7-8 (GRATIS SELAMA ON GOING) Titik Balik

1
0
Deskripsi

Tujuh


 

Sebenarnya … Salma hanya butuh ber-sa-bar sedikit lagi. Menunggu waktunya tiba. Saat dia akhirnya bersanding dengan Ishak, lelaki yang selama setahun terakhir selalu mewarnai hari-harinya. Ishak berjanji melamarnya seusai kelulusannya dari perguruan tinggi. Tahun depan. Pas sekali dengan Salma yang tahun depan juga akan lulus dari tingkat Muallimat—tingkat paling akhir di pesantren ini. Ya, setingkat di atas al madrasah al aly yang setara SMA.


 

Ishak itu lelaki pertama yang benar-benar Salma tempatkan di ruang khusus paling istimewa di hatinya. Ya, benar, Salma sengaja menempatkan, bukannya lelaki itu datang begitu saja. Sama seperti yang ia katakan pada Husna tempo hari bahwa Ishak memenuhi semua kriteria untuk menjadi menantu Kiai Mahrus. Kafa'ah pada keduanya sudah lengkap. 


 

Salma sudah memikirkan semua risiko dan kemungkinan ke depan bagi hubungan mereka. Jika hubungan mereka tak memungkinkan, jelas ia tak akan sedikit pun memberi celah. Seperti pada lelaki-lelaki lain yang pernah datang padanya. Mana ada Salma membuka hati, bahkan jika sang lelaki manis dan baik sekali pun. Sebab, ia tak mau bermain-main dengan hatinya.


 

Salma memang dikenal bandel dan iseng. Dia juga banyak ingin tahu terhadap hal-hal baru. Tapi, semua itu efek kecerdasan dan kreativitasnya. Karenanya, setiap keisengan dan kebandelannya, sebenarnya tidak ada yang benar-benar fatal. Ia gadis yang bisa menjaga diri. Hubungannya dengan Ishak hanya sekitar diskusi dan membicarakan hobi mereka. Jika ada sedikit rayuan dan perihal manisnya asmara, semua masih di batas relatif wajar, seperti sapaan, "Pagi SweetBee." yang diikuti emotikon lebah setiap Salma bangun Subuh selama setahun terakhir. Alih-alih bunga, Ishak lebih suka lebah. 


 

"Bunga bisa layu, tapi lebah adalah penghasil madu. Seperti kamu yang selalu memberi rasa manis pada hidupku," ujar Ishak kala Salma menanyakan makna lebah padanya.


 

Hanya saja … secara pandangan kesopanan dan etika keluarga agamis, yang telah Salma lakukan merupakan aib dan kesalahan besar. Karenanya, ia berusaha bermain cantik. Ia tak pernah berusaha bertemu Ishak sembarangan. Pun tak mau menyepi berdua saja. 


 

Perkenalan mereka pertama kali terjadi di dunia maya. Kala itu, keduanya acap kali bertemu dan saling berbalas komentar di laman media sosial sebuah komunitas penggemar buku. Lantas, mereka mulai saling mengikuti, kemudian berlanjut pada diskusi secara lebih pribadi. Obrolan mereka hampir selalu seputar buku. Salma memang mengagumi Ishak sejak awal. Tapi, ia tetap membangun batasan terhadap perasaannya. 


 

Tapi suatu hari … Ishak mengunggah sebuah story yang memperlihatkan kegiatannya bersama sang ayah. Salma terkejut dan mulai mencari tahu lebih dalam tentang siapa Ishak. Sejak saat itu, kekaguman Salma semakin besar. Ia bahkan mulai membuka pintu hatinya. Hingga di suatu kali … Ishak menyatakan perasaannya dan keinginan untuk bisa bersanding dengannya.


 

Sejak saat itu, ruang khusus yang sebelumnya kosong, seketika terisi oleh kehadiran Ishak. Dan Salma berjanji, ia tak akan pernah membiarkan siapa pun menempatinya selain sang kekasih hati idaman.


 

"Bukuku mau launching minggu depan, SweetBee," ujar Ishak segera setelah saling bertukar salam melalui sambungan telepon.


 

Salma yang awalnya duduk bersandar pada tembok dan sibuk dengan kitabnya, seketika menegakkan punggung seraya membenahi posisi wireless earphone di telinganya. Sebenarnya, ia tengah belajar sendiri di balkon yang tersambung dengan ruang keluarga. Ini salah satu yang selalu ia lakukan jika Husna tak bisa menemani di kamar. 


 

"Launching? Jadi penerbit yang itu? Di mana nanti acara perdananya?" Salma berusaha mengatur volume suaranya sekecil mungkin. Ada Bu Nyai Saudah tengah duduk di ruang keluarga sembari menonton berita petang.


 

"Jadi. Nanti launchingnya di kafe deket kampus," ujar Ishak dengan nada suara yang terasa penuh kebahagiaan dan kebanggaan.


 

"Jam berapa?" tanya Salma antusias.


 

"Sekitar jam sepuluh pagi." Ishak menjeda kalimatnya beberapa saat. "Ehm … tapi kamu nggak mungkin bisa dateng, ya?" lanjutnya kemudian dengan nada suara rendah di kalimat terakhir.


 

"Akan aku usahain, deh, Bi," jawab Salma seraya kembali sedikit melongok melalui tembok ke arah sang ibu. Sepertinya, beliau tak curiga terhadap kegiatan Salma.


 

Angin malam berembus pelan menerpa hijab kaosnya. Syukurlah malam ini udara bersahabat. Panasnya siang sudah pergi tak bersisa. Langit pun tampak cerah dengan gemintang bertaburan.


 

"That's impossible, SweetBee. Kamu nggak bakalan diizinin. Kita VC aja, ya? Soalnya … bakal ada ucapan khusus buat kamu. Aku pingin banget kamu tahu itu."


 

Meleleh rasanya hati Salma mendengar apa yang diucapkan sang kekasih.


 

"Selain itu …" lanjut Ishak, "ada puisi khusus yang kutulis buat kamu. Nanti, itu yang akan kubacakan di depan pengunjung."


 

Ishak itu romantis, manis, dan perhatian. Bagi Salma, dia merupakan jenis lelaki langka. Memang, sih, stok lelaki semacam itu mungkin saja masih banyak. Tapi yang memiliki kriteria kafaah seperti Ishak, masih langka. 


 

Para lelaki di sekitar Salma, kebanyakan kaku, seperti keripik singkong yang baru digoreng. Kriuk! Jangankan romantis, berusaha berbaik-baik dan akrab dengan istri saja jarang. Ayahnya, kedua kakak lelakinya, bahkan iparnya—suami kakak perempuannya—pun sepertinya sama. Kaku dan seolah-olah menjaga jarak dengan istri. Lihat saja ibu Salma, jarang menonton bersama sang ayah. Kiai Mahrus terlalu sibuk dengan kitab-kitab dan urusan pesantren. 


 

Karenanya, meski mengiakan usul Ishak untuk melakukan video call saat acara launching buku, Salma sebenarnya menyimpan rencana lain. Dia harus datang ke acara itu. Ini acara penting bagi lelaki yang saat ini begitu berharga dalam hidupnya.


 

Keduanya masih saja asyik mengobrol. Dan kini, setelah hampir tiga puluh menit, obrolan itu sudah tak membahas perihal buku lagi. Sudah melebar ke yang lain. Hingga, panggilan Bu Nyai Saudah menghentikan percakapan mereka.


 

"Dalem, Umma?" Salma melongok dari balik tembok.


 

"Coba carikan saluran ngajinya Gus Baha'. Umma dari tadi nyari, kok, nggak dapet-dapet." Bu Nyai memencet-mencet tombol remote ke arah smart TV 75 inch di hadapannya. Rupanya, acara berita petang telah usai. 


 

"Inggih," ujar Salma seraya beranjak, "Udah ya, Bi. Aku dipanggil Umma."


 

"See ya, SweetBee. Besok aku telpon lagi. Love You."


 

Dan telepon pun terputus saat Salma tengah berjalan ke arah ibunya. Ia hanya menjawab dengan kata Too lirih dan tersenyum samar agar Bu Nyai Saudah tidak curiga.


 

Segera, Salma duduk di samping sang ibu. Ia membantu Bu Nyai Saudah mencari kanal Youtube yang biasa mengunggah rekaman pengajian Gus Baha, pendakwah favorit Bu Nyai.


 

Usai kanal itu terbuka, Salma duduk di samping sang ibu karena diminta menemaninya. 


 

"Kamu beneran pingin kuliah nanti, Nduk?"  tanya Bu Nyai seraya menatap sang putri dengan hangat.


 

"Sebenernya inggih, Umma. Tapi, Abuya, kan, mboten kasih izin." Salma tersenyum manis. Kalimatnya pun ia ucapkan dengan hati-hati dan bernada lembut. Ia memang sangat berhati-hati jika mengobrol dengan Bu Nyai Saudah. Penyakit diabetes yang beliau derita, menjadi salah satu alasannya. Ya, Bu Nyai harus benar-benar bisa menjaga diri dari stress selain juga menjaga makanan.


 

"Ya, itu, kan, kalau kamu belum nikah. Kalau kamu sudah nikah, kamu bisa kuliah, kan?"


 

Seketika, Salma merasa senang. "Benar, Umma?"


 

Bu Nyai mengangguk seraya tersenyum. "Abuya itu bukan ndak suka anaknya kuliah. Tapi, Abuya ingin anak perempuan yang dia sayangi ini ada yang menjaga." Tepukan lembut dan usapan ibu jari Bu Nyai Saudah menghangatkan hati Salma. 


 

Ibunya memang perempuan yang paling ia sayangi. Perempuan lembut dan penyayang. Salma tidak ingin kehilangan kasih sayang dan kelembutan sang Ibu.

Delapan

"Kita gantian aja, ya? Biar nggak repot, sampean nunggu di sini." Salma tiba-tiba menyerahkan tas selempangnya pada Husna di depan kamar mandi perempuan kompleks Makam Sunan Ampel. Ia lalu membenahi bagian depan outer rajutnya.


 

Hanya jawaban iya lirih yang mampu Husna utarakan seraya menerima tas itu. Lantas, menyaksikan kakak sepupunya berlalu ke arah kamar mandi. 


 

Aneh, pikirnya, untuk apa Salma memakai outer tebal melapisi gamis rayon hijau botol yang kebesaran? Bukankah pagi ini cuaca cerah? Bisa dipastikan, satu atau satu jam lagi, sekitar jam sembilan atau lebih, udara akan sangat panas. 


 

Tapi, … dipikir-pikir lagi malah bagus. Penampilan gadis tinggi semampai itu malah menenangkan Husna. Sebab, Salma terlihat asal-asalan dan tidak modis. Itu artinya, janji Salma memang benar adanya.


 

"Nggak kulakan online lagi?" tanya Husna heran, saat dua hari lalu Salma mengajaknya ke Surabaya.


 

"Oh, aku kenal supplier baru. Kebetulan, dia juga ada toko di Pasar Kapasan. Koleksinya bagus dan murah. Katanya, kalau aku datang ke tempat, bisa dapat tambahan diskon 12 persen. "


 

"Tapi …" Husna kebingungan ketika ingin mengingatkan saudarinya agar tak membuat kehebohan. Pasalnya, pesantren di mana Ishak tengah mukim sembari kuliah, ada di kota ini.


 

"Oh, tenang aja. Aku murni kulakan, kok. Janji, deh, nggak akan bikin Mas Abid kelimpungan. Rencananya, aku akan beliin dia koko dan sarung sebagai permintaan maaf."


 

Ternyata, inilah pembuktian Salma yang membuat Husna tenang.


 

Husna masih berdiri sambil mengamati sekitar. Suasana komplek pemakaman tak terlalu ramai, normal saja. Tampak beberapa peziarah masuk dari pintu yang terhubung dengan area parkir belakang masjid. Hanya segelintir pengunjung dengan rombongan kecil sekitar tiga hingga empat orang. Tak sedikit juga yang hanya sendiri. Sepertinya, karena Sabtu. Mungkin, kalau Kamis atau Jumat akan lebih ramai. 


 

Sesekali, ia menunduk dan memperhatikan kakinya yang terbalut kaos kaki cokelat dan beralaskan sandal karet hijau sederhana. Ujung gamis cokelat tanahnya menutup lebih dari separuh kedua punggung kakinya.


 

"Ning," suara bariton Abid berhasil menimbulkan turbulensi hebat di dada Husna.


 

Sontak, Ia menoleh seraya mengangguk pelan dan menatap Abid dengan mata membola, efek kaget. Kesulitan menenangkan diri.


 

Abid berdiri sekitar satu meter di hadapannya. Ia tak pernah menyangka bahwa pemuda sesopan dan setenang itu bisa tiba-tiba semengejutkan ini. Seperti ledakan nuklir rasanya. Tapi … tak menyisakan sedih atau ketakutan. Hanya … senang?


 

"Saya … minta tolong," lanjutnya kemudian, "untuk kali ini, bantu saya, agar jangan sampai kejadian seperti waktu itu, ya?" Ada penekanan di kata Ya, membuat Husna tersadar bahwa ia menatap pemuda di hadapannya dalam waktu lama. Sontak, ia perlahan menurunkan pandangan dan menunduk. Kembali memperhatikan kedua kaki yang sebenarnya sama sekali tak menarik. Apa menariknya kaki? Yang benar saja. 


 

Husna menjawab lirih seraya mengangguk. Masih menunduk. Ya ampun … apakah Abid memakai parfum? Mengapa jadi wangi begini? Bukankah kala itu mereka juga sempat hampir sedekat ini? Tapi seingat Husna, tak ada tercium aroma parfum sedikit pun.


 

"... s-saya, bisa bantu, a-pa?" dengan terbata dan sedikit gemetar Husna bertanya.


 

"Tolong awasi Ning Salma. Jangan sampai kabur lagi. Saya … mau ke kamar mandi. Khawatir sebelum saya keluar, dia malah hilang."


 

Husna hanya ber-Oh pendek. Jujur saja, ia kebingungan dengan apa yang diinginkannya. Ia tak ingin tampak konyol di hadapan Abid. Pemuda berambut ikal itu membuatnya gugup. Satu-satunya cara adalah dia harus menjauh. Tapi jika Abid menjauh … rasanya Husna ingin ikut dan menempel di sampingnya. 


 

Ya ampun … apa yang telah terjadi?


 

Dan benar saja, saat Abid menjauh, Husna malah mendongak dan memperhatikan punggung pemuda berkemeja krem itu.


 

Ada resah dan senang yang menggelayuti setiap tepian hati Husna, silih berganti bak bianglala yang tengah berputar. Ini membuatnya malah terus mematung dan memandang ke arah di mana Abid menghilang tadi. Hingga, saat pemuda itu kembali, ia seketika tersadar dan kontan kembali menunduk.


 

Gugup. Ya, Husna semakin gugup saat Abid berjalan mendekatinya. Ia tetap berusaha tenang. 


 

Tapi … ia baru menyadari sesuatu. Abid masih sekitar lima meter jauhnya, sementara wangi itu terasa semerbak. Lantas, ketika Husna mencoba merasakan aroma itu lagi … ia baru sadar bahwa ternyata itu adalah wangi bunga tanjung. Bunga putih kecil dengan pohon tinggi besar itu memang banyak tumbuh di area pemakaman ini. 


 

Ya Allah … mengapa Husna bisa berubah konyol dan bodoh begini?


 

"Ning Salma …?" ujar Abid dengan intonasi yang jelas menunjukkan pertanyaan.


 

Husna seketika tersentak dengan mata membola. Menatap Abid.


 

Ya ampun, ya ampun … Abid sudah keluar dari kamar mandi, tapi Salma belum juga keluar. Tidak, tidak! Ini sudah sangat lama.


 

"Eh, s-sebentar." 


 

Seketika Husna melangkah ke arah kamar mandi. Ia melewati kolam cuci kaki begitu saja dan menyusuri lorong di mana berderet pintu-pintu di kanan dan kiri seraya memanggil Salma.


 

Nihil. Tak ada jawaban. Terakhir, ia menggedor setiap pintu tertutup dan melongok pada setiap yang terbuka. Hingga ketika sampai pada pintu yang posisinya berada sedikit ke ujung lorong bagian timur, Husna terkejut manakala melihat gamis rayon dan outer rajut Salma tergantung pada paku. Kontan, ia memeriksa tas selempang yang telah dititipkan padanya tadi. Kosong.


 

Ya Allah … bagaimana Husna bisa tidak menyadari bahwa tas itu kosong? Lalu, bagaimana cara Salma keluar tanpa ketahuan? Yang paling genting sekarang adalah … bagaimana cara Husna memberi tahu Abid agar ia tak panik dan nanti tak mengadukan insiden ini pada Kiai Mahrus.

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya 9-10 (GRATIS SELAMA ON GOING) Titik Balik
1
0
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan