
MAAF, ANAK IBU CUMA GURU SD!
“Kami datang ke sini, untuk membatalkan pertunangan. Anak kami, Bara, sudah menemukan jodoh yang lebih tepat. Karena itu, saya selaku ibunya, mohon maaf, jika kabar ini membuat keluarga Bu Nilam tidak nyaman.”
Deg!
Kabar itu membuatku tak bisa berkata apa-apa. Senyuman yang sejak semalam terkulum karena mendapat kabar jika keluarga Bara besok akan datang, kini redup.
“Apa saya tidak salah dengar Bu Vamela? Hubungan mereka sudah cukup lama. Jingga---anak saya rela menunggu...
MAAF, ANAK IBU CUMA GURU SD! (1)
“Kami datang ke sini, untuk membatalkan pertunangan. Anak kami, Bara, sudah menemukan jodoh yang lebih tepat. Karena itu, saya selaku ibunya, mohon maaf, jika kabar ini membuat keluarga Bu Nilam tidak nyaman.”
Deg!
Kabar itu membuatku tak bisa berkata apa-apa. Senyuman yang sejak semalam terkulum karena mendapat kabar jika keluarga Bara besok akan datang, kini redup.
“Apa saya tidak salah dengar Bu Vamela? Hubungan mereka sudah cukup lama. Jingga---anak saya rela menunggu sampai Bara menyelesaikan S2 nya. Lalu, kenapa seperti ini?” Suara Ibu bergetar. Pasti dia sama kaget dan shocknya seperti aku.
“Tidak, Bu Nilam. Ibu tidak salah dengar. Mulai saat ini, Jingga saya bebaskan dan boleh menerima pinangan lelaki lain. Maafkan kalau keputusan ini melukai keluarga Ibu, hanya saja ... maaf, anak ibu hanya guru SD, gak sebanding dengan putra saya.” Dia tersenyum, suaranya masih terdengar lembut, hanya saja terasa begitu menyakitkan.
“Kami tak bisa lama. Dua minggu lagi, kalian bisa datang ke nikahannya Bara kalau mau. Undangan virtualnya nanti Bara kirimkan.”
***
“Miss, Una sudah selesai.”
Astaghfirulloh!
Aku mengusap wajah. Bayangan menyakitkan yang terjadi sebulan lalu itu seolah rekaman yang terus-menerus diputar dengan sendirinya setiap kali ada celah. Bahkan aku bisa sampai lupa kalau sekarang aku sudah berada di rumah tmilik Pak Banyu. Sudah satu bulan aku mengajar less privat untuk putri sulungnya Pak Banyu yaitu Aluna atau lebih sering kupanggil Una.
“Sini Miss periksa dulu, ya!”
Aku menerima buku catatan bahasa inggris milik Aluna. Tulisannya sudah rapi walau dia baru duduk di kelas satu SD. Setiap sabtu-minggu, aku pasti ke rumahnya. Di rumah besar ini, Una hanya tinggal bertiga dengan Papa dan Omanya.
“Nah, ini sudah betul. Ini kalimat untuk memperkenalkan diri, jadi kalau bahasa Inggrisnya nama saya adalah. My name is ... pintaaar!”
Wajah Aluna tampak sumringah ketika aku memujinya. Selalu seperti ini tekhnik pendekatan yang kugunakan. Aku akan mulai dari kelebihan dia, agar secara alam bawah sadar, Aluna percaya jika dia bisa dan pintar. Usianya masih enam tahun lebih, masih bisa diberikan sugesti positif untuk daya kembangnya.
“Yes, aku bisaaa!”
Aku mengangguk, lalu melihat soal nomor berikutnya yang dia kerjakan.
“Nah kalau yang kedua ini, tadi Miss ada tanya kata bahasa inggrisnya apa kabar, jadi?” Sengaja kupancing agar ada interaksi.
“How are you?” Fasih bibirnya menyebut kalimat tersebut dalam bahasa inggris. Aku acungkan dua jempol, lalu mengoreksi perlahan karena dia ada kesalahan.
“Kalau bahasa Inggris nenek, apa tadi?” Aku kembali bertanya.
Aluna tampak berpikir. Lalu dia nyengir kuda sambil bicara, “He, lupa, Miss!”
“Grand mo-”
“Grandmother!” pekiknya girang.
“Nah betul, jadi kalau yang Miss minta lengkapi tadi, aku cinta nenek. Jadinya I Love ...?”
Aluna menepuk keningnya sambil tertawa.
“Iya, Una lupa, Miss! I Love Grandmother!”
“Anak pintaaar!”
Aku serahkan buku tugas bahasa inggris Una. Lalu dia menghapus kalimat yang tadi dia tulis dan ada kesalahan.
“Nah, jadi Una sudah betulin, ya, Miss?”
"Oke."
"Sudah, Miss."
“Wah pinternya, Una! Miss makin semangat nih ngajar Una.”
“Wah cucu Oma lagi belajar apa?” Suara Oma Fera terdengar. Kami menoleh. Perempuan dengan gamis rumahan itu mendekat. Di tangannya sudah membawakan lagi camilan untuk teman belajar Una.
“Belajar bikin kalimat, Oma. Wah, itu Oma bawa apa?” Mata bulat Aluna berbinar.
“Ini cake cheese kesukaan Una. Oma sendiri yang bikin. Biar cucu Oma makin semangat belajarnya.”
Dia duduk di samping Aluna yang tengkurap bertumpu pada bantal. Tempat belajar kami di gazebo yang menghadap ke kolam ikan. Gemericik air riuh terdengar dari mesin yang memang terpasang dan membuat air mancur di tengah kolam. Semilir angin juga menerobos pintu pagar setinggi dua meter yang terbuat dari besi dan dilapisi cat antigores. Pagar itu mengelilingi rumah megah yang berdiri di tanah yang bagiku sangat luas.
Suasana asri ini ditopang juga dari pepohonan. Di mana rimbun pohon nangka yang dulu ditanam membuat gazebo ini terhalang juga dari terpaan langsung sinar matahari. Selebihnya pohon cemara berjajar, berdiri tinggi seiring dengan pagar.
“Ya sudah, Una rehat dulu, ya! Miss juga mau shalat dulu.” Aku melirik jam yang sudah menunjukkan pukul setengah empat sore.
“Oke, Miss!”
“Ibu Fera, numpang sholat dulu, ya!”
“Iya, Jingga. Jangan lama-lama, nanti makan kue bareng Ibu di sini! Oh, ya, sore ini makan malam di sini, ya! Ibu lagi ulang tahun. Anggap saja hadiah kamu buat Ibu.”
“Oh ya? Selamat ulang tahun, Bu Fera semoga sehat selalu. Baik, Bu. Saya nanti bilang Ibu di rumah kalau pulang agak malam.”
“Alhamdulilah ….” Dia tersenyum sumringah.
Aku mengangguk. Lalu segera masuk ke dalam rumah dan menuju ruangan paling belakang yang biasanya digunakan untuk mushola keluarga.
Empat rakaat aku tunaikan. Usai shalat, aku berdoa. Tak banyak, hanya minta luka ini sembuh dulu, itu yang utama. Satu bulan, waktu yang belum lama. Luka ini masih terasa sangat perih, apalagi kalau sedang sendiri. Nama Bara masih memenuhi lubuk hatiku.
Usai shalat, aku berjalan kembali ke gazebo di mana Una sedang makan kue keju kesukaannya. Omanya tampak tengah menelpon seseorang.
“Pokoknya kamu buruan pulang, Banyu! Mama akan tahan dia biar gak pulang dulu!”
Dia terdengar menjeda. Lalu kembali bicara, “Kamu harus lihat sendiri orangnya! Sekarang kamu harus gercep, ini waktu yang tepat. Mama dengar dia sedang patah hati! Dia baru saja ditinggal nikah tunangannya! Kamu gak bisa egois, Banyu. Una butuh Bunda baru. Kamu pulang sekarang atau Mama coret dari KK!”
KALAU ADA LIKE, BARU LANJUT, YES!
Bab 2
MAAF, ANAK IBU CUMA GURU SD! (2)
Selamat Membaca!
Empat rakaat aku tunaikan. Usai shalat, aku berdoa. Tak banyak, hanya minta luka ini sembuh dulu, itu yang utama. Satu bulan, waktu yang belum lama. Luka ini masih terasa sangat perih, apalagi kalau sedang sendiri. Nama Bara masih memenuhi lubuk hatiku.
Usai shalat, aku berjalan kembali ke gazebo di mana Una sedang makan kue keju kesukaannya. Omanya tampak tengah menelpon seseorang.
“Pokoknya kamu buruan pulang, Banyu! Mama akan tahan dia biar gak pulang dulu!”
Dia terdengar menjeda. Lalu kembali bicara, “Kamu harus lihat sendiri orangnya! Sekarang kamu harus gercep, ini waktu yang tepat. Mama dengar dia sedang patah hati! Dia baru saja ditinggal nikah tunangannya! Kamu gak bisa egois, Banyu. Una butuh Bunda baru. Kamu pulang sekarang atau Mama coret dari KK!”
Mendengar obrolan Oma Fera dengan seseorang di seberang telepon membuat aku menerka-nerka arah pembicaraan mereka. Kok ada bilang sedang patah hati, jadi berasa aku yang sedang jadi bahan omongannya. Hanya saja, katanya Bunda baru buat Una, gak mungkin lah kalau aku yang dimaksud Bu Fera. Bukannya Ibunya Mas Bara pun bilang kalau aku hanya guru SD.
Miris! Apa salahnya kalau aku guru SD? Apa akan merugikan dia? Apa sehina itu kastaku di matanya? Apa karena aku masih belum PNS juga jadinya dipandang sebelah mata oleh Tante Vamela?
Ah sudahlah … mengingat mereka hanya membuat rasa sakit ini makin lama hilangnya. Andai boleh aku minta, aku ingin sekali amnesia parsial, cukup lupa bagian perihnya saja.
Otak yang tak fokus membuat kaki ini tak sengaja tersandung pada pot tanaman yang berjajar rapi di sekitar gazebo dan menimbulkan suara. Bu Fera jadinya menyadari kehadiranku. Wajahnya tampak sedikit terkejut, tapi kemudian kembali tenang dan bicara lagi dengan seseorang di seberang telepon dengan nada yang kali ini terdengar lebih santai.
“Mama tunggu di rumah. Jangan lupa kado ulang tahun buat Mama, ya! Assalamu’alaikum!” Dia pun mematikan panggilan.
“Jingga dari tadi?” Sorot mata itu memindai wajahku seolah hendak bertanya, apakah aku nguping obrolannya atau tidak? Ah, bukan … itu hanya perasaanku saja. Biasa, orang yang bersalah akan merasa dituduh dengan sendirinya.
“Ahm, baru saja, kok Bu Fera.” Tak ingin membuatnya merasa tak nyaman, akhirnya aku berbohong. Padahal sudah agak lama aku berdiri dan mendengar beberapa penggal obrolannya. Sepertinya dia bicara dengan Pak Banyu, lelaki yang baru kukenali dari bingkai foto wisuda yang terpajang di ruang keluarga.
Ya, semenjak aku ngajar less privat Aluna, belum pernah bertatap muka langsung dengan Pak Banyu. Pernah bicara melalui telepon pun seperlunya. Sepertinya dia memang orang yang benar-benar gila kerja, sampai-sampai akhir pekan seperti ini pun memilih ke kantor dan menghabiskan waktu seharian di sana.
“Ibu tinggal ke dalam dulu, ya, Jingga! Mau check itu Bi Sesa, sudah selesai belum masak untuk makan malamnya.” Bu Fera pun berlalu meninggalkanku dan Aluna yang kembali melanjutkan belajar. Sebetulnya waktunya hanya tinggal setengah jam lagi, tapi karena Bu Fera menahanku untuk makan malam di sini, jadinya aku mengajak Aluna belajar santai sambil bercanda ringan sampai habis waktu mengajarku di sini.
Ponselku berdering, panggilan masuk dari Imelda. Aku lupa, belum mengabarinya. Tadi pagi dia yang mengantarku ke sini karena sepeda motor vega R warna merah keluaran generasi pertama milikku (warisan dari almarhum Bapak) sedang dibengkel.
“Jingga Nirmala sahabat baikku, sorry … aku jemputnya telat. Ini baru habis dimintai tolong sama Mama dulu ngambil belanjaannya yang ketinggalan di grosiran. Sudah kelar dari tadi, ya? Duh duh duh sorry banget, ini masih di jalan pun. Tunggu bentar lagi, ya.” Suara Imelda terdengar di antara deru kendaraan di belakangnya.
“Syukurlah belum jalan ke sini, Mel. Aku juga minta maaf, lupa mau ngabarin. Aku pulangnya malem. Diajak makan malam dulu sama Bu Fera. Gak enak pun mau nolak.”
“Whatss?? Diajak makan? Wah, wah, wah … jangan-jangan ….”
“Hushhh! Jangan suudzon dulu kamu, Mel. Bu Fera ulang tahun.”
Dia terkekeh lalu melanjutkan kalimatnya yang tadi seperti sengaja dijeda,”Siapa yang suudzon pun? Baru bilang jangan-jangan, sudah nyimpulin sendirian.”
Aku memutar bola mata ke atas. Semenjak dia ikut nganter ke sini dan lihat foto Pak Banyu serta tahu statusnya duda. Terus saja Imelda menggodaku.
“Sudah dulu, ya! Ini aku mau ikutan maghriban dulu.”
“Eh tapi nanti kamu pulangnya gimana?”
“Aku pesan ojol saja nanti. Gak usah risau. Kalau mau nolongin, ambilin sepeda motorku saja di bengkel Bang Ako, besok biar sudah bisa dipake.”
“Jam segini, mana ada bengkel masih buka. Besok aku jemput seperti biasa saja.”
“Oh ya udah, deh, oke.”
“Eko.”
Aku memutar bola mata ke atas. Kebiasaan Imelda suka maen plesetan, oke jadinya eko.
Tut!
Panggilan pun berakhir.
Aku menatap layar gawai yang akhirnya redup setelah kutekan. Gawai yang harganya sekitar satu jutaan dan ramnya pun alakadarnya teman setia. Beruntung masih bisa kumiliki hasil menyisihkan dari gaji bulananku yang gak seberapa.
Kumandang adzan terdengar seiring dengan ditutupnya panggilan. Aku yang kini sudah berada di ruang tengah kembali minta izin untuk numpang shalat maghrib sambil nunggu acara dimulai. Hanya saja, kenapa belum ada tamu satu pun yang datang? Mungkin masih terlalu sore, ya? Atau hanya aku saja yang diundang? Ah, gak mungkin kan, ya? Aku gak se-spesial itu … ingat, katanya aku ini cuma guru SD.
Mulai deh, baper lagi.
Usai shalat maghrib, Bu Fera meminta bantuanku mendandani Aluna. Dia masih sibuk katanya. Kini di kamar Aluna-lah aku berada. Kamarnya luas, sepertinya satu setengah kali lebih luas dari kamarku. Meja belajar, lemari pakaian dan beberapa container kecil berisi mainan tertata rapi.
Aluna sudah memakai dress princess warna merah, kontras sekali dengan kulit putihnya. Cantik, manis, menggemaskan serta pintar. Aku pun menyisir rambutnya yang panjang sepinggang dan hitam legam. Kalau dilihat-lihat, Aluna ini seperti karbitan, tubuhnya yang bongsor, rambut lebat dan otaknya yang cepat tanggap membuatnya tak terlihat seperti anak usia enam tahun pada umumnya. Usai menyisir rambutnya, lekas kupasang mahkota kecil pada kepalanya.
“Yang ulang tahun itu Una atau Oma, sih? Kok Una yang cantik kayak princess gini? Oma pake juga gak ini bandonya?” Aku menggodanya. Dia tertawa kecil membuat lengkungan lesung pipi mempermanis senyumannya. Satu hal yang harus digaris bawahi, aku dan dia sama-sama memiliki lesung pipi. Namun senyumnya tak berkembang lama, dia menatapku seperti ragu-ragu lalu bicara, “Miss, Una mau kasih tahu sesuatu … tapi ini rahasia, ya?”
“Rahasia gimana?”
Aku menyimpan sisir pada tempatnya semula. Lalu menatap lekat wajah imutnya.
“Ahmm jadi gini, Oma itu sebenarnya ….”
Krieet!
Belum selesai Aluna bicara, pintu terbuka. Aku dan Aluna sama-sama menoleh, kukira Bu Fera yang datang. Namun cukup terkejut ketika yang muncul sosok lelaki yang masih menenteng tas laptop di tangannya. Kaca mata masih bertengger menghiasi hidung bangirnya. Bibirnya tampak merah alami, tapi tak terlihat seberkas senyum pun di sana. Hanya tatapan tajamnya dari balik kaca mata yang menatap ke arahku.
Bab 3
MAAF, ANAK IBU CUMA GURU SD! (3)
Hanya suara denting sendok yang terdengar. Makan malam yang aku kira akan ramai dengan teman-temannya Bu Fera ternyata sama sekali salah. Di ruang makan bernuansa lesehan ini, hanya ada aku, Aluna, Bu Fera dan Pak Banyu. Kami duduk melingkar di sebuah meja kayu yang didesain khusus. Rupanya selain ruang makan dengan kursi dan meja biasa, di teras dapur juga ada tempat bersantai yang memiliki tempat makan lesehan. Setelah kepulangan Pak Banyu tadi, Bu Fera langsung menggiring kami ke ruang makan.
“Ayo yang banyak makannya, Jingga. Ini ikan salmon yang dimasak Bi Sesa itu sangat enak.” Bu Fera hendak mengambilkan potongan ikan salmon lagi ke piringku.
“Saya sudah kenyang, Bu … makasih.” Aku bukan sudah kenyang sebetulnya, tapi sudah tak nyaman. Sejak kedatangan Pak Banyu, semua jadi terasa canggung apalagi sikap diam dan juteknya Pak Banyu mendominasi. Hanya Bu Fera saja yang mengajakku mengobrol sejak tadi.
“Makan kamu kok dikit banget, Jingga, sebelas dua belas sama Banyu.” Dia melirik Pak Banyu. Rupanya Pak Banyu pun sudah meletakkan sendoknya di atas piring. Kini tangannya tengah meraih teko berisi air bening dan mengisi ulang gelasnya yang sudah kosong.
Aku hanya nyengir kuda. Bingung mau komentar apa. Kulirik jam pada pergelangan tangan, masih sore. Baru pukul setengah delapan. Aku pun sambil menunduk dan mengotak-atik ponsel untuk mencari-cari ojek online.
“Iya, Bu Fera. Alhamdulilah sudah kenyang. Selamat ulang tahun, ya, Bu Fera. Mohon maaf saya gak ngasih kado. Semoga panjang umur dan sehat selalu.” Aku mengucapkan ucapan selamat dan doa itu sekali lagi. Layar gawai masih terbuka dan kuletakkan di samping kananku saja. Sementara itu, aku menuang air dalam gelas dan meminumnya sedikit-sedikit untuk mengulur waktu.
Uhuk! Uhuk! Uhuk!
Kalimatku terjeda karena Pak Banyu terbatuk, tapi tak sepatah kata pun terlontar. Dia pun bangun setelah menyimpan gelas berisi air bening yang sisa setengah setelah melirik dengan tatapan seperti tak suka pada Bu Fera.
“Banyu!” Panggilan dari Bu Fera membuat langkah Pak Banyu terhenti. Dia menoleh.
“Apa?” Sorot matanya hanya lurus memandang ke arah Bu Fera saja.
“Nanti anter Jingga pulang!” Seketika ucapan Bu Fera membuatku yang sedang salah tingkah dan sejak tadi minum air yang ada dalam gelas bening sedikit-sedikit hampir tersedak.
“Ahm, gak usah, Bu! Saya naik ojol!” Aku menampik sambil menatap Bu Fera. Mencoba memasang senyuman setulus yang aku bisa, meski kuyakin gagal.
“Ojol? Pasti belum dapet ‘kan? Jam segini tuh tukang ojol susah. Di sini ada pangkalan opang di perempatan depan luar cluster. Jadi ojol-ojol jarang berani masuk dan ngambil trip dekat.”
Oh begitu rupanya? Pantas saja sejak tadi tak ada yang mengambil pesanan dari applikasi ojek onlineku.
“Hmmm … pantas saja. Kalau gitu, biar saya dijemput teman saya saja, Bu. Gak enak kalau merepotkan Pak Banyu.”
Pak Banyu pun mengangguk dan berlalu begitu saja setelah mendengarkan kalimatku.
“Ah gak repot, kok, Jingga. Biar Banyu sambil ngajak Aluna jalan. Banyu itu terlalu sibuk dengan hidupnya sendiri. Kasihan Aluna, Jingga.” Bu Fera bersikeras, walau Pak Banyu tampak secara tersirat pun menolak.
“Una, habis makan anterin Miss Jingga pulang, ya, bareng Papa!” Tanpa persetujuanku, dia langsung saja bertanya pada Aluna.
“Oke, Oma.” Aluna tampak sumringah.
“Duh …,” batinku. Hanya helaan napas pelan kuhembuskan.
Usai makan, aku pamit ke toilet. Padahal itu hanya alibiku saja. Aku mengambil gawai dan menghubungi Imelda.
“Hallo!” Tak menunggu waktu lama, dia mengangkat telepon aku.
“Mel, bisa minta tolong, gak? Jemput dong sekarang!” rengekku sambil berdiri di depan wastafel menatap pantulan diri di depan cermin. Kubetulkan kerudung segi empatku yang sedikit miring.
“Lah, katanya mau naik ojol! Sekarang aku lagi nganter Mama kondangan! Besok lagi ya aku jemputnya, sorry.”
“Oh ya sudah!”
Pasrah kututup telepon. Lalu keluar dari kamar mandi dan mencari-cari Bu Fera untuk pamitan. Tampak dia sudah ada di teras dan berbincang dengan wajah serius dengan Pak Banyu. Hanya saja aku tak bisa mendengar apa yang mereka bicarakan, karena ketika aku mendekat, obrolannya pun berhenti begitu saja.
“Bu, saya pamit pulang!”
“Biar Banyu yang nganter, Jingga. Dia juga sekalian mau keluar? Iya ‘kan, Banyu?”
“Terserah Mama.”
Tuh kan, dia tuh gak mau. Bu Fera ini sukanya maksa. Aku melirik Pak Banyu, wajahnya masih dingin dan ekspresinya datar seperti tadi. Sepertinya hanya titah Bu Fera saja, tak ada sedikit pun lelaki itu berniat mengantarku.
“Gak usah, Pak, Bu … saya beneran sudah dijemput Imelda. Gak enak nanti kalau malah dianter, kasihan Imeldanya! Dia nunggu di depan. Permisi! Assalamu’alaikum!”
Aku pun memutuskan untuk keluar dulu saja dari rumah ini dan berjalan sampai gerbang depan lalu nyari ojek pangkalan.
“Wa’alaikumsalam!” Suara Bu Fera terdengar berat.
Aku pun melambaikan tangan pada Aluna dan mengulas senyuman sekilas, lalu berjalan tergesa meninggalkan rumah megah dengan gerbang tinggi ini.
Akhirnya lega .…
Cluster ini cukup besar. Aku harus jalan kaki cukup jauh untuk tiba di gerbang keluar yang hanya satu akses ini. Semoga saja besok si Vega-ku sudah nyala sehingga aku tak lagi kerepotan seperti ini. Nasib apes kayaknya masih berlanjut, gerimis pun mulai turun dan membuat aku harus mempercepat jalanku.
Tin! Tin! Tin!
Suara klakson terdengar. Aku menoleh dan tampak pajero sport warna hitam metalik melaju lambat beberapa langkah berjarak dariku. Tiba-tiba kacanya diturunkan dan menyembullah kepala Aluna.
“Miss! Ayo naik!” Suara Aluna terdengar.
Aku mematung dan menimbang sejenak. Kulirik lelaki yang duduk di samping Aluna yang hanya fokus pada kemudi.
“Naiklah! Saya antar!” Suara bariton itu seolah paham aku yang sedang ragu akan tawaran gadis kecilnya.
Gerimis yang beralih menjadi hujan, membuatku tak memiliki pilihan. Aku pun segera masuk dan duduk di kursi belakang. Kukira dia mau komplen dan memintaku pindah duduk ke depan seperti pada film-film yang aku biasa tonton. Hanya saja, rupanya aku salah. Dia langsung saja melajukan mobilnya tanpa mempermasalahkanku duduk di mana.
Sepanjang perjalanan, aku hanya mengobrol dengan Aluna, tak sedikitpun bercakap-cakap dengan Pak Banyu. Dia seperti bongkahan es yang baru keluar dari freezer. Dingin, kaku dan beku. Pantas saja meskipun kaya, tampan tapi masih menduda.
Perjalanan yang biasanya singkat ini, terasa amat lama. Aku bernapas lega ketika sudah mendekati rumah tinggalku yang kuhuni hanya berdua dengan Ibu.
“Lurus dikit lagi, Pak. Lalu belok ke kiri. Rumah yang catnya warna hijau, depannya ada pohon mangga.” Aku memberikan arahan tanpa dia minta. Biar cepat sampai dan bisa bernapas lega. Namun, pada jarak beberapa meter lagi, aku menautkan alis ketika melihat mobil berwarna silver metalik sudah terparkir di depan rumah dan juga tampak kerumunan para tetangga.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
