, masa depan terjamin, tapi kok mau-maunya terjebak dalam proses begini. Padahal tinggal tunjuk dedek gemes yang baru lulus sekolah juga pasti mau."
"Begitu, ya? Saya tidak berfikiran demikian. Kamu sendiri bagaimana?"
Kan, koplok ni orang! Pertanyaan belum dijawab, malah balik nanya.
"Gue dipaksa, Om," jawabku jujur.
Panji menghela nafas, "kalau saya, saya iklas menjalani semua ini."
"Yaelah, Om. Masa pasrahan begini? Yang sedikit laki, kek. Walau cuma omongan basa basi nggak ada bukti nyata, tapi pasti mampu membuat hati para wanita bahagia."
Sudut bibirnya berkedut, aku yakin melihatnya. Dia menahan tawanya dengan menipiskan bibir. "Baiklah, saya dengan senang hati menjalani perjodohan ini."
Sompret!
"Tapi, punya Om nggak encer, kan?" tanyaku, refleks.
Dia menoleh kearahku. Sebuah garis senyum melintang di bibirnya. Kupikir dia akan memuntahkan segala bentuk caci maki, tapi ternyata dia malah tersenyum. "Kita bisa tes kesehatan nanti. Atau kamu mau ngecek sendiri, punya saya encer atau tidak?"
Dih, males banget.
"Gue tanya sekali lagi ya, Om." Aku mengusap jam dipergelangan tangan kiriku, mencoba menghalau segala bentuk gugup di dalam diriku. Kebiasaan yang selalu aku lakukan tiap kali berfikir serius, "Om serius mau nikah sama gue? Ini nikah Om, bukan mainan." tanyaku kembali.
Dia menatapku seolah sedang berpikir, aku balas menatapnya. Dipikir aku takut apa? Cuma saling adu tatap saja!
Dia mengangguk, mengiyakan pertanyaanku. Dadaku rasanya kembang kempis sesak. Tuhan, dia serius mau nikah sama aku? Kenapa semudah itu dia yakin mau menikahi seorang gadis.
"Om nggak niat nyari yang lebih bohay? Ya, gue memang seksi memesona sih, tapi gue masih piyik, Om."
Dia tersenyum kembali, kali ini sedikit lebih lebar. Menampilkan sedikit dari deretan giginya.
"Nggak," jawabnya singkat, padat, dan jelas.
Jantungku berdetak tak menentu, aku tahu ini bukan perasaan cinta pada pandangan pertama. Aku yakin. Amat sangat yakin. Aku menggelengkan kepala, mencari cara kembali. Otakku sudah kusut, kalau mikir mendadak begini.
"Tapi nikah sama gue itu syaratnya banyak, Om. Sanggup nggak?" tantangku, kembali menatap pijar hitam pekat lelaki itu di balik lensa kacamata.
Merasa diperhatikan. Panji menengok, ikut menatapku sama intens dengan yang kulakukan saat ini, "Sebut saja."
Anjir, aku jual dia beli. Oke, kita lihat, Om.
"Gue mau tas Prada ori."
"Iya."
"Sepasang sepatu Louboutin."
"Boleh."
"Jalan-jalan ke Maldives, seminggu penuh."
"Oke."
"Terus ke Korea, keliling ke setiap sudut kota tanpa terkecuali."
"Noted."
Argh, ini orang sehat apa obatnya sudah habis, sih?
"Gue mau, undangannya jangan pakai nama Panji Mangkubumi."
"Nggak!" jawabnya lantang, memutar kembali pandangannya pada kolam ikan.
Aku terdiam memikirkan apalagi yang bisa kuminta pada Panji.
"Jadi, hanya itu permintaanmu?"
Hanya? Dia bilang hanya? Coba sebutkan berapa nominal semua permintaanku barusan.
Aku menelan ludah. Tahu bahwa dia tak mungkin bercanda, tahu bahwa dia akan mengabulkan semua permintaanku. Tahu bahwa terdapat keseriusan dibalik ucapannya. Kurapatkan pahaku, berharap tubuhku tak semakin gemetar. Aku tak sanggup membayangkan akan menikah dengan lelaki seperti ini.
"Nanti kalau ada tambahan lagi, gue kasih tahu."
Dia mengangguk, "Lalu, kamu mau mas kawin apa?"
Mas Gibran Wiratama saja boleh?
"Seperangkat alat salat saja, cukup." Sudah tak ada lagi yang mampu kujawab.
---
Seminggu sudah berlalu setelah kedatangan Panji dan keluarga. Belum ada omongan lebih lanjut soal perjodohan tersebut. Mama dan Papa juga anteng saja. Bolehkan aku menyimpulkan kalau mereka membatalkan perjodohan itu?
Cowok waras mana yang mau menikah dengan gadis, sementara belum apa-apa sudah main todong saja? Belum jadi istri saja sudah bikin bangkrut, apalagi kalau sudah? Yes! Aku batal nikah. Kubuka pintu samping balkon, angin luar langsung berembus. Menerbangkan surai hitam milikku.
Malam ini langit Jakarta tampak cerah. Bintang berkelip-kelip, bulan berpijar sempurna. Tapi, bohong. Jakarta tetap butek, suasana hatiku saja yang sedang cerah.
Abege tua, tingkahmu semakin gila... kau menjerat semua wanita, wanita yang ada di depan mata...
Aku berjoget sambil bernyanyi-nyanyi, mengeksplorasi rasa bungahku. Kusambar botol handbody, memegangnya laiknya sebuah mikrofon. Kuhentakkan kakiku mengikuti irama lagu yang kudendangkan.
Ayo goyang dumang... biar hati senang... pikiranpun tenang... galau jadi hilang...
Menikah muda itu tak termasuk dalam daftar impianku, membayangkan aku berpadu dengan segala kerepotan menjadi istri seperti bencana alam. Belum lagi, banyak sekali berita di televisi menayangkan gosip soal perceraian, membuatku semakin betah sendiri selama ini dan menunggu kekasihku. Lelaki pertama yang menjanjikan akan menikahiku. Menjanjikan masa depan padaku. Menjanjikan sisa hidupnya bersamaku. Jadi, ketika Panji tak memberi jawaban apa-apa. Pantaskan aku merasa bahagia?
Mungkin aku terlalu bahagia, hingga ketika kutengokkan kepala, diriku terasa disiram air raksa. Mendadak kaku begitu menemukan keberadaan Papa dan Panji berdiri di tengah pintu. Mereka menatapku. Papa dengan wajah pucat pasi, sementara Panji mengepalkan tangan di depan mulutnya. Menahan senyum. Aku tahu dia ingin tertawa terbahak, aku yakin.
Sial. Sial.
Tolong tendang diriku ke Pluto. Leburkan aku dalam Samudra Antartika. Aku malu!
"Ehm...." Papa berdeham, menormalkan raut wajahnya. "Ganti bajumu, lalu ke bawah!"
Aku mengangguk. Papa meninggalkan kamarku terlebih dahulu, sementara Panji masih sempat-sempatnya tersenyum ke arahku sebelum berlalu menyusul Papa. Setelah pintu tertutup, aku mengembuskan napas kasar. Merutuki kebodohanku sendiri. Kupukul-pukulkan botol handbody ke keningku.
Bagaimana bisa aku terlihat hanya mengenakan celana setengah paha lusuh, kaos kebesaran yang kubeli seharga sepuluh ribu di Malioboro, lengkap dengan rambut singa? Tak ada anggun-anggunnya sama sekali.
Aku duduk di antara Papa dan Mama, sementara Panji juga datang bersama Ibu dan Bapaknya. Panji terlihat lebih muda lima tahun dengan kemeja flanel berwarna biru tua, celana jeans hitam, kacamata dengan frame hitam tebal. Aku masih memperhatikan Panji, dia sedikit menunduk. Sesekali membenarkan letak kacamatanya yang sedikit melorot.
Gerakan jari telunjuknya mendorong kacamata tersebut mengikuti lekuk hidungnya, entah kenapa membuat hatiku seperti disenggol bulu halus, geli berdesir aneh.
"Jadi, kedatangan kami hari ini ingin membicarakan kelanjutan perkenalan Panji dan Nata." Pakde Agus memulai pembicaraan.
Panji membuka mata, mengarahkan tatapannya padaku. Aku balas mentapnya seakan berucap 'apa lo, Om!' sambil menahan geli di hatiku.
Panji berdeham. "Saya, Panji Mangkubumi ingin meminta izin pada Om untuk menjalani hubungan serius dengan Nata, putri Om Arif," ucap Panji tegas, tanpa suara bergetar sama sekali. Tak ada keraguan di dalamnya, dan penuh dengan keyakinan.
Jedeeer!!!
Maksudnya apa?
Jantungku bertalu-talu, berdetak tak menentu. Jadi, sekarang ini aku sedang dilamar?
Dilamar?
Kuremas ujung gaunku di atas dengkul, menundukkan kepalaku.
"Terima kasih, Nak Panji. Kami terima niat baiknya. Namun, saya sebagai orang tua hanya bisa memasrahkan segalanya kepada Nata. Karna dia sendiri yang akan menjalani segalanya," balas papaku, tak kalah tegas.
Sementara aku? Badanku mendadak kaku. Patung pancoran saja jelas lebih lentur daripada aku.
"Bagaimana Nduk Nata?" Kali ini Budhe Tanti yang menanyai. Raut wajahnya jelas sekali terlihat mendamba.
Mataku menjelajah, menatap Pakde Agus lalu Budhe Tanti, beralih ke Papa, Mama, dan terakhir Panji. Kedua tangannya ditumpukan di atas dengkul. Seperti pesakitan menanti ketuk hakim.
Mama mengelus tanganku, menggenggamnya erat. Memberi separuh semangat padaku, memberi dukungan pada jawabku, menyalurkan segala bentuk keyakinan Mama. Mungkin tahu bentuk kebimbangan anak gadisnya. Aku ingin sekali menolak, akan tetapi aku tak mau membuat wajah orang tuaku malu.
Aku pun mengangguk.
"Alhamdulillah," ucap mereka serempak, kentara sekali buncah bahagia di sana.
Aku menghela napas, setidaknya aku memberi jawaban yang membahagiakan banyak orang. Saat kutatap Panji, dia mengangguk. Dari sorot matanya dia ingin mengucapkan terima kasih. Aku tetap diam, tak mengangguk atau memberikan kedipan barang sedetik pun. Kulakukan semua ini demi orang tuaku.
---
Rizka : Nata... Nata...
Kila : Nata de coco kemana ni? Dari kmren g nongol
Dinda : Nata Lagi ke barat mencari kitab suci.
Rizka : Uanjiiir...
Me : hmm...
Dinda : Nat, kenapa lo?
Me : Gue mau nikah 2 bln lagi.
Dinda : HAH?
Rizka : Alhamdulillah.
Zhio : serius??
Rivan : Cius miapah?
Dinda : Sama Panji2 itu?
Me : Y
Rizka : knp babe?
Me : G
Rizka : Si Nata minta dicekokin sambel, balesnya begitu banget.
Zhio : Nat, menikah itu menyempurnakan separuh agama, dijalani dengan iklas ya?
Rivan : Kultum bersama Ustad Zhio
Me : tapi gue ragu menjalani ini gaes
Rizka : Ragu knp? Yg realistis lah, Nat. Lo g mgkn nunggu Gibran terus, sementara bau kentutnya aja g kecium sama sekali.
Dinda : Buka mata cinta. Kalau lo nyari semodel Mas Langit, nggak akan ada di dunia nyata.
Kila : Ayah Radit juga nggak ada,
Tiara : Ayah Ello juga nggak ada,
Tiara : mereka adanya di dunia orange.
Me : doakan saja yang terbaik buat gue.
Rizka : Amin.
Dinda : Amin (2)
Kila : Amin (3)
Tiara : Amin (4)
Rivan : Barak Obama bilang amin.
Rivan : Jokowi bilang amin
Rivan : Rakyat Indonesia bilang amin.
Zhio : Amin. Alfatihah.
---
Bunyi ketukan pintu mengalihkan perhatianku dari layar ponsel. Papa membuka pintu, mendorongnya hingga terbuka lebar.
"Boleh Papa masuk?" tanya Papa padaku. Tumben-tumbenan minta izin dulu. Biasanya nyelonong masuk aja.
"Masuk saja, Pa."
Beliau duduk di pinggir kasur. Meneliti keadaanku sejenak, kemudian memajukan tangannya dan mengusap rambutku secara perlahan. Ingin sekali rasanya mengamuk di depan Papa. Mengeluarkan segala bentuk cacianku.
"Papa bilang, kita cuma disuruh kenalan aja. Kenapa sampai serius begini?"
"Mbak Nata sudah dewasa, pasti sudah mengerti soal begini, kan?"
"Pa, aku sama Panji itu nggak saling kenal sama sekali. Nggak saling cinta, lalu harus menikah. Papa mau ngumpanin Nata, ya?"
"Nggak ada sedikit pun Papa berpikiran begitu, kamu anak Papa. Papa rawat dari kecil, Papa didik sepenuh hati. Nggak mungkin Papa umpankan ke hal yang buruk. Mbak Nata, dengar Papa. Dulu Papa sama Mama juga nikah karna dijodohkan. Karna eyangmu tahu mana yang baik dan buruk buat Papa."
Papa membelai rambutku penuh sayang. Terus tanpa henti. Menyorotkan segala doa lewat tatapan matanya.
"Papa sayang sama kamu, Nat. Menikah itu tak harus dengan lelaki yang Mbak Nata inginkan. Tetapi sama orang yang memang tepat buat Mbak Nata jadikan imam. Jadikan kepala keluarga, yang akan memimpin Mbak Nata sama anak-anak kalian kelak. Papa sudah kenal Panji dari dulu, anaknya nggak neko-neko, anteng, dan sopan. Bisa mengimbangi kamu, Nat."
Papa menatapku, "apa yang membuat kamu ragu, Nat?"
Apa? Apa yang membuatku ragu. Entahlah.
Papa menepuk pundakku, seolah mengerti kediamanku. "Kamu yakinkan dulu hatinya, biar dilapangkan segalanya. Banyak berdoa supaya diberi yang terbaik oleh Sang Pencipta."
Papa mengecup puncak kepalaku sebelum berlalu. Seperti yang beliau lakukan dulu, ketika aku masih berseragam merah putih. Kebiasaan yang sudah tak kurasakan beberapa tahun ini dan sekarang amat sangat kurindukan.
Papaku itu orang yang tegas. Tiap aku mogok makan karena tak diberi uang untuk belanja, beliau akan berkata 'ya bagus, malah hemat beras' atau ketika aku merengek setelah ngambek enggan berbicara dengan Papa, beliau akan berkata 'udah buka puasa ngomongnya?' Kenangan yang dulu selalu membuatku menangis, sekarang ingin kuulangi kembali.
Bolehkah aku tetap jadi putri kecilmu, Pa? yang tak perlu tahu harga beras, harga sembako, harga cabai dan sebagainya. Cukup tidur dalam dekapanmu sambil didendangkan dongeng sebelum lelap. Bolehkah, Pa?
Entah efek PMS atau hatiku saja yang memang selembut kapas, tiba-tiba air mataku mengalir membasahi pipi. Kutatap bayang diriku yang terpantul dari kaca lemari, sudah sebesar ini ternyata aku. Waktu berjalan secepat ini hingga tak kusadari bahwa aku akan segera menikah.
Ting!
From : +62852727xxxxxx
Kamu mau konsep pernikahannya seperti apa?
-Panji
Panji Mangkubumi. Panji Mangkubumi. Aku terus saja merapalkan namanya, nama lelaki yang dengan yakinnya meminta aku menikah dengannya. Menjadi istrinya.
To : +62852727xxxxxx
Gue mau temanya disney, kaya Sandra Dewi itu, Om.
Haha... kutunjukkan siapa calon istrimu yang cantik jelita seperti princess Aurora ini.
Ting!
From : +62852727xxxxxx
Boleh. Di Dufan?
DI DUFAN? WHAT?!#$^&*(!☆€+{
EMPAT
Hari ini akhirnya tiba juga. Matahari sudah menyingsing, memberikan semangatnya yang berlimpah secara cuma-cuma pada semua mahkluk di bumi. Udara pagi yang menyejukan dengan pekatnya aroma embun. Memberikan perpaduan yang sempurna untuk hari yang harusnya kurayakan dengan sempurna juga. Namun, aku tak merasakan apapun. Hanya gugup.
Hari ini, aku akan mewisudakan diri dari didikan orang tuaku. Mulai hari ini aku tak akan bisa guling-gulingan dalam kasur, lalu tinggal turun dan sarapan. Ada tanggung jawab yang akan kupikul dengan peran baruku sebagai seorang istri. Dan, mulai hari ini pula semua ATM serta credit card pemberian Papaku akan diminta. Aku bagai anak tak diuntung yang ditendang keluar rumah bersama barang-barangku saja.
Aku galau. Mana sekarang ini akhir tahun pula. Diskon lagi banyak-banyaknya. Lalu, aku harus mengemis pada Panji. Bisa saja sebenarnya aku meminta padanya, karena memang sudah kewajibannya menafkahi diriku, tapi lelaki itu suka pamrih. Kalau mereka memberi, sukanya meminta imbalan.
Memikirkan kewajiban seorang istri membuatku memeluk dada. Ya ampun, aku baru ingat tentang ritual malam pertama yang sering sekali diumbar Dinda di grup. Tiba-tiba bulu kudukku meremang. Dulu ketika Dinda malam pertama, aku adalah orang paling semangat memberi wejangan ini itu, tips ini itu, sementara, sekarang aku malah merasa nyaliku langsung ciut.
Jujur saja, aku hanya anak kucing yang terjebak dalam tubuh singa. Luarnya saja terlihat seperti preman, tapi kalau didekati, aku hanyalah putri malu.
"Nat, lo cantik banget. Bikin pangling deh." Itu suara Dinda yang masuk ke kamarku bersama Kila.
Aku menatap refleksi diri lewat cermin di kamarku. Aku memang suka bersolek, tapi cukup yang simple saja , dan tak selengkap sekarang.
"Ya jelas, akika yang dendongin. Jelas juara bikin orang terpana tersepona," jawab lelaki setengah wanita yang sedang memegang bedak. Dia bernama Bety jika sedang memegang bedak, tapi ketika sedang memegang anaknya, dia dipanggil Budi. Bingung, kan? Sama.
Aku hanya tersenyum sumbang di antara tebalnya gugup yang melanda. Jujur saja, aku masih belum siap menjalani peranku setelah ini. Aku belum ada ilmu sama sekali, belum ada pengalaman, belum ada pegangan. Seperti orang buta yang dilepas di hutan. Tak tahu medan pijakan, tak tahu arah, tak tahu segalanya.
Terlepas dari keenggananku dinikahkan dengan Panji.
"Yang tenang dong, say. Dari tadi yey keringetan mulu, mana sebiji jagung gini." Bety menegurku kembali.
"Masih bisa kabur nggak sih?" tanyaku pada Dinda dan Kila yang duduk di ranjangku.
"Jangan ngawur deh lo!" sentak Dinda.
"Jangan gila ya, Nat. Panji dan keluarganya sudah di sini semua. Lo kenapa sih, Beb? Nikah tinggal nikah, Beb."
Karena kalian tak menjadi aku. "Tapi gue takut."
"Nggak ada yang perlu ditakutkan, lo cukup menjalani saja, dan semua akan baik-baik saja."
"Inget aja habis lahiran nanti akan ada berapa banyak aset warisan yang bisa lo balik nama buat anak lo." Kila tersenyum menyeringai.
"Parah ya lo, Kil." Dinda berucap sambil menggeplak kepala temanku itu.
"Kalau Nata mau kabur, gue siap gantiin kok." Kila berujar, tersenyum nakal.
Aku tetap saja diam.
"Mana bisa dudul, si Panji nyebutnya Natalia, bukan Shakila. Otak lo ini emang kadang-kadang."
"Kalau mau punya anak harus bikin ya?" tanyaku polos.
"Ya jelaslah, Nata. Lo kata anak tinggal nyetak!"
Obrolan kami terhenti karena suara dari luar sana. Pintuku terbuka kembali, Mama masuk dengan kebaya cantik. Duduk di sebelahku, tanpa kata apapun beliau menggengam erat tanganku. Seolah mengerti kegundahan hatiku.
"Saya terima nikah dan kawinnya Natalia Laura Darmawangsa binti Arif Darmawangsa dengan mas kawin tersebut, tunai!"
"Saah."
"Alhamdulillah."
Tak ada kelegaan yang membuncah, tak ada sesak pula. Semua terasa biasa.
"Alhamdulillah, ayo keluar, Nat. Kita tunjukkan pesona pengantin kita ini ke khalayak umum."
Aku diapit Dinda dan Kila keluar dari kamar, menuju ruang tengah tempat ijab qobul berlangsung. Di sana, duduk lelaki yang sama dengan dua bulan lalu datang melamarkan. Dia Panji, suamiku.
---
Dinda : Nat, jangan lupa pakai lingeri merah biar Panji kejang-kejang.
Rivan : kok kamu dulu nggak pakai sih, yang?
Dinda : apa deh Rivan.
Zhio : ahaydeeeh, ketahuan.
Rivan : kamu pakai gamis juga aku langsung on fire kok yang.
Dinda : Rivan ya, omongannya.
Kila : http:/cukacukasayah.com/7-posisi-wenak-malam-pertama
Kila : http:/senggolbacok.co.id/10-posisi-mudah-lepas-perawan
Tiara : Shakila Indira Listy, sumpah ya lo niat banget.
Kila : oh jelaaaas
Zhio : anjiiir ke klik,
Kila : Anjir anjir tapi dinikmati,
Rivan : jangan kedip yo,
Zhio : pasti
Dinda : Nata mana ni Nata, nggak nongol.
Zhio : dia lagi mandi, pakai wewangian.
Tiara : Hati-hati ya, Nat. Jangan gasrak grusuk. Alon-alon sek penting kelakon.
Kila : jangan lupa sholat dua rakaat, sholat pengantin dulu ya, babe.
Zhio : expert amat si lo, Kil.
Kila : wo ya jelaaas, teori 99,999999% sudah mempuni.
Dinda : sayang mau praktek, nggak ada temannya.
Kila : Siyaaaaul
Dinda : kebelet kawin tapi nggak ada yang ngajak nikah, ucuk ucuk
Gilang : makanya nyewa gedung buat nikah, sekalian sama mempelainya.
Kila : gue g mau yg nyewa, maunya yg kontan.
Dinda : ya disewa seumur hidup dong cinta
Kila : di mana adanya?
Tiara : di wattpad. Hahaha
Me : Berisik!
Tiara : wedeeew manten anyar sekarang kalau ngechat berisik mulu.
Dinda : lanjutkan babe, jgn gubris chat hape.
Aku menutup ponselku dan menaruhnya di nakas samping ranjang. Obrolan absurd dari para temanku memang sedikit banyak mengurangi kegugupanku malam ini. Aku membenamkan tubuhku dalam selimut hingga tak ada satu helai rambut pun yang terlihat. Panji masih di bawah, mengobrol dengan keluarga besarku. Sementara aku enggan turun lagi ke bawah setelah membersihkan kerempongan yang melekat dalam tubuhku. Badanku sudah teramat lelah jika harus berpura-pura melebarkan bibir agar semua orang berfikir aku bahagia.
Aku sudah hampir lelap dalam tidurku ketika pintu kamarku terbuka. Aku semakin mengeratkan peganganku pada selimut yang menutupiku. Makin merapatkan paha dan meringkukan badan. Kurasakan sisi di belakangku melesak tertimpa bobot badan Panji. Harus kuakui, bau badan dari Panji membuatku rileks dan nyaman. Sebuah tangan bertengger di lenganku yang tertutup selimut.
"Pertama-tama itu dia bakal usap-usap kedua lengan, naik turun, ngasih kode sama rangsangan"
Aku teringat presentasi si Kila saat Dinda bercerita soal malam pertama.
"Lalu, doi bakal manggil nama kita dengan suara pelan serak, menahan gairah."
Begitu lanjutnya.
Lengan di pundakku sedikit bergerak, mengelus pelan. "Nat..." suara Panji terdengar parau di telingaku.
Pingsan, Nat. Ayo pingsan, Nat.
Lenganku seperti ditarik, pegangan dalam selimutku semakin erat. Benteng pertahanku terakhir.
"Nat, aku mau..."
"Setop, Om!"
Aku membuka selimut. Namun, sial sungguh sial. Karena aku terlalu fokus pada sentuhan Panji. Aku sampai lupa kalau badanku sudah berada di ujung ranjang. Dan ketika aku terbangun yang terjadi adalah....
Aku terjatuh ke lantai. Pantatku sukses landing di keramik keras dan dingin ini.
"Aduh! Sakit tau, Om," keluhku. Sungguh sakit sekali, aku berharap asetku tak tepos dalam sekali jatuh.
Aku menatap nyalang pada lelaki yang sedang duduk di tengah ranjang. Kaos putih, dan celana hitam pendek. Masih dengan kacamatanya, juga sedang menatapku. Sesekali membersit hidungnya yang aku tahu tak terasa gatal sama sekali. Dia menyamarkan tawanya. Sialan. Belum apa-apa sudah jadi bahan ketawaan.
"Kamu ngapain?"
Aku berdiri, "Om tu yang ngapain, pegang-pegang gue."
Dia menyugar rambutnya, gerakan yang entah kenapa seperti slow motion. Aku menelan ludahku sendiri, membasahi kerongkonganku. Kenapa om-om satu ini kelihatan hawt sekali di suasana remang kamarku begini.
"Saya cuma mau, minta tolong kamu supaya ambilkan ponsel saya di nakas."
Kompret, sompret, curut, cacing, bangkong. Ini salah kaprah ajaran Shakila Indira Listy. Dudul sekali diriku ini yang begitu mudahnya percaya dengan titisan dewi ihoy-ihoy itu. Dia saja masih bau kencur, masih sengkring-sengkring kalau di toel lelaki.
"Kamu..."
"Apa!"
"Kamu nggak gerah?"
Gerah apaan? Gerah mau guyur elu, Om.
"Nggak!"
"Saya gerah,"
Bodo amat, aku memeluk tanganku di dada. Kalau sampai satu tangannya menempel padaku, patah tulang. Dua tangan menempel, rumah sakit. Dua tangan tambah pusakanya menempel padaku, langsung pusara Om. Jangan baen-baen sama aku.
"Kata Mama, AC di kamar kamu belum di bersihkan, tapi kenapa malam ini kamu memakai pakaian seperti itu. Memang nggak gerah?"
Aku meneliti diriku dari bawah, celana training putih panjang hingga menyentuh lantai, hoodie kebesaran yang membuat tanganku saja tak terlihat. Panji tertawa, aku terpaku. Sejak dua bulan lalu baru sekarang aku menatap lelaki ini tertawa. Tawanya yang tanpa beban membuat matanya menyipit di balik lensa kacamata, membuat kacamatanya naik turun.
Ternyata jika diperhatikan lebih seksama, Panji ini memang menarik.
"Begitu bilangnya mau ngecek punya saya encer apa enggak!"
Jleb! Leburkan aku dalam lautan magma... hilangkan aku dari sini.
Panji rebahan dengan kedua tangan dijadikan bantal, sementara aku masih berdiri kaku di samping ranjang. Pantatku masih lumayan nyut-nyutan.
"Ternyata masih bayi singa," ejeknya.
"Enak saja, Om. Jangan ngremehin gue, ya!"
"Tidur sini, kalau bukan bayi singa."
Tidur ini merem lalu lelap dalam mimpikan? Bukan tidur lalu kuda-kudaan, kan?
"Nggak akan terjadi sesuatu yang ada dalam otakmu itu, tidur saja dan merem. Memangnya kamu nggak capek? Saya bahkan yakin, pantatmu pasti sakit."
"Nggak sakit,"
"Terserah, Nat."
Aku ikut merebahkan badanku di sampingnya, sedikit menjauh. Memberi jarak. Jujur saja, semenjak Panji masuk ke dalam kamar, jantungku berdetak tak menentu. Namun aku masih tak mengerti ini detak jantung karena apa?
Karena takutkah? Seperti ketika kita menemukan polisi tilang di jalan. Atau karena jatuh cintakah? Seperti yang sering kubaca di novel-novel.
Aku tak mau memikirkannya sekarang. Kulihat dari sudut mataku Panji melepas kacamatanya, meletakkan di nakas, dan memosisikan badannya seperti semula.
Aku memiringkan badanku, membelakangi dirinya. "Awas ya, Om kalau lo ngorok, gue sumpel pakai bantal."
"Sumpel pakai bibirmu lebih berpahala, Nat."
Sialaaan!
Sudah berapa banyak aku menyebut kata sialan seharian ini?
LIMA
Bagiku, melek setelah salat subuh itu hukumnya haram. Tapi berbeda dengan Panji. Iya, Panji yang kemarin SAH menjadi suamiku, baginya bangun setelah salat Subuh itu hukumnya Fardu 'ain. Akan berbuah dosa jika tidak dilaksanakan. Akan diazab neraka jika disepelekan.
And here I am... berdiri di depan pancoran air dengan tangan berlumur busa yang menutupi keanggunan kuku luthu-luthu batok milikku yang berwarna-warni seperti pelangi di pagi hari. Ngawur. Ah, aku sedang nyupir alias nyuci piring. Akhirnya, dalam sejarahnya aku mencuci piring juga. Walau kuping rasanya kebas karena sedari tadi nyonya besar selalu berkomentar 'itu di sebelah sana masih ada busanya', 'ini masih bau banget sabunnya. Bilas lagi!'
Siap Kanjeng Mami.
"Wiiiih, seksi kali pembantu baru kita, Ma." Suara seorang lelaki menginterupsi acara membilas piring yang sedang kulakukan sekarang.
Aku memutar badan, menyipratkan air pada adikku yang duduk di meja makan. "Gue kepret, ilang lo."
"Widiiiw, manten anyar mah tenaganya greeeng terus," godanya.
Kampret!
"Akibat pergulatan kalian yang berskala sepuluh skala richter itu, hampir runtuh atap kamar gue semalem. Malam pertama itu yang kalem dululah, malu-malu kucing gitu, nggak langsung akrobat kaya di sirkus."
Astagaaa.... Ya Tuhan, kenapa Kau lepehkan manusia kampret ini dari rahim Mama dan berstatus sebagai adikku yang lemah lembut ini?
"Huuus! Mending kamu bawa itu makanan ke meja makan." Begitu titah Mama pada Fikri, adikku yang bermulut biadab tadi.
"Kamu dari tadi baru dapet lima piring?" tanya Mama, melongokkan kepalanya dari samping leherku.
"Habis dari tadi masih bau sabun, jadi aku bilas terus."
Beliau berdecak. Kecewa. "Astaga, Nata. Nyuci lima piring saja bisa habis air sesumur kalau begitu caranya. Nanti kalau kamu ikut suamimu mau bagaimana?
DEG. Aku langsung berasa diguyur air satu kolam ikan mendengar pertanyaan mamaku. Ya ampun, aku melupakan sesuatu. Hakikat seorang istri adalah mengikuti suaminya ke mana saja. Itu artinya aku harus ikut Panji?
"Nata di sini aja ya sama Mama?" rengekku memelas.
Walau anakmu ini bagai benalu yang setiap hari ingin kau basmi, bagai jerawat yang tiap saat gemas ingin dipites, tapi aku tetap anakmu. Tolong, jangan usir anakmu ini Mama... Tolonglah, Ma....
"Kamu sekarang sudah jadi tanggung jawab Panji. Sudah seharusnya kamu ikut dia. Panji yang harus kamu hormati, yang harus kamu utamakan kebutuhannya, Nat." Mama memberikan penjelasan.
Langsung lemas kaki akika dengan jawaban mamake. Serius, gimana kalau Panji ternyata psiko? Gimana kalau Panji ternyata punya Red Room kayak milik Mr. Grey? Aku bahkan belum tahu menahu apapun soal Panji.
Gimana?
"Udah lanjutin nyuci piringnya nanti lagi, lelet banget kamu kaya siput gitu. Mending kamu sarapan dulu, sudah pada kumpul yang lainnya."
Seperti kerbau yang dicucuk hidungnya, aku menurut saja. Duduk di sebelah Panji yang pagi ini mengenakan kaos berkerah berwarna biru dongker, lengkap dengan garis-garis kecil di bagian depan. Celana hitam selutut. Grrr... segar sekali. Sementara rambutku kumpel bekas cipratan air dari keran. Padahal, biasanya aku selalu tampil totalitas. Tak boleh ada cacat satu pun.
Aku sudah semangat 45 mengambil nasi, memberi asupan pada cacing yang sudah goyang ngebor di perut—apalagi setelah perjuangan berat membunuh segala kuman dari piring-piring tadi. Namun, baru kupegang centong nasi, tanganku sudah dipukul Mama.
Apalagi sih, Ma?
"Ambilkan nasi buat suamimu dulu." Begitu titahnya.
Lah, Panji aja punya tangan sendiri masa masih perlu diambilkan? Apa perlu sekalian disuapin? Manja banget laiknya anak kecil.
"Ayo ambilkan!" kembali Mama berseru. Memberi perintah.
Papa yang ikut menatapku juga ikut menganggukan kepala.
Dengan terpaksa, aku mengambil piring milik Panji. Kuisi dengan dua centong nasi. Sayuran dan lauknya pun kutumpahkan semua dalam piringnya. Ini nasi apa Bukit Pariangan? HAHAHA.
Kudengar Panji menghela napas perlahan. Kasihan juga sebenarnya, tapi apa boleh buat nasi, sudah terlanjur tumplek blek di piring dia.
"Dimaklumi ya, Nji. Nata memang dari kecil nggak pernah pisah dari ketek Mamanya. Apa-apa sudah disediakan, tinggal pakai, tinggal suruh. Jadinya kolokan gini." Papa ambil suara pertama.
"Nata memang sedikit berontak kalau di kasih tahu. Tapi kamu harus tetap ngarahin dia ya, Le. Kalau Natanya sudah salah jalan tolong diluruskan. Kami percayakan Nata sama kamu." Mamaku ambil suara dua. Beliau menatap Panji penuh permohonan.
"Mbak Nata kalau bangun pagi susah, Bang. Makanya sedia air tiap pagi, lebih afdol lagi kalau dibacakan ayat Kursi. Pasti langsung siap grak." Fikri penyumbang suara ketiga.
Biadaaab... nggak ada yang lebih bikin terharu gitu?
"Mulut lo beneran minta dicabein!" geramku, tak terima dengan perkataan Fikri barusan.
Ya memang sih, aku susah bangun. Tapi, tadi pagi begitu lenganku bersentuhan dengan lengan Panji, efeknya lebih dahsyat daripada ayat kursi ataupun surat yasin. Langsung bangun tanpa ngulet terlebih dahulu.
"Cabe-cabean maksud lo? Berapa kilo?"
"Fikri!" Papa bersuara. Tegas, hening kemudian menyeruak di meja makan.
Mpoooos, Paduka Raja langsung menyemburkan larva panas. Fikri sendiri langsung kicep, lemah tak berdaya.
Fikri ini adik lelakiku satu-satunya, beda empat tahun di bawahku yang sekarang sedang mengenyam bangku Akademi Militer—mengikuti jejak Papaku dulu. Dia tinggi, kulitnya tetap kuning langsat walau kujamin hampir tiap hari dia dijemur layaknya ikan teri di bawah sinar matahari, dan kepala plontos. Mungkin kutu jalan pun, kelihatan.
"Jadi, kapan kalian mau pindah?" tanya Papa, mengganti topik lebih normal.
Kualihkan pandanganku ke arah Panji, dia masih mengunyah makannya. Mulutnya tertutup rapat, tetapi gerakan rahangnya saat mengunyah terlihat menggairahkan, apalagi jakunnya yang ikut turun tiap kali ia menelan makanan. Duh, Gusti... ini musibah atau anugrah?
"InshaAllah besok, Pa." Begitu jawabnya, membuatku membisu.
Besok itu setelah hari ini kan?
---
Aku memang sengaja bertanya sama Dinda. Ibarat balapan Moto GP. Dinda ini berada di barisan paling depan kalau soal urusan undang-undang pernikahan. Berbanding terbalik dengan Kila, bertanya pada dia sama saja mencari jalan sesat menyesatkan.
Me : Din, lo ikut Rivan?
Dinda : Jelaslah, cinta.
Me : bisa nggak sih, kita tetap dtmpat orang tua?
Dinda : bisa aja, kalau misal lu anak bungsu dan g ada yg rawat ortu. Lo boleh ikut ortu. Mending di rembuk dulu sama Panji.
Dinda : btw gimana semalem?
Dinda : saking asyiknya sampai nggak nongol di grup.
Andai kau tahu yang terjadi sesungguhnya, Din. Semalam tak ada adegan mengharu biru seperti yang selalu kubaca di Wattpad, bukan pula yang sering jadi bahan obrolan di grup soal malam pertama.
Bukan itu semua.
Baru akan kubalas chat dari Dinda, pintu kamar terbuka. Panji masuk ke dalam kamar dan duduk di sampingku, mengarahkan tatapannya kepadaku.
Aku mendengus sebal.
"Ada yang mau kamu bicarakan?" tanya Panji karena melihatku hanya diam.
Iya, ada. Banyak.
"Utarakan aja yang jadi beban pikiranmu, nanti saya jawab."
"Kok lu nggak ada ngomong dulu sama gue, Om, kalau kita mau pindah besok?" Permulaan yang manis dengan suara bernada satu oktaf. "Kenapa nggak nanya dulu apa gue setuju buat pindah apa enggak? Dan kalaupun gue setuju pindah, kenapa nggak nanya dulu kapannya gue bisa pindah dari sini?"
Mama pernah bilang dia punya usaha di Solo, kalau sampai aku diajak kesana bagaimana?
"Gue bahkan nggak tahu kita mau pindah ke mana. Kalau jauh, gue harus salam perpisahan dulu sama sanak keluarga, sama sahabat-sahabat gue. Nggak bisa langsung lari kaya kucing garong habis ngawinin betinanya. Tanam benih terus ditinggal pergi." Kali ini sudah oktaf nada suaraku. Oke, lebay. "Memangnya Om fikir kalau pindah besok kita nggak—"
CUP!
Belum selesai aku menumpah ruahkan segala amarahku, Panji sudah lebih dulu menempelkan bibirnya padaku. Pada bibirku lebih tepatnya. Cuma sekilas, tapi efeknya luar biasa sekali.
"Maaf, tapi kita akan tetap pindah. Besok. Dan nggak ada tawar menawar, Nata. Kamu istriku sekarang," jawab Panji santai. "Kamu nggak perlu takut nggak bisa lagi temu kangen sama sanak saudara dan sahabat-sahabatmu, kita pindah lima rumah ke kanan samping rumah Papa."
Aku diam membeku seperti pinguin yang terkubur dalam suhu dibawah nol derajat celsius.
Bukan karena jawaban Panji barusan. Tapi karena apa yang dilakukannya barusan. Kecupan singkat tadi. Cuma nempel, tapi rasanya bibirku langsung kesemutan. Kaku. Sengkring-sengkring nggak jelas.
Bibirku bukan bibir suci Dewi Kwan-in. Aku sudah pernah berciuman dengan Gibran jaman SMA. Pergulatan benda empuk itu, sudah pernah. Sembur-semburan air liur pun sudah pernah kualami. Hisap-hisapan daging, aku pernah juga. Gigit-gigitan doang, jelas pernah itu mah level cetek.
Serius, aku tak bohong. Kalau sampai aku berbohong, besok aku kawin lagi sama CEO.
Tapi ini dicium Panji yang statusnya cuma nempel tak ada lima detik. Kenapa efeknya membuat aku seperti anak baru beger yang direnggut kesuciannya. Awalnya kaget, nolak, sakit, terus malu-malu minta grepe-grepe.
Grrrr.... minta diguyur benar otakku ini.
"Kenapa? Mau lagi?" ucap Panji. Nada biacaranya masih datar seolah tak terjadi apapun pada kami.
Kutatap Panji yang juga menatap ke arahku, sebelah bibirnya terangkat membetuk seringaian. Kutembus pijar hitam pekat miliknya yang tertutup di balik lensa. Kali ini lebih lama dan lebih dalam.
Bagaimana rasanya akrobat bibir dengan kacamata sebagai penghias?
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
