Cinta si Penari: ACT 6 – SWAN LAKE

0
0
Deskripsi

Menjelang akhir tahun, acara balet “Swan Lake” yang dipentaskan oleh Dave dan Angelica diadakan di Ithaca dan disaksikan oleh Julie dan teman-teman Dave. Tapi sesuatu terjadi…

25 Desember, hari Natal. Sebagian besar penduduk di kota Ithaca itu merayakan Natal dengan suka cita. Kota Ithaca yang dipenuhi salju putih itu mulai dibersihkan oleh para pekerja kota agar tidak mengganggu orang-orang yang melintas. Semua yang merayakan pun sibuk membuka kado Natal yang mereka terima masing-masing dari orang-orang yang mereka sayangi di samping berdoa kepada Tuhan.

Di asrama Julie, Julie bersama Carissa dan para penghuni asrama lainnya ikut tukar kado bersama yang sudah ditaruh di bawah pohon Natal itu. Julie mendapat sebuah boneka penari balet dari Carissa sementara Carissa sendiri mendapat buku majalah model dari Julie.

“Wah, wah, boneka ballerina! Cakep, Carissa!”

“Aku juga dapet majalah model nih! Cocok nih buatku!” Carissa pun bertanya pada Julie mengenai kado darinya, “Boneka ballerina cocok nggak buatmu?”

“Cocok kok!”

“Syukurlah, karena aku tahu satu hal...” Carissa pun terdiam sejenak, lalu mengucapkan satu kalimat penting. “...kamu cocok jadi kekasihnya seorang penari balet.”

“Hah!? Serius, Cari?”

“Buktinya, kamu itu cintanya sama penari balet lho, kayak si Dave itu, makanya kukasih boneka ballerina ini.” Jelas Carissa. “Itu emang kamu banget lho.”

Julie tak bisa berkata apa-apa mendengar penjelasan dari Carissa mengenai boneka ballerina untuk Julie, seolah Carissa sudah tahu kalau seiring waktu, benih cinta Julie pada Dave itu mulai tumbuh. Senyum Julie yang penuh malu pun terbentuk di wajahnya, mengetahui kalau Carissa menganggap Julie cocok dengan Dave.

“Carissa! Mau kusenggol!?”

“Hei, santai aja, Julie! Kamu itu cocok sama Dave!”

Julie semakin dibuat malu oleh pernyataan Carissa itu mengenai Dave. “Oh, tolonglah! Mukaku ini merah banget! Bisa lihat nggak, Cari!?”

Belum selesai mereka berbincang saat tukar kado, tiba-tiba terdengar suara lonceng pintu. Julie yang masih merah mukanya karena malu dianggap cocok bersama Dave itu langsung memalingkan kepalanya ke arah pintu, berpikir kalau yang menekan lonceng pintu itu Dave. Julie langsung bergegas bangkit meninggalkan Carissa yang mengikuti temannya itu.

“Dave! Aku datang!”

Tapi di luar perkiraan, ketika Julie membuka pintu depan asrama itu, justru datang teman-teman Dave, Abraham bersama Almira, Diana, William, Walt, dan Lawrence. Julie malu sendiri mengetahui dia salah ekspektasi, membuat mukanya yang sudah cukup merah itu semakin panas.

“Lho, malah kalian!?”

“Maaf kalau kami nggak bilang dulu tadi.” Sahut Abraham.

“Iya, kami datang buat nemenin Dave yang kebetulan latihan di sini.” Lanjut Walt.

Almira pun memperhatikan muka Julie yang merah bak tomat itu. “Tapi, Julie... mukamu merah semua. Ada apa?”

“Soal Dave, Almira.” Jawab Carissa.

“Oh... Dave ya.” Gumam Abraham. “Dia lagi gladi kotor di State Theatre of Ithaca.”

“Oh iya, selamat Natal, kalian semua!” Kata Julie ingat.

“Makasih!” Balas Diana, William, dan Lawrence. “Selamat Natal juga, Julie sama Carissa.”

“Kalian nggak balas tadi, apa kalian nggak rayain Natal, Abraham sama Almira?”

“Nggak, Julie. Aku sama Abraham nggak rayain Natal, malah Idul Fitri sama Idul Adha.”

Julie sadar mengetahui dua temannya tidak merayakan Natal, “Oh! Maaf!”

“Nggak papa. Tapi kita tukar kado juga lho.” Ujar Almira. “Pada akhirnya aku dapat buku harian sementara Abraham dapat lima buah bolpoin.”

Julie baru mengetahui kalau ternyata Almira datang tanpa kakaknya Zakariya, “Oh iya, tumben kamu nggak sama kakakmu, Al? Kalian naik apa ke sini?”

“Kami naik bus dari Albany, Julie.” Jawab Almira. “Tadi kita bareng Dave ke kota ini, dan kebetulan kakakku izinin aku pergi sendirian ke Ithaca ketemu kalian.”

“Gitu ya... dan Dave masih latihan?”

“Masih, dan kalau bisa jangan ganggu.” Jawab Diana.

Tiba-tiba, mendengar kata dari Diana mengenai Dave, Julie langsung bergegas pergi, mengejutkan teman-temannya. Julie yang berlari terbirit-birit ke jalan itu berusaha mencari taksi dengan mengayunkan lengannya.

“Hei, Julie! Mau ke mana buru-buru gitu!?”

“Ke State Theatre, cari Dave!” Balas Julie, lalu dia memanggil sebuah taksi yang melintas. “Hei, taksi!”

Carissa hanya bisa menepuk jidatnya gundah mengetahui temannya tergila-gila dengan Dave. “Duh, anak ini, Dave mulu. Bisa-bisa dia ganggu gladi kotornya juga...”

******

Lama kemudian, taksi yang ditumpangi Julie itu sampai di State Theatre of Ithaca. Julie langsung bergegas keluar dari taksi sedan berwarna kuning tersebut dan berlari masuk ke dalam gedung teater. Tapi Julie menemukan pintu masuk ruang pertunjukan sudah dipasangi papan “JANGAN GANGGU – SEDANG GLADI KOTOR” serta stanchion bersabuk merah di tengahnya. Julie tidak menghiraukan tulisan di atas papan itu, dan karena sedang sepi, maka Julie membuka sabuk tersebut dan pelan-pelan membuka pintu ruang pertunjukan tersebut, masuk ke dalam.

Di dalam ruang pertunjukan yang luas itu, Julie melihat hanya panggung yang terang benderang. Ruang pertunjukan yang biasa dipenuhi pengunjung ketika ada sebuah pertunjukan itu terlihat kosong melompong, sunyi tanpa kehadiran manusia di dalamnya. Di dalam kegelapan, Julie pun duduk di salah satu bangku, melihat Dave, Angelica, serta para penari lainnya sedang gladi kotor babak ketiga dari pertunjukan balet “Swan Lake” bersama dengan iringan musik Tchaikovsky yang indah yang dimainkan oleh orkestra.

Di atas panggung, Dave bersama Angelica serta para penarinya yang sedang gladi kotor itu tampil gemulai, bahkan dengan baju seadanya. Dave tampil dengan tank top dan celana trainer ketat, menunjukkan otot di lengannya dan kakinya karena selama bertahun-tahun dia terus menari, dan Angelica tampil dengan leotard dengan celana ketat yang membungkus kedua kakinya sampai paha. Dave dan Angelica pun melakukan pas des deux[1] dengan saling berpegangan tangan dan berputar hingga menghadap panggung. Tanpa sengaja, mereka melihat Julie di bangku penonton, tapi Dave tidak ingin Angelica terdistraksi sehingga dia tetap lanjut melakukan pas des deux, dan akhirnya mereka berdua berhasil mengakhiri tari mereka dengan sempurna, disambut tepuk tangan oleh para penguji, termasuk Julie yang menyusup masuk.

Tak terasa, dua babak terakhir, yang diakhiri dengan babak keempat itu sudah selesai dengan lancar tanpa halangan. Sambutan tepuk tangan meriah dari hadirin para penguji itu memenuhi ruang pertunjukan. Guru tari itu naik ke atas panggung, memberikan apresiasi kepada para penari tersebut.

“Bravo, semuanya! Bravo!” Puji guru tari itu sambil bertepuk tangan. “Kalian semua hebat! Kalian sudah semakin terlatih semenjak latihan di Albany!”

“Makasih, pak!” Balas Dave.

“Kamu, Dave, kamu terlihat lebih semangat dari biasanya. Ada apa?”

“Kulihat pas babak tiga, ada seseorang duduk di hadapan saya, pak.”

Angelica pun terkejut, “Apa!?”

“Wah wah, tenanglah, Angelica. Jangan berburuk sangka dulu. Dia lho yang bikin aku sama teman-teman di sini semangat.”

Ternyata Julie pun langsung beranjak dari bangkunya dan berjalan ke depan ke arah panggung.

“Julie!? Ngapain di sini, ganggu kita lagi gladi kotor ya!?”

“Hei, tenanglah, Angelica. Dia malah kasih aku semangat lho.”

“Iya lho, Angelica. Dave sama kamu serta para penari lainnya keren-keren semua.” Puji Julie pada kelompok tari Dave. “Kamu juga keren lho, Angelica.”

Angelica hanya bisa malu setengah mati mengetahui Julie yang selama ini dia anggap sebagai pengganggu itu tiba-tiba memuji dirinya. Angelica berusaha membalas pujian Julie, tapi hatinya yang sudah dipenuhi kebencian pada Julie itu membuat mulut Angelica kesulitan membalasnya, seolah mulutnya terkunci dan ditahan oleh rasa ingin membenci.

Guru tari itu mengetahui kalau Julie ikut menonton gladi kotor dan bertanya pada Dave, “Dave, siapa itu?”

“Teman pena, namanya Julie.” Jawab Dave tegas. “Dia yang selalu saya rindukan, pak.”

Angelica hanya bisa berkata-kata singkat mendengar pengakuan Dave. “D-Dave...”

Tiba-tiba, datanglah temannya Carissa bersama Diana dan Almira mencari Julie yang sedang berada di ruang pertunjukan. Carissa pun langsung menarik lengan Julie, mengetahui temannya sudah mengganggu gladi kotor Dave dan Angelica.

“Julie! Kamu di sini ternyata!” Panggil Carissa. “Kamu tadi ganggu gladi kotornya Dave, ya!?”

“Nggak kok! Aku cuma kasih semangat ke dia dan teman-temannya.” Balas Julie. “Buktinya, tadi lancar-lancar tuh.”

“Betul sih, tadi lancar-lancar aja.” Kata guru tari itu memberi kesaksian. “Angelica, saya minta kamu tetap profesional ya. Jangan hanya karena kamu benci seseorang malah performamu di atas panggung kamu korbankan.”

“Tapi, pak...”

“Iya, dengar kata beliau, Angelica.” Lanjut Dave dengan tegas. “Kita harus tetap profesional, ngerti? Jangan egois.”

“He he, maaf ya, Dave sama teman-temannya. Kita pamit pulang dulu ya.” Pamit Carissa.

“Nggak papa, nak! Tadi dia malah kasih semangat ke kita semua!” Balas guru tari.

“Sampai jumpa hari Minggu, Julie, Carissa, Almira, sama Diana!” Balas Dave juga.

Keluar dari ruang pertunjukan, Julie yang keluar bersama Carissa, Almira, dan Diana itu tiba-tiba ditarik lengannya oleh Carissa, seolah temannya berniat menginterogasinya bak seorang polisi menginterogasi tersangka.

“Kamu ngapain di dalam ruang pertunjukan pas gladi kotor!?”

“Nonton doang kok.” Jawab Julie. “Tadi gurunya malah senang aku datang, dan aku nggak ganggu sama sekali lho. Gladi kotornya lancar-lancar aja.”

“Mau kusenggol!?” Carissa langsung menyenggol Julie menggunakan sikunya. “Ganggu aja!”

“Aw! Sakit tahu!”

“Kamu yang udah senggol aku dari awal! Sekarang gantian kusenggol kamu!”

“Udah, udah, tenanglah, kalian berdua.” Kata Almira menenangkan. “Nanti kita nonton yang lebih keren lagi pas hari Minggu, kayak kata Dave, oke?”

“Gimana bisa tenang, temanku ini gini amat lho!”

“Sudahlah.” Kata Diana. “Nanti pas hari H... kita nonton bareng aja, oke? Sama cowok-cowok juga.”

“Tentu aku mau, Diana!” Balas Julie sumringah.

“Tapi kalau anak ini sampai bikin rusuh, kita ikat aja, gimana?” Tanya Carissa.

“Udah, cukup, Carissa. Julie aja udah sesemangat ini ketemu Dave hari ini, mending kita pantau aja pas hari H, oke?” Balas Almira.

Carissa hanya bisa menghela nafasnya sambil menjawab setuju dengan menganggukkan kepalanya. Usai sedikit berdebat, keempat gadis itu pada akhirnya kembali ke asrama Julie dengan menaiki sebuah bus yang melintasi asrama tersebut.

******

30 Desember, hari Minggu. Dua hari menjelang tahun baru. Hari H pertunjukan “Swan Lake.” Pada senja itu, Julie yang berada di kamarnya itu sedang berdandan dengan balutan formal berupa gaun lengan pendek berwarna biru serta rambut beehive yang sempat diajarkan oleh Carissa beberapa bulan yang lalu.

Usai berdandan cantik, Julie langsung keluar dari kamarnya dan mengenakan jaket hangat di badannya, menutupi gaun biru tersebut serta selendang di lehernya. Julie yang beranjak dari kamarnya itu bertemu dengan Carissa yang sudah tampil dengan gaun hitam berglitter yang dibaluti oleh jaket tebal berbulu.

“Waduh, jaketnya malah berbulu segala, Carissa!”

“Iya, dong.” Balas Carissa. “Biar keliatan kayak golongan kelas atas.”

Lalu datang teman-teman Dave yang sudah tampil formal, dengan Abraham, Walt, dan Lawrence mengenakan jas tuksedo yang ditutupi oleh jaket tebal, sementara para gadis mengenakan gaun masing-masing: Almira mengenakan gaun ungu muda tanpa lengan dan Diana dengan gaun hijau berlengan panjang.

“Wah, gagah-gagah sama cantik-cantik semua nih!” Puji Carissa.

“Makasih!” Balas Almira.

“Kita segera berangkat ya. Dave pasti udah menunggu kita di atas panggung.” Kata Abraham.

“Oh iya, yuk!” Balas Julie.

Julie bersama Carissa, Abraham, Almira, Walt, dan Lawrence pun berangkat dari asrama Julie menuju State Theatre of Ithaca menggunakan bus yang jalurnya mengarah ke pusat kota. Sampai di State Theatre of Ithaca, tanda kanopi di gedung teater tersebut bertuliskan “SWAN LAKE – 1979 WINTER BALLET PERFORMED BY AWARD-WINNING ALBANY YOUTH BALLET GROUP SYMPHONY.” 

Di dalam gedung teater itu, kelima remaja tersebut melihat gedung yang sudah ramai dipenuhi pengunjung yang berbaju formal tuksedo serta gaun-gaun itu, menunjukkan ini memang sebuah acara balet terakhir sekaligus paling bermakna untuk Dave dan kelompoknya sebagai penutup tahun ini. Julie dan Carissa hanya bisa terkejut balet hari ini jauh lebih ramai dibanding balet yang mereka tonton beberapa bulan yang lalu.

“Wah, gila! Pengunjungnya banyak betul!” Kejut Carissa.

“Maklum, karena ‘kan hari ini sekolah pada libur, makanya ramai banget.” Balas Almira. “Mana di sini penuh sesak pula.”

“Hei, Julie!” Panggil Carissa dengan menepuk pundak temannya. “Kamu... bawa tiketnya ‘kan?”

Mendengar pertanyaan dari Carissa, Julie pun langsung menyambar tangan kirinya ke dalam tasnya, dan tiba-tiba Julie kaget melihat isi tasnya kosong: tiketnya hilang entah ke mana.

“Astaga, aku lupa tiketnya!” Tapi kemudian, Julie pun menunjukkan tiketnya yang berjumlah dua lembar itu dari tasnya, dan ternyata dia sengaja iseng pada Carissa. “Tapi bohong! Ada nih! Lengkap!”

Kesal diisengi temannya lagi, Carissa senggol Julie lagi. “Julie! Nggak lucu!” 

“Duh, dua teman dari Kanada ini ada aja...” Kata Diana menepuk jidatnya.

“Untung nggak hilang.” Gumam Lawrence. “Kalau hilang beneran udah nggak lucu lagi nih.”

Tiba-tiba, Almira memegang tangan Abraham, mengejutkan Abraham. Saking terkejutnya, denyut nadi di dalam hatinya berdegup kencang, dan air mukanya pun seketika memerah. Almira berpikir ini sudah kesempatan untuk semakin dekat dengan Abraham, tanpa diawasi lagi oleh kakaknya.

“Abe... jagain aku ya.” Kata Almira. “Jagain aku dari orang-orang jahat.”

“I-Iya.” Balas Abraham gagap. “Termasuk kakakmu?”

“Pokoknya jaga aku dari orang-orang jahat, Abraham, tapi aku sayang sama kakakku.”

“Oh iya, soal pertunjukan balet, Dave main sebagai apa?” Tanya Diana membuka flyer balet “Swan Lake.”

“Yah, karena si Dave jadi tokoh utama, jadi Pangeran Siegfried.” Jawab Walt membaca flyer.

Ketika para pengunjung masih berkumpul, tiba saatnya pintu menuju ruang pertunjukan dibuka, menandakan pertunjukan balet “Swan Lake” akan segera dimulai. Segera, para pengunjung, termasuk Julie, Carissa, Abraham, Almira, Diana, Walt, serta Lawrence memasuki ruang pertunjukan yang besar nan megah itu serta ramai dipenuhi hadirin yang berniat menonton pertunjukan balet “Swan Lake” tersebut.

Kelima remaja itu mulai mencari tempat duduk sesuai yang tertera di tiket yang sudah dirobek oleh petugas tadi, dan mereka duduk di bangku-bangku yang berada di tengah-tengah ruangan penonton tersebut, memberi mereka keleluasaan pada 

“Nggak nyangka Dave bisa pesan kursi ini.” Gumam Abraham melihat ruang pertunjukan di tengahnya yang masih ditutupi tirai. “Enak banget tempat nontonnya.”

“Iya, Abe. Baru tahu di tengah kota kecil ini ada tempat semegah ini.” Balas Almira.

“Duh, pasangan sejoli!” Goda Walt di samping Abraham. “Berhenti bermesra-mesraan di samping kita, ya?” 

“Pertunjukannya jam berapa, Carissa?” Tanya Julie berbisik-bisik.

“Jam 7.” Jawab Carissa melihat jam tangannya di lengan kirinya. “Setengah jam lagi, sabar ya.”

“Kalian sendiri pernah nggak sih lihat pertunjukan Dave sebelumnya?” Tanya Julie pada teman-teman Dave.

“Baru kali ini sih.” Jawab Lawrence.

Lama kemudian, ruang pertunjukan pun mulai digelapkan penerangannya, hanya menyisakan penerangan di panggung. Di atas panggung, seorang pembawa acara datang untuk menyambut hadirin yang menonton pertunjukan balet “Swan Lake.”

“Selamat malam, hadirin yang berbahagia.” Sambut pembawa acara itu. “Hari ini, menjelang pergantian tahun esok lusa, saya hadir untuk menyambut Anda semua serta memperkenalkan tarian balet yang berjudul “Swan Lake.”

“Oh, ini lagi.” Gumam Julie sambil menguap. “Bosen ah.”

“Julie, katanya mau nonton pertunjukan Dave, jangan tidur dulu!” Bisik Carissa berusaha tetap membangunkan Julie.

“Swan Lake” merupakan sebuah balet  yang diciptakan oleh Pyotr Ilyich Tchaikovsky sekitar tahun 1875-1876 dan pertama kali dipertunjukkan pada tahun 1877 di Moskow. Beberapa tahun kemudian, pada tahun 1895, versi baru yang hadirin semua tonton sekarang diciptakan oleh Marius Petipa dan Lev Ivanov dan dipentaskan di St. Petersburg, yang sekarang menjadi kota Leningrad.”

“Kapan mulai ya?”

“Sabar...”

“Pada malam yang berbahagia ini, grup tari Albany Youth Ballet Group Symphony dengan alunan musik orkestra dari Albany Philharmonic Symphony akan menyajikan hadirin sekalian dengan tarian “Swan Lake” yang terdiri dari empat babak. Selamat menyaksikan.”

Alunan musik Tchaikovsky itu mulai dimainkan oleh orkestra yang berada di bawah panggung. Ketika alunan musik itu menggema seisi ruang pertunjukan, hadirin mulai diberikan sekuntum bunga mawar oleh pihak panitia, termasuk Julie dan Carissa serta teman-teman Dave.

“Lho, kita kok dikasih mawar!?”

“Ini kesempatan kamu lho kasih apresiasi Dave nanti.” Balas Carissa. “Tunggu sampai akhir babak empat ya.”

Seketika, tirai panggung pun mulai dibuka, menandakan babak pertama “Swan Lake” sudah dimulai. Dengan latar sebuah taman dekat kastil Pangeran Siegfried itu, para penari pria dan wanita yang merupakan para pelayan sang pangeran itu dengan gemulai berputar, menyambut Pangeran Siegfried yang diperankan oleh Dave. Di hari ulang tahunnya, Siegfried dihibur oleh para pelayannya serta para gadis desa hingga Siegfried terlena dalam hingar-bingar pesta yang dia adakan bersama mereka. Tiba-tiba datang ibunya, sang ratu yang mengingatkan Siegfried agar bisa mencari pasangan. Siegfried berusaha mencintai gadis yang dipilih ibunya, tapi mereka tidak memikat Siegfried yang membuat Siegfried penuh gundah gelisah karena belum berhasil menemukan cinta sejatinya, sehingga temannya Benno  dan gurunya Wolfgang mencoba menghibur hati Siegfried yang gundah. Malam pun tiba dan segerombolan angsa, yang dipresentasikan dengan para penari yang mengenakan kostum tutu putih itu berterbangan dan dilihat oleh Benno, sehingga dia mengajak Siegfried dan teman-temannya untuk memburu para angsa tersebut.

Sebuah latar danau di depan reruntuhan kapel itu menjadi latar dari babak kedua balet “Swan Lake.” Di tengah malam, tiba-tiba Siegfried terpisah dari teman-temannya. Siegfried yang berjalan sendirian itu berakhir tiba di tepi danau tepat para angsa putih yang berterbangan itu mendarat. Siegfried pun berusaha membidik panahnya pada para angsa putih itu, tapi tiba-tiba salah satu angsa berubah menjadi seorang gadis bernama Odette yang dimainkan oleh Angelica. Kehadiran Siegfried itu menakuti Odette pada awalnya, tapi kemudian Siegfried pun berjanji tak akan menyakiti Odette. Melalui tari-tarian yang gemulai, Odette menjelaskan melalu gestur tubuhnya kalau dia dan teman-temannya merupakan korban mantra jahat dari dari sosok penyihir bernama Rothbart. Dari penyihir berbentuk seperti burung hantu itulah Odette dan teman-temannya berubah menjadi angsa pada siang hari dan menjadi gadis pada malam hari di tepi danau yang terbentuk dari air mata ibunya Odette yang merindukan putrinya. Satu-satunya cara untuk mematahkan mantra Rothbart menurut Odette adalah dengan datangnya seorang pria yang belum pernah mencintai bersumpah untuk mencintai Odette selamanya. Siegfried berusaha menyatakan cintanya, tapi tiba-tiba datanglah si penyihir Rothbart yang membuat Siegfried berusaha membunuh Rothbart. Tapi sebelum bisa membunuh Rothbart, Odette menghentikan langkah Siegfried karena jika Rothbart mati sebelum mantranya dipatahkan, maka Odette dan teman-temannya akan selama menjadi angsa. Usai Rothbart pergi, para angsa yang berkostum tutu putih itu menari di atas danau dan hati Siegfried pun tertuju hanya pada Odette. Siegfried dan Odette pun menari sendiri, dan Siegfried berusaha memberikan kepercayaan pada Odette agar dia dan Odette bisa jatuh cinta sehingga gadis itu bisa kembali seperti sedia kala. Tapi fajar pun datang, sehingga Odette dan kawan-kawannya kembali menjadi angsa di atas danau. 

Babak ketiga “Swan Lake” berlatar di sebuah aula yang megah di dalam istana tempat Siegfried sekeluarga tinggal. Di dalam aula itu, sebuah pesta kostum diadakan untuk mencari pasangan yang cocok untuk Siegfried atas inisiasi dari ibunya agar Siegfried segera menikah. Enam orang gadis yang merupakan enam putri kerajaan itu menjadi calon pasangan yang harus dipilih oleh Siegfried. Akan tetapi, tidak ada satu dari keenam gadis itu memikat Siegfried yang hatinya masih melekat pada Odette yang dia temui sebelumnya. Tanpa diketahui mereka, Rothbart yang menyamar itu membawa putrinya Odile si angsa hitam yang mirip dengan Odette. Mengetahui ini, keenam putri kerajaan itu berusaha memikat Siegfried dengan dansa mereka yang indah, tapi kedua mata Siegfried hanya tertuju pada Odile. Siegfried yang terpikat dengan Odile itu berniat menyatakan cintanya pada Odile, tapi sebelum bisa menyatakan cintanya, tiba-tiba datang Odette mengingatkan Siegfried, dan Odette pun patah hati mengetahui Siegfried yang seharusnya mencintainya itu tiba-tiba hampir mencintai wanita lain. Menyesali perbuatan ini, Siegfried pun mengejar Odette kembali ke danau.

Kembali ke danau angsa di malam hari yang menjadi babak terakhir balet “Swan Lake” itu, Odette yang patah hati itu ditenangkan oleh teman-temannya, masih tidak mempercayai Siegfried hampir mencintai Odile. Siegfried pun tiba di danau angsa dan berusaha meminta maaf karena melupakan Odette dan terlena oleh Odile yang merupakan putri dari Rothbart. Tiba-tiba, Rothbart datang bersama Odile, dan memberi Siegfried pilihan antara Odette atau putrinya Odile. Dengan keputusan yang bijak, akhirnya Siegfried memilih Odette sebagai cinta sejatinya, sehingga terjadi pertarungan antara Siegfried dan Odette, yang berakhir dimenangkan oleh Siegfried berkat bantuan teman-teman angsa Odette. Berkat deklarasi cintanya pada Odette, pada akhirnya mantra jahat pada Odette dan teman-temannya bisa dipatahkan sehingga mereka kembali menjadi manusia seutuhnya. Odile si angsa hitam pun berubah menjadi manusia seutuhnya dan menyadari kalau Siegfried mencintai Odette dibanding dirinya sebelum pada akhirnya mati bersama ayahnya. Kisah “Swan Lake” pun berakhir dengan Siegfried menikahi Odette di hadapan ibunya, teman-temannya, serta teman-teman Odette, dan Siegfried bersama Odette pun bahagia selamanya.

Tutupnya tirai itu menunjukkan akhir dari keempat babak pertunjukan balet “Swan Lake” itu, disambut tepuk tangan meriah oleh hadirin. Lalu datanglah para penari ke atas panggung  yang mulai menunduk dengan hormat di hadapan penonton dan hadirin pun seketika mulai melempar mawar-mawar yang diberikan oleh panitia ketika awal acara, dan tidak lupa, Julie, Carissa, serta teman-teman dari Dave ikut melempar mawar yang berada di tangan mereka ke atas panggung sebagai bentuk apresiasi atas pertunjukan kelompok tari Dave dan teman-temannya.

“Dave, Angelica, bravo!” Sahut Julie sambil melempar sekuntum mawar ke arah para penari.

Tanpa sengaja, Dave berakhir menangkap mawar yang dilempar oleh Julie, dan dengan senyum lebarnya dia melambaikan tangannya ke arah Julie yang balas melambaikan tangannya juga. Kejadian ini sempat dilihat oleh Angelica yang berada tepat di samping Dave dan dalam sekejap air muka Angelica menjadi sedikit masam, tapi kemudian Angelica tetap berusaha tersenyum walaupun dalam batinnya, dia marah karena Julie tetap berusaha mendekati Dave.

Usai pertunjukan itu selesai, hadirin bersama Julie, Carissa, serta teman-teman Dave mulai keluar dari ruang pertunjukan. 

“Wah, ramainya!” Kaget Diana.

“Iya, tiba-tiba aja seramai ini!” Kata Abraham juga. “Pasti ada yang nggak nonton dari awal!”

Ketika mereka berusaha keluar dari gedung teater, tiba-tiba seseorang menepuk pundak Julie, mengejutkan Julie. “Siapa kamu!?”

Ternyata, yang menepuk pundak Julie itu tak lain tak bukan adalah Dave sendiri. Tampak Dave sudah tidak lagi mengenakan kostumnya sebagai Siegfried, melainkan baju kasualnya. “Dave, ngagetin aja!”

“Maaf!” Balas Dave, lalu dia fokus pada teman-temannya. “Diana, Abraham, Almira, Walt, Lawrence, sama Carissa, kalian nunggu di luar aja, aku mau ngobrol empat mata sama Julie.”

“Oh... oke.” Balas Carissa. “Jangan lupain kita ya, Julie!”

Julie bersama Dave pun pergi menjauh dari kerumunan dan pergi ke sebuah tempat sepi, tepatnya di sebuah tempat dekat pintu darurat. Sampai di sana, Dave berusaha berterus terang pada Julie.

“Julie... sejujurnya nih, semenjak dari kita ketemu beberapa bulan lalu, hingga hari ini...”

“Apa, Dave?”

“Aku... mencintaimu.”

Dua kata dari Dave itu membuat hati Julie berdegup kencang, dan muka Julie pun memerah seperti tomat. Julie pun berusaha melawan rasa malunya dan akhirnya Julie pun ikut berterus terang menyatakan perasaannya.

“Aku... cinta juga sama kamu, Dave.”

“Syukurlah...” Balas Dave. “Mulai saat ini kita bisa temu kangen dari dekat atau jauh ya.”

“Iya... mon amour.”

“Mon amour? Cintaku?”

Tiba-tiba di tengah perbincangan empat mata itu datanglah Angelica yang sudah mengenakan pakaian kasualnya menemukan Dave dan Julie. Matanya tajam dipenuhi api amarah dan kedua tangannya disilangkan, seolah dia dikhianati oleh teman kecilnya sendiri. “Mon amour!? Oh, bagus ya, Dave... kamu tega khianati teman kecilmu sendiri, hingga berduaan di sini! Mengecewakan!”

Dave berusaha meluruskannya. “Angelica, ini salah paham! Kita nggak macam-macam kok!”

“Iya, betul, Angelica!” Lanjut Julie juga. “Tenanglah, Angelica.”

Tapi merasa dirinya sudah dikhianati atas kesalahpahaman ini, air mata pun keluar dari mata Angelica yang terbakar amarah serta kekecewaan, dan seketika Angelica pun menangis kencang sambil menutup wajahnya itu dan lari terbirit-birit meninggalkan Dave dan Julie. Dave berusaha mengejarnya, tapi Angelica berlari terlalu kencang, sehingga tidak sempat terkejar.

“Angelica!”

Julie hanya bisa terdiam seribu bahasa melihat Angelica lari terbirit-birit sambil menangis usai dia dan Dave menyatakan cintanya. Di dalam batinnya seolah ada rasa bersalah karena tanpa sengaja membuat Angelica yang merupakan teman kecilnya Dave sakit hati.

“Dave...” Kata Julie tertunduk. “Aku... pergi dulu ya.”

“Julie... kamu mau bareng aku nggak?”

Tanpa dijawab oleh Julie sepatah kata pun, Julie langsung pergi meninggalkan Dave, yang membuat Dave terheran-heran apa yang terjadi dengan Angelica yang membuat Julie seperti tertunduk lesu begitu. Julie pun keluar dari gedung teater yang sudah mulai sepi pengunjung dan menemukan Carissa serta teman-temannya Dave duduk di bangku di bawah kanopi teater.

“Carissa, teman-teman... kita pulang yuk.”

“Lho, kenapa lesu gitu, Julie?”

Tapi Julie tidak menjawab pertanyaan dari Carissa, bahkan sepatah kata pun tidak dia keluarkan, yang membuat Carissa terheran-heran. Dia bersama teman-temannya pun kembali ke asramanya dengan menaiki sebuah bus.

******

Keesokan malamnya, tepat pada malam tahun baru, Julie dan teman-temannya sedang menunggu pergantian tahun yang berlangsung beberapa jam lagi di asramanya. Masakan barbecue sedang dipanggang oleh Carissa bersama teman-temannya yang lain. Julie duduk sendirian di sebuah bangku, mengingat apa yang terjadi usai balet “Swan Lake.” Hatinya gundah karena tanpa sengaja dia membuat Angelica kecewa bahkan marah padanya.

Julie yang duduk sendiri itu tiba-tiba ditepuk pundaknya oleh Diana. “Julie, sendirian aja! Ada apa gelisah gitu?”

“Aku... masih kepikiran soal kejadian kemarin malam, si Angelica.” Cerita Julie. “Aku... merasa bersalah udah bikin dia marah sama nangis.”

“Hah? Itu bukan salahmu lho, Julie.” Kata Almira juga.

“Tapi, aku ingin ketemu dia langsung usai tahun baru ini.” Lanjut Julie, lalu dia bertanya mengenai Dave. “Dave mana?”

“Aku di sini juga.” Balas Dave tiba-tiba muncul, mengejutkan Julie di depannya.

“Lho, Dave!? Bukankah harusnya kamu pulang sama Angelica dan teman-temannya?”

“Aku ingin tetap di sini, bersama teman-temanku.” Jawab Dave. “Julie, kamu kayaknya masih kepikiran sama apa yang terjadi kemarin ya, ketika kita tiba-tiba ditemukan Angelica dan Angelica marah sampai kabur?”

“Iya, Dave. Ini emang.... salahku ya?”

Dave pun memegang kedua pundak Julie, berusaha menghibur kekasih barunya. “Julie, ini bukan salahmu kok. Justru Angelicanya aja yang berlebihan reaksinya.”

“Aku tahu, tapi aku ingin banget minta maaf dan bicara baik-baik sama Angelica.“ Imbuh Julie. “Dave, akhir pekan nanti aku pergi ke Albany ya, buat ketemu keluargamu sama Angelica.”

“Oh... baiklah kalau itu maumu.” Balas Dave. “Kita bicarakan baik-baik sama Angelica ya, biar kita bisa meluruskan kesalahpahaman ini.”

“Oke.”

“Hei, daripada kamu gundah mulu, mending masak bareng kita aja!” Ajak Carissa yang masih memanggang.

“Oh, oke!” Balas Julie. “Dave, Almira, kalian ikut masak makanan sama Carissa ya!”

Lama kemudian, Dave, Julie, serta teman-teman mereka menikmati masakan yang dibuat oleh Dave, Carissa, dan Almira. Masakan berupa steak sapi barbecue serta shish kebab beserta kentang goreng dan salad itu disajikan di atas meja makan.

“Enak banget seperti biasa, Al!” Puji Abraham.

“Duh, kamu ini, Abe, masakan apa yang nggak enak yang kumasak?” Tanya Almira.

“Nggak ada, Al.” Jawab Abraham. “Yang nggak enak itu cuma arangnya. Pahit!”

“Duh, kamu bisa aja, Abraham!” Kata Almira terkesima, yang membuat yang lain ikut tertawa.

“Dave?” Panggil Julie. “Aku ingin lurusin kesalahpahaman ini semua.”

“Sabar aja, Julie.” Balas Dave menenangkan. “Aku akan bantu kamu sama Angelica ya. Mungkin siapa tahu... kamu dan Angelica bisa berdamai dan jadi teman baik.”

Julie hanya bisa menganggukkan kepalanya mendengar nasihat Dave. Ketika itu, kembang api mulai meledak di langit malam Ithaca yang gelap dihiasi oleh bintang-bintang, menandakan beberapa menit lagi pergantian tahun akan segera terjadi. Walt pun mulai mengambil terompet dan meniupkannya ke arah atas, mengejutkan teman-temannya.

“Walt, berisik!” Tegur Abraham.

“Iya, maaf!” Balas Walt. “Yang bawa terompet, ambil terompetnya yuk!”

Dalam hitungan tinggal beberapa detik, kembang api di langit malam Ithaca itu semakin ramai dan semakin bervariasi warnanya. Walt bersama Lawrence, Diana, serta Abraham pun menunggu waktunya pergantian tahun. Induk semang pun menyalakan radio portable dan menyetel frekuensinya ke stasiun radio setempat.

“Baik, para pendengar semuanya, tahun baru 1980 tinggal 30 detik lagi.” Kata DJ radio. “Sebentar lagi kita akan memasuki tahun yang baru! Tahun 1980!”

Dan pergantian tahun pun tinggal 10 detik lagi, dan ketika itu semua yang hadir mulai menghitung mundur mengikuti kata-kata DJ radio yang disetel oleh induk semang itu, dan pada akhirnya tahun 1979 pun berakhir, digantikan oleh tahun 1980. Teman-teman Dave dan Julie mulai meniupkan terompet, ibarat sangkakala yang menandakan pergantian tahun sudah terjadi.

“Selamat tahun baru, semuanya!” Sahut Carissa.

Semua yang hadir itu mulai menyanyikan lagu “Auld Lang Syne” sebagai bentuk rasa syukur sudah melewati tahun yang lama dengan selamat serta menyambut tahun yang baru. Mereka pun bernyanyi sambil berdansa berpegangan tangan, termasuk Almira bersama Abraham, Diana bersama William, dan Walt bersama Lawrence.

Ketika yang lain sedang merayakan pergantian tahun, Dave bersama Julie duduk sendirian di sebuah bangku sambil melihat kembang api yang meledak meriah di atas langit. Suara ledakan kembang api serta suara terompet itu turut menghiasi tahun baru di Ithaca tersebut. Julie pun membuat sebuah janji bersama Dave yang duduk tepat di sampingnya dengan memegang kedua tangannya.

“Dave... aku janji di tahun baru ini, kita bisa mulai menjalin hubungan, serta membuat Angelica sadar akan ini semua.”

“Aku janji juga, Julie. Janji.”


 

[1]Pas des deux: Secara harfiah artinya dua langkah, dua penari, biasanya penari pria dan wanita berduet dengan menari bersama.

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Cinta si Penari: ACT 7 – PERTEMUAN DI ALBANY
0
0
Pada awal tahun baru, Julie memutuskan pergi ke Albany untuk bertemu Dave serta menjelaskan semuanya ke Angelica. Pertemuan antara Julie dan keluarganya Dave pun terjadi…
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan