TERPIKAT HATI YANG LAIN FULLPART (BAB 1-30)

6
4
Terkunci
Deskripsi

BAB 1. 

[Mas, foto kemarin di kirim ke aku, ya!] 

Setelah menyiapkan semua bahan presentasi, aku bergegas menuju ruang rapat pimpinan di lantai 23 gedung kantor tempat aku bekerja. Ada rapat dengan direktur bersama manajer lainnya. 

Aku sendiri adalah manajer paling muda yang baru saja naik jabatan. Dan, ini adalah rapat pertamaku dengan pimpinan kelas menengah di kantor. Aku harus mampu menunjukkan kinerja terbaikku. Maka tak salah jika aku datang lebih awal dibanding peserta rapat...

49,183 kata

Dukung suporter dengan membuka akses karya

Pilih Tipe Dukunganmu

Karya
1 konten
Akses seumur hidup
350
Sudah mendukung? Login untuk mengakses
Selanjutnya JODOHKU TETANGGA GALAK FULLPART BAB 1 - 50
11
7
PROLOG“Sekar ndak mau, Bude!” Aku menggeleng untuk menegaskan jawaban. Pakde Amin dan Bude Hanum yang ada di hadapanku senyum-senyum seraya sesekali menatap anak laki-lakinya yang juga duduk tak jauh dari mereka.Lelaki muda yang kukenal itu membuang muka dengan angkuh. Sementara, di sebelahnya ada Mbak Ratih, kakak perempuan dari lelaki itu. Wanita itu memberi isyarat padaku dengan mencebikkan mulut sembari matanya melirik ke adik semata wayangnya itu. Keluarga yang aneh! “Lha, Masmu itu kurangnya apa? Wis baik, sholeh, pinter. Masa kamu nggak lihat. Ganteng juga iya,” tambah wanita yang kusapa Bude itu,  sambil mengerling ke Mbak Ratih. Duh, mimpi apa aku semalam. Aku tuh datang ke rumah Bude Hanum karena disuruh ibu mengantar kue pagi-pagi. Kok malah kejadiannya kayak gini. Seperti biasa, ibu kalau bikin cemilan, pasti dilebihkan. Nanti aku disuruh nganter ke rumah Bude Hanum, tetangga kami yang hanya berjarak beberapa rumah. Ibu dan Bude Hanum sangat dekat karena dulu dari kecil sampe SMA sekolah bareng meskipun beda tingkat satu tahun. Tak heran jika anak Bude Hanum dan ibuku juga usianya tidak terpaut jauh. Mbak Ratih, kakaknya Mas Gilang, dan Mas Aji, kakakku, juga selisih setahun. Begitu juga aku dan Mas Gilang.Aku dan Mas Gilang memang selalu satu sekolah sejak SD sampai SMA. Namun bukannya dekat, malah dia menganggapku musuh bebuyutan. Mungkin karena Bude Hanum sering menyuruh Mas Gilang jagain aku sewaktu di sekolah.“Ngapain sih, Ma. Sudah gede pake suruh dijagain,” begitu selalu jawaban Mas Gilang sambil bersungut-sungut. Jaman aku masih SMA, kami sama-sama aktif di kegiatan OSIS. Kalau ada acara sampai malam, pasti terjadi drama. Bagaimana tidak, Mas Galang selalu ngloyor pulang begitu aja tanpa menungguku. Padahal angkutan umum sudah ngga ada kalau malam. Terpaksa, Dewi, sahabatku yang naik motor akan mengantarku sampai rumah. Biasanya anak-anak OSIS yang pulang setelahku akan berkomentar pedas terhadap Mas Galang. Dan tentu saja, aku bakal kena imbas juga. “Makanya, nggak usah gaya-gaya ikutan OSIS, kalau pulang aja masih ngrepotin orang,” gerutunya. Aku hanya mencebik. Dasar dianya saja yang ogah pulang bareng. “Sorry lah, aku boncengin kamu. Nggak akan ada cewek yang boleh bonceng aku kecuali istriku!” Begitulah Mas Galang dengan keangkuhannya dulu. Meskipun dengan paksaan Bude, sering juga aku dipaksa bonceng dia ke sekolah. Tapi, sepanjang jalan 12 km dia diam seribu bahasa. Nyebelin. Mendingan aku naik angkutan umum!Untungnya, saat kuliah, kami kuliah di kampus yang berbeda. Mas Gilang yang suka teknik memilih kuliah di Bandung. Sedangkan, aku kuliah dekat-dekat sini saja yang bisa setiap weekend pulang. Sejak kuliah, aku sudah jarang ketemu Mas Gilang. Paling banter hanya lebaran saja. Aku pikir, dengan jarangnya ketemu, dia sudah tidak jutek lagi. makin dewasa lah minimal. Tapi, ternyata harapanku pupus. Bahkan kini, sudah bekerja pun dia tetap saja jutek! Pantesan nggak kawin-kawin, nggak punya pacar juga. Ih, mana ada gadis yang mau sama dia! Ganteng sih iya, tapi emang bisa kita hidup modal ganteng doang? “Sekar pulang ah, Bude!” pamitku kemudian. Males banget berlama-lama di sini dengan serangan membabi buta dan ekspresi mereka yang mengintimidasi tanpa bisa kulawan. “Yo wis sana pulang. Besok Pakde sama Bude tak ke rumah kamu. Nganter Mas Gilang,” kata Bude Hanum datar. “Lhah? Ngapain nganter Mas Gilang?” tanyaku sembari menghentikan langkah yang sudah mencapai pintu, dan berbalik menatap Bude.“Ya ngelamar kamu. Ngapain lagi. Ya kan, Pak?” kata Bude Hanum sambil mengerling ke Pakde Amin, lalu melirik ke Mas Gilang. Pria yang dilirik Bude pun diam aja. Bahkan hanya memainkan ponselnya dan sesekali menunjukkan muka masamnya. Uasyeeemmm!“Pamit, Bude, Pakde!” kataku sambil bergegas keluar rumah. Hufff! Rupanya candaan Bude Hanum sama Mbak Ratih kala itu bukan hanya candaan. Dulu, tiap ke rumah Bude Hanum, memang aku sering lama disitu. Ngobrol ngalor ngidul sama Bude Hanum dan Mbak Ratih. Mereka sering bilang anak mantu dan adik ipar. Tapi aku nggak terlalu peduli. Itu kan jaman masih ABG labil. Dan nggak kepikiran kalau mereka ada udang di balik bakwan. Aku mempercepat langkah kembali ke rumah. Tiba-tiba langkahku terhenti. Kok, ada mobilnya Paklik Hanif dan Pakde Marwan di halaman rumah? Tumben-tumbenan kompak banget ke rumah bukan saat lebaran. Perlahan aku masuk ke rumah melewati pintu samping. Di dapur terlihat banyak kantung berisi bahan makanan. Ada apa ini? Kok ibuk sama bapak nggak bilang apa-apa. --(Dua minggu sebelumnya)“Mama nih apa-apaan. Gilang ogah di suruh nikah sama Sekar!” sahut Gilang dengan wajah gusar. Bagaimanapun, kredibilitas dan gengsinya dipertaruhkan. Apa kata dunia kalau tahu akhirnya dia bakal menikah dengan tetangganya yang aleman itu. Yang sok-sok aktif ikut organisasi ini itu, tapi ujung-ujungnya dia yang kena getah buat ngurusin. “Lha, kamu itu kalau nggak mau dijodohin sama Sekar, ya buruan cari pacar. Umur sudah 25, teman-temanmu juga sudah pada punya calon. Kamu? Dari dulu masih aja sendiri,” ledek Bu Hanum pada anak laki-lakinya itu. “Sekar itu sudah mau dilamar sama anaknya temen Bulik Ndari. Kalau kamu ngga buru-buru bisa keduluan. Pasti Pak Lik Sodiq setuju kalau anaknya temen Bulik Ndari ngalamar Sekar. Wong sudah mapan, ganteng pula,” ujar Bu Hanum, sengaja memanas-manasi anaknya. “Ya biar saja si Sekar nikah sama dia. Gilang ndak mau. Titik!” ucap Gilang sambil berdiri, pergi meninggalkan mamanya. “Ndak usah begitu. Nanti ujung-ujungnya nyesel lho,” ledek Ratih yang tiba-tiba masuk rumah sambil menggendong Mia, keponakan Gilang. “Nggak bakalan aku nyesel,” sungut Gilang sambil mendudukkan pant*tnya di sofa ruang depan. “Eee, lha jangan begitu. Kalau Sekar jadi kawin duluan, kamu sama siapa? Mama nggak setuju kalau dia sampai kawin duluan!” sahut Bu Hanum dari ruang makan. Kebetulan ruang tamu dan ruang makan di rumah Bu Hanum tanpa sekat. “Banyak lah, Ma, yang ngantri,” sahut Gilang seenaknya sambil menyelonjorkan kakinya ke meja. Tangannya tetap aktif memencet-mencet ponselnya. Sedangkan matanya tak lepas dari layar itu. “Mana buktinya? Mana?” tanya Bu Hanum sambil mendekat ke arah Gilang. “Kalau Sekar sampai menikah dengan laki-laki lain. Kamu harus menikah dulu dengan perempuan lain! Jangan sampai keduluan Sekar. Ingat itu!” kata Bu Hanum sambil menatap tajam ke anak laki-lakinya. Gilang hanya melirik sekilas. Mamanya memang begitu. Suka ngancam, tapi tidak ada realisasinya. ***ETW***--Gilang berdiri termangu di bawah pohon jambu di halaman rumah Randi, tetangganya yang usianya jauh lebih muda darinya. Rumah Randi hanya berbatas pagar setinggi dada orang dewasa dengan rumah Sekar. Terlihat dari tempat Gilang berdiri, sebuah mobil pajero sport warna hitam terparkir di sana. Gilang memicingkan matanya. Sepertinya dia kenal mobil itu. Tapi, punya siapa? “Hai, Mas. Ngapain berdiri disitu? Masuk sini!” tegur Randi, teman main Gilang jaman kecil. Umurnya lebih muda tiga tahun darinya. “Kok di rumah Pak Lik Sodiq ada mobil? Punya siapa, Ran?” tanya Gilang penasaran. Di desa mereka, sudah biasa menyebut tetangga dengan panggilan Pak Lik atau Pak De meskipun tak ada hubungan darah. Gilang bergegas mendekati Randi yang berdiri di teras. “Katanya, sih, calonnya Mba Sekar,” jawab Randi datar. “Calonnya Sekar? Memangnya Sekar pulang?”tanya Gilang keheranan.  Sejak lulus kuliah, Sekar bekerja di Jakarta. Sama seperti dirinya, hanya pulang sesekali dalam dalam setahun. Idul Fitri dan Idul Adha. “Katanya, sih, Mba Sekarnya nggak ada.” jawab Randi tak acuh. Gilang kembali melirik ke halaman rumah Sekar. Seorang pemuda keluar dari rumah bersama seorang ibu seumuran ibunya Sekar. Tiba-tiba Gilang mengingat sesuatu. --***ETW***“Ma, Sekar nikahnya sama siapa, sih?” tanya Gilang saat masuk ke dalam rumahnya.Mamanya yang sedang mencuci piring, buru-buru mematikan krannya, lalu mengeringkan tangannya dengan lap dapur. “Kenapa? Kamu berubah pikiran?” tanya Bu Hanum penasaran. Ada sedikut senyum mengambang terulas di bibir wanita paruh baya itu.“Namanya Fajar, bukan?” tanya Gilang tanpa menggubris kata-kata mamanya. “Lho, kok kamu tahu? Kamu kepo ya?” seloroh Bu Hanum sok gaul. “Bukan begitu, Ma. Gilang tahu Fajar itu seperti apa. Bilang sama Bulik Ndari, nggak usah diterima lamaran si Fajar!” ujar Gilang. Gilang masih ingat, dia pernah kena bogem mentahnya Fajar gara-gara salah paham. Fajar orangnya posesif dan suka main tangan. Setau Gilang, Fajar adalah pacar Daniar, sekretaris atasannya. Saat itu ketika hendak pulang usai jam kantor, Gilang melihat Daniar, masih sibuk menyelesaikan pekerjaan di kantor sendirian. Karena tidak tega, Gilang menemani sampai Daniar selesai. Si*lnya, saat mau keluar kantor, tiba-tiba Fajar sudah berdiri di depan pintu lobi kantornya. Tanpa ba, bi, bu dengan cemburu buta, Fajar langsung menghadiahi bogem mentah. Tapi,  Kenapa sekarang ia mau melamar Sekar? “Jadi gimana, Le? Kamu aja ya yang nikah sama Sekar. Mama sedih lho, Le, kalo kamu nggak mau,” tiba-tiba suara mamanya membuyarkan lamunannya. “Gilang hanya nggak mau kalau Fajar yang melamar Sekar!” sahut Gilang sambil menghilang masuk ke kamarnya.--BAB 1Aku melangkahkan kaki mendekati ruang tamu. Ada Pakde dan Budhe, juga Bulik dan Paklik yang rupanya sedang menyimak obrolan Bapak dan Ibu. Aku sengaja tidak muncul mendekati mereka. Aku ingin tau apa yang sedang mereka bicarakan. Kutempelkan telinga ke rak penyekat yang membatasi ruang makan dan ruang tamu.“Lho, Nak Fajar ini anaknya Mbak Nurul. Udah sukses, Mbak. Kalau Sekar tidak buruan jadian sama Nak Fajar, nanti Sekar keburu dilamar sama Gilang,” sahut Ibu. Aku tersentak kaget. Bagaimana tidak, Ibu belum pernah bilang apa-apa. Mengapa tiba-tiba menyebut namaku, dan mengatakan tentang lamar-melamar? Heh? Trus siapa Fajar? Siapa Nurul? Keningku berkerut. Kuingat-ingat baik-baik. Ibuk bahkan tidak pernah menyebut dua nama itu sebelumnya. Apalagi menyebut tentang lamaran. Bahkan, menyebut Mas Gilang mau melamar pun tak pernah. Drama apa ini? Kembali kutajamkan pendengaran ini, mencoba menyimak apa yang sedang mereka bicarakan. “Nak Fajar ini sudah jadi manajer di Jakarta. Gajinya sudah tinggi. Kalo Gilang kan masih anak kemaren sore. Gaji Gilang juga masih kecil. Nak Fajar ini kalau ke sini bawa mobil. Kalau Gilang? Pulang saja masih naik bus atau naik kereta. Kemana-mana pake motor. Ah, nanti Sekar kepanasan, kena debu. Item,” seru Ibu. Lho? Lho? Kok jadi membandingkan dengan Mas Gilang? Sejak kapan Ibu jadi matre begini? Aku menjadi penasaran. Seperti apa sih yang namanya Fajar itu? Sampe Ibu tergila-gila pengen mengambil jadi menantu? Tiba-tiba aku tergidik. Mendengar kata manajer saja ingatanku langsung ke Pak Devan, manajer super galak di tempatku bekerja. Tapi? Kenapa Mas Gilang disebut-sebut? Aku segera beringsut dari kursi tempat aku duduk. Tidak enak dari tadi belum memberi salam ke Budhe Siti dan Bulik Diah. “Lha, ini bocahnya sudah ada. Coba bulik, cepet tunjukin fotonya Nak Fajar. Pastilah Sekar bakal klepek-klepek,” kata Budhe Siti. Rupanya Ibu habis menunjukkan foto orang yang bernama Fajar itu dari ponselnya. “Ada apa tho Budhe, Bulik? Kok kayaknya seru banget.” tanyaku sembari menatap dua orang yang sudah kuanggap seperti ibuk=ku juga, pura-pura tidak tahu apa-apa. Aku ingin mendengarkan penjelasan segamblang-gamblangnya. Jangan sampai dugaanku benar, aku sedang dijodohkan. Wah, sudah mirip jaman Siti Nurbaya saja, pakai di jodohkan. Lha sekarang jaman industry 5.0, masak aku masih mengikuti perjodohan kuno. “Lho, piye tho Dik Ndari ki. Apa si Sekar belum dikasih tahu, kalau dia mau dijodohkan sama manajer yang ganteng dan tajir? Ini lho, Nduk gambarnya,” kata Budhe Siti antusias sambil menunjukkan galeri foto dari ponsel Ibu. Aku yang penasaran segera mengambil ponsel dari tangan Budhe Siti. Kuamati foto pemuda yang terpampang disana. Ah biasa aja. Malah, sudah mirip om-om. Ya nggak tua-tua banget, sih. Mungkin usianya sekitar 28 tahun, beda sekitar 5 tahun denganku. Kalau sama Mas Gilang ya jauh beda. Mas Gilang kan masih model mboys, bukan manly. Secara Mas Gilang umurnya belum 25 tahun.“Lha memang ini siapa tho, Buk?” tanyaku pada Ibu. Kualihkan pandangan ke Ibu yang tampak bersemangat mau bercerita. “Ini anaknya temen Ibu jaman SMA juga, Ndhuk. Namanya Budhe Nurul. Sekarang tinggalnya di Jakarta. Budhe Nurul ini mau besanan sama Ibu, pas tahu Ibu punya anak perawan, yang kebetulan juga kan kerja di Jakarta. Jadi ya klop tho,” jelas Ibu. He? Mataku membulat. Namun, aku tak bisa menjawab apapun. Menolaknya, tidak punya alasan. Apalagi menerimanya, aku juga tidak kenal. “Wis lah, Nduk. Nanti kenalan dulu aja. Mumpung ada Pakdhe, Paklik juga, sekalian lihat bibit, bebet dan bobotnya. Kalau cocok ya langsung aja nentuin tanggal,” sambung Ibu lagi. “Tanggal apa, Buk?” tanyaku heran, campur curiga. Kutatap wajah Ibu yang makin sumringgah.“Ya tanggal pernikahan tho nduk. Lha apa lagi?” jawab Budhe Siti bersemangat. Bulik Diah yang sedari tadi diam, ikut manggut-manggut.Aku heran, kenapa Ibu semangat banget mau mantu. Sedang aku, merasa tidak siap untuk segera menikah. Buat apa buru-buru. Umurku baru 23 tahun. Baru tahun lalu lulus S1 dan bekerja setahun. Masih ingin bebas. Masih ingin mengenal jakarta. Masih ingin jalan-jalan di mall. Tidak mau terkungkung masalah rumah tangga, ngasuh anak yang bau susu dan ompol, masak-masak hingga keringat bau bawang, dan segala macam keribetan rumah tangga. Aku mau bebas.Wis, kamu siap-siap sana. Nanti malam Mas Fajar sama bapak dan ibunya mau datang,” kata Ibu lagi. Apa? Nanti malam? Cepet amat? Lagian apa yang mau disiapkan? Wong cuma mau kenalan aja kok, repot. Aku segera bergegas masuk kamar. Kuhela nafasku. Ya, sudahlah. Kenalan dulu juga tak mengapa. Toh cuma kenalan ini. Tidak harus jadian kan? Tanyaku dalam hati. DrttttttTiba-tiba ponselku bergetar. Segera kuambil ponsel yang aku letakkan di atas meja belajar itu. Aku mengerutkan kening ketika ada pesan masuk dari nomor asing. Segera kubaca pesan yang ada disana. [Temui aku di bawah pohon jambu di depan rumah Randi]Randi? Keningku berkerut. Ini 'kan sebelah rumah. Tiba-tiba aku merasa penasaran. Ini pesan nyasar atau bukan ya? Ah, daripada penasaran, aku bergegas keluar dari kamar. Aku bisa mengintipnya dari jendela ruang tamu. Jika kira-kira orang jahat dan tidak kukenal, tinggal aku acuhkan saja pesan itu. Mataku melirik pohon jambu di sebelah rumah. Sial! Pohon jambu milik Randi tertutup pohon rambutan di depan rumah. Aku hanya bisa melihat punggung seorang laki-laki memakai t-shirt warna biru navy. Tak bisa kulihat kepalanya, apalagi wajahnya. [Cepetan!] Ponsel yang kugenggam bergetar lagi. Segera kulirik pemuda yang hanya kelihatan potongan dada hingga leher yang menghadap ke rumahku. Sepertinya dia bisa melihat posisi di mana aku berdiri.Segera aku bergegas mendekat ke dinding pagar pembatas antara halaman rumahku dan halaman rumah Randi.Mulutku tiba-tiba ingin menahan tawa melihat siapa yang berada di bawah pohon jambu itu. Matanya menatapku tajam. Mulutnya tak menyunggingkan sedikitpun senyuman. Khas juteknya.“Ikut aku,” kata Mas Gilang sambil berjalan keluar dari halaman rumah Randi. Kulirik Randi yang ada di teras melihat adegan ini hanya mengedikkan bahunya. Mungkin Randi ingin bilang kalau dia tidak mau ikut-ikutan. Aku mengikuti langkah Mas Gilang. Tiba-tiba langkahnya terhenti tepat di depan mushola yang berada tak jauh dari rumah Randi. Ah, aku jadi ingat masa kecil belajar mengaji bareng Mas Gilang. Dia suka membuliku kalau aku tidak fasih mengucapkan makhroj huruf hijaiyah. “Ada siapa di rumahmu?” tanya Mas Gilang sambil berdiri menyandar pada salah satu tiang di teras mushola. Tangannya bersedekap. Apakah dia menatapku tajam? Tentu tidak. Dia lebih sering membuang muka. Paling pol hanya melirik sekilas. Manusia ini memang aneh sejak dari sononya. “Emang kenapa?” tanyaku. Ngapain juga kepo nanya tamu di rumahku. Diakan bukan siapa-siapaku. Aku berdiri hanya berjarak satu meter dari tempatnya berdiri. Menyadarkan tubuhku pada pohon melinjo yang ada disitu. “Aku tahu, kamu akan dilamar sama Fajar. Jangan diterima!” ujar Mas Gilang tegas. Lalu dia bangkit dari sandarannya dan beranjak.Tunggu!” seruku. Aku masih penasaran. Kok dia tahu aku mau dilamar pria bernama Fajar. Padahal aku sendiri baru tahu beberapa menit yang lalu. Ini tidak adil. Bagaimana jika ternyata orang diseluruh kampungku sudah tahu semua? Kecuali aku?Mas Gilang menghentikan langkahnya. Lalu menoleh ke arahku beberapa saat. Kemudian dia membuang muka, seperti biasa. “Kenapa?” tanyaku lagi. Apa urusan dia melarangku menerima lamaran pria bernama Fajar? Apakah dia cemburu? Ups! GR nya aku. Tapi, pasti ada alasannya. “Dia bukan orang baik buatmu,” jawab Mas Gilang sambil berlalu. Lagi-lagi, aku hanya bisa menggerutkan kening. “Tapi apa alasannya?” Kukejar Mas Gilang yang sudah melangkah cepat meninggalkanku. Langkahnya lebar-lebar karena posturnya yang tinggi. Lebih dari 180cm tingginya. Belum sempat aku mensejajari langkahnya, sebuah suara panggilan khas sudah terdengar. “Sekar! Ayo siap-siap. Kok malah kluyuran sama Gilang.” Kulihat Ibu yang berdiri di teras rumah menampakkan muka yang kurang suka. Aku melirik ke Mas Gilang sekilas. Aku tahu, dia pasti mendengar kata-kata Ibu. Mas Gilang rupanya juga melirikku. Lalu ia mengedikkan bahu dan segera pergi menjauh. --BAB 2Ibu melihatku dengan tatapan tidak suka. Aku segera menunduk. Tidak enak hati rasanya. Seumur-umur baru kali ini ibu menatapku seperti itu. Aku segera bergegas masuk ke dalam kamar. Otakku masih dipenuhi kata-kata Mas Gilang tadi. Tahu dari mana Mas Gilang tentang lelaki yang bernama Fajar? Mengapa dia melarangku menerima pinangannya? Adakah sesuatu yang ganjil? Jangan-jangan, itu hanya dalih Mas Gilang saja. Bukannya ibu tadi mengatakan, kalau Mas Fajar tidak segera meminangku, maka Mas Gilang yang akan meminangku? Apakah mereka bersaing?Aku tersenyum kecut jika mengingat perlakuan Mas Gilang selama ini. Mana mungkin dia mau meminangku. Menatap saja dia seolah enggan. Seringnya hanya tersenyum sinis. Tapi, mengapa tiba-tiba dia melarangku menerima pinangan lelaki bernama Fajar?Kududukkan badanku ke sisi ranjang. Aku seperti orang linglung. Memikirkan mau dipinang orang saja kepalaku sudah terasa pening. Apalagi Mas Gilang menambah masalah dengan melarangku menerima pinangan lelaki yang akan segera datang berkunjung. Ah, bodo amat!“Lho, Ndhuk. Kok belum siap-siap?” tanya Bulik Diah. Kepalanya menyembul dari sela-sela pintu. Lalu membuka pintu kamarku dan masuk ke dalam. “Memang mesti bagaimana tho, Bulik?” tanyaku. Aku rasa aku sudah cukup berpenampilan sopan untuk menemui tamu. Tunik selutut dipadu celana bahan dan jilbab instan. Bulik Diah menatapku sambil menggelengkan kepalanya. Memang, aku lihat Bulik Diah dan Bude Siti pun memakai baju yang tidak biasa. Tapi bukannya mereka hanya mengatakan bahwa tamu akan datang dan berkenalan saja? Bulik Diah berjalan ke arah lemari baju di kamarku. Disibakkannya baju yang tergantung disitu. Lalu beliau mengambil salah satu dress yang kupakai terakhir kali di acara wisuda. Dress berbahan satin dengan dipadu broklat. “Kok pake baju kayak gini?” Aku menggeleng. Keningku berkerut tanda aku tidak mengerti. Bisa-bisa aku jadi salah kostum. Dikira aku ke-GR-an. Toh, katanya hanya kenalan. “Sudah kamu pakai saja,” kata Bulik sambil menyuruhku ke kamar mandi untuk cuci muka. Katanya wajahku harus sedikit dirias agar segar. Haduh? Apa lagi ini? Tiba-tiba perasaanku menjadi tidak enak.DrtttttSegera kuraih ponsel yang aku taruh di atas meja. Alisku bertaut. Ah iya, baru ingat, nomor Mas Gilang belum kusimpan. Aku memang tidak punya nomor Mas Gilang dari dulu. Buat apa? Orangnya dari dulu jutek dan selalu menolak jika aku meminta tolong, dengan alasan kalau aku ini nyusahin. [Kalau Fajar kasih kamu cincin, jangan diterima] Kubaca pesan dari Mas Gilang. Heleh, apa-apaan sih. Kayak ABG labil cemburuan saja. Kalau lelaki yang bernama Fajar memberiku cincin memang kenapa? Segera aku letakkan kembali ponselku. Aku tidak terlalu menggubrisnya. Sementara Bulik Diah sibuk menyapukan make up di wajahku. “Nah, itu tamunya datang,” kata Bulik Diah saat kami mendengar suara deru mobil berhenti di depan rumah. Segera bulik dengan sigap membenahi jilbab di kepalaku yang entah di model apa. Bulik Diah memang bekerja sebagai rias pengantin. Wajar jika bulik ahli merias dan menata jilbab. Ibu segera mengajakku ke ruang tamu. Kulihat di sana sudah ada Pakde, Paklik, dan juga Bapak. Sedangkan Ibu, Bude dan Bulik duduk di dekatku. Sementara tamunya ada sepasang suami istri yang seusia ibukku dan juga seorang pemuda berbaju batik. Aku sebenarnya penasaran dengan pemuda itu. Tapi, entahlah mengapa rasa takut tiba-tiba menyelimutiku. Aku merasa segan dan malu untuk menatapnya. Aku hanya menunduk dan sibuk memainkan ujung outer broklat yang kukenakan. Sedangkan ibu tampak sangat akrab bercakap-cakap dengan ibu pemuda itu yang juga adalah teman sekolah ibu. Sesekali Bude dan Bulik turut menimpali. Tak begitu aku dengarkan apa yang mereka perbincangkan. Otakku berkelana entah kemana. Aku tidak mengerti apa arti semua ini. Rasanya tegang sekali pikiranku. Hingga tiba-tiba...“Sekar, sini.” Suara bapak memanggilku untuk mendekat. Segera aku beranjak setelah Ibu memberi kode untuk mendekat ke Bapak. Tiba-tiba mataku terbelalak. Teringat kata-kata Mas Gilang. Lelaki itu membuka kota kecil dengan cover berbahan beludru warna hitam. Sudah bisa ku tebak itu adalah cincin. Tiba-tiba kepalaku serasa berdenyut ketika bapak memintaku mengulurkan jari manisku. “Jangan!” Sebuah suara lantang terdengar dari arah pintu. Semua orang menatap ke sana. Seorang lelaki tampan berdiri di ambang pintu. Tiba-tiba aku merasa semuanya gelap!--BAB 3Kukerjapkan mata. Ternyata aku sudah berada di dalam kamar, terbaring lemah di ranjang. Siapa yang memindahkan aku ke sini? Aku pun tak tahu. Terakhir aku berada di ruang tamu, dan melihat ada Mas Gilang di ambang pintu. Akan tetapi, mengapa aku jadi berada di sini? Baju yang kukenakan pun masih sama. Gamis satin dengan outer broklat warna abu. “Kamu sudah sadar, Sekar?” tanya Bulik Diah yang duduk di sisi ranjang. Beliau segera berdiri dan mengambil cangkir berisi teh panas dari atas meja belajarku. Kulihat asap teh itu masih mengepul. Tandanya, isinya masih panas. “Minum dulu, biar kamu ada tenaga,” tukas Bulik Diah sambil mengangsurkan cangkir teh tersebut. Kudengar sayup-sayup suara tamu masih ada. Sepertinya mereka masih berbincang di ruang tamu. Tak lama, kulihat ibu membuka pintu kamar. Lalu beliau masuk dan duduk di sisi ranjang, bersisihan dengan Bulik Diah. “Ndhuk, kamu masih lemes?” tanya ibu. Aku hanya mengangguk. Sepertinya aku ingin lebih baik di kamar, malas rasanya keluar. Suasana sangat canggung. “Nduk, Bapak dan Ibu sudah menentukan hari pernikahanmu dengan Mas Fajar. Sebulan lagi. karena Mas Fajar mau promosi dan mutasi ke Makassar. Jadi harus segera menikah sebelum pindah,” kata ibu. Mendengar itu, kepalaku menjadi kembali berdenyut. Mengapa ada pernikahan? Bukannya janjinya hanya kenalan?“Wis ngga usah banyak dipikir. Kamu manut saja. Semua akan diurus sama keluarganya Mas Fajar,” imbuh ibu sambil bangkit dan berlalu meninggalkanku. Sementara, Bulik tersenyum sambil mengusap lenganku, seperti hendak berkata, tenang saja, semua akan berjalan lancar. Aku kembali memejamkan mata. Aku baru ingat, sepertinya aku tadi belum makan siang. Sejak tiba dari Jakarta, aku langsung di suruh ibu nganter kue ke rumah Bude Hanum. Pulang-pulang sudah ada bulik dan bude. Pantesan, badanku terasa lemah. Tapi, tunggu. Bukannya tadi ada Mas Gilang? Mengapa tiba-tiba menghilang. Bahkan, ibu tidak mengatakan apa-apa tentang Mas Gilang yang tiba-tiba berdiri di ambang pintu. Kupejamkan mataku rapat-rapat. Lalu aku berusaha mengerjapkannya kembali. Ini seperti halusinasi. Otakku pun kuajak bekerja keras. Jadi, Mas Fajar buru-buru menikah karena mau promosi ke luar Jawa. Apakah hanya itu alasannya? Atau, ada alasan lainnya? Di luar terdengar sudah mulai senyap. Suara deru mobil meninggalkan halaman rumah pun sudah sejak sepuluh menit yang lalu. Artinya, tamu sudah pulang. Beruntung aku tidak disuruh untuk keluar kamar. Lagi pula, aku tak tahu harus berbuat apa jika keluar. Pendapatku pun seolah tiada guna. Aku hanya diperintahkan untuk manut saja.“Jadi, Sekar. Empat minggu dari sekarang acaranya,” kata Ibu sembari duduk di sisi ranjang setelah pakde, bude, palik dan bulik pun pulang. Lalu Ibu memintaku mengulurkan tanganku untuk memasangkan cincin di jari manisku. “Nanti Mas Fajar akan menemuimu di Jakarta. Ibu sudah memberikan nomor telponmu dan juga alamat kosmu,” kata ibu lagi.Aku hanya mengangguk lemah. Syukurlah masih ada empat minggu lagi. Artinya, masih ada harapan untuk mengenal siapa Mas Fajar sesungguhnya. Jangan sampe deh aku menikah dengan orang yang tidak aku kenal. Ini jaman revolusi industri 5.0. bukan jaman Siti Nurbaya!***ETW***“Itu cincin dari si Fajar?” kata Mas Gilang sinis, saat kita bertemu di Stasiun Tugu. Hari itu kebetulan aku bareng naik kereta kembali ke Jakarta. Kami tidak janjian. Ini sungguh hanya kebetulan. Aku melirik cincin yang tersemat di jari manis tangan kiriku. Sebenarnya agak risih karena memang aku tak menyukai memakai perhiasan. Tapi, demi menuruti kemauan ibu, kupakai juga cincin itu. “Sudah aku bilang, jangan diterima,” tukas Mas Gilang sambil melirik sinis ke jari manisku. Dih, apa urusannya dia melarangku? Batinku. Aku hanya mencebik. Pasti Mas Gilang iri. Itu yang ada dalam fikiranku. Tapi, mengapa tidak ada seorangpun yang mengatakan tentang insiden dia datang saat aku dilamar malam itu ya? Apakah itu benar-benar halusinasiku sebelum aku pingsan? “Ayo naik,” kata Mas Gilang kemudian setelah kereta berhenti tepat di depan kami. Aku tidak diantar oleh Bapak atau Ibu ke stasiun. Aku memang melarang beliau mengantarkanku. Lebih praktis naik taksi online saja, dan pamit ke Bapak dan Ibu dari teras rumah. Apalagi, ada pemuda di sebelahku ini suka menyindirku kalau aku diantar oleh beliau, “Tidak mandiri, sukanya ngrepotin orang lain,” begitu selalu tukasnya. “Jadi, kamu nikah sama dia?” tanya Mas Gilang. Dia sebenarnya duduk di gerbong yang lain. Tapi, ia sengaja datang ke gerbong ini dan berdiri tepat di sebelah tempat dudukku. Tubuhnya menyandar pada kursi yang aku duduki sembari tangannya bersedekap. Aku hanya mengangguk. “Sebulan lagi,” sahutku dengan nada biasa. Kulihat ekspresinya masih datar dan dingin. “Nanti akan kutunjukkan padamu, siapa sebenarnya Fajar,” kata Mas Gilang sambil pergi meninggalkanku.***ETW***--[Nanti, pulang kerja, aku jemput di kantormu] Aku mengernyitkan dahi. Ada pesan masuk tanpa nama dan tanpa profil. Kupikir itu pesan salah alamat. Segera kuletakkan ponselku ke laci mejaku. Biasanya aku hanya sesekali melihat pesan penting saat bekerja. Segera aku membereskan barang-barangku saat jam sudah menunjukkan pukul lima sore. Pegawai lain pun sudah beranjak pulang. Aku pun segera bergegas mengikuti rombongan yang akan segera turun menggunakan lift dari lantai tempat kerjaku.“Sekar!” Aku menoleh ke sumber suara. Tampak lelaki dengan badan atletis dan wajah yang tampan berdiri sambil melambaikan tangannya ke arahku.Tiba-tiba aku teringat pada pesan yang tadi siang masuk ke ponselku. “Lupa, ya?” tanya lelaki itu setelah aku mendekatinya. “Fajar,” katanya sambil mengulurkan tangannya. “Oh....” Kutepuk jidatku sendiri. Aku benar-benar lupa. Bahkan, ketika di rumah, aku tak sempat berkenalan secara pribadi. Menatapnya pun aku tak berani. Tak punya sedikitpun memori tentang rupa pemuda yang bernama Fajar itu. Dan kini pemuda tampan itu sudah berada di depanku. “Kita ngobrol sambil makan, yuk,” kata Mas Fajar. Lalu dia berjalan mendahuluiku sambil memberikan kode kepadaku untuk mengikutinya. Aku hanya mengekorinya, berjalan menuju parkiran di halaman gedung kantorku. “Masuk,” katanya sambil membuka pintu mobil di bagian kemudi. Lalu aku pun membuka pintu di bagian penumpang. Mobilnya bagus. Pajero Sport warna hitam. Pasti dia orang kaya. Pantas saja ibuku sampai klepek-klepek dibuatnya. Tapi, tiba-tiba hatiku menjadi linu? Kok rasanya aku tidak pantas naik mobil sebagus ini. Biasa juga aku naik angkutan umum. Paling mewah naik transjakarta atau MRT.“Kok kamu malah melamun?” tanya Mas Fajar. Dari tadi aku memang hanya diam saja, mirip orang bego. Aku rasanya tidak bisa menjadi diriku sendiri. Ini baru permulaan. Duh, begini amat ya, batinku. Mas Fajar memarkir mobilnya di basemant sebuah pusat perbelanjaan. Lalu ia mengajakku masuk ke sebuah restoran jepang berkonsep all you can eat. Aku benar-benar mirip orang bodoh. Tak pernah aku masuk ke dalam restoran seperti ini. Biasa juga aku hanya berani makan di warteg atau paling banter kantin di kantor yang harganya miring. Aku hanya mengekori Mas Fajar. Dia tampak berpengalaman memilih beraneka ragam makanan yang akan kita santap. Lalu kami duduk di sebuah bangku dimana ada empat kursi yang mengelilinginya. Dengan cekatan pelayan datang dan menyalakan tungku pemasak yang tersedia di meja. Aku benar-benar dibuat melongo. “Hai, Mas Fajar. Sudah lama?” tiba-tiba seorang wanita cantik datang menghampiri Mas Fajar. Lalu tanpa canggung dia duduk di sebelahnya. “Sekar, kenalin ini Daniar. Temanku SMA,” kata Mas Fajar kemudian. Kusalami wanita cantik dengan rambut sepunggung dengan model kruwel-kruwel masa kini. Kulitnya putih, posturnya tinggi semampai. Sangat cantik seperti seorang dewi. Tiba-tiba aku memandang penampilanku sendiri. Sepertinya aku lebih pantas menjadi pembantunya Mas Fajar dibanding calon istrinya. --BAB 4“Jadi kamu sudah bertemu dengan perempuan bernama Daniar itu?” tanya Mas Gilang. Aku heran mengapa tiba-tiba Mas Gilang sudah berada di depan kantorku. Letak kantor kami sebenarnya tidak terlalu jauh. Tapi bukan Jakarta namanya kalau tidak membuat jarak yang dekat terasa jauh. Dan selama setahun aku di Jakarta, tak sekalipun Mas Gilang bertanya dimana kantorku ataupun dimana kosanku. Mendapatinya tiba-tiba berdiri di depan lobi kantorku tentu merupakan hal langka yang patut diabadikan. Aku hanya bisa mengangguk untuk menjawab pertanyaannya. “Kamu tahu, siapa dia?” tanyanya lagi. “Dia teman SMA-nya Mas Fajar,” jawabku singkat. Sesuai yang aku tahu saat dia dikenalkan padaku. “Ikuti aku,” kata Mas Gilang sambil memberiku kode untuk mengikuti langkahnya. Aku hanya mengekorinya. Rupanya Mas Gilang sudah memesan taksi online. “Mau kemana kita, Mas?” tanyaku saat taksi yang kita pesan menuju ke suatu pusat perbelanjaan yang berbeda dengan kemaren. Mas Gilang hanya diam saja. Dia memang begitu. Percuma saja aku cerewet dan banyak bertanya. Lebih baik aku ikuti saja apa maunya.Tiba-tiba kakinya melangkah masuk sebuah resto. Duh, resto lagi. Eitttts, tunggu. Kira-kira masuk resto, dia mau mentraktirku apa tidak ya?“Ayo buruan,” katanya sambil menghentikan langkahnya dan menoleh ke arahku yang sedang terhenti tepat di pintu resto. “Aku yang traktir!” katanya lagi, seperti mengerti kekhawatiranku. Aku mengangguk senang. Lalu kuikuti kembali langkahnya. Kami memilih duduk di pojokan. Tak lama, seorang pelayan mendatangi kami dan memberikan daftar menu kepada kami. Mas Gilang tidak memberikan kesempatan kepadaku untuk memilih menu. Dugaanku, duitnya juga mepet. Jadi, dia memilih sendiri menu untukku dan untuknya. Aku pun tak masalah. Mungkin karena kita sama-sama dari kampung dan dari keluarga miskin. Aku tertawa dalam hati. Tiba-tiba, hatiku ngilu saat teringat kemaren. Ditraktir sama Mas Fajar, tapi tingkahku mirip pembantu dari dusun. Padahal, aku ini 'kan udah kerja di Jakarta selama satu tahun. Kemana saja ya aku? Aku dan Mas Gilang duduk saling berhadapan. Namun, tiba-tiba Mas Gilang pindah posisi duduk di sebelahku. Tentu saja hal ini membuatku bingung. Mau apa dia mendekati ku? Kulirik tingkah laku dia yang mulai janggal. Tapi dia justru melotot ke arahku. Tak lama, menu yang kami pesan pun datang. Anehnya, Mas Gilang tak segera menyantap menu itu. Dia malah mengetik sesuatu di ponselnya. Setelah itu, dia menunjuk-nunjuk ponselnya. Aku tak mengerti apa maksudnya. Tapi, dia memberi kode untuk tidak berbicara. Berulang dia letakkan telunjuknya di depan bibirnya. Sambil tetap melotot dia menunjuk-nunjuk ponsel. “Apaan?” tanyaku akhirnya. Dia pake bahasa isyarat yang tidak aku mengerti. Tanpa ba bi bu, dia malah menyambar tasku. Merogoh-rogoh kantung di tasku. Ya ampun, betapa malunya aku saat dia memegang pembal*t yang sengaja aku bawa, karena aku sedang halangan. Akhirnya, dia menemukan apa yang di carinya. Ponselku!Segera dia berikan kepadaku, dengan sebelumnya membuka fitur pesan singkat. Keningku berkerut saat aku membaca pesan dari dia terketik disana. Spontan aku menoleh kebelakang.“Auwwww!” pekikku. Kaki Mas Gilang dengan sengaja menginjak kakiku. Kulirik dia yang terus saja melotot sambil meletakkan telunjuk di bibirnya. Aku segera menatap layar ponselku kembali, lalu mengangguk-angguk mengerti setelah kubaca ulang pesannya.[Jangan menoleh kebelakang. Dengarkan apa yang mereka katakan]. Kutajamkan pendengaranku.  “Kamu tenang saja. Begitu warisan kakekku di bagi, aku akan segera menceraikannya. Mana tahan aku menikah dengan gadis kampungan seperti dia. Kalau bukan karena desakan mama, aku tidak mau. Mama mengancamku tidak memberikan jatah warisan itu jika aku belum menikah,”kata lelaki yang duduk tepat di dibelakangku.Posisiku memang membelakangi mereka, sehingga aku tidak bisa melihat siapa yang sedang berbicara.  “Tapi, bukannya kalau kamu menikah dengan dia, warisan yang kamu dapatkan harus dibagi dua juga setelah kamu bercerai?” tanya yang wanita. “Dia bukan wanita matre. Dia sangat lugu. Hanya saja, ibunya sedikit matre. Nanti aku pikirkan kemudian. Yang penting, warisan itu jatuh duluan ke tanganku,” timpal lelaki itu. Sebenarnya aku penasaran siapa lelaki yang berbicara itu. Tapi, lagi-lagi mas Gilang melarangku untuk menoleh. Mas Gilang malah mengajakku foto selfie dengan kameranya. Tak lama, setelah dua orang dibelakangku mengganti topik pembicaraan lain. Mas Gilang memberiku kode untuk segera meninggalkan restoran itu. Dia memintaku keluar duluan tanpa gerak gerik mencurigakan dan menunggunya di luar resto. Sementara mas Gilang pergi ke kasir untuk membayar menu yang kita makan. Kami segera bergegas pergi meninggalkan pusat perbelanjaan itu. Tapi otakku masih penuh tanda tanya. “Aku kirim foto kita berdua,”kata Mas Gilang sesaat sebelum aku naik taksi online menuju kosanku. Jangan salah, taksi online yang aku tumpangi ini Mas Gilang yang bayar ongkosnya. Aku? Terlalu mewah untuk naik taksi online. Ojek saja sudah kemahalan. Biasanya hanya transjakarta turun di halte terdekat dan jalan kaki menuju kosan. Kurebahkan badanku seusai mandi. Jakarta memang luar biasa. Hanya jalan sebentar aja, badan rasanya pegal-pegal. Kuraih ponselku. Berdebar-debar rasanya ingin segera membuka gambar selfie yang Mas Gilang kirimkan tadi. Akhirnya, aku akan punya foto berdua dengan Mas Gilang. Hmmm, jangan-jangan Mas Gilang naksir aku. Tiba-tiba aku menjadi GR. Setelah beberapa detik berputar, akhirnya terbuka juga gambar itu. Wow! Cakep! Pekikku saat aku fokus melihat foto Mas Gilang. Dia memang tampan, asal tidak sedang jutek. Secara aku tidak pernah melihat lelaki itu secara bebas. Dia selalu membuang muka. Tapiiii....siapa dua orang di belakangku tadi?Mataku terbelalak begitu menyadari orang itu. Hatiku tersentak dan ingin menangis sejadi-jadinya. --BAB 5“Sudah puas nangisnya?” tanya Mas Gilang dingin. Hari masih jam tujuh pagi. Mas Gilang sudah berdiri di ambang pintu kosanku. Pasti dia melihat dengan jelas mataku yang sudah bengkak karena semalaman menangis. Entah berapa ember airmata yang berhasil aku keluarkan. Yang jelas saat ini aku merasa air mataku sudah mengering dan pedih rasanya mataku. “Cengeng!” gumannya yang terdengar jelas hingga ke telingaku. Aku hanya bisa meliriknya sekilas, mencebikkan mulut, lalu berniat menutup pintu kosan agar dia segera pergi dari hadapanku. “Buruan siap-siap. Aku tunggu!” ujar Mas Gilang lagi. Tangannya dengan sigap menahan pintu yang akan segera aku tutup. “Ini masih jam tujuh. Aku mau tidur lagi!” sahutku malas. Jam masuk kantor masih jam delapan. Jarak kosan ke kantor tidak sampai 15 menit jalan kaki. Ngapain datang pagi-pagi. Mau bantuin CS sama OB nge-vakum karpet?“Tidur lagi? Mau nangis lagi?” tanya Mas Gilang dengan nada mengejek. “Buruan. Aku traktir bubur ayam belakang kantormu!” serunya sambil menghenyakkan badannya duduk di bangku teras kosanku. Mataku langsung membulat mendengar bubur ayam. Maklum lah, selama ini aku menghemat uang gaji agar dapat menabung buat jalan-jalan ke luar negeri seperti teman-temanku yang lain. Meskipun gajiku tak terlalu besar, bolehkan aku bermimpi bisa ke luar negeri? Tak sampai sepuluh menit, aku sudah siap. Mas Gilang tidak kaget sama sekali. Dia sudah hafal kalau aku sejak dulu selalu mandi kilat dan siap-siap pun kilat. Tak ada bedak yang tersapu di wajah ini. Pantas saja, aku langsung insecure begitu ketemu dengan Daniar yang cantik dan kinclong. Sedangkan aku? Tetap saja kampungan. Mengingat kata kampungan, hatiku menjadi pedih. Kata-kata pedas yang disematkan Mas Fajar di belakangku malam itu. Dari depan kosan aku dan Mas Gilang jalan kaki, menyusuri gang kecil, beserta hiruk pikuk di pagi hari. Dari ibu-ibu yang repot menyuapi anaknya sambil ngajak jalan-jalan, ada yang berbelanja di tukang sayur, bahkan, ada yang nyuci perabot di pinggir gang sambil ngobrol dengan tetangga. Begitulah ibukota dan gang sempitnya.Tiba di tenda buryam belakang kantor, aku dan Mas Gilang duduk berhadapan di bangku panjang. Bangku yang bisa muat delapan hingga sepuluh orang yang dilindungi oleh tenda. Dua mangkuk bubur dengan topping ayam, cakue, seledri, bawang goreng, kacang kedelai dan krupuk tak lama tersaji di depan kami. Meskipun jam belum menunjukkan angka setengah delapan, udara jakarta sudah cukup panas. Satu persatu pegawai kantoran yang bekerja di sekitar kantorku mulai berdatangan. Sebagian besar mereka memang membeli sarapan di sekitar sini. Jalan belakang kantor yang di sisinya banyak aneka gerobak penjual makanan, dari gorengan, bubur ayam, ketoprak, gado-gado, mie ayam, dan masih banyak lagi. “Jadi kamu masih ingin menikah dengannya?” tanya Mas Gilang sambil menoleh menatapku. Beberapa detik kemudian, dia fokus menatap sendok buburnya. Sejak dulu, aku tak pernah akur dengannya. Agak heran juga mendadak dia sepeduli ini padaku. Biasanya, kalau nggak campur tangan ibu di kampung, pasti Bude Hanum, ibunya Mas Gilang. Bisa jadi juga karena kita sama-sama di perantauan.“Kamu pikir aku perempuan apa?” Aku balik bertanya dengan kesal. Wajahku kembali pias. “Jangan dihadapi dengan tangisan. Percuma. Pakai ini.” Mas Gilang mengetukkan telunjuk ke  jidatnya.Aku hanya bisa menghela nafas. Sekarang pun aku tak bisa berfikir jernih.“Aku akan membatalkan rencana pernikahan,” sahutku kemudian. Diam-diam, kulepas cincin yang tersemat di jari manisku, lalu memasukkannya ke dalam dompet yang ada di tasku.  “Bagus!” komentar Mas Gilang sambil mengangguk-anggukkan kepala. Tak lupa, dia menunjukkan jempolnya.Aku kembali menekuri mangkuk bubur ayam. Tadinya, terlihat lezat. Namun, pembicaraan membuat tenggorokanku terasa tersumbat. “Sorry, udah siang. Keburu macet. Aku pergi dulu,” ujar Mas Gilang lalu ia beranjak setelah membayar bubur yang kami makan. Aku hanya termangu, menatapnya sampai punggung kokoh itu hilang dari pandangan. ***ETW***“Buk, Sekar ndak bisa meneruskan rencana pernikahan dengan Mas Fajar,” ujarku sambil terisak. Aku terpaksa menelpon ibu dengan videocall sepulang dari tempat kerja. Tak mungkin aku mendadak pulang ke Yogya di minggu bekerja seperti ini. Kupikir lebih cepat diputuskan akan lebih baik, agar orang rumah menghentikan persiapannya. “Kamu jangan macem-macem, Nduk. Tidak bisa dibatalkan begitu saja,” sahut Ibu. Dari raut mukanya terlihat kesal. “Buk, Mas Fajar sudah punya pacar. Sekar tidak mau melanjutkannya,” jawabku ingin meyakinkan ibu. “Justru karena Mas Fajar sudah punya pacar, dan Bude Nurul tidak menyukainya, maka dijodohkan sama kamu.” Aku baru tahu, kalau salah satu alasannya karena mereka ternyata mengetahui kalau Mas Fajar sudah punya kekasih. Terus, aku disuruh jadi orang ketiga, maksudnya? “Tapi, Buk. Mas Fajar itu punya niat jahat….”Masih teringat jelas apa yang dia bicarakan di resto dengan pacar nya saat itu. “Hush! Jaga bicaramu,” hardik ibu. Mata perempuan yang telah melahirkanku itu nyaris melotot, menyembunyikan amarah kepadaku. “Bagaimana dia berniat jahat, sedangkan biaya kuliah kamu dan Mas Aji saja banyak dibantu oleh keluarganya,” lanjut Ibu. Hatiku langsung mencelos mendengar perkataan ibu.Apa? Biaya kuliah? Aku baru tahu fakta ini. Mengapa ibu tak pernah mengatakannya?Selama ini ibu dan bapak hanya mengatakan aku dan Mas Aji harus giat belajar, karena biaya kuliah nggak murah. Nggak pernah mengatakan uang dari mana. Karena katanya, urusan biaya adalah urusan mereka, saat aku bertanya. --BAB 6“Mas, jadi aku harus gimana?” tanyaku pada Mas Gilang. Sore-sore aku tak sengaja bertemu dengannya di tukang pecel lele langgananku. Tadinya aku berniat beli makan dibungkus, akhirnya urung, karena melihatnya. Mendingan, makan ditempat sambil ngobrol.Sebenarnya aku agak heran. Mengapa dia tiba-tiba ada di sini? Jangan-jangan dia membututiku. Ah, GR saja aku ini!Aku sengaja keluar mencari pecel lele usai menelpon ibu. Hati ini rasanya sangat kacau, hingga membuatku merasa kelaparan. “Batalin saja. Kenapa repot?” jawabnya datar. Dia terus saja mengunyah makanannya. Tangannya sesekali memisahkan lele dari durinya. Tak ada niatan sama sekali menatapku serius yang meminta pertimbangannya.“Ngga semudah itu, Mas,” jawabku.Aku masih terus menatapnya. Berharap dia serius menganggapi ucapanku. Hingga tak terasa pecel lele pesananku sudah terhidang. “Kata ibu, kalau aku membatalkan pernikahan ini, kami harus membayar utang ibuk 500jt. Kalau tidak, tanah warisan simbah yang harusnya dibagi sama Pak Lik dan Bulik, akan diambil sama ibunya Mas Fajar,” jelasku sambil memotes daun kemangi sebagai lalap bersama lele yang sudah siap disantap. “500 juta? Buat apa ibumu pinjem uang sebanyak itu?” Mas Gilang mencuci tangannya di kobokan. Lalu ia menggeser piring kotornya menjauh. “Awalnya utangnya 300 juta. 100 juta untuk ibu, 100jt untuk Paklik, dan 100juta untuk Pakde. Ya buat sekolah kita-kita, anak-anaknya,” tukasku. “Kenapa jadi 500?” Dahi Mas Gilang berkerut, matanya tajam menatapku, penuh selidik.Aku juga bingung.Tapi, menurut ibu, karena kita tidak segera melunasinya, jadilah sampe segitu. Apalagi, jaminannya tanah warisan kakek yang harga tanahnya juga semakin melambung tinggi. Konon, kalau di jual saja, tanah warisan kakek itu harganya sudah 1M. “Rente juga dong ibunya Fajar. Kamu mau nikah sama Fajar? tanya Mas Gilang lagi. Entah berapa kalinya dia menanyakan apakah aku mau atau tidak nikah sama Mas Fajar. Sepertinya dia belum yakin.Jangankan dia. Aku sendiri pun tak yakin. “Jadi kamu mau pilih bayar apa nikah sama Fajar?” tanya Mas Gilang lagi. Kepalaku jadi berdenyut. Pusing rasanya. Uang sebanyak itu, mana aku punya. Tapi, nikah sama Mas Fajar? Bukannya dia hanya main-main saja? Dia menyebutku gadis kampungan. Dan dia akan segera menceraikanku setelah mendapatkan warisan. Jadi, buat apa? “Ya Pakde sama Paklikmu suruh bayar juga lah. Masak cuma kamu. Mereka kan sudah sukses. Jual saja mobilnya,” sambung Mas Gilang sambil mengaduk es jeruknya.Mas Gilang memang tahu kalau kedua saudara ibu itu memiliki kendaraan roda empat. Setiap datang ke rumah, mobil itu terparkir di halaman rumahku.“Nggak semudah itu. Mereka justru mendukung aku nikah sama Mas Fajar agar tidak perlu membayar utang,” tukasku.Nasi dan pecel lele serasa susah tertelan di tenggorokan, karena memikirkan nasib ini. Perutku tiba-tiba merasa kenyang. Segera aku mencuci tangan di kobokan. “Jangan dibiasakan makan tidak habis. Kamu perlu tenaga untuk memikirkan hutang keluargamu,” sindir Mas Gilang sambil melirik ke piring di hadapanku yang nasinya belum berkurang setengah. “Mas, kamu mau kemana?”tanyaku saat tiba-tiba kulihat Mas Gilang sudah bangkit dari duduknya. “Aku duluan! Masalahmu terlalu ruwet. Aku pusing!”katanya sambil pergi begitu saja. Tak sedikitpun ia menoleh ke arahku yang masih menunggu saran-sarannya. --***ETW***“Ngapain, Mas kita di sini?” tanyaku ke Mas Gilang. Dia malah mengajakku nongrong di angkringan yang terletak di trotoar depan sebuah hotel. “Kamu lihatin terus hotel itu. Aku mau makan, sahutnya.Kulihat Mas Gilang malah menyeduh teh panas dengan gula batu pada cangkir yang terbuat dari aluminium dengan motif klasik. Lalu ia makan dengan lauk orek tempe, bihun coklat, pindang telur, kikil dan segala rupa masakan rumahan. “Mas! Mas...itu,” panggilku sambil menunjuk sepasang kekasih yang tentu saja sangat kukenal, keluar dari lobi hotel. “Foto!” perintah Mas Gilang sambil tetap sibuk dengan makanannya. “Buat apa?” tanyaku tak mengerti.Tapi, aku ikuti saja petunjuknya.Kubidikkan kamera handphone ke arah mereka dari tempat aku duduk.Mereka berdua tampak sangat mesra berangkulan. Apa aku cemburu? Tentu tidak. Padahal Mas Fajar adalah calon suamiku.  “Itu artinya mereka habis check in,” komentar Mas Gilang datar. “Memang apa istimewanya orang check in di foto?” tanyaku penasaran. Bukannya kita juga sering check in di hotel kalau lagi dinas ke luar kota? “Ini 'kan di dalam kota. Ngapain mereka check in di hotel?” pancing Mas Gilang. “Jadi, kesimpulannya?” Aku tetap tidak mengerti? Apa mereka sedang lembur mengerjakan kerjaan kantor? Atau barang kali mereka habis meeting?Mas Gilang menghela nafasnya dengan kesal. Terlihat jelas dia menatapku geregetan. Tapi, kenapa? Bukannya biasa saja? Ada yang aneh? Apa pertanyaanku aneh?“Jadi, kalau kamu nikah sama Fajar, artinya kamu make bekasnya si Daniar. Ngerti?” ucap Mas Gilang. Matanya melotot menatapku. Telunjuknya pun mengarah ke wajahku. Sadis!Aku masih mengerutkan dahi, dan tak lepas menatap Mas Gilang yang terlihat frustasi. Dia mengacak rambutnya kasar sambil mendengus berulang. --BAB 7Jalanku sudah buntu. Aku tak tahu lagi harus berbuat apa. Jalan satu-satunya menghindar dari pernikahan dengan Mas Fajar adalah melunasi hutangnya. Masalahnya, uang dari mana?Akhirnya, aku pun pasrah menemui takdir. Perhelatan itu terjadi juga. Bulik Diah sudah siap untuk merias wajahku. Para tamu pun sudah berduyun-duyun datang.Aku memang meminta ibu tidak perlu terlalu mewah, tidak perlu di gedung. Cukup di rumah saja. Meskipun kata ibu semua ditanggung oleh keluarga Mas Fajar. Usai dirias, ibu memintaku keluar dari kamar. Aku sendiri merasa aneh dengan penampilan ini. Aku yang tak pernah dandan, tadi sempat melirik sekilas ke cermin di kamar. Hampir saja aku tak dapat mengenali diriku sendiri. Aku memilih menunduk saja. Apalagi aku masih ingat dengan jelas, bagaimana Mas Fajar mengataiku sebagai gadis kampungan. Ibu menyuruhku duduk di belakang di bagian barisan wanita. Di sebelah Bude dan ibu. Sedang, Bulik memilih berdiri sambil terus mengawasi penampilanku. Aku mengenakan kebaya berwarna broken white. Kebaya ini sangat pas di badan hingga memberi kesan langsing, meski yang sebenarnya aku sedikit berisi. Tentu saja, karena bantuan korset yang lama kelamaan membuatku terasa sesak, sulit bernafas.Kini, aku dapat merasa, semua mata tertuju ke arahku. Bisa jadi karena mereka pangling melihatku. Atau bisa jadi mereka penasaran dengan pernikahanku yang tiba-tiba. Tapi, bisa jadi juga isu aku menikah karena untuk membayar hutang ibu sudah terdengar kemana-mana. Aku lebih baik diam saja. Tak memedulikan pikiran orang lain. Dadaku mulai bergemuruh saat kudengar Pak Bayan, perangkat desa, yang bertindak sebagai MC mulai menyalakan mikrofon. Beliau memberikan sambutan dan ucapan selamat datang, lalu mempersilahkan Pakde sebagai wakil dari keluargaku dan juga....sebentar, aku tiba-tiba mencoba mencuri pandang saat aku mendengar nama yang disebut wakil dari keluarga mempelai laki-laki kok...Takut-takut kusapukan pandangan kepada mempelai pria. Lho? Mengapa mempelai prianya bukan Mas Fajar?Mendadak nafasku terasa ingin berhenti. Kepalaku tiba-tiba pening. “Bulik!”seruku sebelum aku merasakan semuanya gelap. --***ETW***“Lha piye tho, Ndhuk. Mau diijabke kok malah semaput (Gimana sih, mau ijab qobul kok malah pingsan),” kata Bude sambil mengipasiku di kamar. Lha gimana tidak pingsan, tiba-tiba tanpa pemberitahuan mempelai prianya sudah ganti. “Lha, bukane kowe seneng nek diganti karo Gilang? (bukannya kamu suka kalau sama Gilang?),” tanya Bude lagi sebelum aku berkomentar apa pun. Lidahku sudah kelu. Gimana tidak, otakku menjadi bingung melihat kenyataan ini. Beberapa hari terakhir aku memang sering bersama Mas Gilang. Satu-satunya orang yang menolak perjodohanku dengan Mas Fajar. Namun, bukan berarti dia baik dan perhatian. Tetap saja dia dingin, angker dan galak. Tapi, paling tidak dia tidak pernah menyebutku kampungan seperti Mas Fajar. “Wis, ndang bali nyang ngarep maneh. Mesakne tamune wis nunggu. Ben ndang sop e ditokne (buruan keluar. Tamunya sudah lama menunggu. Biar sup segera dikeluarkan),” kata Bude setelah aku usai minum teh panas. Jilbabku sudah tak karu-karuan gara-gara Bude Siti harus membalurkan minyak angin ke leherku. Untungnya Bulik Diah dengan sigap membenahinya. ***ETW***---“Kok bisa jadi kamu sih?” tanyaku saat Mas Gilang masuk ke kamarku. Sepertinya dia baru saja pulang dari masjid. Karena dia memakai baju sholat lengkap dengan pecinya. Tidak seperti tadi siang yang memakai setelan jas berwarna hitam. Rasanya ngeri juga ya dia masuk kamar dan hanya berdua begini. Jantungku rasanya dag dig dug tidak karuan. “Kamu! Kamu! Aku ini suamimu sekarang,” sahutnya sambil menekankan kata ‘Kamu’.Nyaliku menjadi ciut. Kenapa baru kepikiran kalau Mas Gilang itu 'kan memang diktator dari dulu. Duuh, rasanya jadi nano nano terbebas dari Fajar malah masuk ke pelukan Gilang. “Sholat sunnah dulu, jangan langsung tidur,” perintahnya saat melihat aku hendak membuka mukenaku usai sholat isya. Padahal kulihat dia juga baru saja pulang dari masjid. Oh, iya sampe lupa, sholat sunnah dua rakaat. Duuh. Kok aku jadi gemetar ya. Habis ini diapain lagi. “Makanya kalo punya buku itu dibaca,” tambahnya sambil menoyor kepalaku. Padahal sedetik sebelumnya dia habis mencium keningku. Ini mungkin gara-gara aku takjub melihatnya bisa seromantis ini. Duh, aku sampai lupa kalau Mas Gilang ini memang tak punya sisi romantis. Apa yang dilakukannya malam ini kan hanya sekedar formalitas, batinku sambil menepuk kepalaku sendiri. Mas Gilang serta merta berdiri. Lalu ia mengambil map berisi secarik kertas dari tas punggung miliknya yang diletakkan di bawah meja belajarku. “Nih, aku sudah bayar hutangnya ibumu ke ibunya Fajar. Jangan lupa, sebagai gantinya, kamu cicil perbulan 10 juta,” ujar Mas Gilang datar. Matanya menatapku tajam, membuatku jadi tergidik.“Apa? Sepuluh Juta?? Jadi? Kamu menggantikan Mas Fajar jadi mempelai demi uang sepuluh Juta?” tiba-tiba kepalaku berkunang-kunang. Sayangnya sebelum pingsan, tangan Mas Gilang sudah menopang bobot badanku. “Ish ish ish…dikit-dikit pingsan. Manja amat!” omelnya sambil memaksa tubuhku untuk duduk sendiri tanpa menyandar ke tubuhnya. Aku memilih menggeser tubuhku menyandar ke dinding di sisi ranjang. Mataku yang hampir terpejam jadi terbuka kembali mendengar suaranya. “Justru aku tuh menyelamatkanmu. Emang kamu mau nikah sama si Fajar. Trus habis itu dilepeh?” ujar Mas Gilang. Dia seperti mengingatkanku tentang modus dia mau menikah denganku hanya gara-gara pembagian warisan dari kakeknya. “Mamaku yang minta aku gantiin Fajar. Jangan GR, ya, kamu!” ujar Mas Gilang lagi. Sepertinya dia ingin menekankan bahwa aslinya dia tidak mau. Dihh, siapa juga yang mau sama dia. Aku pun kalau ditanya dulu, bisa jadi memilih opsi lain. “Ibumu tidak mau menanggung malu. Saudara dan tetangga sudah terlanjur tahu kalau ibumu mau mantu. Jadi ibumu bilang ke mamaku minta aku gantiin si Fajar,” jelas Mas Gilang panjang lebar. “Kamu harus terimakasih pada mamaku!”Yaelah. Mas Gilang pikir aku mau banget apa ya sama dia. Pake disuruh makasih ke Bude Hanum atas jasanya menjodohkanku dengan Mas Gilang. Kepalaku jadi tambah nyeri. Ngapain sih ibu pake minta Mas Gilang segala jadi suamiku. Memang ibu lupa apa ya kalau Mas Gilang ini dari orok udah jahat sama aku. Bisa-bisa aku tiap hari di-bully-nya setelah jadi istrinya. “Jangan lupa ya, sepuluh juta per bulan,” katanya sambil menyodorkan kertas bermeterai. Mataku membulat sempurna. Lhah? Gajiku aja cuma segitu. Trus aku makan apa?Eh iya lupa. Kan aku udah jadi istrinya. Jadi, makan sama kosan kan dia yang bayar. Tapi? Aku jadi tidak bisa nabung buat jalan-jalan ke luar negeri dong seperti impianku. Hiks!BERSAMBUNG…
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan