
Express Wedding
©Evathink
Kontributor:
Flower photo created by freepic.diller - www.freepik.com>
Cerita ini adalah fiktif.
Bila ada kesamaan nama tokoh dan tempat kejadian, itu hanyalah sebuah kebetulan belaka. Penulis tidak ada niat untuk menyinggung siapapun.
Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini dalam bentuk apa pun (seperti cetakan, fotokopi, mikrofilm, VCD, CD - Rom, dan rekaman suara) tanpa izin penulis.
Hak Cipta dilindungi undang-undang
All right reserved
Prolog
“Beatrice!”
Langkah kakiku yang sedang menyusuri anak tangga menuju lantai dua, terhenti. Rumah yang sepi tiba-tiba bergema oleh suara Papa. Aku tidak menyangka kalau Papa belum tidur.
Aku menoleh, dan melihat Papa sedang berdiri di ujung tangga dengan wajah serius. Aku menahan helaan napas kesal. Jangan bilang kalau Papa marah atau ingin bicara padaku sekarang. Ini sudah hampir pukul dua belas malam. Setelah berpesta ria di acara ulang tahun Dania, sahabatku, aku hanya ingin meluruskan badan dan memejamkan mata.
“Papa ingin bicara!”
Suara Papa kembali menggema di rumah yang besar dan megah ini.
Aku mengerucutkan bibir, agar Papa tahu kalau aku sedang tidak ingin bicara. Apa yang sangat penting hingga harus dibicarakan pada waktu selarut ini? Paling-paling Papa mau menegurku lagi karena pulang larut malam.
Sebenarnya aku tidak seliar mana, aku hanya menikmati hidup bersama teman-teman. Aku bosan di rumah sendirian. Seharian Papa sibuk mengurusi bisnisnya. Mama sudah lama tiada. Belum lagi aku anak tunggal.
Dengan malas-malasan aku turun dan melangkah mengikuti Papa ke ruang keluarga. Sambil menguap, aku duduk di sofa berhadapan dengan Papa.
“Besok kamu harus menikah dengan Elvan.”
“Apa??” Apa aku tidak salah dengar? Tidak ada hujan, tidak ada angin, tiba-tiba Papa menyuruhku menikah dengan Elvan. Siapa Elvan, aku juga tidak kenal.
“Papa sudah tidak bisa mengontrolmu. Biar suamimu saja yang melakukannya!”
“Tapi, Pa ….” Oh, please! Aku tidak berbuat aneh-aneh. Aku tidak konsumsi narkoba, tidak freesex. Just having fun with my best friends, harusnya tidak salah, kan?
“Papa …, aku masih muda …,” rayuku, berharap Papa membatalkan niatnya. Tidak mungkin aku menikah ekspres dengan pria yang sama sekali tak kukenal. Lagi pula umurku baru 22 tahun, masih terlalu muda untuk mengemban status istri.
“Pokoknya Papa tidak mau tahu, sekarang kamu tidur, besok bangun pagi-pagi, acara pernikahannya pukul sepuluh.”
Tidak! Aku tidak mau menikah. Ini gila. Tidak mungkin dalam sehari aku sudah harus menikah dan menjadi istri pria tak dikenal. Ini benar-benar gila!
“Papa, aku tidak mau!”
Namun Papa seperti tuli. Beliau terus melangkah tanpa menoleh. Aku berdiri dan mengentakkan kaki dengan kesal. Apa sebaiknya aku kabur saja untuk menghindari pernikahan ini?
***
Part 1
Beatrice POV
“Trice, bangun.”
Sebuah suara yang lembut samar-samar menembusi genderang telingaku, mengganggu tidurku yang sangat nyenyak.
“Bangun, Trice, sudah pukul tujuh.”
Lagi-lagi suara itu …. Aku makin menarik selimut menutupi hingga ke ujung kepala, tapi kembali disingkap olehnya.
Dengan malas-malasan aku membuka mata dan melihat satu sosok yang sangat kukenal, yang akhir-akhir ini mengisi siang dan malamku.
“Bentar lagi.” Aku kembali menarik selimut dan memejamkan mata.
“Trice ….”
Akhirnya dengan kesal aku menyibak selimut dan membuka mata. Kupandang wajah tampan yang sedang berdiri di samping ranjang yang menatapku dengan sorot lembut itu.
“Ada apa? Baru pukul tujuh!” kataku kesal. Bibirku langsung mengerucut dengan wajah bertekuk sepuluh.
“Aku harus ke kantor lebih pagi hari ini, ada rapat jam delapan nanti. Ayo bangun, bikinkan sarapan.”
Aku makin cemberut. Dengan malas-malasan aku bangun. Sudah tiga bulan aku menjadi istri Elvan Madava, anak sahabat papa. Pria tampan berumur 33 tahun itu berkulit bersih dengan rambut hitam pekat dan hidung mancung.
Seumur hidup, aku tidak pernah berkhayal akan menikah dengan pria seperti Elvan. Walau dia sangat tampan dan kaya-raya, tapi menurutku, dia terlalu lembut untuk ukuran seorang pria. Oke, dia tidak kemayu, tapi dia selalu lembut …, tidak pernah marah-marah, tapi malah sangat murah senyum dan dan penyabar.
Ah …, Elvan bukan pria idamanku. Meski begitu, aku terpaksa menerima Elvan karena Papa.
Dengan setengah hati, aku turun dari ranjang. Sekilas, aku masih bisa melihat Elvan sedang memakai dasinya. Dia terlihat tampan seperti biasa. Sayang, sikapnya yang kurang manly, membuatku tidak tertarik.
Dengan langkah berat, aku menuju kamar mandi. Tidak sampai sepuluh menit, aku sudah keluar dari kamar mandi dengan handuk melilit sebatas dada, dan mendapat kernyitan dahi Elvan, tanda dia heran karena aku mandi terlalu cepat.
Tanpa memedulikan Elvan, aku meraih pakaian dalam, baju kaus tanpa lengan dan celan jins pendek setengah paha, lalu kembali ke kamar mandi.
Lima menit kemudian, aku sudah selesai berganti pakaian dan menuruni anak tangga ke lantai dasar. Kulihat Elvan duduk di depan meja makan sambil memainkan ponsel.
Dengan gerak cepat, aku membuatkan kopi dan mengeluarkan cake lapis legit dari lemari—cake kesukaan Elvan.
“Mau ikut ke kantor?” tanya Elvan sambil meniup kopi yang masih mengepulkan uap.
Aku menggeleng. Aku tak pernah suka ke kantor Elvan. Aktivitas di sana terlalu sibuk. Stafnya mondar-mandir dengan langkah cepat dan membuatku pusing.
Elvan memiliki usaha di bidang distributor alat tulis yang berjalan sukses, yang sudah menggaet relasi hampir semua toko buku dan alat tulis di kota Batam.
Sudah berpuluh kali Papa menyuruh Elvan memaksaku bekerja di kantornya, tapi aku selalu berhasil menolak bila Elvan mulai membahas tentang itu.
Selama ini aku terbiasa hidup santai. Aktivitasku hanya berkumpul bersama teman-teman yang notabene juga anak orang kaya sepertiku.
Aku tak pernah pusing memikirkan pekerjaan atau uang. Setiap bulan, lima puluh juta siap masuk ke rekeningku dari Papa. Bahkan, sudah menikah pun, papa masih mengirim uang, dan membuat rekeningku makin gendut karena Elvan juga memberi uang saku yang tak kalah besar dari Papa.
Dari segi kebebasan, memang tidak bisa seperti dulu lagi. Aku sudah tidak bisa pulang larut malam, atau telingaku harus siap memerah diomeli Elvan dengan segudang ceramah tentang adab seorang istri.
Ah, Elvan, baik tapi cerewet. Dan mungkin karena itulah papa menikahkanku dengannya, supaya aku bisa menurut dan tidak seenaknya seperti dulu.
“Van, aku minta izin ya ..., nanti malam aku mau ke pesta ulang tahun Nadia,” kataku sambil mengambil satu potong cake lapis legit dan menyuap ke mulut.
Papa memang hebat. Lihat saja. Elvan berhasil menjinakkanku. Bahkan untuk ke pesta ulang tahun salah satu temanku saja, aku harus meminta izin darinya.
“Acaranya pukul berapa?” Elvan meraih sepotong cake, lalu menatapku.
Seketika dadaku berdebar. Sejujurnya aku benci bila harus merasakan debar ini saat ditatap olehnya. Tidak mungkin aku jatuh cinta padanya, kan?
“Delapan …,” jawabku malas-malasan. Aku sudah tahu arti pertanyaan Elvan. Pasti dia mau menemaniku ke pesta itu, padahal aku tak ingin mengajaknya. Aku sangat tidak suka melihat teman-temanku yang berjenis kelamin wanita, mengerubunginya. Heran, mereka justru sangat kepincut pada Elvan yang lembut dan murah senyum. Bahkan, sampai ada yang bilang, senyum Elvan bisa meruntuhkan hati setiap wanita. Uff ….
“Oke. Nanti aku temani.” Elvan berdiri.
Tanpa menunggu responsku, Elvan mencium keningku dan berpamitan. Aku hanya bisa termangu dan membeku di kursiku. Debar-debar masih terus menyapa dadaku.
Elvan ….
***
Part 2
Author POV :
Elvan memperhatikan Beatrice yang sedang bercerita dengan teman-temannya. Jujur sebenarnya ia sangat jenuh menghadiri pesta. Memang Beatrice tidak mengajaknya, tapi sebagai suami, ia merasa bertanggung jawab menjaga dan melindungi istrinya. Dan karena tanggung jawab itu jugalah ia rela berada di sini, menjadi maneken, hanya mematung melihat Beatrice yang sibuk mengobrol dengan teman-temannya.
“Hai ….”
Sebuah suara yang familiar menyapa Elvan. Ia menoleh dan mendapati sesosok cantik sedang tersenyum kepadanya.
“Sendirian?” lanjut wanita itu.
Elvan tersenyum kaku.
Nama wanita berusia 27 tahun itu Natalie. Elvan mengenalnya setahun lalu di pesta pernikahan sepupunya. Sejak saat itu. Natalie dengan agresif mendekatinya.
“Dengan istr—”
“Boleh temani aku?”
Belum sempat Elvan menjawab, Natalie dengan santai menggamit tangannya dan mengajak menuju meja yang menyediakan konsumsi.
Dengan gaya lembut dan memesona, Natalie mengambil beberapa irisan buah untuk Elvan.
Elvan merasa kurang nyaman dengan perlakuan Natalie. Ia merasa bersalah pada Beatrice, walau sebenarnya tidak berselingkuh.
Setelah mengambil irisan buah untuk diri sendiri, Natalie menggamit Elvan ke pojok yang agak sepi. Pesta taman seperti ini memang lebih santai untuk dinikmati.
“Elvan? Siapa wanita ini? Kenapa kalian berduaan di tempat sepi??”
Elvan menoleh saat mendengar suara Beatrice menggelegar. Wajah istrinya itu terlihat memerah.
Tangan Natalie yang sedang menggamit lengan Elvan, ditepis dengan kasar oleh Beatrice.
“Ini laki gue, ngapain lo pegang-pegang!” bentak Beatrice pada Natalie.
Belum sempat Elvan melakukan apa pun, Beatrice dengan kasar menarik tangan Elvan dan langsung mengajaknya ke mobil mereka. Beatrice bahkan tidak berpamitan lagi pada temannya.
“Ada apa, Trice? Kenapa marah-marah?” tanya Elvan saat duduk di balik kemudi.
“Kau playboy! Sudah memiliki istri, masih saja menggoda wanita lain!” Beatrice membuang muka dan menatap lurus ke depan.
“Eh?” Playboy? Predikat itu belum pernah disandang olehnya. Ia pria baik-baik yang tidak pernah menganggap wanita sebagi objek untuk bersenang-senang semata. Dan juga, kenapa dia yang disalahkan? Bukankah Beatrice yang meninggalkannya dan memilih bersama teman-temannya?
Karena tidak mau makin memperkeruh suasana atau memancing emosi Beatrice, akhirnya Elvan memilih diam.
Bukannya tenang, Beatrice malah tambah emosi. “Kau menyukainya, kan?”
Elvan melirik istrinya sekilas. Raut terkejut terpapar jelas di wajahnya. “Trice ….”
“Dasar playboy!”
Elvan menghela napas panjang, berusaha agar tidak tersulut amarah mendengar tuduhan Beatrice. Dengan perasaan tidak nyaman, ia mengendarai mobil dengan hati-hati. Beatrice di sampingnya terlihat cemberut.
Tidak sampai lima belas menit, mobilnya memasuki perkarangan rumah mewahnya.
Setelah memarkirkan mobil, dengan langkah ringan Elvan keluar dari mobil. Beatrice menyusul dan berjalan di depannya. Begitu memasuki kamar, Beatrice membanting pintu dengan kuat, membuat Elvan yang juga akan memasuki kamar terpaku dengan wajah memerah.
Menikah dengan Beatrice benar-benar menguji kesabarannya. Beatrice sangat emosional dan semaunya. Entah kenapa ayahnya memilih Beatrice untuk menjadi istrinya, padahal di Batam ini, wanita cantik yang baik belum langka.
Elvan membuka pintu kamar sembari menyabar-nyabarkan hati. Inilah konsekuensi menikah dengan anak tunggal. Beatrice sangat manja dan keras kepala.
“Trice …,” panggil Elvan lembut, menepis jauh segala bentuk kekesalan dalam hati akibat ulah istrinya itu.
Beatrice yang sedang menghapus make up, tidak menoleh sama sekali.
Elvan berjalan pelan mendekati Beatrice. Ia berdiri di belakang Beatrice dan mennyentuh pelan kedua bahu istrinya.
“Maaf telah membuatmu kesal.” Walau sebenarnya ia tidak salah, tapi bila tidak minta maaf, bisa dipastikan Beatrice akan terus uring-uringan. Jika dicueki, Beatrice makin bertingkah untuk menarik perhatiannya. Terkadang, Elvan frustrasi dibuatnya, tapi ia tahu, istrinya itu ingin dibujuk.
“Menyebalkan!” ketus Beatrice.
Elvan tersenyum tipis dan menatap wajah Beatrice dari pantulan cermin meja rias. Elvan menunduk dan mencium bahu Beatrice. Malam ini Beatrice mengenakan gaun bermodel bahu terbuka. Seluruh bahunya yang putih mulus terekspos sempurna.
“Lain kali jangan begitu lagi!” Kali ini suara Beatrice sudah tidak ketus, tapi cenderung manja.
“Iya. Janji!” kata Elvan sambil mengacungkan dua jari, tanda peach.
Beatrice tersenyum—yang menurut Elvan, senyum paling manis yang pernah ia lihat dari seorang wanita.
***
Part 3
Beatrice POV
Aku naik ke ranjang dan memandang Elvan yang sudah berbaring lebih dulu dan tersenyum padaku, senyum yang sebenarnya sangat tidak ingin kuakui sebagai senyum yang selalu berhasil menggetarkan hatiku.
Aku turut berbaring di samping Elvan, lalu menarik selimut menutupi tubuh.
“Selamat malam, Elvan,” ucapku pelan, lalu memejamkan mata.
“Selamat malam.”
Tiba-tiba bibirku terasa hangat. Aku membuka mata.
“Elvan ...?”
Bibir pria itu mulai menelurusi tulang rahangku dan bergerak ke telinga.
“Aku menginginkannya, Sayang ....”
Dadaku berdebar kencang. Tidak. Aku belum siap. Tiga bulan pernikahan kami, tidur seranjang setiap malam, tapi aku tak pernah membiarkan Elvan menyentuhku lebih dari ciuman di bibir. Aku menikah dengan Elvan karena paksaan papa. Aku butuh waktu untuk menerima Elvan seutuhnya.
“Van ..., kau sudah berjanji akan menunggu sampai aku siap.” Aku mendorong pelan kepala Elvan agar menjauh.
Terdengar helaan napas yang cukup keras dari Elvan. Ia duduk dan menatapku dengan sorot kecewa.
“Aku sudah menunggu terlalu lama, Trice. Kita suami-istri. Bukankah tidak salah melakukannya?”
Aku bangkit dan duduk. Turut menghela napas pajang. “Aku tahu aku istrimu, tapi aku belum siap ....”
“Aku lelaki normal, Trice. Kau pikir sampai kapan aku bisa menunggu??”
Sekali lagi aku menghela napas panjang.
“Van ...,” panggilku saat melihat Elvan turun dari ranjang.
Namun Elvan tidak menoleh. Ia keluar dari kamar tanpa bersuara sedikit pun.
Setitik perasaan bersalah mendera hatiku.
“Aku lelaki normal, Trice. Kau pikir sampai kapan aku bisa menunggu??”
Kata-kata Elvan kembali terngiang di telingaku.
Elvan benar. Dia lelaki normal, dan sudah terlalu lama dia membeku karena aku. Apa setelah penolakan ini, Elvan akan mencari pelampiasannya pada wanita lain?
Tiba-tiba saja pemikiran tersebut membuatku takut dan tidak nyaman. Tentu saja aku tidak mau Elvan berpaling dariku. Terlepas dari aku mencintainya atau tidak, aku tidak ingin Elvan menduakanku. Jangankan memikirkannya tidur dengan wanita lain, saat melihat dia bersama seorang wanita di pesta temanku tadi saja, aku merasa terganggu. Aku yakin, aku tidak cemburu. Mungkin hanya sebuah rasa tidak rela karena Elvan adalah suamiku, dan tidak boleh ada wanita mana pun mendekatinya.
***
Part 4
Author POV
Elvan mengacak rambutnya dengan kesal. Ia duduk sendirian di beranda. Angin malam yang berembus dingin sama sekali tidak bisa menyejukkan hatinya yang sedang panas.
Sekali lagi Beatrice mengecewakannya. Ia memiliki hak atas tubuh Beatrice. Akan tetapi hingga hari ini, ia sama sekali tidak diizinkan mengambil haknya. Beatrice terus menolak dengan alasan yang sama. Dia belum siap!
Belum siap karena apa? Usia Beatrice sudah 22 tahun. Dia sepenuhnya seorang wanita dewasa, dan mereka adalah suami istri!
Sampai kapan ia akan bertahan seperti ini? Ia lelaki normal. Setiap malam, tidur seranjang dengan Beatrice, melihat lekuk tubuhnya yang aduhai, adalah siksaan!
Angin berembus kencang. Elvan menghela napas panjang.
Mungkin mulai saat ini ia harus tidur di kamar yang berbeda dengan istrinya. Tidak mungkin ia bisa bertahan tidur seranjang dengan Beatrice tanpa menyentuhnya.
***
Part 5
Beatrice POV
Kutatap ranjang kosong di sampingku dengan mata setengah terbuka karena masih harus beradaptasi dengan suasana kamar yang sudah teran-benderang.
Aku mengerjap, lalu duduk di bibir ranjang. Memasang telinga baik-baik untuk menangkap aktivitas sekecil apa pun. Tidak terdengar suara apa pun dari kamar mandi. Di mana Elvan?
Kulirik jam dinding yang menunjukkan pukul delapan pagi.
Secepat kilat aku bangun dan keluar dari kamar tanpa mencuci muka lebih dulu. Apakah Elvan sudah sarapan? Setiap pagi dia tidak pernah lupa membangunkanku. Meski termasuk tipikal pria penyabar dan dewasa, untuk beberapa hal Elvan sangat manja, seperti memintaku membuatkannya kopi dan sarapan.
Elvan tidak ada di dapur. Hanya ada pengurus rumah yang sedang sibuk mengerjakan pekerjaan rumah tangga.
“Elvan mana, Bi?” tanyaku pada Bi Mimin, perempuan paruh baya yang sudah tiga bulan ini bekerja pada kami.
“Pak Elvan sudah pergi kerja, Bu.”
Aku mendesis kecewa. Tumben Elvan pergi tanpa membangunkanku. Apa Elvan masih marah karena aku menolaknya tadi malam?
Tidak. Tidak mungkin.
Elvan selalu lembut dan sabar. Dia tidak mungkin marah hanya karena hal kecil seperti ini, kan? Mungkin dia hanya tidak tega membangunkanku yang sedang lelap.
Aku menghela napas panjang, berusaha tetap berpikiran positif.
***
Part 6
Author POV
Elvan meraih ponselnya yang sejak tadi berdering hampir tanpa henti.
“Ada apa, Trice?” tanya Elvan begitu menerima panggilan dari Beatrice.
“Kau di mana? Ini sudah pukul sepuluh malam, kenapa belum pulang?”
Elvan menghela napas panjang mendengar nada cemas bercampur kesal dalam suara Beatrice.
“Aku lembur. Kau tidur saja dulu. Tidak perlu menungguku.”
Terdengar helaan napas yang cukup keras di ujung sana. Elvan tahu Beatrice ingin ia segera pulang.
“Aku mau kerja dulu, Trice. Selamat malam.” Elvan mengakhiri panggilan.
Ia menatap ponselnya dengan perasaan nelangsa. Sungguh sebenarnya ia tidak tega memperlakukan Beatrice seperti ini. Dan sungguh, di dadanya bergemuruh rasa rindu pada istrinya itu. Sepanjang hari ini ia belum bertemu Beatrice. Ia sengaja berada di kantornya hingga larut malam.
Sebenarnya ia sama sekali tidak bekerja. Ia hanya menonton saluran acak dari TV yang ada di ruangannya dengan ditemani segelas kopi.
Mungkin Beatrice tidak sadar kalau tadi malam ia tidak kembali ke kamar mereka. Elvan sudah mengambil keputusan untuk tidur terpisah dari istrinya, agar ia tidak menjadi gila karena menahan hasrat sepanjang malam saat harus mencium wangi tubuh Beatrice yang sangat menggoda, atau melihat lekuk tubuhnya yang aduhai.
Elvan meraih kopinya dan sedikit meringis menyadari betapa pahit kopi yang ia minum, sepahit kisah di atas ranjang pernikahan mereka.
***
Part 7
Beatrice POV
Suara petir yang menggelegar membangunkan tidurku. Aku membuka mata dan menatap langit-langit kamar yang temaram oleh cahaya lampu tidur.
Karena masih mengantuk, aku kembali memejam. Tiba-tiba aku terusik oleh tidak adanya suara dengkuran halus yang selama tiga bulan ini telah menemani tidurku.
Aku membuka mata dan membalikkan tubuh. Seketika darahku berdesir saat tidak mendapati kehadiran Elvan. Ke mana pria itu? Aku bangun dan duduk di tengah ranjang. Kulirik kamar mandi yang ada di kamar. Terlihat gelap, menandakan Elvan tidak berada di sana.
Dadaku bergemuruh tidak nyaman. Apa Elvan tidak pulang malam ini? Kulirik jam dinding yang sudah menunjukkan pukul tiga dini hari.
Seketika amarah dan curiga mendera hatiku. Apa Elvan tidak pulang karena aku telah menolaknya dan ia melampiaskan hasratnya pada wanita lain?
Dadaku panas terbakar membayangkan Elvan berada di pelukan wanita lain.
Lama aku duduk termenung. Kantukku hilang tak berjejak. Dengan perasaan berkecamuk, aku turun dari ranjang dan melangkah menuju pintu kamar, ingin mengambil ponselku yang tadi malam kubiarkan tergeletak di meja di ruang tamu.
Aku akan menghubungi Elvan saat ini juga dan menanyakan keberadaannya. Biar saja bila ia dan kekasih gelapnya terganggu oleh panggilan dariku.
Baru saja kakiku melangkah keluar dari kamar, perhatianku tertarik pada kamar di sebelah kamar kami. Dari celah garis di bawah pintu, aku bisa melihat cahaya remang-remang. Seketika dadaku berdebar. Kamar itu adalah kamar tamu. Apakah Elvan tidur di sana?
Dengan langkah pelan aku mendekati kamar itu dan meraih gagang pintunya.
Pintu terbuka.
Terlihat Elvan tidur memeluk guling, bahkan tidak menggunakan selimut padahal suhu kamar sangat dingin oleh pendingin udara.
Hatiku terenyuh. Aku mendekatinya dan duduk di pinggir ranjang. Kutatap wajah tampannya yang terlihat tanpa dosa saat tidur seperti ini.
Elvan tidur di sini pasti karena marah kutolak kemarin malam. Perasaan bersalah menusuk-nusuk hatiku. Istri seperti apa aku yang rela menyiksa suamiku hanya karena alasan ‘belum siap’ yang kupegang teguh setiap Elvan meminta haknya sebagai suami?
Dengan perasaan yang sulit untuk dilukiskan, aku mengelus pipi Elvan yang terasa dingin. Hatiku semakin nelangsa. Aku tidak pantas bersikap seperti ini pada Elvan yang telah sangat baik terhadapku.
Dengan mata berkaca-kaca, aku meraih selimut di ujung kaki Elvan dan menyelimuti tubuhnya. Baru saja selimut itu kutarik hingga sebatas paha, Elvan menggeliat, dan entah bagaimana ia meraih tubuhku hingga tanpa bisa dicegah, aku membungkuk di dekatnya.
Dengan mata terbeliak aku menatap Elvan yang kini memandang dengan tatapan masih mengantuk.
“Trice ....”
Entah bagaimana, Elvan meraih tubuhku makin merapat padanya. Bibirnya menyapu lembut bibirku. Awalnya terasa dingin, tapi lama-lama kehangatan itu mengalir bukan hanya di bibir kami, tapi juga di sekujur tubuh.
Akhirnya malam itu, untuk kali pertama aku dan Elvan bercinta.
***
Part 8
Author POV
Setelah kejadian malam itu, hubungan Elvan dan Beatrice menjadi hangat dan mesra.
Elvan senang Beatrice telah menerimanya sepenuh hati. Tak ada kata cinta terucap dari bibir mereka berdua, tapi Elvan yakin, mereka saling menyayangi.
Pernikahan keduanya bahagia. Sampai suatu sore Minggu yang cerah, ketika sedang bersantai di beranda ditemani teh dan kudapan, gangguan itu datang.
Sebuah mobil mungil berwarna putih berhenti di pinggir jalan depan rumah. Seorang wanita cantik keluar dari mobil itu.
Rahang Elvan seketika mengencang.
Natalie.
Wanita itu pernah beberapa kali datang ke rumahnya, tapi Elvan selalu memiliki cara mempersingkat kehadirannya. Setelah ia menikah dengan Beatrice, Natalie tak berhenti berkunjung. Untungnya di saat Beatrice tidak berada di rumah. Elvan tidak ingin hubungannya dan sang istri yang masih rapuh, direcoki oleh kehadiran orang ketiga.
Kali ini, ia tak bisa mengindar lagi, bukan? Semoga saja Natalie hanya bertamu sebentar.
“Siapa, Van?” Beatrice menoleh menatap Elvan penuh tanya.
Elvan tidak menjawab, karena tidak memungkinkan. Natalie telah berdiri di depan mereka.
“Halo. Van,” sapa Natalie lembut merayu dengan tatapan lurus pada Elvan, sedikit pun tidak menghiraukan kehadiran Beatrice.
“Ada apa, Nat?”
Natalie tersenyum manis. “Apa aku tidak boleh mengunjungi calon suamiku?”
“Apa maksudmu berkata seperti itu?? Aku bukan calon suamimu!” bantah Elvan kesal.
“Kau tahu aku mencintaimu. Dan aku tahu, kau juga mencintaiku. Kau terpaksa menerima perempuan ini karena paksaan orangtuamu, kan? Aku tak keberatan menjadi istri keduamu.”
Wajah elvan menggelap. Ia tak menyangka Natalie seberani ini. Wanita itu memang beberapa kali menyatakan cinta kepadanya, tapi Elvan menolak dan mengatakan dengan jelas, bahwa ia tidak memiliki perasaan apa pun.
Elvan berdiri dan siap membalas perkataan Natalie, lalu mengusirnya, ketika kursi di sebelahnya berderit. Beatrice bangkit dan berjalan masuk ke dalam rumah.
“Trice!!”
Namun Beatrice tidak menoleh. Istrinya itu terus melangkah pergi.
Napas Elvan memburu. Ia memandang Natalie dengan sorot dipenuhi amarah. Jika tatapan bisa membunuh, wanita itu pasti telah kehilangan nyawa saat ini juga.
“Berhenti mengganggu aku dan istriku, Nat! Aku sudah menikah! Sampai kapan pun, aku tak akan berpisah dengan istriku, apalagi demi bersama wanita sepertimu!”
Setelah mengucapkan kalimat itu, Elvan meninggalkan Natalie dan masuk ke dalam rumah.
“Elvan!!”
Panggilan Natalie sama sekali tak ia gubris.
***
Part 9
Beatrice POV
Aku menelungkup di tengah ranjang dan menangis sejadi-jadinya. Tidak kusangka Elvan mencintai wanita lain, bahkan wanita itu datang ke rumah, mengatakan bersedia menjadi istri kedua.
Tidak!
Aku tidak akan pernah mengizinkan Elvan menikah dengan wanita lain. Tidak tahu kapan tepatnya, tapi aku sadar, aku mencintai Elvan dan tak mau kehilangannya.
“Trice ....”
Panggilan Elvan terdengar lembut. Dalam sedetik, tangannya yang kukuh terasa mengelus bahuku. Suara tangisku menghilang. Hanya tubuh yang begetar menahan diri agar tidak bersuara dan melampiaskan semua kekecewaan dan sakit hatiku.
“Aku dan Natalie tidak ada hubungan apa-apa ....”
Aku masih menunggu kelanjutan kalimat Elvan, tapi yang terdengar hanyalah helaan napas panjangnya.
“Trice ..., wanita yang ada di hatiku hanya dirimu. Aku …, mencintaimu ....”
Seketika tubuhku mengejang mendengar pernyataan Elvan.
Elvan mencintaiku? Benarkah yang kudengar ini? Atau aku berhalusinasi karena terlalu berharap?
Elvan meraih tubuhku hingga berbalik menghadapnya. Elvan duduk di bibir ranjang dan menatapku dalam-dalam. “Aku mencintaimu, Trice. Natalie hanya gangguan kecil dalam hubungan kita. Jangan acuhkan.”
“Tapi dia bilang, kau mencintainya.”
Elvan tersenyum lembut. “Itu katanya, bukan kataku.”
Jemari Elvan menghapus air mataku yang mulai menetes dari sudut mata.
“Yang ingin menikah denganku adalah dia, bukan aku. Aku sudah memilikimu,” tambah Elvan.
Seketika dadaku berdebar lembut. Aku menatap Elvan dengan mata berbinar.
“Percaya padaku, hanya dirimu yang kucinta,” bisik Elvan sambil membungkuk.
Kecupan lembut dan basah hinggap di bibirku.
Aku terharu. Dan aku tahu, aku harus memercayai Elvan. Siapapun wanita itu, aku harus yakin, dia tak akan bisa mendapatkan hati Elvan yang sudah menjadi milikku.
“Aku juga mencintaimu, Van,” bisikku parau di sela kecupan Elvan.
The end
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
