
Free bab. Yuk baca!
Bab 7
Di Bandara Internasional Juanda Surabaya, seorang lelaki mengacak rambut frustasi. Gara-gara tadi drama mobil mogok, akhirnya dia ketinggalan penerbangan yang menuju Bandara Internasional Soekarno Hatta. Bibirnya berdecak dan dia menjatuhkan tubuhnya pada kursi yang berderet rapi di Bandara.
Gegas dia mengangkat benda pipih dan menghubungi seseorang yang dimintanya untuk datang ke sana.
“Hallo, Rin, masih di mana?”
“Bentar, sih, Mas! Kemarin ditawarin nginep di apartemenku gak mau! Rasain, telat deh, tuh!”
“Takut jadi fitnah, Rin!”
“Terus sekarang? Telat kan? Emang enak!”
“Ck, sudah gak usah bahas!”
“Dasar Mas Baska tukang ngeyel!”
Panggilan pun ditutup. Harga ticket yang melonjak tinggi membuat lelaki yang tak lain adalah Mas Baska tak berani membeli ulang. Pada akhirnya dia menyerah dan memilih pulang ke Bekasi menggunakan kendaraan roda empat dan menyetir sendiri.
Selang tiga puluh menit, Karina si gadis tomboy itu muncul. Dia tergelak melihat wajah frustasi lelaki yang kemarin menolak tawarannya untuk tinggal di apartemen. Karina langsung duduk di samping Mas Baska yang baru saja bernapas lega.
“Bilang Abi, Mas jadi pinjam mobilnya.” Mas Baska menoleh pada Karina.
“Yes, kalau pinjam berarti nanti ada rencana balikin ke sini lagi, dong!” Kedua mata Karina berbinar.
“Nanti Mas suruh orang buat kirim!” Mas Baska bangkit lalu menyodorkan tangan meminta kunci pada gadis tomboy dengan rambut sebahu itu.
“Harus Mas Baska pokoknya yang balikin! Kalau enggak, gak mau aku minjemin, we!” Karina menjulurkan lidah dan menatap sengit ke arah Mas Baska.
“Gimana Abi mau cepet mantu, kelakuan kek bocah! Sini kuncinya! Mas sudah gak ada waktu.” Mas Baska memasang wajah serius. Akhirnya Karina menyerahkan kunci mobil itu pada Mas Baska.
“Mas balik dulu, ya! Bae-bae loh, entar dikawinin!” kekeh Mas Baska seraya menyentil dahi Karina yang tertutup poni tak rata.
Hanya cebikan dari Karina. Dia pun menyerahkan kunci mobil itu pada Mas Baska dengan dilempar begitu saja. Untung Mas Baska sigap menangkapnya.
“Kenapa, sih, aku jadi anak satu-satunya? Ck! Enak kan kalau punya kakak.” Karina cemberut ketika langkah Mas Baska mulai menjauh meninggalkannya. Tak lama dari itu dia berlari dan mengejar Mas Baska. Berjalan mengekori langkah panjang lelaki itu hingga tiba di parkiran.
“Mas pulang dulu, ya! Assalamuálaikum!” Mas Baska melambaikan tangan pada Karina setelah memasukkan barang-barang ke bagasi mobilnya. Perjalanan Surabaya – Bekasi sudah menanti. Andai bukan menjelang hari Raya, mungkin lebih baik menunggu ticket selanjutnya. Namun sayang, flight kelas ekonomi sudah habis dan hanya tinggal bisnis class yang harganya selangit.
“Bye-bye, Mas! Wa’alaikumsalam!” Karina memasang senyum. Namun tak lama, setelah mobil yang ditumpangi Mas Baska keluar dari parkiran dan menghilang dia berteriak dengan kencang.
“Aaaarghhh!” Ditinjunya angin dan dia mengabaikan orang-orang yang tengah ramai memperhatikannya dengan heran.
Mas Baska mulai menyetir. Diinjaknya gas perlahan. Doa-doa dalam dada dia langitkan.
“Aya … Mas pulang … Kiran … Ayah pulang ….” Mas Baska tersenyum membayangkan akan sebahagia apa Cahaya dan Kiran ketika tahu jika dia pulang. Kepulangannya sengaja disembunyikan agar menjadi kejutan. Dia pun sudah selesaikan semua utang berjumlah milyaran itu. Kini dia pun dipercaya mengelola sebuah perusahaan trading milik Abi yang tengah launching di daerah Bekasi. Perusahaan yang sebagiannya ada saham atas nama dirinya di dalamnya.
***
Kondisi Kiran, benar-benar membuat Cahaya panik. Cahaya pun sudah menelpon Ibu. Perempuan paruh baya itu datang tergopoh dan menggantikan Cahaya berjaga di klinik, meninggalkan suaminya yang sebetulnya tengah sakit-sakitan juga.
“Ibu gantikan dulu jagain Kiran, ya!” Cahaya menatap wajah teduh perempuan pemilik surganya itu.
“Iya, Aya.” Ibu mengangguk. Cahaya sudah membeberkan panjang lebar kalau dia akan pergi mencari pinjaman. Tadi sudah menelpon Mbak Fatma, tetapi tak diangkatnya. Dia ingat jika Mbak Fatma lagi buka bersama di rumah Ibu mertuanya. Biasanya Mbak Fatma sedikit lebih berprikemanusiaan dari pada Mbak Fiska. Buktinya saja kemarin tetap dapat pinjaman untuk membelikan baju lebaran Kirana.
Dengan menaiki ojek. Rumah yang pertama dituju tetap rumah Ibu mertuanya. Untuk meminjam ke tetangga lain, Cahaya pesimis. Dua juta rupiah bukan bilangan kecil. Apalagi menjelang hari raya, semuanya pasti memiliki kebutuhan.
Alunan suara murotal pada masjid-masjid dan bedug yang bertalu sepanjang jalan, hanya itu yang menemaninya. Suara-suara orang melantunkan solawat berseling dari satu masjid ke masjid lainnya. Malam ini, terpaksa Cahaya melewatkan solat tarawih berjamaah.
Sampai di depan rumah mertuanya, kondisi masih ramai. Mobil Mas Fajri pun tampak terparkir di garasi. Tak seperti yang dibilang Mbak Fiska tadi kalau Mas Fajri tengah pergi.
Meskipun ragu, Cahaya tetap mengetuk pintu rumah yang memang masih sedikit terbuka itu. Mbak Fatma yang muncul. Ruang tengah masih berantakan. Beragam makanan tampak memenuhi karpet yang mereka gelar. Anak-anak Mbak Fatma tengah tiduran pada karpet bulu dan tampak bercanda satu sama lain.
Akhirnya Cahaya mengutarakan niatnya pada Mbak Fatma. Bu Rini mendengarkan. Dia seperti kaget mendengar Kiran sakit. Namun sepertinya tetap memilih diam.
“Alah, paling ngada-ngada, Ma. Paling juga cari uang doang buat modal lebaran! Sampai segitunya, ya!” Mbak Fiska terdengar berujar sinis.
“Emang uang yang tadi Baska kasih, sudah habis?” Bu Rini sepertinya lebih percaya pada omongan Mbak Fiska.
“Yang Mama kasih tadi sudah aku belikan beras juga dan kebutuhan lain-lainnya, Ma. Lagian uangnya hanya tiga ratus ribu, buat Kiran dirawat itu bayar awalnya saja dua juta, Ma. Mungkin kalau rawat inapnya lebih, bisa lebih juga.”
“Sakit tipes itu akal-akalan dokter saja, Aya! Dulu Mbak juga waktu Siska dibilang sakit tipes, Mbak minta pulang saja! Berobat pake obat warung juga sembuh. Apalagi kamu memang gak ada uang. Jadi gak usah maksain. Bilang saja mau rawat jalan!” Mbak Fatma angkat bicara.
“Nah itu baru Ibu yang cerdas! Jangan apa-apa mewek, apa-apa panikan! Bisanya nyusahin orang doang!” omel Mbak Fiska.
Cahaya menggigit bibir bawah. Rupanya keragu-raguannya memang berbuah cemoohan saja. Cahaya tak berlama-lama, lekas pamitan pulang. Percuma juga, mereka bahkan mengira sakitnya Kiran hanya mengada-ada.
Langkah Cahaya yang sudah sampai jalanan terhenti ketika suara seseorang terdengar memanggil. Langkah cepat lelaki itu akhirnya bisa mengejar Cahaya.
“Pakailah ini. Pinnya nanti Mas kirim lewat WA!” Mas Fajri sudah berdiri dan tanpa Cahaya sangka meletakkan kartu ATM pada telapak tangannya.
“A--apa ini, Mas?” Cahaya melongo melihat kartu berwarna biru itu.
“Buat kamu … Mas tahu kamu gak bohong. Kiran pasti emang lagi sakit.” Mas Fajri menatap lembut. Cahaya mematung ragu. Namun tak urung juga dia tersenyum dan mengucap terima kasih.
“Makasih banyak, Mas. Uangnya nanti pasti Aku ganti, walau gak janji bisa cepat.” Cahaya berucap dengan bibir bergetar.
“Gak usah diganti, Aya. Mas hanya minta satu malam saja dari kamu.” Ucapan itu seketika membuat kebahagiaan Cahaya terhempas begitu saja. Dia mengepal erat dan dengan mata mengembun menatap lelaki yang berdiri di depannya.
“Aku tak serendah yang kamu pikir, Mas!” Cahaya mengembalikan kartu ATM itu pada Mas Fajri.
“Aya, Baska gak akan pulang! Kamu gak usah sok jual mahal! Mau minta tolong sama siapa lagi kamu? Mau lebaran gini, semua orang uangnya dipakai.” Mas Fajri tersenyum merendahkan, tangannya mencekal pergelangan tangan Cahaya.
“Aku punya Allah, Mas! Aku gak butuh belas kasihan kamu! Suamiku pasti akan pulang! Dia akan pulang!” Cahaya mengepal dan menepis kasar cekalan Mas Fajri pada lengannya.
***
Bab 8
PMJS (8)
Cahaya sudah duduk di depan ruangan administrasi. Namun prosedur, tetaplah prosedur. Akhirnya mau tak mau, Kirana harus dibawa pulang. Cahaya hanya mampu pasrah pada takdir yang terasa cukup getir. Ibu mana yang tega melihat putri semata wayangnya terkulai lemah seperti sekarang. Satu kantung obat dia tebus. Beruntung masih ada sisa uang, jadi saat ini untuk obat masih bisa ditebusnya.
Cahaya memeluk tubuh Kirana yang menggigil tetapi terasa panas. Hatinya menjerit memanjatkan doa, berharap terketuk pintu langit. Ibu hanya mampu menyeka air mata melihat Cahaya memapah cucunya ke luar.
“Ibu sama Kiran tunggu sebentar, ya! Mau cari ojek dulu.” Cahaya menguatkan diri agar tak menangis. Dia terburu-buru keluar setelah Kirana terlihat sedikit lebih nyaman tertidur pada pangkuan Ibu pada kursi tunggu di teras klinik. Waktu sudah menanjak malam. Suara takbir dari masjid yang berseberangan dengan klinik terdengar. Semua sedang menyelesaikan terawih ketika Cahaya berjalan tertatih. Berulang kali dia menyeka air mata. Sedih, rasanya ingin memaki takdir. Namun, Cahaya sadar. Hanya orang-orang terpilih yang memang mendapat ujian. Namun, mungkin juga ini hukuman atas dosa besar yang bahkan katanya melebihi dari dosa zina yang sudah Cahaya dan Mas Baska lakukan empat tahun silam. Andai dengan hukuman ini dosa-dosanya yang teramat sangat menggunung itu terhempaskan, Cahaya belajar ikhlas, pasrah dan tabah.
Benar saja, tukang ojek pangkalan sudah bubar. Tak ada satu pun lagi yang duduk di tempat biasanya mereka mangkal. Beruntungnya, seorang Lelaki paruh baya dengan jaket ojol tampak masih mencari penumpang. Cahaya mendekat dan mencoba meminta tolong.
“Pak, kalau gak pakai applikasi, bisa?” Cahaya menatap tukang ojol tersebut.
“Duh, mending pake applikasi, Mbak. Soalnya lumayan biar saya dapat bonusan trip. Lagi ngumpulin uang juga buat beli ketupat.” Lelaki paruh baya dengan helm warna hijau itu tampak keberatan.
“Maaf, quota saya habis, Pak. Anak saya sakit, sekarang mau pulang dari klinik.” Cahaya berucap lirih.
“Kok masih sakit malah pulang, Mbak?” Mendengar jika anak Cahaya sakit. Lelaki tersebut menautkan alis.
“Biasa, Pak. Terkendala biaya. Maklum kami orang gak punya.” Satu tetes air mata luruh juga. Cahaya lekas seka. Dia tak mau terlihat cengeng sebetulnya.
“Di klinik mana emang, Mbak?” Sikap pengemudi ojol itu mulai lunak dan kini tampak iba. Cahaya menyebutkan kliniknya. Lelaki tampak manggut-manggut.
“Iya kalau di klinik itu agak ketat, sudah kayak rumah sakit saja. Ya sudah, Mbak. Ayo … saya antar Mbaknya sama anaknya pulang. Kalau Mbak mau, saya ada kenalan dokter yang buka praktik di rumahnya. Di sana harganya cukup murah.” Pengemudi ojol itu menyalakan sepeda motornya setelah mematikan paket data pada ponselnya untuk menghindari pesanan masuk dan dia tak bisa mengambilnya.
“Alhamdulilah … makasih sebelumnya, Pak. Gak harus bayar di muka ‘kan ya, Pak?” tanya Cahaya seraya menerima helm dari pengemudi ojek online tersebut.
“Kemarin adik saya itu habis empat botol, Mbak. Itu bayarnya lima ratus ribuan kalau gak salah. Mungkin kalau anak-anak gak butuh banyak juga, bisa gak terlalu mahal. Di sana bisa bayar belakangan.”
“Ya sudah, Pak. Bisa bantu antarkan kami ke dokternya itu? Bisa bayar besoknya lagi ‘kan, ya?” Cahaya ketar-ketir. Karena kini dirinya sudah benar-benar tak memegang uang lagi. Hanya tersisa satu lembar warna hijau untuk ongkos ojeknya. Namun hati kecilnya memegang teguh keyakinan kalau ada Allah bersamanya.
“Bisa, Mbak. Nanti bicara saja dengan dokternya.”
Setitik harap hinggap. Cahaya bermunajat mengucap syukur. Ini pun baginya adalah rejeki. Pertolongan Allah bisa datang dalam bentuk apa saja, termasuk bertemu pengemudi ojol yang akhirnya membawa Cahaya dan Kirana kembali ke rumah dokter yang membuka praktik itu. Dipeluknya tubuh Kirana yang menggigil tapi panas, berulang diciuminya pucuk kepala Kirana dan dihujani air mata.
Setibanya di sana, Cahaya disambut seorang dokter perempuan paruh baya yang cukup ramah. Kiran langsung ditangani dan kini sudah terbaring di ruang rawat. Pengemudi ojol itu tampak simpatik, dia ikut menunggui sampai pemasangan infusan Kiran selesai baru berpamitan untuk pergi.
“Saya jemputkan Ibunya Mbak dulu, ya! Antar ke sini ‘kan?” tanyanya.
“Hmmm … boleh antar ke rumah Ibu saya saja, Pak. Soalnya di rumah, Bapak juga memang sakit-sakitan, gak ada yang nunggu. Hanya saja, uang saya sudah habis, Pak. Apa bayarnya bisa pake beras, ya? Uangnya saya ada segini saja.” Cahaya mengeluarkan satu lembar warna hijau terakhir dari dompetnya.
“Masya Allah … yang sabar, ya, Mbak. Orang yang sedang diuji itu biasanya akan naik tingkat. Semoga Mbak bisa ikhlas dan sabar melewati ujian ini. Insya Allah saya ikhlas nolong, Mbak. Gak usah bayar lagi gak apa.” Pengemudi ojol itu tampak kaget mendengar jika Bapak Cahaya lagi sakit juga.
“Alhamdulilah, Pak … semoga Allah balas kebaikan Bapak. Doakan saya banyak rejeki, Insya Allah nanti silaturahmi ke tempat Bapak.” Hati Cahaya langsung tersentuh. Rupanya orang-orang baik itu tetap ada, walau dirinya bukan lagi si kaya. Terkadang memang tak masuk logika, ketika saudara seperti orang lain karena kita tak berpunya, tetapi selalu ada satu titik di mana ada hikmah yang bisa di ambil dari semua ini. Cahaya jadi tahu, siapa yang sebetulnya tulus dan tidak. Seperti keluarga Mas Baska, yang dulu teramat sangat dekat dan bergantung padanya, tetapi setelah dia jatuh miskin, semua menguap bersama harta yang dulu bergelimang dimilikinya.
Pengemudi ojol pun lekas berangkat dan menjemput Ibu Cahaya untuk pulang. Sementara itu, Cahaya lekas masuk ke dalam ruangan rawat itu, tetapi dia meliahat keringat dingin bermunculan pada dahi Kiran dan tampak putrinya itu mulai gelisah.
“Ayah! Ayah! Ayah!” Kiran terus meracau. Cahaya pegang keningnya dan panasnya terasa sangat tinggi.
“Ya Allah, kok panasnya naik lagi? Dokter! Dokter! Panasnya rasanya tinggi banget!” cemas Cahaya sambil berlari mencari dokter untuk mendapatkan arahannya. Hatinya ketar-ketir, pikiran buruk melintas, tetapi sebisa mungkin, Cahaya masih tetap berhusnuzon pada takdir.
***
Kondisi jalan tol yang padat merayap membuat perjalanan darat Mas Baska terhambat. Meskipun tak seramai puncak mudik, tetapi masih ada yang berangkat H-1 sebelum raya. Besok sudah lebaran, Mas Baska harus kerja keras agar bisa sampai tepat waktu dan memberi kejutan manis untuk keluarganya. Diliriknya sesekali tumpukkan oleh-oleh untuk Cahaya dan Kirana. Ada kerinduan menggunung menyesaki dada. Berharap segera melewati daerah jawa tengah, karena arus ke arah Jakarta biasanya lengang.
Malam kian larut, Mas Baska yang sudah mulai merasakan lelah menepi di sebuah rest area. Bergegas dirinya menuju mushola dan menunaikan empat rakaat shalat isya, lalu dilanjut terawih 11 rakaat dengan witir. Setelah itu, dirinya merebahkan tubuh untuk sekadar meluruskan pinggang sejenak sebelum kembali lanjut perjalanan.
Setelah beberapa saat, dia bangkit lalu menuju sebuah minimarket yang masih buka. Dibelinya satu gelas kopi hitam untuk menyegarkan mata. Jiwanya masih di perjalanan, tetapi pikirannya sudah tiba di rumah. Bayangan wajah Cahaya dan Kirana bergantian membayang. Perlahan jemarinya beralih pada tombol panggil, entah kenapa tiba-tiba pikirannya merasa tak tenang. Namun, rupanya ponsel Cahaya gak aktif. Entah kenapa perasaannya begitu tak nyaman
“Kiran, kok Ayah kepikiran terus ya, Nak, ya?” Dia beralih menatap foto pada galeri ponselnya. Wajah Kirana yang empat tahun lalu masih berusia dua tahun ketika dia pergi. Rambutnya dikuncir dua dan matanya menyipit karena sedang tertawa. Karena rasa cemas semakin menjadi, akhirnya Mas Baska gegas menelpon Mama tercintanya. Tiga kali mencoba barulah panggilannya diangkat.
“Assalamu’alaikum, Ma!”
“Wa’alaikumsalam, Bas. Kamu kok malem-malem nelepon? Ada apa?” Suara serak khas orang bangun tidur terdengar.
“Ini, Ma. Aya kok nomornya gak aktif. Baska keingetan terus sama Kirana. Mereka baik-baik saja ‘kan, ya?” telisik Baska.
Bu Rini terdiam sebentar. Dia harus tetap tampil sebagai mertua yang baik untuk Cahaya agar Mas Baska tetap percaya padanya.
“Oh itu, Bas. Tadi Kiran agak anget badannya. Sudah dikompres, kok. Sekarang sudah baikan. Kamu gak usah khawatir, ya. Ini Kirannya sudah tidur di samping Mama.”
Mendengar kalimat yang menenangkan itu Mas Baska tersenyum. Dia segera mengalihkan mode panggilan menjadi mode video. Dirinya benar-benar ingin melihat Kirana sekarang.
***
Bab 9
PMJS (9)
Maafkan slow update. Semoga besok bisa konsisten lagi.
Suhu tubuh Kirana mulai mereda setelah dokter memberikan obat lagi. Cahaya bisa sedikit bernapas lega. Dikecupnya kening Kirana yang kini mulai kembali terlelap. Puasa sehari lagi besok. Tak sepeser pun uang yang kini dipegang Cahaya.
Cahaya mengambil wudhu, beruntung ada fasilitas untuk shalat. Cahaya mengambil perlengkapan shalat di pojok ruangan, lantas segera menunaikan ibadah shalat isya empat rakaat. Tak jauh-jauh, dia menggelar sajadah di samping ranjang rawat. Suasana asing dan sepi.
Empat rakaat pun kelar, diliriknya Kirana, tampak sudah semakin tenang. Cahaya melanjutkan dengan tarawih sendirian. Dilanjut witir dan terakhir dia memanjatkan bacaan doa sebiasanya.
Dilipatnya mukena itu kembali bersama sajadahnya lalu dikembalikan ke tempat semula. Cahaya duduk pada kursi yang ada di tepi ranjang rawat, dipegangnya dahi Kirana masih panas, meski tak sehebat tadi.
“Sepertinya besok mendingan pulang saja, deh … sudah reda panasnya … kalau di sini sampai beberapa hari, berat nanti bayarnya,” lirih Cahaya dalam dada.
Ditatapnya wajah Kirana, ada rasa sedih membekas dalam sekali.
“Cepat sembuh ya, Kiran … katanya nanti lebaran pengen dibuatin kue sama Mama ….” Cahaya menyeka air mata yang tiba-tiba meleleh lagi. Kepalanya berdenyut, memutar otak, mencari jalan bagaimana bisa mendapatkan pinjaman tanpa harus meninggalkan rumah dokter tersebut.
“Nasib jadi anak tunggal.” Cahaya menghela napas kasar.
Ponsel mati dan kehabisan kuota, mau naik ojek, uang sudah habis, mau pergi ninggalin Kirana, gak tega. Mau minta bantuan Ibu, tetap saja harus dirinya yang memikirkan ojeknya.
“Ya Rabb … andai dengan semua kesusahan ini bisa membersihkan dosa-dosa kami di masa lalu, mampukan aku untuk iklhas ….”
Sekilas terbayang gelimang kemewahan empat tahun silam yang didapatkan dengan lonjakkan-lonjakkan mengejutkan. Hidup yang dari miskin tiba-tiba menjadi kaya ketika dipersunting seorang Baskara. Hidup yang rasanya nyaris sempurna. Senyum Mas Baska, pelukan hangat dan segalanya tiba-tiba membayang begitu saja.
“Mas … aku kangen … pulanglah … aku butuh kamu.”
Cahaya menangkup wajah, membiarkan bulir bening berjatuhan membasahi pipi. Di saat seperti ini, ingin sekali rasanya keajaiban datang, Mas Baska tiba-tiba ada di depan dan turut menguatkan. Namun kini hanya bisa menangis, meskipun tak menyelesaikan masalah, tetapi setidaknya sedikit meringankan beban.
Akhirnya Cahaya tertidur dengan kepala tertunduk pada ranjang rawat dengan salah satu tangan sebagai bantalnya.
“Ayah! Ayah!” Suara serak Kirana terdengar samar. Cahaya mengerjap, tampak kedua mata Kiran masih tertutup. Rupanya dia mengigau dan memanggil-manggil ayahnya.
“Ini Mama, Sayang …..”
“Ayah … ayah ….”
Tetap saja, yang keluar dari mulut Kirana adalah kata ayah. Mungkin dalam alam bawah sadarnya, gadis kecilnya tengah benar-benar merindukan sosok seorang ayah. Bukan hanya Kirana, sebetulnya Cahaya pun sama, sangat merindukan sosok Mas Baska.
“Duh kok panas lagi?” Cahaya panik, ternyata suhu tubuh Kirana naik lagi. Dia gegas beranjak dan memijit bell yang terhubung dengan ruangan dokter yang buka praktek itu. Dipijitnya bell tersebut, tiga kali memijita barulah sosok perempuan paruh baya itu muncul.
“Dokter, maaf. Panasnya Kiran naik lagi.” Cahaya berbicara dengan wajah panik.
“Gak apa-apa, Bunda. Hari pertama memang biasa begini.” Dia membawa termometer lalu mengecheck suhu tubuh Kiran. 39 derajat celcius. Pantas saja sudah mulai meracau lagi, panasnya hampir empat puluh.
Dokter kembali ke ruangannya, lalu tak lama kembali. Dia diberikan obat dan menyuntikkan sesuatu pada botol infusnya.
“Kalau panasnya masih belum reda. Panggil saya lagi ya, Bunda.” Dokter tersebut berbicara seraya mengeheck denyut nadi Kirana yang masih meracau memanggil-manggil ayah.
“Iya, Dok. Makasih. Hmmm … besok puasa sehari lagi, apa kondisi Kirana sudah memungkinkan untuk pulang?” tanya Cahaya, harap-harap cemas.
Dokter tersebut tertegun, ditatapnya wajah Cahaya lekat-lekat. Dia bisa membaca ada sirat cemas dari tatap matanya.
“Sekarang saja panasnya masih tinggi, Bunda. Sepertinya setidaknya tiga hari harus rawat inap.”
Ucapan dokter tersebut membuat Cahaya terpaku. Namun tak urung jua mengangguk meski berat.
Malam berlanjut, karena tak ada makanan, puasa terakhir, Cahaya tak sahur. Hanya meneguk air galon sepuasnya yang disediakan dokter tersebut di ruangan.
“Bismillah … kuat … kuat … kuat!”
Usai membaca niat sahur, Cahaya meyakinkan hati kalau semua akan baik-baik saja. Kirana sudah kembali lelap dan panasnya berangsur turun.
Seharian, Cahaya menghabiskan waktu di sisi ranjang rawat. Sendiri, benar-benar sendiri. Semua orang tengah sibuk mempersiapkan hari raya yang esok hari akan datang. Hanya untaian zikir dan alunan doa yang dilangitkan. Tak banyak yang diminta, Cahaya hanya mengharap dosa-dosanya yang mungkin melebihi busa dilautan mendapatkan ampunan.
“Mama … mau pulang ….” Suara Kirana membuat Cahaya menoleh cepat. Putri kecilnya tampak sudah tak sepucat semalam dan sudah membuka mata. Kedua netranya tampak masih sayu, bibirnya kering dan suaranya terdengar parau.
“Alhamdulilah, Kiran sudah bangun. Hmmm … ini makan dulu, ya! Harus makan yang banyak biar cepat sembuh, nanti kita boleh pulang.”
Cahaya menatap wajah tersebut dengan senyum yang terang. Dia tak ingin jika Kiran tahu hatinya tengah kelabu.
“Kalau habis makan, nanti boleh pulang, Ma?” lirihnya bertanya.
“Ahmmm … makan dulu, nanti biar dokter periksa lagi … kata dokter, kalau Kiran makannya banyak bisa cepat pulang.”
Kirana mengangguk, suapan demi suapan akhirnya masuk. Meskipun tampak mengunyah dengan enggan, tetapi akhirnya setengah porsinya juga habis.
Dokter kembali berkunjung. Dia memeriksa kondisi Kirana. Senyum terpatri pada wajahnya.
“Wah, panasnya sudah turun … obatnya diminum, ya … anak pintar.”
Kirana tak sulit kalau minum obat. Sejak kecil, dia menyukai apapun yang diberikan padanya asal dari tangan Cahaya.
Kondisinya semakin membaik, tetapi masih tak diijinkan untuk pulang. Besok mungkin bisa dipertimbangkan.
Kini kecemasan Cahaya pada kondisi Kiran, sedikit berkurang. Dia sudah mulai membaik. Namun tidak dengan keruwetan pikiran Cahaya memikirkan uang untuk membayar biaya rawat inap Kiran.
Suara mobil yang berhenti di depan terdengar. Cahaya kira ada orang lain yang sakit dan mau berobat, tetapi ternyata yang datang itu adalah Ibu.
"Ibu di anter siapa?” Cahaya menatap wajah Ibu yang selalu teduh di matanya dan mencium punggung tangannya dengan khidmat.
“Ahm itu, tadi ada tetangga yang mau arah ke sini, jadi nebeng.” Ibu tersenyum, tetapi Cahaya melihat ada segurat rasa berat. Mungkin itu hanya pikirannya saja yang sedang kalut.
“Oh, syukurlah … Bapak gak apa-apa Ibu tinggal-tinggal? Maafin Aya, ya, Bu. Malah merepotkan Ibu.” Cahaya merasa tak enak sendiri.
“Gak apa. Bapak sudah makan sama minum obat tadi. Ini, Ibu cuma mau ngasih ini.” Ibu mengeluarkan amplop warna cokelat dari dalam tas lusuhnya.
“Apa ini, Bu?” Cahaya menautkan alis. Tangannya menerima amplop yang disodorkan padanya. Lalu perlahan cahaya membuka amplop itu. Kedua netranya membelalak ketika tampak banyak lembaran warna merah terikat ada di dalamnya.
Cahaya menatap Ibu lalu bertanya, “Uang sebanyak ini dari siapa, Bu?”
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
