
Bab 7
Aku sudah berada di depan sebuah rumah yang cukup megah. Parkir di depan gerbang saja, rasanya minder kalau Vega merahku masuk ke dalam pagar. Apalagi ada dua mobil berjejer terparkir di depan rumahnya. Aku pun masuk saja karena pintu pagar sedikit terbuka. Baru aku hendak mengucap salam ketika tampak sepasang lelaki dan perempuan muncul dari dalam rumah, dari gesture tubuhnya sepertinya mereka cukup akrab. Aku mematung sejenak seraya menata hati yang tiba-tiba merasa semakin tak berarti. Pantas saja sikapnya begitu dingin padaku, rupanya memang circel pertemanannya bukan yang selevel denganku. Buktinya dengan perempuan itu, tampak sekali dia akrab dan sesekali tersenyum.
“Cari siapa, Mbak?” Perempuan dengan rambut panjang yang diikat asal itu melihat ke arahku. Wajahnya terlihat terawat, berbeda denganku yang hanya disapu bedak bayi.
“Nganterin gamis Bu Feni, Mbak!” Aku tunjukkan tentengan plastik berisi gamis pelanggan Ibu.
“Oh, gamis Mama, ya? Bentar.”
Dia pun menerima plastik yang kuulurkan lalu ke dalam lagi. Aku menunggu di depan. Hanya aku dan Pak Banyu. Hening, tak ada percakapan. Air mukanya tampak tenang. Dia berdiri dengan satu tangan masuk ke dalam saku, sedangkan tangan yang lain memegang gawai. Tak sedikitpun melirik ke arahku.
Angkuh dan mahal, itu kesan yang kudapatkan dari sikapnya. Ya, memang harusnya begitu. Dia kaya, pengusaha, sedangkan aku … hanya orang biasa.
“Mbak! Ini uangnya! Makasih banyak, bajunya pas banget.” Dia mengangsurkan satu lembar seratus ribuan, padahal ongkos potong dari tiga gamis itu hanya enam puluh ribu, ditambah ongkir sepuluh ribu.
“Duh, Mbak … ada uang pas? Saya gak bawa kembalian.”
“Ambil saja sisanya, buat tipsnya, Mbak.”
“Baik, terima kasih kalau begitu. Saya permisi!”
Dia mengangguk. Aku pun pergi dengan hati sumringah. Ibu pasti senang ketika tahu mendapatkan tips, meski tak seberapa. Bukan hanya karena nominalnya, tapi karena pastinya pelanggan merasa puas sampai memberikan tips untuk pekerjaan Ibu.
Tiba di rumah, aku menghabiskan waktu untuk hobi berkebunku. Ada beberapa pohon tomat, cabai dan juga leunca yang kutanam dalam media pot dan dijejerkan di samping rumah. Hari ini aku mau menyemai benih terung, lumayan buat tambahan lalapan dan bisa menjadi penopang ketika lagi seret uang. Untuk pohon bunga, aku tak terlalu banyak menanam. Hanya satu pot anggrek bulan dan sekitar tiga pot anggrek biasa yang kugantungkan pada paku-paku yang sengaja kutancapkan di dinding.
Mungkin sudah setengah jam berlalu ketika terdengar mobil berhenti di depan rumah. Aku tak mempedulikannya karena ada Ibu di sana. Tadi kulihat, Ibu sedang menjahitkan beberapa pakaian di depan.
“Jingga! Jingga!”
“Iya, Bu!”
Aku menjawab tanpa berniat beranjak. Tanganku masih belepotan dengan tanah yang kumasukkan ke dalam beberapa polibag.
“Ada tamu!”
Aku menautkan alis. Rasanya gak ada janji dengan siapapun juga. Lekas aku ke depan, tampak lelaki yang tadi di rumah pelanggan Ibu sedang berdiri dengan kedua tangan masuk ke dalam sakunya. Dia berdiri membelakangiku.
“Pak Banyu?”
Lelaki itu menoleh mendengar sapaanku yang mengandung kalimat tanya.
“Loh belum siap?”
Aku menautkan alis lagi, gak paham dengan pertanyaan yang tak ada ujung pangkalnya. Tatapannya seolah memindai penampilanku yang semrawut. Wajah pun berkeringat dan mungkin lusuh karena tersorot sinar matahari.
“Siap ke mana, Pak?”
“Baca pesan dari Mama!”
Bukannya menjawab, dia malah menyuruh. Aku mengutuknya dalam hati. Namun segera aku masuk ke dapur lewat pintu samping dan mencuci tangan setelah itu mencari gawaiku yang kuletakkan dalam kamar.
Eh, kok ada beberapa miscall dari nomor Bu Fera, lalu ada pesan juga.
[Bisa ngajar sebelum makan siang, gak? Siang nanti Aluna ada acara. Banyu jemput kamu sekarang, ya! Bersiaplah!]
Astagaaa! Ini Bu Fera, padahal pesannya saja belum aku baca. Eh, yang jemput malah sudah datang. Mana aku belum apa-apa juga.
[Acaranya jam berapa, ya, Bu? Cancel saja gak apa. Nanti bisa ambil jam tambahan weekend depan.]
Aku segera membalas, sengaja mencari alasan. Jujur, aku malas jika hanya berdua di dalam mobil dengan lelaki angkuh yang ada di depan.
Hanya saja, tak ada balasan. Aku segera memijit tombol panggil, pada dering ketiga barulah kudengar suara Bu Fera dari seberang sana.
“Assalamu’alaikum, Bu! Maaf … saya tadi lagi berkebun, baru baca pesannya. Kalau takut telat, direschedule saja jadwal lessnya.”
“Wa’alaikumsalam! Enggak telat kok, Jingga. Kamu datang sebelum jam makan siang, ya! Jangan lupa dandan yang cantik. Banyu sudah ada di rumah kamu katanya. Ibu tunggu!”
Tut!
Aku baru hendak menjawab lagi ketika dia malah mematikan panggilan.
Huh! Kalau gini, mau gak mau, deh!
Lekas aku menuju kamar mandi dan membasuh diri. Mandi singkat kulakukan karena sudah ditungguin Pak Banyu diluar. Usai mandi berpakaian seperti biasa. Suruh dandan yang cantik, aku hanya menggeleng kepala. Jangankan punya maskara, mbak kara dan teman-temannya, hand body lotion saja yang aku ada dan bedak bayi serta satu buah parfum.
Usai mandi, aku segera ke depan. Loh, kok ada mobilnya saja? Pak Banyunya gak ada. Ibu pun masih sibuk sendiri dengan mesin jahitnya.
“Bu, Jingga pergi dulu, ya! Assalamu’alaikum!” Aku mencium punggung tangan Ibu.
“Iya, hati-hati! Itu tamu kamu lagi di samping rumah!” tukas Ibu seraya menunjukkan ke arah kebunku.
Aku pun berjalan ke arah sana. Benar saja, Pak Banyu ada. Dia sedang berdiri menatap pohon-pohon anggrek yang kugantungkan potnya pada paku.
“Pak, saya sudah siap! Biar pulangnya gak merepotkan! Saya naik sepeda motor saja, ya!” tukasku sopan. Bagaimanapun, tiap bulan dari dialah aku mendapatkan uang tambahan.
“Berangkat bareng saya!” tukasnya datar. Lalu melengos pergi begitu saja.
Baiklah … Tuan Maha Benar!
Namun hanya sebatas dalam hati. Aku pun mengekorinya dan masuk ke dalam mobil pajero hitam miliknya. Aku melirik ke arah Ibu dan melambaikan tangan, sedikit sedih ketika melihat binar matanya melihatku masuk ke dalam mobil bagus milik Pak Banyu. Seperti biasa, aku duduk di belakang. Gak enak rasanya mau duduk bersisian.
Tiba di kediamannya, aku langsung menemui Aluna yang ternyata sudah menungguku di Gazebo.
“Good morning, Una! Sorry I’m late!” Aku menyapa Aluna dan minta maaf karena datang terlambat. Waktu belum menunjukkan pukul sepuluh ketika aku tiba di rumahnya.
“Morning, Miss! Ok, Miss. No problem!” Aluna tersenyum memamerkan gigi depannya.
“Wah ompongnya sudah nambah?” Aku menatap dua gigi depannya yang tanggal.
“Iya, Miss. Makanya siang nanti Oma mau ngadain acara karena gigi Una sudah ompong lagi.” Dia menjawab dengan bersemangat.
“Oh kalau orang kaya gitu, ya? Gigi ompong saja bikin acara. Aneh,” batinku sambil memaksakan tersenyum meski rasanya alasan itu terlalu mengada-ada.
“Ok, kalau gitu kita mulai saja belajarnya, ya! Takutnya nanti Una terlambat!” Aku segera mengalihkan pembahasan dari membahas hal yang terlalu ganjil menurutku.
Aku pun langsung mengajaknya belajar. Untuk materi yang aku sampaikan lebih banyak melatih conversation karena goalnya adalah anak bisa berkomunikasi dalam bahasa Inggris. Berbeda dengan kurikulum di sekolah, untuk less privat ini memang goalnya ke arah sana.
Waktu sudah menunjukkan pukul sebelas siang ketika Bu Fera menghampiri kami.
“Una, ayo kita pergi, Sayang! Ajak Miss Jingga sekalian!”
“Oh sudah mau pergi, ya, Bu! Ya sudah saya berkemas kalau gitu!” Aku tersenyum pada perempuan dengan wajah teduh yang sudah berdiri tak jauh dariku.
“Eh, kenapa berkemas? Kamu juga harus ikut! Una bilang, Miss Jingga juga diundang! Ini Ibu sudah siapkan pakaian ganti buat kamu!” tukasnya seraya memamerkan senyumannya yang bagiku, rasanya mencurigakan. Kebetulan Pak Banyu baru keluar juga dari dalam rumah dan tanpa sengaja kami sejenak beradu pandang, sebelum akhirnya kami sama-sama membuang muka dan aku mengalihkan pandangan pada pakaian yang diulurkan Bu Fera.
Ehhh … kok corak bajunya samaan dengan Pak Banyu?
Bab 8
“Eh, kenapa berkemas? Kamu juga harus ikut! Una bilang, Miss Jingga juga diundang! Ini Ibu sudah siapkan pakaian ganti buat kamu!” tukasnya seraya memamerkan senyumannya yang bagiku, rasanya mencurigakan. Kebetulan Pak Banyu baru keluar juga dari dalam rumah dan tanpa sengaja kami sejenak beradu pandang, sebelum akhirnya kami sama-sama membuang muka dan aku mengalihkan pandangan pada pakaian yang diulurkan Bu Fera.
Ehhh … kok corak bajunya samaan dengan Pak Banyu?
“Ahm, saya pakai baju ini saja, apa boleh?” tanyaku, sungkan rasanya harus menerima pemberiannya. Lagi pula, pasti bajunya mahal.
“Hmmm … tapi dress codenya warna pastel, Jingga.” Bu Fera menjelaskan.
“Oh baik kalau begitu, maaf merepotkan.” Aku pun menerima pakaian yang masih dilipat itu, lalu beranjak minta diri dan berganti pakaian di toilet. Jadi ingat, gamis yang tadi pagi kuantarkan ke pelanggan Ibu juga ada yang bahannya seperti ini dan warnanya juga.
Sebuah gamis warna pastel dengan corak hitam, akhirnya kupakai. Bisa-bisanya ini gamis pas sekali di badanku. Beruntungnya kerudung yang kupakai berwarna hitam, jadi bisa masuk juga ke warna ini. Soalnya yang diberikan Bu Fera hanya gamisnya saja, tak ada kerudungnya.
Aku tersenyum melihat penampilanku di depan cermin, memang kalau baju mahal beda dipakainya juga, adem dan nyaman, jahitannya pas.
Aku keluar dari kamar mandi, senyum Aluna menyambutku. Sedikit terkejut ketika ternyata dia pun sudah berganti pakaian dengan baju dengan warna sama denganku dan pastinya dengan … hmmm … Pak Banyu. Kemeja dia juga warna pastel corak hitam dipadu padankan dengan celana bahan warna hitam.
Duh kok jadi couple gini, sih?
Perasaanku mulai tak nyaman. Aku malah mematung di depan pintu sambil memainkan ujung kerudung.
“Ayo, Miss! Eh, ini sepatunya buat Miss Jingga!” Aluna berhambur ke arahku dan menarik tanganku. Dan menyerahkan satu paper bag. Bu Fera dan Pak Banyu juga bersamaan menoleh. Aku hanya mengangguk dan tersenyum sambil menerima paper bag itu dengan bingung.
“Masya Allah, cantik sekali kamu, Jingga.” Pujian itu terlontar seketika dari mulut Bu Fera. Sekilas aku menoleh, dia mengerling ke arah Pak Banyu yang hanya melirik sekilas sambil mengedipkan mata.
“Ini sepatunya ganti juga, Bu?” Aku menatap sepatu berhak tinggi yang diberikan Aluna padaku.
“Iya, Jingga. Kalau gak nyaman, pakainya nanti saja pas mau masuk ke gedung!” tukas Bu Fera. Aku hanya mengangguk saja dan menenteng paper bag itu kemudian.
Kadang aku aneh, Bu Fera begitu ekspresif dan meletup-letup, sedangkan Pak Banyu tampak tenang. Eh, bahkan anyep.
Aku baru hendak membuka pintu mobil ketika Bu Fera menghentikan lenganku.
“Jingga, boleh duduknya di depan? Kebetulan saya gak biasa duduk di depan, suka pusing.”
Duduk di depan, berarti di samping Pak Banyu, dong?
“Tapi Una bilang mau sama, Miss Jingga ‘kan, ya?” Aku melirik ke arah Aluna. Gadis itu melirik dulu ke arah Bu Fera sebelum menjawab, lalu menggeleng.
“No! Una mau sama Oma. Miss Jingga di depan saja sama Papa.”
Aishhhh ….
Aku gak bisa lagi berkutik. Dua lawan satu. Makin tak nyaman saja, tapi gak enak mau nolak. Job ngajar less di sinilah yang honornya paling besar dari pada di tempat lain. Bu Fera begitu baik, walau baru kenal pun sering memberikan tips.
Akhirnya kami pun pergi. Aku duduk di samping Pak Banyu. Mobil melaju ke arah tol dan seketika membuatku menoleh pada Bu Fera.
“Bu, sampai masuk tol? Memang acaranya di mana?”
“Di Jakarta, Jingga. Acaranya mulai sekitar jam jam enam sore sampai selesai. Jadi kita masih ada waktu. Nanti kita mampir ke salon langganan Ibu dulu. Kita dimake up di sana.”
Aku menautkan alis, makin bingung. Acara apa sebetulnya? Masa iya acara perayaan gigi tanggal saja sampai di Jakarta.
Aku pun tak enak terlalu banyak tanya. Akhirnya ikut saja. Mobil pertama-tama berhenti di sebuah restoran sebelum masuk tol. Ada satu restoran sunda di dekat pintu tol Karawang Barat. Kami makan dalam diam. Setelah itu, barulah melanjutkan perjalanan setelah menunaikan shalat zuhur dulu di mushola restoran.
Waktu yang dihabiskan sekitar dua jam hingga akhirnya keluar tol, lalu mobil berbelok ke sebuah salon. Aku melihat, waktu masih menunjukkan pukul dua siang, kalau di make up sekarang aku kebingungan untuk shalat ashar.
“Hmmm … saya boleh dimake upnya belakangan saja, Bu. Soalnya nanti masih ketemu ashar sama maghrib juga.”
Bu Fera bergeming, dia menatapku dengan ragu.
“Tapi waktu make upnya bisa memakan waktu satu jam, Jingga. Kalau kamu di make up habis maghrib, nanti telat ke acaranya. Gimana, ya?” Bu Fera menatap bingung.
“Saya shalat ashar dulu saja, Bu. Nanti saya jaga wudhunya untuk maghrib sama Isya. Insya Allah bisa.”
Senyum mekar begitu cerah pada wajah Bu Fera, lagi-lagi dia melirik ke arah Pak Banyu yang entah kenapa bisa bersamaan sedang menatap ke arah kami dan seperti tadi, Bu Fera pun mengedipkan mata.
Akhirnya aku menunggui Bu Fera di make up dulu. Dia pun sama, mengenakan pakaian warna pastel, hanya saja berbeda modelnya dengan yang dipakai Pak Banyu, Aluna dan Aku.
Usai Bu Fera, kini giliran aku yang dimake up. Aku memilih perempuan yang memoles wajahku agar wudhuku terjaga. Gak enak kalau nanti harus merusak make up yang sudah mahal-mahal dibayar.
Waktu yang digunakan untuk memoles wajah kami menghabiskan waktu sekitar dua jam kurang sedikit. Usai di make up, aku shalat ashar dulu. Ada perasaan bersalah, karena waktunya sedikit terlewat dan tak diawal waktu.
“Banyu, kamu lihat ‘kan? Jingga itu istimewa! Shalatnya saja dijaga sampai segitunya! Kali ini sebaiknya kamu nurut sama Mama. Jingga itu berbeda jauh dengan Misye.”
Aku baru selesai shalat ketika kalimat itu tak sengaja tertangkap telinga. Hanya saja, Pak Banyu sudah telanjur menoleh ke arahku. Jadinya aku tak tahu lagi kelanjutannya apa.
Mobil kembali melaju, kali ini menuju ke sebuah hotel berbintang. Salah satu hotel ternama di Jakarta. Tampak beberapa karangan bunga sudah memenuhi area lobi dan sampai meleber ke area parkiran.
[Happy enggagement Misye Venom Arsyta With Teuku Isman.]
[Selamat atas pertunangan Misye Venom Arsyta dengan Teuku Isman.]
[Happy enggagement Misye with Teuku.]
Banyak ucapan yang tercantum dalam karangan bunga. Sepasang nama itu membuatku sedikit terlonjak. Bukankah Misye itu mantan istrinya Pak Banyu? Setahuku dia adalah salah satu selebritis ternama dan memang terdengar santer terlibat cinta lokasi dengan lawan mainnya yaitu Teuku Isman.
T--Tunggu … otakku mendadak hang.
Aku mengatur napas sejenak, membuat Bu Fera menoleh ke arahku karena berhenti sendirian.
“Jingga, are you oke?” telisik Bu Fera menatap wajahku. Aku menelan saliva dan menatap wajah Bu Fera.
“Bu, sebenarnya kita hadir di acara apa?” tanyaku dengan hati yang berdebum-debum tak menentu.
“Mamanya Una hari ini bertunangan. Dia mengundang kami untuk datang. Semoga kamu gak keberatan menjadi pasangan Banyu malam ini. Maaf kalau Ibu gak bilang dulu sama kamu, Ibu khawatir, kamu akan menolak. Ibu hanya ingin menunjukkan, Una baik-baik saja tanpa perempuan tak berhati itu.” Suara Bu Fera bergetar. Aku melihat ada rasa sakit yang teramat dalam terpancar.
Bab 9
“Mamanya Una hari ini bertunangan. Dia mengundang kami untuk datang. Semoga kamu gak keberatan menjadi pasangan Banyu malam ini. Maaf kalau Ibu gak bilang dulu sama kamu, Ibu khawatir, kamu akan menolak. Ibu hanya ingin menunjukkan, Una baik-baik saja tanpa perempuan tak berhati itu.” Suara Bu Fera bergetar. Aku melihat ada rasa sakit yang teramat dalam terpancar.
Ya Tuhaaan … jujur, aku merasa kesal. Kenapa harus berbohong sejak awal? Apa Bu Fera pikir aku ini apa?
Eh bentar? Berbohong? Rasanya memang tak ada kebohongan yang Bu Fera sampaikan. Dia hanya bilang Una yang mengundangku. Hanya akunya saja yang terlalu, ah, entah. Masa iya aku percaya kalau ada perayaan gigi tanggal versinya Una.
“Maafin Ibu, Jingga. Kamu hanya perlu berada di tengah-tengah kami tanpa mengakui apapun, tanpa menjelaskan apapun pada siapapun. Itu saja.” Bu Fera menatapku dengan tatapan memelas. Baru kali ini aku melihat dia begitu lemah. Biasanya apa-apa selalu terlihat bersemangat, sigap dan sat set.
Kupejamkan mata sekilas. Jujur, yang sekarang aku rasakan adalah kegugupan yang luar biasa. Aku yang tak suka tampil di depan banyak orang, kini harus hadir di tengah-tengah acara pertunangan seorang selebritis tanah air. Aktris dan aktor fenomenal yang berhasil membuat emak-emak baper dalam sinetron terbarunya itu kini ada di depan mata.
Tanganku mendadak dingin berkeringat, tapi setelah hati kutenangkan aku pun memaksakan tersenyum dan mengangguk pada Bu Fera. Seketika wajahnya kembali berbinar, bahkan dia langsung memberiku pelukan singkat.
“Makasih, Jingga. Setelah selesai acara ini, ada yang ingin Ibu bicarakan dengan kamu.” Suaranya terdengar serius. Aku hanya mengangguk. Kami pun berjalan di antara hiruk pikuk tamu yang berdatangan. Tak sadar kalau Aluna dan Pak Banyu sudah masuk sejak tadi.
“Saya jarang tampil di tempat ramai, Bu. Jujur … saya gugup.” Aku bicara pada Bu Fera ketika kami berjalan bersisian. Namun, belum sempat masuk. Suara adzan maghrib terdengar dari masjid yang ada di sekitar.
“Tenang, ada Ibu sama Banyu di sisi kamu.”
Aku hanya mengangguk mendengar penuturannya.
“Bu, saya izin cari mushola dulu, ya!”
Aku masih punya wudhu. Jadi, tak harus merusak riasan yang sudah mahal-mahal dibayar oleh Bu Fera ini.
“Oh sebentar, biar Banyu antar, ya!” Bu Fera sudah hendak mengambil gawai ketika aku menahannya. Sepertinya mau menelpon Pak Banyu yang sudah masuk duluan karena Aluna menarik-narik tangannya tadi.
“Gak usah, Bu. Walau saya jarang ke hotel, Insya Allah … saya gak akan nyasar. Nanti saya ke sini lagi. Kalau sudah sampai depan sini, nanti saya telepon Ibu.”
“Hmmm, oke kalau gitu.”
Kami pun berpisah. Aku berjalan sedikit lambat karena highheel yang kupakai. Rasanya sudah berasa jadi peragawati saja, jalanku berbunyi tok tak tok tak.
Aku tiba di mushola hotel yang, lengang. Bersyukur, tapi sedih. Bersyukur karena tak harus mengantri dan berdesak-desakkan. Sedih, karena … dari ratusan orang yang pada datang, hanya ada sekitar lima atau enam orang yang menyempatkan diri ke sini.
Semoga saja bukan karena lalai untuk dunia yang sebentar, sehingga abai untuk bekal yang kekal. Semoga saja mereka belum ke sini, menunggu sebentar lagi, mungkin, atau solat di kamar hotel. Siapa tahu para tamu yang datang itu orang-orang berduit semua dan menginap di hotel ini juga. Jadi mungkin solatnya di kamar hotel karena lebih nyaman.
Tiga rakaat pun selesai kutunaikan. Usai mengucap salam aku melipat mukena. Kebersihan di hotel ini patut diacungi jempol. Mukenanya harum dan wangi, sajadahnya pun bersih.
Tak berapa lama, aku sudah berada di depan aula hotel. Orang-orang yang berdatangan sudah mulai jarang, sepertinya di dalam acaranya sudah dimulai. Beberapa orang dengan kamera di lehernya tampak duduk-duduk santai di depan. Sedikit terkejut ketika melihat Bu Fera masih ada di sana. Belum masuk rupanya.
“Sudah?” tanyanya sumringah.
“Iya, Bu.” Aku mengangguk.
“Kita masuk, yuk!” Bu Fera mengulas senyum lalu menarik lenganku. Aku pun mengangguk lalu masuk ke dalam dan mengisi buku tamu.
Di dalam, tampak begitu meriah. Bahkan bagiku seperti keajaiban. Para aktris dan aktor yang biasa hanya bisa kulihat di layar kaca, kini bertebaran. Banyak yang aku kenal, tapi pastinya mereka tak akan mengenaliku.
Aku takjub ketika memasuki aula. Dekorasinya bagiku sangat megah. Deretan meja panjang dibalut kain berhias warna pastel, senada dengan kursi yang berhadap-hadapan tampak anggun dan elegan. Beberapa buket miniatur bunga edelweis entah asli atau imitasi tapi tetap tampak canti, katanya bunga itu lambang cinta sejati. Cantik, berderet di sepanjang meja berselang seling dengan buket lili putih dan lilin yang menjadi penerang di antara cahaya yang sengaja di setting tak terlalu terang. Gelas kristal berderet mengikuti jumlah kursi, bersama satu mangkuk kecil hidangan pembuka dan juga kotak souvenir dengan foto dua calon mempelai yang tampak serasi dan berbahagia. Semua meja sudah hampir penuh dan acara memang sudah berjalan.
Pandanganku mengedar mencari keberadaan Aluna, hingga sudut mataku menangkap sosok lelaki tinggi tegap yang baru saja berdiri dan tengah menggendong Aluna berada di antara para lelaki yang memegang kamera. Bersamaan dengan itu, sepasang netra Aluna pun mengarah ke arah kami.
“Oma! Miss!” Dia melambaikan tangan. Berteriak tapi tanpa suara, hanya gerakan mulutnya saja kubaca di tengah-tengah suara pembawa acara. Wajahnya tak seceria tadi. Entah apa yang terjadi selama aku shalat tadi.
Aku dan Bu Fera berjalan menghampirinya yang berada di dekat meja tujuh. Ketika kami datang, Pak Banyu tampak bicara pada dua orang itu. Namun, tanpa seizinku, dua orang itu mengarahkan kamera padaku dan Bu Fera. Lalu setelah itu, mereka tampak mengangguk dan undur diri dari hadapan Pak Banyu.
“Miss, ayo duduk di sini!” Aluna yang sudah diturunkan Pak Banyu menghampiriku dan Omanya, tapi wajahnya lesu dan tak bersemangat. Di meja tujuh ini agak belakang dan tak menjadi tempat favorit para tamu hingga masih ada beberapa kursi kosong. Aku duduk bersisian dengan Bu Fera dan Aluna didudukkan lagi bersisian dengan Pak Banyu. Hanya saja … sialnya, aku yang berhadapan tepat dengan lelaki itu.
“Banyu, lelaki yang tadi siapa?” Bu Fera menatap putranya.
“Wartawan.” Dia menjawab singkat.
Seketika aku yang kaget. Lalu apa maksudnya dia mengambil gambar kami lalu pergi. Tak ada pertanyaan dan tak ada penjelasan.
“Una kenapa murung, Sayang?” Bu Fera seperti tak peduli pada jawaban Pak Banyu dan menatap Aluna.
“Tadi pengen ketemu Mamanya, tapi keburu acara mulai.” Pak Banyu yang menjelaskan.
Lalu hening lagi. Kami seperti terbawa pada pikiran masing-masing di tengah khidmatnya acara yang terus berjalan. Aku pun tak terlalu memperhatikan, hingga terdengar riuh tepuk tangan dan musik beralih menjadi seperti di cerita-cerita film yang pernah kutonton dan tampak sepasang calon pengantin berdansa di depan sana dengan pakaian berwarna putih yang tampak mencolok dari semua para tamu undangan. MC pun mempersilakan para tamu undangan yang mau ikut memeriahkan sehingga di antara tempat yang paling tinggi itu kini mulai penuh dengan para pasangan yang berdansa juga. Sekilas, kulirik wajah lelaki yang ada di depanku. Namun dia masih bergeming hingga seorang perempuan yang kemarin aku lihat ketika mengantar gamis langganan Ibu datang menyapa.
“Banyu, di sini kamu rupanya! Mau dansa gak?” Pertanyaan itu membuat kami semua mendongak. Seketika Bu Fera yang mengambil alih jawaban.
“Banyu memang akan berdansa, tapi sama Jingga … ini sebentar lagi juga mau maju ke depan. Iya ‘kan Banyu?” Bu Fera memasang senyuman dan menatap tajam pada perempuan itu.
Eh, kenapa? Aku lagi?
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
