Bab 1,2,3 - PULANG MERANTAU JADI SAUDAGAR

0
0
Deskripsi

Suamiku yang empat tahun tak pulang saat lebaran, datang-datang jadi saudagar. 

Bab 1

SUAMIKU YANG EMPAT TAHUN TAK PULANG SAAT LEBARAN, DATANG-DATANG JADI SAUDAGAR

Selamat datang di cerita baruku! Yuk subscribe dulu biar segera tayang bab berikutnya! 

😊😊😊


 

[Dek, maafin Mas … lebaran kali ini sepertinya gak pulang lagi.] Sebuah pesan masuk dari nomor Mas Baska membuat Cahaya hanya mampu menghela napas panjang. Genap empat tahun sudah, Mas Baska tak pulang saat lebaran. 

Cahaya kembali melanjutkan melipat pakaian. Pandangannya beralih dari jendela yang tampak berkabut karena hujan tak kunjung henti pada tumpukkan pakaian yang ada di depannya. Tangannya bergerak pelan seiring dengan pikirannya yang berlarian. Semuanya saling bertali ke sana ke mari. Masih teringat jelas dua hari lalu wajah Kirana---sang putri saat memilah-milah gamis dalam lemari plastik miliknya. 

“Bu, puasa Kiran ‘kan udah mau tamat … katanya nanti Ibu mau belikan baju baru buat lebaran kan, ya?” Pertanyaannya gadis kecilnya membuat Cahaya bergeming, tetapi dia berusaha tersenyum demi menutupi kegundahan hatinya. Sepasang bola beningnya terasa berkabut ketika melihat jemari mungil itu lincah memilah pakaian-pakaian yang sebetulnya semuanya sama, lusuh dan kusam.

“Hmmm … tapi kalau Ibu belum punya uang, Kiran bisa, kok, pakai baju lama saja gak apa-apa. Tuh yang ini saja masih bagus. Hmmm … cantik mana, Bu? Yang ini atau yang ini?” Kiran menunjukkan dua gamis lusuh itu padanya. Senyumnya tetap riang, wajahnya tampak tanpa beban. Rasa bersalah semakin menguar. Cahaya bahkan lupa kapan terakhir membelikan baju baru untuk Kirana, sudah lama sekali rasanya, bahkan baju-baju gamis yang dipakai putrinya sudah terlihat menggantung di atas mata kaki semua.

Tak terasa air mata Cahaya menetes. Namun lekas dia menengadah ke atas mengalihkan pandang pada cicak yang kebetulan sedang berlari mengejar nyamuk di plafon sana.

“Semoga Ibu ada rejeki ya, Kiran ... Nanti Ibu belikan baju yang baru! Semua itu sudah kecil-kecil. Maafin Ibu, ya.” tukasnya setelah suasana hatinya sedikit stabil. Cahaya memaksa bibirnya untuk tersenyum. 

Cahaya tak mau Kirana sedih ketika melihatnya malah menangis meski sebetulnya hatinya pun teriris. Bukan tak ingin membelikan Kirana baju baru, tapi keuangannya yang memang tak memungkinkannya. Semenjak usaha Mas Baska collaps, semua menunjukkan wajah aslinya. Jika dulu ketika dia berjaya, tetangga saja mengaku saudara, tetapi ketika dia jatuh miskin, suadara saja tak ada yang mau mengakuinya. Benar jika harta itu titipan, ketika yang punya mengambil-Nya, maka dari puncak keberjayaan bisa jadi langsung terjun pada jurang kemiskinan terdalam. Benar jika harta itu ujian, Cahaya dan Baskara dulu telah gagal melewati ujian kaya, kini diuji dengan serba kekurangan.

“Wahhh … Bener, Bu? Horeee … asiiikkk ….” Kirana melompat-lompat riang sambil tersenyum. Lesung pipinya tampak membuat dekikan manis pada kedua pipinya.

“Iya … semangat pokoknya tamatkan puasanya, ya, Kiran.” Cahaya mengulas senyum lalu mengusap rambut ikal Kirana yang mengembang. 

Lebaran tinggal tiga hari lagi. Uang THR dari majikan cuci setrikanya tidak seberapa, itu pun sudah dibelikannya beras dan lauk pauk untuk shahur dan berbuka. Mas Baska---suaminya yang kerja di rantau ternyata tak bisa pulang. 

Keesokan harinya, mau tak mau akhirnya Cahaya pun menebalkan muka berkunjung ke rumah kakak dari suaminya yang memang ekonominya berkecukupan.

“Mbak, aku mau pinjam uang dulu, aku sudah janji mau beliin baju lebaran buat Kiran tapi ternyata Mas Baska sepertinya gak pulang lagi.” ujar Cahaya seraya terpaksa menebalkan muka. 

“Pinjam, pinjam mulu … yang minggu lalu kapan mau dibayar?” ucap Fatma dengan sinis. 

Cahaya menelan saliva. Dia berusaha tersenyum meski rasanya sudah seperti tak punya harga diri saja.

“Setelah lebaran nanti aku janji, Insya Allah bakal ganti uangnya, Mbak! Aku akan coba jualan juga, Mbak. Lima puluh ribu memang gak besar, Mbak … tapi sekarang aku beneran lagi gak ada!” Cahaya berusaha menguatkan diri untuk tak menangis. 

“Ya udah, nih Mbak pinjemin buat beli baju Kiran … tapi tolong itu cuciin pakaian Mbak sudah seminggu gak sempet nyuci! Terus masak dulu juga, abis itu sekalian bantu beresin rumah sama mandiin Siska … lagi lemes banget hari ini badan Mbak! ” ujar Fatma seraya bersandar pada sofa empuknya. Diam-diam, satu sudut bibirnya tersenyum miring. Ada raut bahagia tersirat dari gurat wajahnya melihat adik iparnya tampak begitu kesusahan.

“Alhamdulilah … makasih, Mbak.” Sepasang netra bening Cahaya mengembun. Dia bergegas menuju dapur luas milik Fatma dan mengerjakan yang disuruh oleh kakak iparnya.

Satu bak penuh cucian dikerjakannya dengan semangat. Setelah itu Aya dengan cekatan membersihkan rumah dua lantai itu dengan telaten, sesekali senyum pada bibirnya mengembang mengingat sebentar lagi akan dapat uang untuk membelikan Kiran baju lebaran. Tidak lupa dia memasak untuk mereka sebelum pulang dan memandikan Siska juga.

“Nih, uangnya! Habis lebaran ganti sekalian sama yang lima puluh ribu, ya!” ujarnya sambil menyerahkan uang dua lembar seratus ribuan pada Cahaya.

“Alhamdulilah … makasih banyak, Mbak.” Lagi-lagi sepasang netra Cahaya mengembun. Ada titik bahagia yang tak bisa terlukiskan dengan kata-kata. Wajah cahaya berbinar. Lelah dan capek yang dia rasakan perlahan memudar. Cahaya bergegas pulang, menyusuri jalananan yang berjarak hampir satu kilometer itu lalu dia pun mampir di toko pakaian. 

Sudah lama sekali dia tak mampir ke toko pakaian seperti ini. Mungkin satu tahun lalu dia pernah ke sini, sebelum lebaran juga. Perlahan dilihat-lihatnya baju-baju gamis anak yang berderet di sana. Uang dua ratus ribu sudah aman di sakunya. Cahaya berjalan kikuk, beberapa orang tampak begitu sibuk memilih-milih dan mengambil beberapa set untuk. Namun tidak dengan Cahaya, dia hanya berani memegang satu atau dua baju yang menarik perhatiannya, tetapi yang pertama dilakukan adalah mengecheck bandrol harga yang tertempel di sana. 

“Duh, kok mahal-mahal, ya?”

“Hmmm … yang ini, uangku gak cukup. Yang ini murah, sih, tapi bahannya panas.” 

“Siang, Bunda! Lagi cari baju anak, ya? Silakan dipilih, Bunda. Ini yang model gini yang lagi musim, bahannya adem Bunda, gamis import. Laris banget ini, Bunda. Tuh yang lain pada ngambil banyak, Bunda.” Seorang penjaga toko mengambilkuan dua set gamis. Warnanya merah hati, motif bunga dengan rempel miring dan renda bawah. Cantik sekali dan memang benar bahannya tampak jatuh dan terlihat adem. 

Cahaya memandang baju itu. Cantik, itu yang terlintas dalam benaknya. Sepertinya memang sangat cocok dengan Kirana yang usianya baru hendak menginjak enam tahun saat ini.

“Itu mahal gak, ya?” batin Cahaya. Bahkan bibirnya kelu untuk sekadar bertanya. Secara uang dua ratus ribu rupiah itu mau dia alokasikan untuk membeli beras dan lauk buat lebaran juga. 

“Ini dijual murah, Bunda … hanya dua ratus lima puluh ribu saja, boleh kurang.” Senyum penjaga toko itu tak serta merta membuat dunia jadi indah. Cahaya menggeleng dan mengulangkan tangan. 

“Wah, enggak deh, Mbak. Rupanya bagus juga ya harganya. Sayang uangnya enggak cukup. Saya cari yang seratus ribuan saja, Mbak.” Meski malu, Cahaya akhirnya berkata jujur. 

“Oh gitu ya, Bunda. Oke gak apa-apa. Yang seratus ribuan ada juga kok, Bunda. Tuh yang di sebelah sana!”Gadis penjaga toko itu menunjukkan tumpukkan gamis yang tampak diobral di sebelah luar. Cahaya mengikuti arah telunjuk penjaga toko itu dan mengangguk mengucapkan terima kasih. Dia baru hendak bergerak ke sana ketika suara bariton yang rasanya tak asing menarik perhatiannya. 

“Mbak, bungkus saja gamisnya untuk dia. Biar nanti saya yang bayar.”

***

Bab 2

BAB 2 

 

Lima komentar pertama, masing-masing 15 koin emas 😊😊😊


 


 

“Mbak, bungkus saja gamisnya untuk dia. Biar nanti saya yang bayar.”

Cahaya menoleh, tampak seorang lelaki setinggi kurang lebih seratus delapan puluh senti tengah berdiri. Kaos warna biru berkerah dikenakannya. Tatapan matanya tajam. Kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku celana. Rambutnya dipotong plontos dengan kumis tipis menghiasi wajahnya. Satu kata untuk 

menyimpulkan sosok yang tengah berdiri itu yaitu gagah. 

“B—Bang Fajar?” Bibir Cahaya bergetar. Dia seoalah terhipnotis dan mematung kaku melihat sosok yang sudah lama menghilang itu. 

“Apa kabar kamu, Aya? Lama gak jumpa.” Bibirnya yang berwarna natural membuat lengkung indah. Sebuah senyuman yang sudah lama tak pernah dia lihat, tepatnya semenjak kelulusan sekolah menengah belasan tahun silam.

“B--Baik, Bang.” 

“Maaf, Mas. Ini jadi dibungkus, gamisnya?” Penjaga toko menyela kecanggungan yang terjadi di antara keduanya. 

“Bungkus saja, Mbak.” 

“Gak usah, Mbak.” 

Cahaya dan lelaki itu mengucap bersamaan, lalu keduanya saling memandang dan tampak sekali kikuk dan canggung. Penjaga toko menggaruk-garuk kepala lalu nyengir kebingungan.  

“Duh, jadinya gimana ini, bungkus apa enggak?” Perempuan itu menatap Cahaya dan lelaki jangkung itu bergantian. 

“Enggak!” 

“Bungkus.” 

Lagi-lagi Keduanya bicara bersamaan. 

“Jangan halangi rejeki anak kamu, Aya. Aku tak ada maksud apa-apa. Anggap saja ini hadiah untuknya dariku.” 

“Ahm … maaf, Bang. Hanya saja aku beneran gak bisa terima itu, takutnya jadi fitnah. Aku permisi … mau cari di tempat lain saja.” 

Cahaya berjalan cepat dan lekas meninggalkan lelaki yang menatap punggungnya itu. Ada helaan napas yang dia hembuskan dan tatapan yang tak bisa diartikan. Cahaya tak menoleh lagi. Cerita indah itu sudah dikuburnya lama-lama. Semua sudah Cahaya lupakan. Tak ada lagi Fajar dalam kehidupannya setelah kehadiran Baskara. 

“Kenapa kamu harus datang lagi, Bang? Kita sudah selesai … Sudah lama selesai.” Cahaya memejamkan mata, menghalau rasa yang bercampur baur menjadi tak karuan. 

Dia berjalan menyusuri jalanan berdebu, terpaan angin dan hawa panas menyapu wajah. Satu toko lain kini menjadi pilihan. Banyak juga gamis-gamis anak yang ditawarkan di sana. Cahaya masuk, seperti biasa melihat-lihat bandrol harga lalu mengambil satu yang harganya tak terlalu mahal hanya seratus ribuan sudah dapat kerudungnya. Uangnya masih harus sisa agar besok masih bisa makan. 

“Yang warna peach saja, dibungkus satu ya, Mbak!” Cahaya memilih satu gamis. Senyum terukir pada bibir tipisnya.

“Baik, Mbak. Yang importnya sekalian ini, Mbak. Dikasih murah, deh! Seratus enam puluh ribu saja.” Penjaga toko itu mengangsurkan gamis lainnya. Warnanya pink dengan aksen kartun yang lagi hits. 

“Enggak, Mbak. Ini saja. Uangnya gak cukup.” Cahaya tersenyum. 

“Oke, ditunggu sebentar, ya!” tukas penjaga toko itu dan segera berlalu. 

Cahaya berdiri menatap deretan baju gamis anak yang tampak lucu-lucu. Andai ada uang lebih, ingin rasanya membeli satu atau dua set. Baju Kirana sekarang sudah gak ada lagi yang pas. Semua rata-rata sudah di atas mata kaki. Pada saat dia tengah menunggu dari dalam toko seorang dengan dress selutut. Dia menatap remeh pada Cahaya. 

“Eh, ada mantan istri pengusaha. Belanja, Mbak Aya?” Suaranya terdengar sinis. 

“Iya, Mbak Rena. Mbak belanja juga, ya?” Cahaya berusaha tersenyum. Sudah biasa diperlakukan demikian. Terutama oleh orang-orang yang dulu sangat tidak menyukai pernikahannya dengan Mas Baska. 

“Iya, kebetulan kemarin Nikita baru beli lima baju gamis, biasanya kalau tiap lebaran itu sampe lebih dari sepuluh saya beli. Ya, namanya anak-anak Mbak, suka banget gonta-ganti baju gitu. Kirana beli berapa, Mbak?” 

“Alhamdulilah, beli satu saja, Mbak Rena.” Cahaya hanya tersenyum. Bingung juga mau menimpali apa, kalimat Rena hanya ingin menunjukkan kalau kini statusnya berada di atas Cahaya. Beruntung penjaga toko sudah datang dan memberikan barang pesanannya.

“Ini, Mbak.” Suara itu membuat Cahaya mendongak. Perempuan dengan kerudung segi empat bermotif bunga yang menjaga toko itu mengangsurkan plastik berwarna hitam kepadanya. 

“Ini uangnya pas, ya, Mbak.” Cahaya mengangsurkan satu lembar merah miliknya. 

“Makasih, Mbak. Besok-besok jangan lupa belanja di sini lagi.” Penjaga toko tersenyum. Tangannya menangkup di depan dada dan dia mengangguk sopan. 

“Dia itu dulu suaminya pengusaha, Mbak. Eh, sekarang kasihan banget, buat makan saja harus kuli cuci setrika. Ya, namanya gak sekolah, sih, emang susah. Istrinya itu gak bisa ngimbangin loh, Mbak. Ya gitu, deh … kasihan banget sekarang hidupnya. Coba dulu si Baska itu nikahnya sama adik saya, pasti gak bakal bangkrut kayak gini.” 

Cahaya masih mendengar ucapannya yang terkesan menyudutkan. Lagi-lagi karena Cahaya tak sekolah. Apakah salah jika pendidikannya hanya SMP lalu bersuamikan seorang sarjana? Lantas, apa semua kegagalan usaha suaminya menjadi tanggung jawabnya. 

Ada satu titik bening mengalir pada pipinya yang bahkan kini terlihat kusam. Namun, segera kesedihan itu dia tepis. Kini di tangan kanannya sudah menggenggam sebuah kebahagiaan. Cahaya tak sabar ingin segera tiba di rumah dan memberikan baju itu pada Kirana---putrinya. Senyum pada bibir Kirana adalah obat termanjur dari segala duka, obat paling mujarab untuk membuat semua kesulitan yang dialaminya saat ini menjadi lebih ringan. 

Cahaya berbelok dulu ke toko sembako. Dia membeli seliter beras, setengah potong tempe, sepotong pah* ayam, seikat kangkung dan juga satu perempat ikan asin, tak lupa membeli beberapa bumbu dapur juga yang sudah habis. Uangnya masih dia sisakan untuk besok lagi. 

“Kiran suka banget ayam goreng. Sudah lama sekali dia gak makan ayam.” Senyum pada bibirnya, sekali lagi mengembang. Lalu dia melanjutkan perjalanannya menuju rumah. 

Langkah Cahaya melambat ketika dia melihat sebuah mobil berwarna putih terparkir di depan rumah kecilnya. Kedua matanya menyipit ketika tampak seorang lelaki yang tak asing baru saja keluar dari teras dan kembali masuk ke dalam mobil, lalu mobil itu melaju begitu saja dan menampakkan sosok Kirana yang tampak tengah tersenyum sambil memegang dua set gamis di tangannya. 

“Mama, makasih … bajunya bagus banget, Ma.” Kirana berhambur memburu Cahaya dan menunjukkan baju gamis yang tadi sempat ditaksir Cahaya di toko pertama. Ada juga satu model yang lainnya. 

Cahaya mematung, melihat Kirana yang tampak begitu bahagia membuatnya urung untuk mengatakan hal sebenarnya. Itu bukan Cahaya yang belikan. Uangnya tak cukup untuk membeli baju semahal itu. Namun, haruskah dia katakan pada Kirana dan membuat kebahagiaan gadis kecilnya patah? 

“Bang Fajar … kenapa kamu harus senekat ini …,” lirih Cahaya di dalam dada. “Aku tak mungkin membuat Kiran sedih … lebih baik, nanti aku ganti saja uangnya kalau sudah ada.” Cahaya menatap wajah sumringah anak berusia enam tahun di depannya itu. 

“Si Om penjualnya baik banget, ya, Ma? Sampai dianterin ke rumah. Tadi aku suruh nyobain juga, katanya takut gak muat.” Dia tak henti bercerita. Cahaya hanya tersenyum dan mengelus pucuk kepala Kirana. Dia tak tahu ada sebuah kamera ponsel yang sejak tadi sibuk mengabadikan momen Kirana dengan lelaki itu. Seorang perempuan yang tengah berdiri dari balik pagar rumah yang berseberangan dengan rumah miliknya, kini tengah tersenyum dan menatap layar gawainya. 

“Kamu harus tahu, Baska … kalau istrimu yang selalu kamu banggakan itu, tak sebaik yang kamu pikirkan.”

 

Bab 3

PMJS (3)

Cahaya kini berkutat di dapur. Dua gelas beras sudah ditanaknya di dalam alat penanak nasi. Ayam goreng untuk Kiran sudah selesai dia masak. Kini jemari lentiknya tengah sibuk mengiris tempe untuk dijadikan bacem. Sayurnya dia menumis kangkung. 

Aroma masakan menguar memanjakkan indra penciuman. Perut yang letih menahan lapar seolah disuguhi oleh godaan. Apalagi tubuh Cahaya terasa sangat lelah setelah seharian membersihkan rumah kakak iparnya. 

“Ma, di rumah Anneke, sudah banyak kue loh, Ma. Di rumah kita kok gak ada kue?” Suara Kirana yang muncul dari ruang tengah terdengar. Cahaya terdiam. Ingat masih ada sisa uang. 

“Iya, besok juga Mama mau bikin. Kiran mau kue apa?” Cahaya tak sampai hati memberi tahu yang sebenarnya jika mereka tak punya uang. 

“Wah, beneran, Ma? Mau bikin kue banyak juga?” Kiran begitu antusias dan bertanya dengan mata yang berbinar. 

“Enggak banyak, Sayang. Lebarannya ‘kan sehari doang. Satu toples saja cukup, ya.” Cahaya menoleh pada putrinya. 

“Kalau di rumah Anneke, kuenya banyak, Ma. Katanya suka banyak keluarganya yang datang. Kalau kita kenapa gak punya keluarga, sih, Ma? Kan biar Mama bisa bikin kue banyak.” 

Nyess!

Ada yang terasa menusuk perih. Benar, semenjak jatuh miskin dan Mas Baska pergi merantau, dirinya memang seolah tak punya keluarga. Mertua dan kakak-kakak iparnya sudah jauh berubah, berbeda sekali dengan ketika dirinya masih berjaya dulu. Mereka pun hanya memanggil kalau butuh bantuan saja. 

Andai Cahaya tak memiliki Bapak yang sudah sakit-sakitan, Cahaya dulu juga akan memilih ikut Baska merantau. Namun, tak tega melihat Ibu yang sudah sepuh harus mengurus Bapak sendirian. Cahaya anak semata wayang. Sementara itu, Baska merupakan anak bontot dan memiliki dua kakak perempuan. Ayahnya sudah meninggal dan hanya menyisakan Ibunya saja, karena itu, Mas Baska merasa jika tanggung jawab pada Ibunya pun sama besar, mengingat dua kakaknya hanyalah perempuan. Dulu sikap mereka baik, hanya saja … semenjak dirinya susah, semua menjauh. Benar seperti yang dikatakan Kirana, mereka sudah seperti tak punya keluarga. 

“Kita kan ada keluarga, Nenek sama Kakek. Nanti lebaran kita ke sana, kok!”

“Keluarga kita, Kakek sama Nenek doang, ya, Ma?” 

Kirana datang mendekat dan duduk di sampingnya. Lalu mengambil irisan tempe dan hendak menyuapkannya. 

“Hush, ‘kan lagi puasa!” Cahaya memindahkan wadah tempe. 

“Tapi kata Anneke kalau lupa boleh, Ma. Dia kalau di sekolah pasti selalu lupa padahal pas mau beli jajan, Kiran ingetin, tapi katanya nanti saja ingetnya pas jajan esny sudah habis,” celoteh Kirana. 

“Kalau lupa itu gak sengaja, mana bisa inget kalau sudah es nya habis. Itu namanya pura-pura lupa. Kiran jangan gitu. Puasa itu adalah latihan kedisiplinan. Bagaimana kita belajar disiplin untuk menahan diri dari mulai terbit fajar sampai terbenam matahari. Menahan diri itu bukan hanya dari lapar dan haus, tapi juga dari perbuatan-perbuatan tercela lainnya. Puasa juga melatih kejujuran … karena orang-orang mana tahu kalau kita hanya mengaku-ngaku puasa, padahal seringnya pura-pura lupa kayak temen kamu itu. Selain itu, ketika kita puasa … kita belajar melatih empati kita, Sayang. Karena tak semua orang di dunia ini beruntung dan bisa kenyang makan setiap hari … ada yang setiap harinya harus menahan lapar hingga mendapatkan sepeser rupiah untuk membeli makanan.” 

Kirana hanya mengangguk-angguk dan memperhatikan tangan Cahaya yang kini tengah mengiris bawang. 

“Oh gitu ya, Ma? Kita masih beruntung ya, Ma, bisa makan tiap hari.” Kiran berucap dengan polosnya. Hanya senyum yang Cahaya ulas sebagai jawabannya. Andai putrinya tahu, seberapa keras dia berjuang untuk bertahan hidup selama empat tahun ini. Namun benar, semua masih harus disyukuri karena mereka masih bisa makan setiap hari. 

Hening, hanya suara pisau beradu dengan talenan sampai suara Kirana terdengar lagi. 

“Ma, Omanya Anneke itu kalau lebaran suka beliin baju. Omanya Kiran kok gak pernah, sih?” tanyanya. 

Cahaya beralih pada ikatan kangkung dan lekas membuang karet pengikatnya. Diirisnya kangkung itu, sedangkan isi kepala berputar memikirkan jawaban yang tepat untuk Kiran. Oma adalah sebutan Kiran untuk Ibu Mertua Cahaya atau orang tua dari Baska. 

“Hmm … gini … lebaran itu memang kembali semua baru, tapi itu artinya … setelah puasa sebualn penuh ini, diharapkan kita bisa jadi pribadi yang baru … yang awalnya solatnya cuma wajib saja, setelah Ramadhan selesai diharapkan bisa ditambah sunnah, yang biasa baca qur’annya satu ayat, setelah Ramadhan jadi satu juz, yang biasanya pelit sedekah, setelah Ramadhan diharapkan bisa jadi rajin. Semua baru … itu bukan berarti bajunya harus baru. Tapi kitanya yang baru lagi.”Cahaya mencoba mencari pemaparan sederhana agar bisa dipahami oleh Kirana yang usianya baru enam tahun itu. 

“Oh gitu … terus kenapa Mama juga beliin baju baru?” Pertanyaan Kiran membuat Cahaya terdiam. Kadang sebagai orang tua, tak dipungkiri kalau Cahaya sedih ketika melihat anak-anak yang lain pakai baju baru, sedangkan putrinya pakai baju lusuh yang bahkan sudah kekecilan. 

“Karena kan baju Kiran juga sudah kecil-kecil. Jadi kebetulan ada rejekinya pas mau lebaran, jadi beli, deh!” Itulah jawaban yang akhirnya Cahaya sampaikan. 

“Oh gitu?” Kiran mengangguk-angguk. 

“Kiran bosen, nih, Ma. Mau maen di depan dulu sambil nunggu adzan … siapa tahu pas Kiran maen, tiba-tiba ayah datang kasih kejutan! Kata Mama ‘kan nanti juga ayah akan pulang.” Kirana bangkit diiringi air mata cahaya yang jatuh. Selalu sedih ketika dia menanyakan terkait Baska. Sosok yang biasanya komunikasi hanya lewat gawai saja. Setiap lebaran, Kirana selalu berharap jika ayahnya datang dan memberinya kejutan. Wajar dia merindukan sosok ayah, sudah terlalu lama sosok itu menghilang dari memori kanak-kanaknya. Yang dia tahu hanya bayang, yang ditatapnya pada layar gawai. 

Seperginya Kiran, gawai Cahaya bergetar. Sepertinya kontak batin terjadi antara dirinya dan Baska. Suaminya itu langsung mengiriminya pesan. 

[Dek, Mas sudah kirim uang buat lebaran. Ambil ke rumah Mama, ya!] Cahaya hanya menghela napas panjang, lantas dia menjawab singkat pesan yang dikirimkan suaminya.

[Iya, Mas.] Cahaya tak pernah bertanya nominal dan menuntut ini itu. Dia sangat tahu sebesar apa utang yang harus dilunasi suaminya karena kebangkrutan itu. Bukan hanya ratusan juta, tetapi hingga milyaran. Karena itu, dia tahu diri untuk tak meminta lebih. Bahkan hal itu juga yang menjadikan Cahaya tak punya nyali untuk bercerita pada Mas Baska jika Ibu Mertua dan kakak-kakak iparnya sudah sangat jauh berubah semenjak kepergian Mas Baska. Cahaya tak mau jika Mas Baska kebanyakan beban pikiran di rantau sana. Cahaya ingin utang-utang yang menggunung itu segera lunas dan suaminya bisa pulang dengan kedaan selamat dan berkumpul kembali bersama.



 


 


 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Bab 48&49 - DINIKAHI SEORANG SULTAN
0
0
Selamat Membaca🥰🥰🥰
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan