Betapa Menyenangkan Menjadi Orang Malas

1
1
Deskripsi

menjadi orang malas seperti apa yang mereka bayangkan, ternyata menyenangkan. 

Banyak orang mengatakan aku lah si pemalas itu. Kata-kata ini juga terucap dari mulut keluargaku. Pengertian keluarga secara harfiah adalah sekumpulan orang yang memiliki hubungan darah denganku. Jadi, sudah barang tentu “aku lah si pemalas” adalah sebuah hal yang valid. Namun, terkadang pula aku mempertanyaankan pada diriku sendiri “memang benar aku pemalas?” Rasanya aku masih sama seperti manusia lainnya. Merasa sibuk walau hanya dalam pikiran. Tanteku kadang mengunjungi kediamanku bersama ibuku. Lalu tiba-tiba saja membuat rusuh di kamarku dengan segala ocehannya, seperti menyuruhku untuk mencari pekerjaan yang lebih menghasilkan daripada hanya sekadar menulis puisi-puisi sendu. Minggu lalu juga bibiku datang dengan ocehan yang sama, hanya sedikit diberi variasi dengan kata-kata “astaga jam segini baru bangun?” Ibuku tak pernah melontarkan ocehan-ocehan itu. Namun, mungkin maksudnya masih sama saja, seperti tadi pagi saat Ibu berkunjung ke kamarku.

“Nak, apa yang sebenarnya sedang dikerjakan?” Ibu bertanya dengan raut yang bingung sambil mengalungkan handuk di leherku bagai metafora yang menyuruhku untuk lekas bergegas mandi.

“Saat ini sedang menulis. Beberapa jam yang lalu baru saja menyelesaikan satu serial. Ada apa, Bu?” Aku menjawab namun mataku masih sibuk menatap layar laptop.

“Apakah kamu tidak bosan? Tidak ingin mencari kesibukan lain?” Ibu lanjut bertanya, tangannya mengusap lembut rambutku yang sudah sepekan ini belum terbilas sampo.

“Ada kesibukan lain, Merawat kebun di belakang. Sepertinya hari ini kita akan panen tomat, Bu.”

“Maksud Ibu pekerjaan lain, Nak. Kantoran begitu. Agar kamu tak hanya di rumah saja.”

“Di rumah kan lebih enak, Bu. Aku bisa sembari merawat Ibu.” Ibu hanya membalas dengan helaan nafas panjang dan menutup percakapan “Ya sudah. Mandi sana!”

                                                       ~

Aku heran. Apakah ada yang salah dengan aktivitasku? Sehari-hari aku memang beraktivitas di rumah. Aku menulis beberapa puisi yang kadang dimuat di media walaupun tak jarang juga yang hanya tersimpan sebagai draft. Kadang hanya aku jadikan zine dan kubagikan secara cuma-cuma.  Selain itu aku merawat kebun kecil di halaman belakang, yang terpenting bisa untuk melengkapi kebutuhan pangan sehari-hari. Aku bertanya dan keheranan sendiri dimana sih letak malasnya aku? Aku masih sama saja seperti manusia lainnya dalam hal beraktivitas. Sebenarnya, aku memiliki pekerjaan lain. Menjadi admin sebuah toko buku, pekerjaannya memang santai sih hanya membalas pesan masuk dan tentu saja bisa dilakukan di rumah. Namun, itu menjadi kegiatan sampinganku saja karena bagiku kegiatan utamaku adalah menulis, berkebun, dan berliterasi.

Sejak kecil, aku memang ingin menjadi penulis. Aku mengidolakan Dee Lestari. Satu karyanya yang berkesan untukku adalah Perahu Kertas. Sosok Kugy dan Keenan sangat membekas di ruang-ruang ingatanku. Kemudian semakin tumbuh semakin banyak penulis yang menginspirasiku. Cita-citaku sejak kecil memang berubah-ubah namun keinginan untuk menjadi penulis tak pernah hilang. Pernah juga aku ingin menjadi musisi, tapi sayang tak sedikit pun aku bisa memainkan alat musik. Lalu, ingin menjadi seorang seniman tapi lagi-lagi tak bisa aku menggambar. Satu-satunya keahlianku yang paling mumpuni ya hanya menulis. Aku merasa hidup ketika menulis. Walau terlihat hanya tangan saja yang bekerja memegang pena dan bergerak kanan kiri menyambung aksara, tetapi seluruh inderaku juga ikut berperan. Aku berpikir bagaimana mencipta tokoh, ikut merasakan suasana yang ku bangun dalam cerita, mendengar suara-suara yang lebih detail untuk ku tulis dalam narasi yang lebih kaya. Aku sudah cukup hidup dengan menulis, walaupun upah menulis mungkin tak cukup menghidupi ekspektasi keluargaku. Menjadi orang malas seperti apa yang mereka bayangkan, ternyata menyenangkan.

                                                         ~

Sore ini omku dan istrinya datang mengunjungi ibuku ketika aku sedang sibuk memanen tomat dan bayam di halaman belakang sambil memeriksa beberapa tanaman kalau-kalau ada yang terkena penyakit. Aku masih mengalungi handuk pemberian ibu dan belum juga bergegas mandi. Satu-satunya keluargaku yang mendukung aku berjalan di jalurku hanyalah omku. Ia juga mengurusi satu kebun di rumahnya, kemampuan berkebunnya pun lebih mahir daripada aku. Kerap kali ia juga membuat pupuk organik sendiri yang dihasilkan dari komposter yang ia rancang sendiri pula. Omku sehari-hari bekerja sebagai penyiar radio. Istrinya juga tak kalah hebat. Ia seorang jurnalis musik. Pantas saja wawasan omku tentang musik juga sangat kaya. Mereka adalah sosok yang menjadi panutanku. Kelak anaknya akan bangga memiliki orang tua yang keren seperti mereka.

“Wah! Sedang panen apa kau?”

“Tomat dan bayam, Om. Nanti malam makan sederhana, Om. Sayur bening dan sambal bawang.”

“Bisa diatur. Om juga bawakan kue brownies buah karya tangan sendiri. Bagaimana antologi puisimu sudah siap untuk masuk penerbit?”

“Aku merasa masih belum siap, Om. Masih ada yang kurang.”

“Nanti kita diskusikan bersama.”

Pada hari yang sama, tanteku yang hobi nyinyir itu juga datang mengunjungi ibuku sambil membawa satu kotak nastar kesukaan si bungsu. Mereka langsung membuat formasi yang melingkar di meja makan. Dari jauh sudah terdengar nyinyirannya.

“Kerjanya hanya malas-malasan. Bangun siang, tidur larut. Ku suruh daftar CPNS, dia tak ingin. Adiknya kedua sering mengeluh padaku hal yang sama, Bang.”

“Ah jika dilihat dia bukan pemalas. Tidur larut karena sedang ada yang dikerjakannya. Bisa jadi kau yang pemalas, tak inginkah keluar dari pola berpikir yang kuno seperti itu?”

Kupandangi dari jauh ekspresi tanteku yang menyebalkan itu. Sebenarnya apa sih makna kesuksesan itu? Apakah sukses harus terus menerus soal angka? Apa salahnya menjalani apa yang kita cintai? Ya, walaupun secara realistis, hidup membutuhkan uang. Apalagi sejak ibu bercerai dengan ayah. Selama pernikahan, ibu tak pernah direstui untuk bekerja atau mengembangkan kemampuannya, sehingga ketika bercerai butuh usaha yang lebih besar untuk menghidupi rumah ini dan anak-anaknya lah yang dapat menjadi tumpuan. Pekerjaanku yang dianggap malas-malasan itu juga tetap menghasilkan kok. Aku merasa sudah turut membantu menghidupi rumah ini. Atau itu hanya perasaanku, jangan-jangan sebenarnya aku dianggap tak berguna atau hanya benalu? Aku tepis pikiran-pikiran itu dan lekas menyimpan hasil panenku di atas nyiru bambu.

                                                      ~

Tak lama ibu datang membawa dua gelas teh hangat dan menaruhnya di meja rotan. Ia menghampiriku dan memberi sebuah gayung, pertanda aku harus lekas-lekas mandi.

“Kamu dan om-mu memang cocok kalau sudah bertemu begini tapi ini hampir magrib dan kamu tak kunjung juga pergi mandi. Pantas saja tak pernah kulihat lelaki mendekatimu,” ucap ibu menggerutu. Aku pun segera menuju kamar mandi dan menaruh hasil panenku di dapur.

Setelah selesai mandi, aku langsung bergabung dengan mereka di meja makan. Menyantap sayur bening, sambal tomat, dan tempe mendoan sebagai hidangan utamanya. Kemudian ditutup dengan es markisa dan brownies buatan omku sebagai hidangan penutupnya. Energiku sudah terisi untuk kembali merampungkan antologi puisiku. Aku ingin karya kecil itu lahir dalam waktu dekat ini. Sebagai anak pertamaku, aku harus memberinya nutrisi yang cukup agar dapat lahir dengan sehat dan dikenang pembacanya. Namun, ketika aku ingin bergegas menuju kamar, ibu membuka pembicaraan dengan nada yang cukup serius.

“Dik, tak adakah info pekerjaan untuk anak sulungku ini? Ya, yang penghasilannya jauh lebih besar. Aku sudah sendiri saat ini. Ayahnya sudah jarang memberi mereka uang saku. Tak mungkin juga aku terus menerus menggantungkan kebutuhan pada anak keduaku. Jika, kau Nak, tak ingin mencoba peruntungan lain lebih baik ibu saja yang bekerja.”

Seketika suasana di ruang makan menjadi abu-abu. Dadaku merasakan sesak melihat raut wajah ibu yang tiba-tiba berubah murung. Aku merangkulnya dan memberi ibu segelas air putih yang mungkin saja dapat sedikit menenangkan. Pada mulanya, ibu sangat mendukung apa yang ku kerjakan, namun begitu sering ia mendapat keluhan-keluhan dari tante, bibiku, atau bahkan adikku sendiri hingga membuat pikirannya semakin kacau. Kupandangi raut murung ibu yang tak berubah dan aku hanya dapat bergeming. Energi dari makan malamku seperti sirna begitu saja. Aku menjadi lemas dan tak bergairah. Segera aku meninggalkan ruang makan dan menuju kamarku. Di dalam kamar, aku mendapati kebuntuan. Tak ada satupun kata yang dapat ku tulis malam ini. Bayang wajah ibu yang murung masih tersimpan di sudut ingatanku. Bahkan ketika aku memejam pun bayangan itu masih ada. Aku hanya bisa mengutuki diri sendiri. Aku hanya ingin menekuni apa yang kucintai dan bertahan dengan caraku sendiri. Haruskah aku berkhianat pada diriku sendiri?

                                                     ~

Pagi datang dengan cepat. Aku langsung menuju kebun dan memperhatikan tanaman kangkungku yang sepertinya diserang penyakit. Ibu sudah menyiapkan sarapan di meja makan, ia menghidangkan satu panci bubur Manado yang asapnya masih mengepul di udara. Adik-adikku langsung berkerumun di meja makan. Pagi mereka memang sibuk, tidak seperti aku si malas yang terlihat sangat santai. Anak tengah langsung pamit pergi kerja setelah menyelesaikan sarapannya. Ia hanya berpamitan pada ibu, memang sudah sejak lama ia tak pernah menyapaku lagi. Untuk apa menyapa seorang kakak yang mungkin tak berguna di matanya. Ritual pagi itu ditutup dengan bunyi klakson motor ojek langganan si bungsu. Tersisa aku dan ibu di ruang makan, aku segera membantunya membersihkan piring kotor dan merapikan meja makan. Selesai membersihkan seisi rumah, aku dan ibu duduk bersantai di beranda ditemani teh bunga telang yang kuracik sendiri dengan tambahan sedikit madu. Aku masih mendapati raut murung pada wajah ibu.

“Ibu, tak usahlah terlalu mendengar ocehan tante dan bibi. Memang hidup kita jauh lebih keras dari sebelumnya, tapi ibu percaya saja padaku. Walau terlihat seperti pemalas, apa yang ku kerjakan bukan berarti tak ada maknanya. Tak selamanya pekerjaan ideal itu hanya di meja kantor, atau di sebuah bangunan bertingkat, Bu. Tak usah hiraukan orang lain, Bu. Kita hidup bukan untuk mereka. Tidak apa mereka melabeliku pemalas, tapi aku sangat menikmatinya. Aku mencintai apa yang aku lakukan, Bu.” ucapku sedikit gemetar menahan tangis, tapi akhirnya pecah juga tangisku ketika kudapati air mata jatuh dari mata ibu. Aku mengusap halus tangan ibu dan memberi harapan untuk bisa bertahan lebih jauh.

“Mari saling merangkul, Bu. Setiap dari kita hanya sedang bertahan hidup dengan caranya masing-masing.”

            Bulan sudah berganti. Antologi puisiku akhirnya rampung juga. Aku memberanikan diri mengirimkannya ke penerbit. Tak sabar menanti kelahiran anak pertamaku. Aktivitasku di rumah bertambah. Selain menulis puisi dan berkebun, aku menjadi seorang copywriter di sebuah organisasi lingkungan independen. Sebuah rutinitas yang menyenangkan. Kebun di halaman belakang juga semakin rimbun. Ada beberapa anggota keluarga baru seperti jagung, okra, dan pohon pisang. Tetangga sebelah juga memintaku untuk menggarap halaman belakangnya menjadi kebun kecil. Akhirnya hubungan bertetangga semakin harmonis dengan bertukar hasil panen. Anak-anak di sekitar rumah juga jadi belajar caranya bertanam. Selain itu, aku menyulap halaman depan rumah menjadi sebuah kedai dan perpustakaan kecil. Ibu menjadi tokoh utama yang mengelola kedai itu. Ia menghidangkan masakan nusantara dan kue-kue sebagai teman minum kopi. Ibu nampak lebih hidup dari sebelumnya. Sedang aku masih sama saja. Tak banyak berubah. Tetap tidur larut dan bangun siang. Tetap mendapat ocehan dari tanteku yang masih menganggap aku pemalas dan memintaku untuk mencoba pekerjaan lain. Bedanya kali ini ibu memasang badan untuk mendukungku dan berkata “tak ada yang salah menjadi pemalas seperti yang kau bayangkan.”

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Sebelumnya November Basah
1
1
November yang basah. Aku berteduh di selasar bangunan bioskop tua itu. Ikut berjejal bersama orang-orang yang tak ingin rambutnya lembab oleh percik hujan. Kala itu cukup banyak yang tak membawa mantel dan memilih menepi dari panggung. Aneh. November memang selalu dihujani rintik tapi aku dan mereka memilih lupa untuk tak berbekal mantel dari rumah. Sebuah kesialan yang kuciptakan sendiri karena pada akhirnya harus menyaksikan konser itu dari jauh. Sebisa mungkin aku mencoba untuk menikmatinya, simfoni-simfoni yang melantun beriring dengan bunyi hujan ternyata menambah kesan tersendiri dari konser-konser yang pernah ku saksikan sebelumnya. Terasa lebih apik dan syahdu. Lamat-lamat di kejauhan kutemukan seorang puan tanpa mantel, begitu girang melompat-lompat di tengah hujan seperti anak ikan yang nyawanya di ambang pintu karena kekurangan air. Aku tak begitu menghiraukan, mungkin saja puan itu bukan manusia dan mungkin karena hujan aku tiba-tiba mendapat kekuatan berupa pandangan yang tembus ke alam lain.Semakin larut, hujan tak kunjung reda dan penonton semakin ramai ikut bernyanyi lagu-lagu andalan yang didendangkan. Tiba-tiba aku mendengar suara yang memecah keramaian dan cukup mengagetkanku. Sangat dekat dan tanpa permisi suara itu lekas-lekas masuk ke ruang dengarku. Suara seorang puan yang lembut dan nelangsa. “Aku ingin bunuh diri setelah konser ini usai,” ucapnya.Aku memalingkan wajah ke arahnya dengan tatapan penuh kebingungan. Apa dia benar-benar manusia? Atau aku memang benar-benar mendapat kekuatan untuk tersambung dengan alam lain? Ah yang benar saja. “Dasar. Makhluk sosial tanpa sosial. Ada yang baru saja berucap ingin bunuh diri dan kamu hanya bisa merespon dengan tatapan nanar,” protesnya.Dia ternyata benar manusia, setelah kurasakan panas di lenganku hasil dari cubitannya. Aku malah mengernyitkan dahiku, semakin tak mengerti dan aku belum menemukan kata yang cocok untuk menjawab nyinyirannya. Ku perhatikan dia mengibas-kibaskan pundaknya yang basah karena hujan. Ku perhatikan lagi perlahan-lahan dan dengan teliti. Ah rupanya dia. Puan yang baru saja kusaksikan tengah asik melompat-lompat di tengah hujan. Layaknya seorang bayi yang baru belajar mengucap kata pertamanya, aku menjawab dengan terbata. Kata-kata itu seperti tersangkut di kerongkongan dan sulit keluar.“Maaf tapi aku tak tahu harus merespon ucapanmu seperti apa. Lagi pula mengapa ingin bunuh diri? Tadi kuperhatikan kamu begitu riang bermain hujan seperti orang yang tak kenal masalah berat.”“Kamu tak tahu saja, di tengah hujan tadi aku sambil menangis.”Untuk kali kesekian aku kembali diterpa kebingungan. Apa yang sebenarnya sudah kulakukan di kehidupan sebelumnya? Hingga di masa kini harus bertemu seorang puan yang sedang di ambang putus asa.“Maaf tapi aku hanya seorang biasa, yang datang kemari untuk menonton konser dan bersenang-senang. Aku bukan ahli jiwa atau ahli agama yang dapat menyelamatkanmu dari jurang putus asa,” kali ini kalimatku lebih lancar dari sebelumnya.“Sungguh kamu bersenang-senang? Kusaksikan air mukamu begitu cemas karena hujan.”Tunggu. Mengapa jadi membahas aku? Bukankah dia yang memulai perkara?“Aku memang kesal karena kesialan yang kuciptakan sendiri tetapi selebihnya aku menikmati,” ucapku dengan harapan dapat menyudahi percakapan ini.Aku segera menyibukan diri dengan ikut bernyanyi lagu yang dilantunkan. Kemudian membuat tepukan di atas pahaku dan sesekali membuat anggukan tanda aku sangat menikmati konser itu. Tiba-tiba, dalam waktu singkat puan itu menarikku berlari ke tengah hujan dan menyelinap di antara kerumunan penonton menuju barisan paling depan.“Aku juga menciptakan kesialan sendiri yang membuatku ingin bunuh diri, tapi nikmati lah saja momen ini,” jelasnya dengan sedikit teriak karena malam semakin ramai walau hujan pun tak kunjung selesai.Malam aneh, namun aku menikmatinya. Hingga tibalah di penghujung acara, penonton semakin penuh sesak di dekat panggung –bahkan yang tadi hanya mematung berteduh di selesar– tak ingin kehilangan momen lagu pamungkas. Beberapa kulihat ada yang membentuk tari-tarian, menggoyangkan badannya ke kanan-kiri, atau hanya menganggukan kepalanya. Termasuk si puan yang baru saja berbisik ingin bunuh diri. Sungguh! tak kulihat rona muram di parasnya. Dia menari penuh gairah, sambil memejam mata, dan ikut melantunkan lagunya.I should be happy, penggalan lirik dari lagu terakhir yang dibawakan menutup malam itu dengan sempurna. Baru saja ingin beranjak dari area panggung menuju stan minuman, lagi-lagi secara spontan puan itu meraih tanganku. Aku tak bisa melawan. Biar saja kuturuti keinginannya. Ia mengajakku ke area sisi panggung, duduk bersandar pada tembok yang dihiasi mural bunga matahari dengan tulisan tetap tumbuh dan panjang umur untuk semua hal-hal baik. Malam semakin pekat, untung saja hujan sudah mereda.“Konser ini usai, aku akan segera bunuh diri,” lirihnya.“Bila kau bisa menikmati momen ini, mengapa tak bisa untuk menikmatinya lagi esok hari?”“Hidup ini brengsek dan aku tak punya waktu lagi untuk menikmatinya.”“Begini saja, apabila besok kamu masih hidup temui aku di hutan kota. Pukul delapan. Aku akan mengajakmu mengutuki kehidupan.”Aku bangkit dan segera bergegas menuju pintu keluar. Rupanya dia masih membuntutiku di belakang.“Mau ku antar pulang?” ajakku. Memang sepertinya hanya aku dan dia yang menonton konser tanpa teman atau bersama orang yang dikenal dekat.“Tidak, terima kasih. Aku masih harus bersiap untuk pertunjukan bunuh diriku.”Sambil berkendara, aku memikirkan apakah respon yang kuberi sudah sepantasnya bagi puan itu? Kalau memang benar dia akan melangsungkan aksi bunuh diri malam ini, mungkin saja aku akan menjadi saksi atas kematiaannya. Aku bisa saja orang terakhir yang ditemuinya. Aku akan menjadi pendosa ulung, jika hal itu benar terjadi. Semesta akan menghukumku dengan rasa bersalah yang berkepanjangan. Pagi hari aku terbangun dengan perasaan gelisah. Semalam bermimpi puan itu ditemukan mati di sebuah parkiran gedung tinggi. Mimpi yang buruk senada dengan November yang selalu mendung. Aku berbekal harap semoga dia datang menemuiku di hutan kota dan tentunya masih sebagai manusia.Aku terus memandangi detik jam. Sudah delapan lewat dua puluh. Tak kunjung juga aku melihat kehadirannya. Degupku berpacu kencang, aku terus mengulang semoga seperti mengucap mantra-mantra. Sedikit tertunduk, aku seperti sedang mengheningkan cipta. Samar-samar kulihat sepasang kaki memakai sepatu kets yang warnanya sudah lusuh. Ada kelegaan yang menyeruak setelah tahu sepatu kets itu dikenakan oleh si puan.“Akhirnya! Datang juga kau. Aku bawakan bekal, ayo makan! Mencemaskanmu cukup menguras isi perutku.”“Merancang aksi bunuh diri juga cukup membuatku lapar.”Aku dan dia menyantap ayam sambal matah yang sengaja ku persiapkan mulai pagi. Sebenarnya aku juga merindukan rutinitas piknik walau hanya di hutan kota. Rasanya hanya itu alam yang paling dekat dengan masyarakat urban. Sawah-sawah yang dulu sudah berubah menjadi cluster-cluster perumahan.“Tepati janjimu untuk mengajakku mengutuki kehidupan,” ucapnya mengingatkan.Suapan terakhir selesai. Dia ikut membantuku mengemasi kembali peralatan makanku. Setelah beres semuanya, aku meraih tangannya dan membantunya bangkit dari posisi silanya.“Sudah kenyang? Aku akan mengajakmu ke pasar di seberang sana. Ada sebuah kios yang menjual kopi dengan metode seduh manual brew.”“Baiklah. Setelah tegukan terakhir, kau harus menepati janjimu.”Secangkir Manglayang Geulis pilihanku dan Sembalun Sajang milik puan itu sudah tersaji di meja. Dia langsung menyeruput tegukan pertamanya dan kata ‘ah’ menyertai di setiap akhir teguknya.“Mengapa tak jadi bunuh diri?” Akhirnya aku berani membuka obrolan dan mengutarakan rasa penasaranku.“Sebab aku ingin tahu kiat-kiat mengutuki kehidupan.”“Mudah saja. Kau hanya tinggal memaki.”“Seperti ‘ah bangsat!’ begitu?”“Iya. Katakan lebih lantang.”“Terima kasih! Kau hanya membuang waktuku saja.” Dia langsung beranjak dan memasang langkah cepat menuju pintu keluar pasar. Aku mengejarnya sambil bergumam apa yang salah denganku?“Tunggu. Setiap kekeliruan tidak akan selesai kalau ditinggal pergi begitu saja.” Aku menarik tangannya dan membujuknya untuk tetap bersamaku.“Maaf apabila ada kesalahan dalam kalimatku tadi. Tapi berkata bangsat pada setiap hal yang tak kita sukai kan memang perlu. Daripada mengendap menjadi batu di dasar hati. Sebab tak bisa jujur pada diri sendiri. Kita tak perlu menolak perasaan-perasaan yang hari ini datang. Entah sedih atau marah,” ucapku melanjutkan.Dia memelankan langkahnya dan berhenti di depan sebuah kios yang kosong.“Aku kecewa bahkan pada diriku sendiri. Aku tak perlu hidup yang brengsek ini. Kurasa lebih baik mati, disana nanti aku bisa damai menari.” Seketika air menetes dari matanya membasahi kerah bajunya. Dia segera menyekanya dan coba merajut senyum simpul di wajahnya.  “Aku pernah membaca sebuah puisi bahwa akhir adalah juga permulaan. Bisa jadi mati adalah akhir bagimu, tapi awal mula bagi orang-orang terdekatmu.”“Tak begitu banyak orang-orang di dekatku. Satu persatu hilang, tiada lagi, tergerus waktu.”“Melepaskan adalah suatu hal yang niscaya dan hidup memang serangkaian kesengsaraan. Kita memang dipaksa untuk menikmatinya.”Puan itu melanjutkan langkahnya. Tibalah di muka pasar. Rintik mulai turun dan lagi-lagi kesalahan tak membawa mantel atau payung terulang. Dia terus melangkah, arahnya menuntunku kembali ke hutan kota.“Mengapa kembali kesini? Hari sudah mulai hujan. Sebaiknya kita mencari atap untuk,” belum genap ucapanku, sebuah kecupan menutup bibirku. Ku rasakan lembut dan hangat.“Kondisiku memang sedang tak baik-baik saja. Di tengah-tengah kesengsaraan ini, aku ingin mencipta ruang kecil untuk kita saling berkasih sayang,” ucapnya kemudian melanjutkan kecupannya yang hangat di antara gerimis. Ada perasaan yang menyeruak di dadaku, namun tak berani aku menamainya pun memaknainya. Tapi saat itu ada keinginanku untuk menemaninya kembali bertumbuh dan berjalan hingga jauh. Bersamanya aku ingin merayakan kesengsaraan, menyoraikan kesedihan, dan saling memeluk kesepian. Samar-samar ku dengar suara ambulan namun mataku sulit terbuka. Sayup-sayup juga ku dengar seseorang memanggil namaku dengan nada yang bergetar dan ku dengar pula suara yang terus menerus memanggil “Renata”. Seseorang mencoba membangunkanku dengan mengguncang tubuhku. Di telingaku ia berbisik “Renata tiada”.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan